Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 77]

“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng.

“Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar.

“Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak.

“Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.” Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak.

“Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat.

“Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syehk Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.

“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya.

“Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang.

“O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya.

“Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak.

“Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.” Syekh Siti Jenar menatap yang menghunus pedang.

“Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar.

“Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….” Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher.

“Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng.

“Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming.

“Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.

Bersambung……