Senin, 08 Juli 2013

SEJARAH RAMADHAN

Sejarah Ramadhan

Ramadan, bulan ke-9 kalender Islam, dan ibadah puasa selama 30 hari di pagi dan siang hari, memiliki akar dari budaya paganisme di India dan Timur Tengah. Kebiasaan puasa untuk menghormati bulan, yang dilakukan di berbagai ritual oleh bangsa Timur penyembah bulan. Ibn al-Nadim dan Shahrastani menyebut al-Jandrikinieh, sekte India yang mulai puasa saat bulan menghilang, dan mengakhiri puasa dengan perayaan besar saat bulan sabit muncul kembali. [1]

Sementara itu, praktik puasa untuk menyembah dewa bulan juga dilakukan dalam budaya timur tengah, dalam hal ini bangsa Sabean/Sabiin.  Bangsa ini merupakan bangsa pagan Timur Tengah, dikenal dalam dua kelompok, yakni Sabiin Mandaean, dan Sabiin Harranian. Kaum Mandaean hidup di Iraq di abad ke-2 SM. Sama seperti yang masih mereka lakukan sampai sekarang, mereka menyembah berbagai dewa. Dewa² mereka terbagi dalam empat kategori: “kehidupan pertama,” “kehidupan kedua,” “kehidupan ketiga” dan kehidupan keempat.” Dewa² kuno termasuk dalam kategori “kehidupan pertama.” Mereka memanggil dewa² yang lalu menciptakan dewa² “kehidupan kedua” dan seterusnya.

Kaum Harranian atau Sabiin dari kawasan Harran, menyembah Sin, dewa bulan, sebagai dewa utama, tapi mereka juga menyembah planet² dan berbagai dewa lainnya. Bangsa Sabiin berhubungan dengan Ahnaf/Hanif, kelompok orang² Arab yang diikuti Muhammad sebelum menjadi nabi. Ahnaf mencari pengetahuan dengan cara pergi ke Iraq utara, tempat tinggal masyarakat Mandaean. Mereka juga mengunjungi kota Harran di daerah al-Jazirah di Syria utara, dekat perbatasan antara Syria, Iraq, dan Asia Minor.

Di Mekah, kelompok Ahnaf/Hanif disebut sebagai kaum Sabiin karena kepercayaan yang mereka anut. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi, dia disebut sebagai orang Sabiin oleh masyarakat Mekah karena mereka melihat dia melakukan banyak ritual Sabiin, termasuk sholat lima waktu; melakukan gerakan² sembahyang yang sama dengan orang² Mandaean dan Harranian; dan juga berwudhu sebelum sembahyang. Di Qur’an, Muhammad menyebut orang² Sabiin sebagai “para ahli kitab,” sama seperti orang² Yahudi dan Kristen.

Ramadan adalah upacara pagan yang dilakukan oleh orang² Sabiin, baik Harrania maupun Mandaia. Dari tulisan Abu Zanad, penulis Arab dari Iraq yang hidup sekitar tahun 747 M, kita menyimpulkan setidaknya terdapat satu masyarakat Mandaean yang hidup di Iraq utara yang melakukan upacara Ramadan. [2]

Asal-usul Ramadan bermula dari Ritual Tahunan yang dilakukan di kota Harran.

Persamaan antara Ramadan Harran dan Ramadan Islam.

Meskipun puasa Ramadan sudah dilakukan sebelum jaman Islam oleh orang² pagan Jahiliyah, upcara ini awalnya diperkenalkan di Arabia oleh orang² Harranian. Kota Harran terletak di perbatasan antara Syria dan Iraq, sangat dekat ke Asia Minor, yang sekarang adalah Turki. Dewa utama mereka adalah dewa Bulan, dan sewaktu menyembah bulan, mereka berpuasa besar yang berlangsung selama 30 hari. Puasa ini dimulai di tanggal 8 Maret, dan biasanya selesai di tanggal 8 April. Sejarawan Arab, Ibn Hazm, menyatakan puasa ini sebagai puasa Ramadan. [3]

Ibn al-Nadim menulis dalam bukunya, al-Fahrisit, tentang berbagai sekte agama di Timur Tengah. Dia mengungkapkan, kaum Harrania berpuasa selama 30 hari untuk menyembah dewa Sin, yakni sang bulan. Al-Nadim menjelaskan tentang perayaan yang mereka selenggarakan dan korban² yang dipersembahkan pada sang bulan. [4] Sejarawan lain, Ibn Abi Zinah, juga menjelaskan tentang kaum Harranian, dan mengatakan bahwa mereka puasa selama 30 hari, mereka menghadap Yemen saat sholat lima kali sehari. [5] Kita juga tahu bahwa umat Muslim sholat lima kali sehari. Kaum Harranian puasa sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam, sama seperti yang dilakukan Muslim di bulan Ramadan. [6] Sejarawan lainnya, Ibn al-Juzi, menjelaskan kaum Harranian puasa di bulan ini. Dia berkata mereka mengakhiri puasa dengan memotong hewan kurban dan berzakat bagi kaum miskin. [7] Hal serupa juga dilakukan umat Muslim setelah selesai puasa.

Akar mithologi akan perayaan Harran bagi bulan dijelaskan dengan menghilangnya bulan setelah bergabung dengan kelompok bintang Pleiades, dalam kumpulan bintang Taurus yang muncul di minggu ketiga bulan Maret. Orang² tersebut sembahyang pada sang bulan, memohon agar bulan kembali muncul di kota Harran, tapi bulan menolak kembali. Hal inilah yang membuat mereka lalu berpuasa di bulan itu. Sang bulan tidak berjanji untuk kembali ke Harran, tapi berjanji untuk kembali ke Deyr Kadi, daerah keramat dekat salah satu pintu gerbang kota Harran. Maka setelah satu bulan, para penyembah dewa bulan Sin, pergi ke Deyr Kadi untuk merayakan kemunculan kembali sang bulan. [8] Menurut Ibn al-Nadim, kaum Harranian menyebut perayaan ini sebagai al-Fitri الفطر , yakni nama yang sama bagi perayaan umat Muslim setelah puasa Ramadan. [9] Selain puasa Ramadan, kaum Harranian juga bersholat lima kali sehari. Sebelum sholat, mereka melakukan wudhu. [10] Hal ini pula yang diserap Muhammad ke dalam Islam.

Kebiasaan puasa Ramadan menyebar dari kaum Harranian kepada masyarakat Arabia. Hal ini kemungkinan mulai terjadi setelah Nabonidus, raja Babylonia, menjajah Arabia utara di sekitar tahun 552 SM, sewaktu dia tinggal di kota Teima. Nabonidus berasal dari kota Harran. Dia adalah penyembah fanatik dewa bulan Sin, dan ibunya bahkan pendeta agama Sin. Nabonidus tak sepaham dengan para pendeta Babylonia yang menganggap dewa Marduk sebagai kepala para dewa Babylonia. Nabonidus bertekad menyebarkan kepercayaan bahwa Sin sang dewa bulan adalah kepala para dewa. Karena itulah dia menyuruh putranya mengurus Babylonia dan dia lalu hidup di Teima, Arabia Utara.

Di jaman pra-Islam, Ramadan menjadi ritual Arab pagan dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan, dengan tatacara upacara dan sifat yang sama seperti Ramadan Islam.

Ramadan dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan sebelum jaman Islam. Al-Masudi mengatakan bahwa nama Ramadan berasal dari panasnya udara di bulan tersebut. [11]

Di jaman pra-Islam, Jahiliyah, bangsa pagan Arab telah berpuasa dengan cara yang sama seperti Muslim berpuasa, seperti yang diperintahkan Muhammad. Cara Arab pagan puasa termasuk tidak menelan makanan, minuman, dan tidak melakukan hubungan sexual – sama seperti Islam. Mereka berpuasa dengan berdiam diri, tidak berbicara, baik dalam waktu sehari maupun seminggu, atau lebih lama lagi. [12] Qur’an menunjukkan puasa dengan cara yang sama di Sura 19, ketika Allah memerintahkan perawan Maria berkata dia berpuasa bagi tuhan, yang berarti dia tak bicara dengan siapapun. [13] Kebiasaan bangsa Arab yang bersikap diam saat puasa tampak jelas pengaruhnya dalam Qur’an. Tertulis bahwa Abu Bakr mendekati seorang wanita diantara umat pagan di Medina. Dia mendapatkan wanita itu sedang berpuasa, termasuk puasa bicara. [14] Puasa adalah hal yang serius bagi bangsa Arab, diperkuat dengan aturan resmi yang menetapkan hukuman bagi siapapun yang gagal puasa bicara. Ramadan dalam Islam merupakan kelanjutan dari puasa jenis ini.

Muhammad memasukkan berbagai ritual agama dari dua suku Medina yang mendukungnya menaklukkan bangsa Arab di bawah Islam. Salah satu ritual tersebut adalah Ramadan.

Tampaknya Ramadan dipraktekkan di berbagai kota di Arabia utara di mana Nabonidus, raja Harran dari Babylonia, berkuasa. Salah satu kota yang dikuasainya adalah Yathrib, yang kemudian berganti nama menjadi al-Medina. Muhammad memerintahkan puasa Ramadan, juga ritual sholat menghadap Mekah dan bukannya Yerusalem, setelah dia hijrah ke al-Medina, di mana suku² Arab disitu juga terbiasa sholat menghadap Mekah dan juga berpuasa Ramadan. [15] Muhammad menyesuaikan aturan Islamnya agar sesuai dengan ritual dan kebiasaan agama suku² Aws dan Khazraj, kedua suku Medina yang mendukung Muhammad mengobarkan perang melawan bangsa Arab. Salah satu upacara mereka adalah berkumpul untuk sembahyang di hari Jum’at. Muhammad menetapkan Jum’at sebagai hari Islam.

[1] Ibn Al Nadim, Al-Fahrisit, hal. 348
[2] Abdel Allah ibn Zakwan Abi al-Zanad. Lihat Ibn Qutaybah, op. cit.hal. 204; Dikutip oleh Sinasi Gunduz, The Knowledge of Life, Oxford University, 1994, hal. 25
[3] Ibn Hazm, I, hal. 34; dikutip oleh Sinasi Gunduz, hal. 167-168
[4] Ibn Al-Nadim, Al-Fahrisit, hal. 324-325
[5] Dikutip oleh Rushdi Ilia’n, Al Saebiun Harraniyen Wa Mandaeyn, Bagdad, 1976, hal. 33
[6] Dikutip dari sejarawan Arabia oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[7] Ibn Al Juzi , Talbis Iblis , dipersiapkan oleh M. Ali, Kher, hal. 84; Kutipan oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[8] Dodge, B., The Sabians of Harran, hal. 78
[9] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[10] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[11] Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 213
[12] Jawad Ali, al-Mufassal, vi, hal. 342
[13] al-Allusi, Ruh’ al-Maani 16; hal. 56 ; Tafsir al-Tabari, 16, hal. 56
[14] Qastallani Ahmad ibn Muhammed, Irshad al-Sari, 6: 175; Ibn Hagar, al-Isabah 4:315
[15] Al Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 295

Selasa, 02 Juli 2013

ANA KIDUNG ING ROSO

ANA KIDUNG ING ROSO

Ana Kidung ing Roso ditulis dengan menggunakan tembang Jawa, khususnya tembang Dangdanggula. Ana Kidung ini bermaksud menghilangkan semua kekuatan yang dapat merugikan manusia dan ketentremannya, seperti penyakit, cobaan dan lain sebagainya, khususnya rasa bilahi. Di sini adalah alih aksara naskah lontar Ana Kidung, milik Kristel van der Korst, Loosdrecht.

Alih bahasa: Pangeran Karyonagoro

DANDANGGULA

1. /1a/ Ana kidung, angrasa dina wngi, tan gu / rahayu, aduh ing alara, / luput ing balahi kabéh, ji / m sétan datan purun, pana /1b/ luhan datan awani, aduh i / ng panggawé ala, gni wong alu / put, gni atemahan tirta, / maling anah, tan ana wani ri ka /2a/ mi, guna dudu pan sirna.

2. Sakeh / i lara pan samya ambali, / sawoh i kemat, si puru / n olas, kawelas asih padu /2b/ luné, sakéh i braja luput, ka / di kapuk tibaniréki, sakéh / ing bisa tawar, sawok roda / tatap, kaya’ agung lemah sih, /3a/ sok ing landak, gwa ri mong lemah mi / ring, pekik i puwaning marak. /

3. Pagulingané warak sakang / lwir, kadya ngambah, i segara sat, /3b/ kowasa ngambah pucuké, apan sa / rira ayu, ngingidran sako / héh i widadari, rinak / ing para malaékat, sakatah /4a/ ing rasul, dadya ta sarira tunggal, / nétra Adam, uteku bagi / nda Esis, pngucapé nabi / Musa.

4. Sumsumku Patimah /4b/ kang lénuwih, nabi Yakup, pamya / saningwang, nabi Yusup cahya / ngku mangké, nabi Dawut / swarangku, mwang Suléman kasaktén ma /5a/ mi’, nabi (I)brahim i nyawa, Idri / s i rambut, baginda (A)li ku / litingwang, Abu Bakar, getih / daging marsinggih, balungkuk baginda /5b/ Usman.

5. Siji-sawiji mulana da / di, ta marencah, dadi (i)sini / ng jagat, kang sami ring jasat / reké, sakéh rencana (a)gung, nora wani ma /6a/ rek ing kami, sakéh ingkang rencana, / lan isining wanéku, jim kala / wan blis lanat, nora wani, / saking takdir Alah luwih, brerka /6b/ t nabi rasululah.

6. Sing angidung ana / kidung iki, dénya gati, la / nggeng ma’muliya, aywa miril mu’mi / nin reké, slamet lan rahayu, /7a/ noranana wani marek ing kami, sa / nwéh ikang rencana, pada a / njarit-jerit iku, brakat na / bi Adam mwah, nabi rarul /7b/ Mustapa kang lénuwih, brakat la’ila / ha ilalah.

7. Kuluhu’ gni u / balak-ubalik, séta / n mara, sétan matya, blis /8a/ lanat suminggah reké, sakéh / é kang arungu, kang anurat / kang animpeni, dadi raha / yuning jasat, kinarya sasa /8b/ bur, winacahakening to / ya, kinarya (a)dus, wong / lara tuwak iki, kiner / ya adus wong édan. /9a/

8. Lamun ana wong édan dhurpari, puwa / sanen, sadina sawangya, / i derna jingga lengé, lamun si / ra angluruk, musuhira datan /9b/ wani, lamun sira aprang, wate / k ingkang skul, skurlé tigang pu / lukan, musuhira, rare / p norana wani, rahayu /10a/ kang aprang.

9. Lamun ana wong kabanda / iki, mwang kadenda, lan wong / kabratan ing utang, yu / gya asembahyang reké, wayah /10b/ é tngeh dalu, ping sawola / s winaca aris, ucu / l ikang kabanda, malih kang / binanda iku, agelis si /11a/ ra linuwaran, wong utang / sinahuran déra Yang Widi / , wong agring nulih waras, (éh éh éh éh éh /11b/

10. Sumsumku Patimah kang lénuwih, / kang minangka, rahayuni jasa / t, panguluning rasul ta reké, / sakéhé kang tumuwuh, salira /12a/ né tunggal lan nabi, atéku ya Mu / hammat, pangulun i rasu / l, pinayungan Adam / sowara, samaptané, /12b/ sakatah i pra nabi, mapan / salirané tunggal. /

11. Pupuyun tutugeng /13a/ nong(?) tutub langit, angin barat, / gumlang ing tawang, cinancang ta ké / tang reké, angrajak gunung siyu, / jala sutra ilu mama’, mi /13b/ wah sawéh i braja, mangadang i / suh, anulak panggawé ala, / rara rungga, gumingsir pada a / glis, awor sakéh i wi /14a/ ksa.

12. Alungguh ring luhur kursi, kang atunggu, / sinurak ing tawang, pangalebur lara kabéh, / kusuk-kusuk i luhur, iku ing lang / -lang i langit, miwa sakéh ing braja, ma /14b/ ngadang i musuh, atunggul (l)atri lan syang, ki / na wdi, blis lanat suminggah sami, nora wani kang karencana.

13. Pan / punika i budiniréki, wali Arab, /15a/ sasang kadi mula, kirun sukung tangan reké, / wanak karuntang atunggu, suku kiwa nga / gem gada wesi, anulak rara ru / ngga, satru lawan musuh, pan tineggah /15b/ déni yang, ider-ider, kaluhu’ balan / ubalik, sing ala satruning Alah. /

14. Gunung siyu sanggup palutur iki, sagara / asat, panuruh satruh driyané, mama /16a/ nikan teguh timbul, wawalyan kasakti / yan i nabi, lut senjata lanang, / tantu Mekah iku, betdil tulup / pancar upas, pada putung, jempar i /16b/ nora nginganin, pélor ambal iki Da / hlan.

15. Gunung siyu makapager mami’, / katon murub, sing tumingal / ilang, miwah sang utamé reké, sa /17a/ kwéh i lara lebur, tantu mamah ing awa / k mami’, miwah sakwéh i bra / ja, magadang i musuh, ya ing rah / mat ma’mulya, rahmat jati, /17b/ jumneng basa jasmani, ya rahmat ma’mulya.

16. Abner sang rasu bani, kang adulu, awla / s sadaya, lulut asih sarat kabéh / , mapan nabi ptang puluh, amayungang rahi /18a/ hina wngi, damar nabi wokasan, sapda / nabi Dawut, aptak baginda / Amsyah, sing arungu, ajeri / t-jerit samya wdi, linuruk /18b/ samya sirna.

17. Lamun tan bisa amba sai / ki, ginawyé, dadi simat puni / ka, tguh tibul paparabé, ya / n ginawa alurung, musuhira ta /19a/ n awani, luput panggawé ala, gni wong / ngaluput, musuhira tan uni / nga, pan sinipen, rinaksa / i Yang Widi, teguhé tan pata /19b/ ndingan.

18. Satru musuh kundhur pada wdi, / apawangan, wruh Bétalmukedas / bolak-balik panggawéné, amba / lik kinowang kundhur, rara rungga pada /20a/ gumingsir, kang agring nulih waras, wong / gni luput, nora wani umareka, / saking rahmat, rahayu pakra / tinéki, rahmat patulung Alah. /20b/

19. Sing angidung ana kidung dina wngi, sapa / wruha, reké araningwang, dun disu / n maksi raré, dépun raré / ku, samurti lan ki sabrangti, ngalih a /21a/ ran ping tiga, arta driya téngsun, du / k ingsun angalih aran, yang arta / ti, araningsun tuwa i / ki, sapa wruh araningwang.

20. Sapangu /21b/ wruh kembang tampus siréki, awruh / ingaran, yang arta drarya, tuga / l pancar i samané, sing sapa / wruh puniku, sasat teguh Pager /22a/ Wesi, rinaksa wong sajagat, kang a / kidung iku, lan aluput ing durjan / wngi, tanawani wong cidra (rusak) /22b/

21. Du ana kidung iki, sabran wa (rusak) / nn awani wong cidra, yadyan bisa / tawar bahé, sing amaca arungu, / kang anurat kang animpeni, no /23a/ ra wani kang rencana, sawngi luput, / yan binakta alulunga, ri margané, / sing kapapak pada asih, dadya / n ana wong gila.

22. Milané tan /23b/ kna sanding, gagéndhongan, miwah wawa / rakan, Alah angadangena reké, / krana ta aja wruh, yan awruh pu / nika wdi, saki sagara wétan, /24a/ Alah angadang iku, jujuluk syang tu / gal, tunggal jati, dumeteng / sang yang artati, aran pkur jati / nya.

23. Apaparab soma hari, /24b/ ilaheni, arané duk agesang, wu / s mati kaya arané, duk langgi / h anéng gunung, apaparab wasi / séng jati, ngalih aran ping tiga, /25a/ duk anom matéku, adam jati do / dolan, ing urunan, ngalih aran sri jati, niscaya ake / ning rawa.

24. Segara agung mako /25b/ bumi iki, lagi iku, ni wong sa / buwana, pada asih mawoh kabéh, / sing bisa ngakgé kampuh, ko / wasa ngangambah bumi, singandari bulan, /26a/ pada asih maréngsun, yadin manusya / asih sira, Sang Yang Tunggal, para / ndéné kawolas asih, atma / ni rama ring yang.

25. Sakatahé panem /26b/ bahan puji, kaatura, kang angra / ksa jagat, kang asih i mu’min / kabéh, atuduh marga luhung, kang / adumi i dumi dasih, kang murah a /27a/ néng dunya, nora kang luput, sami sinung / an baksana, tkéng éwan, miwa / h ruma beténg jro bumi, sami sinunga / n baksana.

26. Kang akraya utusan /27b/ kang lénuwih, i sakwéhé, jim lan / manusya, ngangangken kasih reké, no / rananana kadi iku, kasih / ané sakéh i pra nabi, pan /28a/ mulané akerya, dadi ratu iku, da / di swarga lan nraka, tan liyan / saking, sihira mri dutadi, ki / nerya kanyata’an.

27. Sadéréng /28b/ é bumi langit iki, dur puniku, pan / wus ana, lan kayu’ ana reké, a / nginur kang rumuhun, saki takdir A / lah luwih, duk Alah anandika, ma /29a/ ring nur lan kayu’ puniku, lah nur a / sujut dasi (rusak) pada sujut, pi / ng lima asujut iki, iku mu / lané ana salat.

28. Mulané ana /29b/ salatiréki, lima waktu, nur mula / né ika, asujut ping lima re / ké, karané kayu’ puniki, / Sajaratulmuntaha iki, empang /30a/ ipun lilima, anging ta kayu’ puni / ku, norana mawipatra, sajati / né, nur mulané rumuhun, iku kang / dadi panutan.

29. Saking kasaka /30b/ ’ Alah luwih, akeryanen, kakasih / i yang, minangka didi kabéh / gumilang-gilang asruh, anéng u / sul kalam mri rincing, awarna /31a/ kadi lintang, kendil aranipun, / cinantél déning aras, tumé / tésan, tétés dadi roh / ing nabi, ika mulané ana jagat. /31b/

30. Ing aranan yayahiréki, rohira reké, baginda Ada / m, tunggal iku pinakané, ba / ginda Adam ika, ingaranan /32a/ yayahing jisim, mulané ana ba / dan, nyawané kang rumuhun, nur / bwat ring rasullah.

31. Sahira saki / ng Adam siréki, ginentis sira, ing /32b/ rarahinira, kang ingaran awa reké, / mijil saking suta jalu, inga / ranan baginda Sis, nurbwat anéng / Adam, lami-lami tumurun, prapta /33a/ siréng apdhulah.

32. Tamat. né luhu’. nhung / sa’ (motif bunga-bungaan dengan aksara ditulis di tengah-tengah)  hat dawa pukuhul laku yamilat, / wala yumilat, wali yumila / lat masahulahata, wa’ / ngahul sukal (motif bunga-bungaan) /34a/ né raja Ubesi, aran jaya. / bismilahirahmanirahim, / raja Ubesi, bapa’nya aji / namanya Besi, mendadi kentar /34b/ tiping batu ponku asal besi, si / di luwar besi, di dalem besi, / Alah besi Muhammat besi, bla / kangku besi, yén sira mangan /35a/ awak sarirangku besi, saheng ko / sing burungan, kapir jenengi / ra, yén ingsun mangan sira, haram jnengisun, aja sira /35b/ mangan kulitku satampaking apalu, / aja sira mangan dagingku, satampaking kaki, aja sira ma / ngan getihku satampaking /36a/ gurinda, galih aran pamor purasa / ni, maléla waja pada lemes / sakéh i wesi kuning, pada / lemes satampaking apalu /36b/ paron, brakat la’hilaha’hilalah, /37a/ Alah uma dowa tulak bilahi, / rubuh-rabah sandi babah, u / ru umbalah pandhu balah, ku / luhu’ sungsang-sungsang jim sétan /37b/ katulah, raja kanon, raja ku / ning, abulah ramatulah, / Majapahit buta bisu gni / pandhu bala, blis dara sétan mati, /38a/ janma marajan mati, sing jahil satru / ning Alah, kutda brakat do / wa tulak bilahi, brakat la’hi / laha’ilalah brakat Muha /38a/ mmatda rasululah. léyot latét / sang awet, Alah sang Alah sira / jayakrasa, jneng aku Jayakarsa, mapan aku gaduh sangurung-urung Jayakarsa, /39a/ nyarek acacek kaka’ amaté, / woda putih kalala musna i / lang, ayu mneng ratu burung, / sidi mandi mantra sangurung-urung burung /39b/ . mhal mati datu mur kawula / déwa ngéndéng dowé / datu mas panji mapan aku / gaduh sangurung-urung. /40a/ Alah uma dowa tulak bilahi, ru / buh-rabah, rendhib kabalah, uru / umbalah, pak dhurbalah, raja ka / kén raja kuning, raja bumi raja /40a/ langit, raja lahat, majapahit / panulak bilahi. (/41a dan /41b/ kosong) né senjerit tawu se / hér. ugik-ugik-ugik. uwak uwak uwak uwak /42b/ ugik ugik ugik ugik , / ugik ugik ugi / k, uwak uwak uwa / k uwak uwak uwak.


Senin, 01 Juli 2013

KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH

KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH

Konflik Syiah dan Sunni merupakan konflik yang dilandasi motif kekuasaan, bukan motif agama. Persaingan tersebut diwakili oleh rezim keturunan (bani) Umayah dan keturunan (bani) Hasyim berebut kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Namun, dalam rangka melegitimasi dan meraih simpatik, kedua belah pihak menarik konflik politik ke dalam isu agama.



Dengan berbagai rekayasa, diciptakanlah isu-isu peyimpangan pandangan akidah. Kedua belah pihak menganggap keyakinan dan praktik kesyariatan para pendukung yang bersebrangan sebagai keyakinan keliru. Diciptakan isu-isu penyimpangan, seperti kerasulan Imam Ali, para pihak yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, dan lain-lain.



Isu penting yang diangkat oleh kelompok Syiah terkait aliran Sunni adalah perihal legalitas kekuasaan para pendahulunya, seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebagian aliran Syiah menganggap bahwa kekuasaan yang diraih oleh ketiga khalifah tersebut ilegal, karena merebut hak wasiat yang seharusnya diterima oleh Imam Ali.



Kelompok Syiah merupakan kelompok Arab yang menjaid pendukung Imam Ali. Sedangkan, Sunni diindikasikan sebagai kelompok Arab yang mendukung Muawiyah dalam konflik kekuasaan. Ketika Imam Ali berkuasa, pusat kekuasaan dipindahkan ke Bashrah, yang sebelumnya berada di Madinah selama beberapa periode khalifah sebelumnya. Ketika Muawiyah berkuasa, setelah berhasil menggulingkan Hasan bin Ali, ibu kota pemerintahan dipindah ke Damaskus.



Pemindahan ibukota oleh Imam Ali ke Bashrah tidak lepas dari strategis kekuasaan. Basrah merupakan merupakan basis kekuatan Ali, karena sebelumnya dia menjadi gubernur di sana pada masa kekhalifahan Usman. Untuk membangun banteng kekuasaannya, Ali menjadikan Bashrah sebagai tempat menjalankan kekuasaan.



Pemindahan ibukota oleh Muawiyah ke Damaskus juga karena pertimbangan kekuasaan. Sebelumnya, pada masa Usman berkuasa, Muawiyah adalah gubernur Damaskus, yang kekuatannya telah cukup kuat tertanam di sana. Sehingga, ketika kekuasaan puncak (khalifah) ada di tangannya, Damaskus dijadikan sebagai benteng pertahanan kekuasaan.
Isu saling sudutkan antara para pengikut Ali dan Muawiyah tidak lagi pada tataran politik. Terdapat sebagian pengikut Sunni yang menghubungkan legalitas Syiah dengan orangtua Imam Ali, yaitu Abu Thalib. Dalam rangka menyudutkan kaum Syiah, dihembuskanlah isu bahwa Abu Thalib berada dalam kemusyrikannya, tidak menyatakan beriman kepada  kerasulan Muhammad. Diyakini oleh mereka bahwa perlindungan fisik yang diberikan Abu Thalib kepada Muhammad dari gangguan orang-orang Quraisy yang mengingkari kerasulannya lebih dikarenakan sisi kemanusiaan, bukan berhubungan dengan keimanannya.



Diangkatnya isu Abu Thalib sebagai orang yang tidak mengimani kerasulan Muhammad sekadar loncatan untuk membidik keberadaan kelompok Syiah yang berptaron kepada Ali. Target isu ini adalah bahwa bapak kelompok Syiah merupakan orang yang lahir dari orang yang tidak meyakini kebenaran kerasulan Muhammad. Melalui penalaran ini, kesimpulan yang mau diarahkannya adalahpenegasan secara tidak langsung bahwa Syiah berasal dari orang yang leluhurnya bukan orang beriman.



“Pertengkaran teologis” Sunni-Syiah merupakan efek domino dari konflik kekuasaan. Para “penggila kekuasaan” menyeret masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup kepentingan politik. Pertengkaran Sunni-Syiah merupakan pertarungan hampir abadi yang terjadi sepanjang  sejarah umat Islam. Sampai saat ini, pertarungan bekas kekuasaan tersebut menjadi pemicu yang paling mudah meledakkan emosi masyarakat. Sentuhan-sentuhan kecil yang dibalut dengan isu penyeimpangan akidah sangat mudah membakar permusuhan.



Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah bukan didasari pada konflik kekuasaan, melainkan kekeliruan sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai teologi. Selain itu, rezim masa lalu pun memberikan kontribusi dalam munculnyas konflik Sunni-Syiah.
Pada masa Orde Baru, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang berhasil menggulingkan para penguasa otoriter. Para penganut Syiah dianggap sebagai para pengekspor revolusi Iran dan revolusi lainnya yang didalangi kekuatan Syiah.



Sebagai bandingan, dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa pernah terjadi penghukuman mati Syaikh Siti Jenar oleh kekuasaan Demak. Siti Jenar yang berhaluan Syiah, oleh kekuasaan Demak diisukan membawa dan menyebarkan ajaran sesat. Fakta yang sebenarnya adalah bahwa Syaikh Siti Jenar merupakan pemimpin gerakan bawah tanah para pengikut Syiah di Indonesia yang akan mendongkel kekuasaan Demak yang berhaluan Sunni. Alasan sosial yang paling mudah diterima oleh masyarakat untuk melegitimasi tindakan politik kekuasaan Demak ketika itu adalah diangkatnya isu bahwa Syaikh SIti Jenar menganut dan menyebarkan ajaran sesat, yaitu ajaran manunggaling gusti ing insun (Tuhan menyatu dalam diriku).

Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?

Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?

Larangan duduk ngangkang di Lhoksemawe yang dihimbau oleh Walikota Lhoksemawe Suaidi Yahya belum jadi Perda. Sifatnya baru himbauan. Tapi himbauan ini disertai dengan ditangkapnya 35 orang wanita yang dibonceng mengangkang. Apakah orang boleh ditangkap karena tidak mendengarkan himbauan mengenai cara duduk dari seorang Walikota?

Ini berlebihan.

Menurut Suadi, himbauan agar tidak mengangkang itu merupakan implementasi syariat Islam yang tercantum dalam qanun (peraturan daerah) anti-khalwat (mesum) yang berlaku di Aceh. Menurut dia, duduk dan berbusana sudah diatur dalam Islam. Suadi berpendapat perempuan dalam Islam harus sopan dan feminin. “Kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama,” katanya.

Bagaimana dengan Cut Nyak Dhien? Pahlawan Aceh ini, bukan hanya duduk ngangkang saat berkuda. Dia juga tidak berjilbab. Sebagai janda, tinggal di hutan bersama dengan banyak laki-laki yang bukan muhrimnya saat bergerilya. Kalau beliau hidup di jaman sekarang, tentu sudah kena hukum cambuk, karena malam-malam ada di hutan dengan para pria yang bukan muhrimnya. Cut Nyak Dhien sama sekali tidak mencerminkan “kearifan lokal” masyarakat Aceh versi saat ini.

Apakah kemudian gelar kepahlawanan Cut Nyak Dhien layak dicabut, karena beliau bukan wanita seperti dalam pendapat Suaidi Yahya: kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama. Dan tidak sesuai dengan pasal-pasal perda yang dikenakan kepada perempuan Aceh?

Jawabannya ada pada masyarakat Aceh sendiri. Apakah masih mau mengakui Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan yang patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Namun, bangsa Indonesia, bangga memiliki pahlawan bangsa sekaliber Cut Nyak Dhien.

Walikota Lhoksemawe, Suaidi Yahya dan teman-teman wanitanya.

Kajian Karyongoro Dalam Paradigma Ajaran Tassawuf

Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini
adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia
kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan
karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed
Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern
men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini merupakan
kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad
pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama
(Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan,
sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan.
Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu
kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh
beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan
sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.

Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas
itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi
untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam
belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan
ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari
pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil
aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan
aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan
dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang
(ummatan wasathan).

Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga,
yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad
saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun
yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya
pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam
kehidupan spiritual.

Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam
beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu
jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini
paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual
tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi
pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam
tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd
ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.

Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap
penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras
terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad
sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan.
Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang
zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang
kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar
kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika
cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara
pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah
beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah
al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul
organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar
untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa
ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd
al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja,
termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.

Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep
spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah).
Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula
dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf
yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang
menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad
ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar
dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204).

Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat
yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas
lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu
muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w.
561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan
kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke
barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina
dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah
Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf 'Umar al-Suhrawardi,
yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini
ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.

Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap
lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar
al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad
ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir
al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan
tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia
Tenggara. Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat
yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15
direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran
spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat
Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.

Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini
berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat
Bektasyiyyah, yang dikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di
Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah
Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di
Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah
berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan
oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang
muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat
mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat
itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di
kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan
dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).

WALI ke 10 Syeikh Siti Jenar



Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenar, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.

Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.

Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.

Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.

Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.

Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).

Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.

Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)

Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.

Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.

Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun.