Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 21]

“Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping. “Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang juga saya mohon pamit.”

“Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan ilmu dengan mudah kepada mereka?”

“Tidak sepantasnya kita sebagai makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.”

“Mengamalkan itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang dimilikinya?”

“Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu, betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan cuma-cuma?”

“Syekh sendiri?”

“Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?”

“Meski saya kurang begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada dalam genggaman.”

“Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan sebelumnya.”

“Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?”

“Itu bukan tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya. Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan, menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu politik, sosial, dan budaya.”

“Apakah dia mengajarkan pula ilmu ma’rifat?”

“Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..”

“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….”

“Lihatlah tangga yang menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!”

Bersambung………..