Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 61]

Padepokan Syekh Siti Jenar telah kosong. Tiada ada tanda-tanda manusia apalagi bekas pertarungan. Pohon berdiri tegak dengan daun-daun rimbun, pelataran tak tersentuh sehelai daun kering pun yang terjatuh.

“Hening?” Pangeran Modang memandang setiap sudut, “Aneh? Bukankah rombongan dari Demak tadi di sini?”

Mengitari bangunan yang biasa dijadikan tempat berkumpulnya pengikut Syekh Siti Jenar. Tiada seorang pun, pintunya tertutup rapat.

“Mengapa ini terjadi? Apakah saya berada dalam mimpi ataukah alam nyata?” mencoba menapar pipinya, “Aduhhhh…”

Pangeran Modang mengelus pipinya yang telah memerah kena tampar. Pikirannya berusaha menerjemahkan yang dialaminya. Jari-jemarinya berkali-kali meremas kepala yang tertutup blangkon. Kerut keningnya berlipat tiga.

Setengah menjatuhkan pantatnya duduk di halaman, punggung disandarkan pada pohon damar yang tinggi menjulang. Matanya sekuat tenaga dipejamkan. Pandangan mulai lenyap selain gelap yang menyelimuti.

Berusaha meredakan amarahnya yang terus bergolak, mencari ketenangan dan keheningan jiwa sehening keadaan sekitarnya. Angin sepoi-sepoi pegunungan membuka pori-pori yang terbakar api amarah, masuk merembas mendinginkan.

Dalam keadaan jiwa tenang, alur amarah mulai terkendali. Perlahan keaadaan yang terbakar amarah semakin tenang. Telinga Pangeran Modang mulai mendengar suara-suara yang berbincang. Terompah semakin mendekat, terasa bahu kirinya berada dibawah genggaman tangan yang kuat.

“Dimas, Apa yang telah terjadi?”

Matanya perlahan dibukakan, tertuju pada pemilik suara. Betapa terkejutnya ketika melihat orang yang berdiri disampingnya.

Bersambung…….