Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 51]

Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring.

Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh.

Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang.

Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihada pannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak panah.

“Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo.

“Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut.

“Maksud andika?”

“Kita perlu pasukan berkuda.”

“Kenapa tidak?”

“Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.”

“Bukankah itu soal mudah, Dento?”

“Maksud aki?”

“Taklukan lagi para rampok dan paksa orang-orang kampung, teruta
ma para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…”

“Saya kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.”

“Takutkah andika, Dento?”

“Sama sekali tidak, Ki.”

“Lantas?”

“Tidakkah aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,”
“Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?”

“Tidak,”
Bersambung……….