Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 46]

Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.”

“Mudah-mudahan,” ujar Sunan Bonang.

“Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.”

“Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”

“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.”

“Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?”

“Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya.

“Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah.

“Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang-bayang dugaan…”

***

Langit mendung, awan hitam bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.

Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar.

Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap.

“Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang.

“Kematian…”

“Maksud, Syekh?”

Bersambung………