Selasa, 06 September 2011

> SIti Jenar dan Wali Sanga [Bag 40]

“Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudahmempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya.

“Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris.

“Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram.

“Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya.

“Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat.

“Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam.

Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa.

Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum.

Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam.

“Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus.

“Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.”

“Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan. Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….”

“Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…”

“Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.

“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat.

“Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?”

“Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah.

“Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar.

Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak.

“Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?”

“Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
Bersambung……