Rabu, 19 September 2012

> Beginilah Cara Mengembalikan Ke Jalan Yang Benar


Jika anda bertemu seorang anak yang sedang tersesat di jalan, apakah yang akan anda lakukan?

1. Bertanya: Rumahmu dimana nak?

2. Mengantarkannya pulang ke rumahnya.

Ini adalah prosedur yang paling standard dan wajar. Baik mengantarkannya sendiri, maupun berkoordinasi dengan polisi atau pihak-pihak lain, untuk memulangkan anak tersebut. Apapun langkah yang anda lakukan, bertujuan mengembalikan anak itu kepada keluarganya. Komunitasnya.

Bagaimana jika malah anda bawa ke rumah anda? Ini akan menambah ketersesatan anak tersebut.

Bagaimana jika anak itu tidak mau ikut ke rumah anda? Apakah anda pukuli? Tindakan ini justru melanggar hukum pidana. Penculikan dan Penganiayaan.

Demikian juga dengan orang-orang yang anda anggap sesat. Bagaimana anda mengembalikan mereka dari kesesatan? Apakah dengan memulangkan ke rumah anda? Kepada kepercayaan anda? Apakah anda pukuli jika orang ini tidak mau ikut ke rumah anda? Anda bakar rumah ibadahnya? Anda bakar rumahnya? Anda jarah harta bendanya?

Jadi, siapa sebenarnya yang sesat?

Kamis, 13 September 2012

> WUKU LAN KELAHIRAN

Tiap-tiap wuku mempunyai watak sendiri-sendiri. Watak wuku dapat dipergunakan untuk mengetahui dasar watak bayi lahir :
1. Sinta..dewanya sangyang Yamadipati = wataknya seperti raja dan pendita,  banyak kemauan, keras, cepat bahagia, bakat kaya harta benda. Memanggul tunggul = mudah mendapatkan kesenangan hidup. Kaki belakang direndam dalam air = perintahnya panas didepan dingin belakang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang susah, dan orang minggat.
Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya didepan = memperlihatkan simbul kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : Berada di pertengahan  umur. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau seharga 21 keteng dimasak pindang, membelinya tidak menawar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Tolak bilahi. Candranya : Endra = gemar bertapa brata, angkuh, suka kepada kepanditan. Ketika kala wuku berada ditimu laut, selama 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

2. Landep.dewanya sangyang Mahadewa = bagus rupanya, terang hatinya, gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air  = perintahnya keras didepan dingin dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendajakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya : Atatkembang = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi kesayangan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.

Bahayannya : korobohan pohon. Tangkalnya : Selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus. Lauknya daging rusa dicacah lalu dibakar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Surating raditya = tajam ingatannya, dapat mengerjakan segala pekerjaan, dapat menggrirangkan hati orang lain.

3. Wukir.dewanya sangyang Mahayekti = besar hatinya, menghendaki lebih dari sesama. Tunggalnya : didepan = akhirnya hidup senang. Menghadapi air di jembung besar = baik budi pekertinya. Pohonnya : Nagasari = bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh majikannya. Burungnya : Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat mengerjakan segala pekerjaan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : dianiaya.

Penangkalnya : selamatan nasi uli, beras sepritah dikukus, daging ayam ayam putih dimasak pakai santan dan sayur lima macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya rajukna. Candranya : Gunung artinya jika didekati sulit dan berbahaya jika dilihat dari jauh menyedapkan pemandangan. Ketika kolo wuku berada ditenggara, dalam 7 hari tidak boleh mendatangi tempat kolo.

4. Kurantil.dewanya sangyang Langsur = pemarah. Memanggul tunggal = akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam jimbung besar disebelah kiri = serong hatinya. Pohonnya : Ingas = tak dapat untuk berlindung, karena panas. Burungnya : Salinditan = tangkas. Gedungnya terbalik didepan = murah hati. Bahayanya : jatuh memanjat.

Penangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam lereng dipecal. Selawatnya 7 keteng. Doanya : rajukna dan pina. Candranya : Woh-wohan = tak tentu rejekinya.Ketika kolo wuku berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan tak boleh menggali tanah.

5. Tolu.dapat menyenangkan hati orang lain, kalau marah berbahaya, tak dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya terdapat dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya = sangat indah rupanya, tajam roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian, selamat hatinya. Burungnya : Branjangan = riang tangan, cepat bekerjanya. Gedungnya didepan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya = ditanduk atau disiung.

Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dimasak dengan santan. Selawatnya 3 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Wangkawa = angkuh, tidak tetap, suka bohong.Ketika kolo wuku berada dibarat-laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

6. Gumbreg.dewanya sangyang cakra = keras budinya, segala yang dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kakai sebelah yang didepan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas dibelakang. Pohonnya : beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya tinggi. Burungnya : ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya dikirikan = penyayang, jika marah taka sayang kepada harta bendanya.
Bahayanya : tenggelam atau kejatuhan dalam. Tangkalnya : selametan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam berumbun yang masih muda dan daun-daun 9 macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Rajukna. Candranya : Geter nekger ing wijati = hening pikirannya, perkataannya nyata redhoan.Ketika “kala wuku” berada di Selatan menghadap utara, dalam 7 hari tidak boleh memandang wajah kala.

7. Warigalit, dewanya sangyang asmara = bagus rupanya,senang asmara, cemburuan, hatinya mudah tersentuh, Pohonnya : sulastri = bagus rupanya, banyak yang cinta. Burungnya : kepodong – cemburuan, tak suka berkumpul dengan orang banyak. Bahayanya : tersangkut suatu perkara.

Tangkalnya : selametan nasi urap beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau ranjapan (pembelian bersama-sama), dimasak getjok. Selawatnya 8 keteng. Doanya : tolak bilahi. Candranya : kaju kemladean ngajak sempal = dimana-mana dapat tumbuh. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala

8. Warigagung, dewanya sanghyang mahajekti = berat tanggungannya, berkeinginan. Tunggulnya : dibelakang – rejekinya dibelakang hari. Pohonnya : cemara = rame bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati. Burungnya : betet = keras kemauannya, pandai mencari kehidupan. Gedungnya dua buah dibelakang  dan didepan = ichlasnya hanya setengah. Bahayanya : dimarahi temannya.

Penangkalnya : selamatan nasi uduk bers sepitrah dikukus, lauknya daging bebek dimasak gurih dan daun-daunan 5 macam. Selawatnya 5 keteng. Doanya : rasul. Candranya : Ketug lindu = menepati perkataannya, jika marah menakutkan, tidak mau menerima takdir. Ketika “kala wuku” berada di utara menghadap ke selatan, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.

9. Julungwangi, dewanya sanghyang sambu = tinggi perasaannya, tidak boleh disamai. Mengahadap air dijembung = pradah ikhlasan, akan tetapi harus diperlihatkan harum = dicintai oleh orang banyak. Burungnya kutilang = banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang, dicintai para pembesar.

Bahayanya : diterkam harimau. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam brumbun dan uang suwang (+/- 81 ½ sen). Selawatnya : kucing. Doanya Tolak bilahi. Candranya : kasturi arum angambar = segala kehendaknya belum terjadi telah tersiar banyak yang cinta.

10 Sungsang, dewanya sanghyang gana = pemaranh, gelap hati. Air dijebung didepannya +/- pradah, ikhlasan, harus diperlihatkan pemberiannya, banyak rejekinya. Pohonnya : tanganan = tak suka menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : nori = pemboros, jauh kebahagiaannya, murka. Gedungnya terbalik dibelakang = ikhlasan dengan tidak pakai perhitungan.

Bahayanya : kena besi. Tangkalnya : selamatan nasi megana dan tumpeng betas 2 pitrah, daun-daunan 9 macam dicampur dalam tumpeng. Selawatnya 10 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : sekar wora-wari bang = besar amarahnya, tetapi mudah dicegah. Ketika “kala wuku” berada di timur dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.

11. Galungan, dewanya sangyang Komajaya = teguh hatinya, dapat melegakan hati orang susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor =suka bersedekah, pengasih, namun sedikit rejekinya. Pohonnya : Tanganan  = ringan tangan, keras budinya, gampang suka pada kepunyaan orang lain. Burungnya : Bido = besar nafsunya, murka.
Bahayanya : berselisih.Penangkalnya : selamatan nasi beras sepitrah dikukus, lauknya daging kambing. Doanya : Selamat pina. Candranya : peksi wonten ing luhur = jika mencari hasil dengan menundukkan kepala, sebab gora-goda. Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

12.Kuningan, dewanya sangyang Indra = melebihi sesama, tinggi derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = rupanya sangat indah, sangat puaka, tinggi budinya dan teliti, menghindari keramaian, selamat hatinya. Burungnya : Urang-urangan = cepat bekerjanya, lekas marah, pemalu.

Gedungnya dibelakang, jendelanya tertutup = hemat. Bahayanya = diamuk..Penangkalnya : selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau membelinya beramai-ramai, digoreng. Selawatnya 11 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Garojogan = rame bicaranya, banyak bohong.Ketika kolo wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala

13. Langkir, dewanya sangyang Kala menggigit bahunya sendiri = besar nafsunya, tidak sayang kepada badannya sendiri, yang melihat takut, buruk adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka, banyak larangan. Pohonnya : Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh didekati orang,

Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknyadaging kambing dan ikan dimasak pakai santan, sayuran secukupnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Slametpina. Candranya : Redi gumaludug = bicaranya menakutkan, tetapi tidak mengapa.Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

14. Mandasia,dewanya sangyang Brama, kuat budinya, pemaran, tak mau memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan. Pohonnya : Asam = kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara. Burungnya : Platukbawang = kuat budinya, cepat pekerjaannya, tidak sabaran. Gedungnya terguling didepan = hemat dan banyak rejekinya. Bahayanya : Kena api dan dijahili orang.

Penangkalnya : selamatan nasi merah beras sepitrah dikukus, sayur bayam merah, daging ayam merah dipindang dan bunga setaman yang merah. Selawatnya uang baru 40 keteng. Doanya : Slamat. Candranya : Watu item munggeng papreman lan wreksa gung lebet tancepnya = sabar, tetapi jika marah kejam.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

15. Djulungpujut, dewanya sangyang guretno, = suka kepada keramaian, tersiar baik, mempunyai kedudukan yang lumayan. Menghendaki bukit = besar kemaunnya, tak suka diatasi, menghendaki memerintah. Pohonnya : Rembuknya = indah warnanya, tidak berbau, dimana-mana jadi kunjungan orang.

Burung : Prijohan = besar kemauannya, halus budinya. Bahayanya : diteluhPenangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, daging ayam merah dipanggang, daun- daunan 9 macam. Selawatnya 30 keteng. Doanya : Balasrewu dan Kunut. Candranya : Palwa ing samodra = kesana-kemari mencari nafkah, rejekinya tidak kurang.Ketika kolo wuku, berada di utara dan selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

16. Pahang, dewanya sangyang tantra = perkataannya melebihi sesama, tidak sabaran menepati janji. Jembungnya disebelah kiri dibelakangnya = suka jalan serong. Memanggul senjata tajam = waspada, kasar perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonya : Kendayaan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cocak = gelatak bicaranya. Gedung telentang = boros.

Bahayanya : dianiaya.Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah, lauknya daging ayam dimasak sansan, daun-daunan 11 macem. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Rasul.Candranya : Pulo katinggal saking tebih = tersiar semua tingkah lakunya, lahirnya suci, batinnya kotor, angkuh, selalu susah.Ketika kolo wuku berada di Barat-Laut dalam 7 hari tak boleh mengunjungi tempat kala.

17. Kuruwelut, dewanya sanhyang wisnu : tajam ciptanya, tinggi dan selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul : cakra = tajam hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan besar kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah, akhirnya menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan yang remeh. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, puaka tak dapat dipermudah.

Bahayanya : kena racun daun. Tangkalnya : selamatan bermacam-macam sayuran, jajan pasar, sekar boreh, tindihnya uang lama sebaranDoanya : tawil. Candranya : tirta wening = sedikit bicaranya, suci hatinya, diturut perintahnya, jadi tempat pengungsian. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangitempat kala.

18. Mrakeh, dewanya sangsyang surenggana = tawakal hatinya, agak ingatan, berkesanggupan, berani kepada kesulitan. Tunggulnya membalik = lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak berguna. Tak mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya. Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian. Bahayanya : tenggelam.

Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam mulus dimasak dengan santan dan bermacam-macam ketan. Selawatnya 100 keteng.Doanya : tolak bilahi. Candranya : pandam ageng amerapit = tawakal, mempunyai hati kasihan kepada orang miskin. Ketika “kala wuku” berada di utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

19. Tambir, dewanya sanghyang siwa = lahir dan batinnya terkadang berlainan. Pohonnya : Upas = bukan tempat perlindungan, tajam perkataannya. Burungnya : prenjak = tahu petunjuk gaib, suka membuat perkabaran yang mengherankan, . Gedongnya ditengah = tinggi percaya dirinya  Bahayanya : terkena pasangan. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah diliwet, lauknya daging bebek dan ayam dipindang, kuah merah dan putih dan ketimun 25 buah.

Selawatnya : pisau baja dan jarum satu. Doanya : slamet dina. Candranya : idune lir upas ratjun = dihargai semua perkataannya. Ketika “kala wuku” berada di barat daya, dalam 7 hari tidak boleh mengunjungi tempat kala.

20. Madangkungan, dewanya sanghyang basuki : ahli bicara, tawakal, tetap hatinya. Pohonnya : plasa = hanya jadi perhiasan hutan, tidak ada gunanya. Burungnya : pelug = suka tinggal di air, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya, tawakal, hemat. Bahayanya : dibunuh pada waktu malam. Tangkalnya

Selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam kuning (wiring kuning) dan berumbun, digoreng, jenang merah pada waktu hari kelahirannya. Selawatnya : 5 keteng. Doanya : ngumur. Candranya : umajang kang tetabuhan = menepati perkataan, dan dapat menyenangkan hati orang lain. Ketika “kaa wuku” berada di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala

21. Maktal, dewanya sanghyang sakri = lurus hatinya, baik pekerjaannya. Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah lembut tutur katanya, dicintai oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = liar dan tinggi budinya, banyak tanda-tandanya akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya ditumpangi tunggal = kaya benda dan dihormati. Bahayanya = bertikai.

Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam dan bebek dimasak 2 macam, dipindang dan dimasak dengan santan, niatnya : ngrasul. Selawatnya 4 keteng. Doanya : rasul. Candranya : lesus awor lan pancawara = lebar pemandangannya, dalam pikirannya. Ketika “kala wuku” berada di timur laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala

22. Wuje, dewanya betara kuwera = menggirangkan hati orang lain, perkataannya lurus dan mengherankan, singkat hati, tetapi sebentar baik. Memasang keris terhunus disebelah kaki = waspada dan tajam hatinya. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya, kuat dan tetap hatinya. Burungnya : gogik = cemburuan, tak suka kepada keramaian. Gedungnya terlentang didepan = pengasih.

Bahayanya : diteluh. Tangkalnya : selamatan jajan pasar secukupnya dan bermacam-macam ketan seharga sataksawe (+/- 10 sen). Yang dibeli dahulu madu untuk selanunggal rum arum = peteng hati, sukar dijalani, suka kepada bau harum, besar kehendaknya. Ketika “kala wuku “ berada di barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

23. Manahil, dewanya sangyang Citragatra = menjunjung diri sendiri, dapat berkumpul ditempat ramai, bakat angkuh, selalu bersedia-sedia untuk membela diri. Air dijembung dibelakangnya = Arum perintahnya, akan tetapi tak mempunyai pangkat. Memangku tombak terhunus = waspada dan tajam hatinya.

Pohonnya : Tageron = sedikit faedahnya, liat hatinya. Burungnya : Sepahan = liar budinya, tajam pikirannya. Bahayannya : terkena senjata tajam.Penangkalnya : selamatan nasi liwet beras sepitrah, lauknya daging ayam dan ikan, sayuran secukupnya, sambal gepeng. Selawatnya 8 keteng. Doanya : Selamat tolak bilahi. Candranya : Trenggana abra ing wijit = sabar segala kemauannya, tak suka menganggur, banyak kemauannya.Ketika kala wuku berapa di Tenggara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

24. Prangbakat, dewanya sangyang Bisma = pemarah, tangkas, pemalu, memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi pemimpin orang, lurus pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya. Kakinya kanan direndam dalam air jembung = perintahnya dingin didepan panas dibelakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, tetap pikiranya.

Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya. Bahayanya : memanjat atu karena tingkahnya sendiri. Tangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah, lauknya daging sapi, dimasak bumbu manis, sayuran secukupnya. Selawatnya : pacul. Doanya : aelamat pina. Candranya : wesi trate pulasani = keras hatinya, cepat kerjanya, pemberi, jujur, belas kasihan. Ketika “kala wuku” berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan menggali tanah. 

25. Bala, dewanya batari Durga = suka berbuat huru-hara,membuat berita, jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak ada yang ditakuti, pandai sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati.

Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar, tinggi budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat yang sunyi. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah dilahir. Bahayanya : diteluh dan kena upas.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, sayur 7 macam, panggang ayam hitam. Selawatnya 40 keteng. Doanya : Rajukna : Udan salah mangsa = rejekinya dari jual beli.Ketika kala wuku berada di Barat-Laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

26. Wugu, dewanya sangyang Singajala = banyak akal, lekas mengerti, baik budinya. Pohonya : Wuni sedang berbuah = siapa yang melihat bagaikan mengidam, akan tetapi jika telah makan, sering mencela, banyak rejekinya. Burungnya : Podang = cemburuan, tidak suka berkumpul. Gedungnya tertutup dibelakang = hemat dan pendia. Bahayanya : digigit ular dan disia-sia.

Penangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus dan bermacam-macam ketan, jajan pasar, lauknya daging bebek putih sejodoh dimasak dengan santan. Selawatnya 10 keteng. Doanya: Selamat. Candranya : awang-uwung = baik budinya.Ketika kala wuku berada di sebelah Selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

27. Wayang, dewanya batari Sri = banyak rejekinya, pradah, bakti, teliti, dingin perintahnya dicintai oleh orang banyak. Jembung berisi air didepan dan duduk disitu = sejuk hatinya, sabar, rela hati, akan tetapi harus diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus = perintahnya mudah didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai oleh orang banyak

Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya, berbakat angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi. Bahayanya : kenah tulah dan difitnah.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, daging kambing kendit dimasak macam-macam ketan, ayam dimasak sesukanya, sayuran secukupnya. Selawatnya 40 keteng. Doanya : selamat. Candranya : damar murub, bumi langit = selamat, banyak ilmunya.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh naik.

28. Kulawu, dewanya sangyang Sadana = kuat budinya, besar harapannya. Duduk dijembung berisi air ditepi kolam = sejuk hatinya, dingin perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat dibelakang, kurang pandai. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar harapannya, kuat budinya.

Burungnya : Nori, boros, murka. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : terkena bisa. Penangkalnya : selamatannasi golong beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dan bebek yang berwarna merah, ikan dan daging burung, dimasak sekehendahnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Kabula. Candranya : Bun tumetes ing sendang = ketika kecil miskin, akhirnya besar kebahagiannya, banyak rejekinya.Ketika kala wuku berada di Utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

29. Dukut, dewanya sangyang Sakri = keras hatinya. Menghadapi keris terhunus = waspada, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya berhasrat dipunyainya. Pohonnya : Pandan wangi = kiri tempatnya, dengki, tak boleh didekati. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan tinggi budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi.

Membelakangi gedungnya = hemat dan pendiam. Bahayanya : dimedan perang.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya panggang ayam putih mulus dan ayam brumbun. Selawatnya satakswawe. Doanya : Slamet. Candranya : tunggul asri sesengkeraning nata = bagus rupanya, penakut.Ketika kala wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

30. Watugunung, dewanya sangyang Antaboga dan batari Nagagini. Antaboga = senang tinggal alam untuk bertapa. Nagagini = gemar kepada asamara. Menghendaki janji = suka bertapa ditempat yang sunyi, jika menjadi pendita, mendapat kehormatan, gemar bersemedi, sering bersedih hati. Pohonnya : Wijayakusuma = rupawan, tinggi budinya, tidak suka pada keramaian, terlihat angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburuan. Bilahinya : teraniaya.

Penangkalnya : selamatan beras sepitrah dikukus, lauknya daging binatang yang diburu, binatang berliang, burung, semuanya yang halal, dimasak bermacam-macam jenang, daun-daunan 7 macam. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Mubarak. Candranya : Lintang wulan keraianan = terang hatinya, tetapi tidak bercahaya.Ketika kala wuku berapa di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.

Selasa, 11 September 2012

> RESEP PENGOBATAN HERBAL DHANDHANGGULO

RESEP HELBAL KLINIK DHANDHANGGULO

DIABET

Bahan Ramuan :
21 lembar Daun Dandanggula.
3 buah Jagung dan kulitnya.
3 buah Wortel.
3 lembar Daun Dewa.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½  liter.
- Dibuat 1 kali dala 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Pagi jam 9
Sore menjelang Maghrib.
Malam menjelang tidur.
Apabila :
a.  Mengalami Diare (mencret) diharuskan minum air hangat di tambah dengan gula tapi jangan langsung tidur minimal 1 jam.
b.  Mengalami luka diharuskan makam tape singkong secukupnya 1 hari 2 kali dan ditempel ke bagian yang luka.
Kalau menanak nasi ditambahkan 2 lembar daun pandan dan nasi ditaruh diwakul  banbu serta ditutup dengan daun pisang.
c.  Bila sudah terkena suntika insulin :
10 daun dandanggulo.
3 buah jagung.
3 empu temu lawak.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
Aturan Minum :
Diminum 1 hari 2 kali pada waktu istirahat Siang dan Malam.
Konsumsi tambahan :
1. buah pepaya.
2. buah anggur hitam.
3. pisang kepok.
DIABET KOMPLIKASI
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
21 lembar daun dandanggulo.
17 lembar daun cocor bebek.
3 lembar daun dewa.
12 biji kapulogo.
3 buah sawo mentah.
3 siung bawang putih lanang.
1 genggam jenggot jagung.
1 biji temu lawak sebesar telur ayam.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1Minggu.
Aturan Minum :
jam 7 pagi setelah sarapan.
jam 5 sore.
malam menjelang tidur.
DARAH TINGGI
Bahan Ramuan : 
 

1 ikat akar alang-alang.
11 pohon meniran.
3 buah sawo mentah.
7 lembar daun jambu klutuk / isi.
1 dompol temu lawak.
Cara Meracik :
- Direbus denga 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kali dalam  1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari sesudah makan.
GATAL-GATAL / HERPES
Bahan Ramuan :
17 buah bunga kenanga.
7 lembar daun cocor bebek.
1 butir belerang sebesar biji jagung.
Cara Meracik :
- Direbus / diulek.
- Tambahkan ½ gelas agua kemudian disaring.
- Tambahkan pula 2 sendok madu, tunggu 5 menit baru diminum.
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari, sebelum tidur.
ASAM URAT / KOLESTEROL
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
11 pohon meniran.
1 sendok pulo waras.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.Aturan Minum :
Sewaktu meminum tambahkan 2 sendok madu.
Diminum 3 kali sehari.
KEGEMUKAN / OBESITAS
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
1 genggam teh.
Cara Meracik :
Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.
Aturan Minum :
Diminum menjelang tidur.
Pantangan :
Kurangi minum es.
V E R T I G O
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
7 pohon meniran.
3 butir bawang putih lanang.
5 biji cengkeh.
1 dompol kunir muda.
1 dompol kencur.
3 buah sawo mentah.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari.
POLIP / ALERGI DEBU
Bahan Ramuan :
7 lembar dau selada
3 pupus daun kates / pepaya gantung.
Cara Meracik :
Daun selada dibiarkan mentah.
Pupus daun katen gantung direbus sampai lunak.
Dikonsumsi pagi, sore dan malam selama 1 minggu.
S T R U K
Bahan Ramuan :
3 ikat akar alang-alang.
7 lembar daun apukat.
7 lembar daun sirih temu rose.
7 lembar daun jambu klutuk / isi.
3 buah sawo mentah.
3 dompol kencur.
3 pohon meniran.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum pagi, siang dang malam.
Tambahan :
7 daun selada mentah dikonsumsi setiap makan.
MAAG / ASAM LAMBUNG
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-lang.
1 sendok adas.
1 dompol temu lawak.
1 dompol kunir.
1 gula aren.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.
Aturan Minum :
Diminum setiap jam 4 sore dan jam 4 pagi (waktu subuh).
1 minggu 3 kali.
Untuk pengonsumsi alkohol tinggi :
3 buah pisang kapok merah.
1 botol 7-UP 3 kali sehari selama 1 minggu.
Pantangan :
Selama proses pengobatan dilarang makan bakso.
Kurangi minum paitan.
Tambahan :
Biasakan mengkonsumsi rambak kulit kambing
MAAG AKUT
Bahan Ramuan :
- Singkong.
- Garam secukupnya.
- Madu secukupnya.
Cara Meracik :
Singkong dibakar, lalu setelah masak dibelah, lalu taburi garam dan madu secukupnya, lalu tutup kembali dan setelah itu di panggang. Dan setelah dirasa sudah meresap lalu diangkat dan siap untuk dimakan.
A M B I E N
Bahan Ramuan :
12 lembar daun cocor bebek.
7 lembar daun sirih.
1 batang lidah buaya diambil dalamnya saja.
2 sendok madu.
Cara Meracik :
- Digerus dan setelah itu disaring lalu ditambahkan air hangat.
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.
Aturam Minum :
Diminum pada malam hari 1 kali sehari.
D I P T E R I
Bahan Ramuan :
12 lembar daun cocor bebek.
3 lembar daun sirih temu rose.
Cara Meracik :
- Digerus lalu Tambahkan ½ gelas air aqua.
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
- Sebelum diminum tambahkan 2 sendok madu.
- Diminum 2 kali sehari.
MATA MIN
Bahan Ramuan :
5 buah wortel.
1 buah apel manalagi.
1 dompol kunir muda.
1 buah jeruk nipis diperas.
Cara Meracik :
Dibuat jus.
Aturan Minum :
Diminum 1 hari 2 kali
1 minggu 3 kali
GONDOK DAN AMANDEL
Bahan Ramuan :
1 biji jahe.
2 sendok madu.
1 butir garam sebesar jagung.
Cara Meracik :
- Digerus / diulek.
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari.
Tambahan  :
Untuk penyakit amandel tambahkan 1 biji kunir.
E N C O K
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
1 genggam kumis kucing.
1 buah temu lawak sebesar telur.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadika 1 liter,
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Diminum sebelum tidur, 2 kali sehari.
R H E M A T I K
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
1 dompol jahe.
1 dompol kencur.
1 genggam kumis kucing.
1 genggam keci beling.
1 empu temu lawak.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Diminum 2 kali sehari
- jam 9 pagi, dan jam 9 malam.
INFEKSI PARU-PARU / SESAK NAPAS
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
12 biji kapulogo.
1 empu kunir putih.
1 bungkil suket teki (empole).
2 sendok adas – untuk badan yang kekar / 1 sedok adas untuk badan yang kurus.
12 daun cocor bebek.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
Aturan Minum  :
- pagi setelah bangun tidur.
- sore menjelang maghrib.
- malam sebelum tidur .
Untuk Penanganan Darurat  :
12 lembar daun cocor bebek.
1 batang lidah buaya.
Cara Meracik :
Di jus dengan air mentah (aqua).
Bila kambuh (kumat), segera ambil air hangat dan garam lalu celupkan handuk kedalam air tersebut lalu tempelkan pada punggung penderita.
T H Y P U S
A.  Versi Mentahan :
Bahan Ramuan :
12 lembar daun cocor bebek.
7 lembar daun selada.
1 batang lidah buaya diambil tengahnya.
2 sendok madu.
Cara Meracik :
- Digerus lalu tambahkan 1 gelas aqua lalu disaring.
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Diminum sehari 2 kali.
B.  Versi Godokan (direbus) :
Bahan Ramuan :
17 lembar daun cocor bebek.
1 batang lidah buaya dengan kulitnya.
1 dompol kunir muda.
5 lembar daun sirih temu rose.
2 gula aren (dimasukkan 15 menit sebelum jamu diangkat).
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Pagi jam 9, sore jam 3 dan malam jam 9 sesudah makan.
C.  Versi Hewan :
Bahan Ramuan :
5 ekor cacing tanah keluarkan tanahnya.
7 lembar daun cocok bebek.
3 lembar daun sirih.
½ buah jeruk nipis.
1 dompol kunir muda.
Cara Meracik :
Digerus lalu tambahkan air hangat agak panas 1 gelas lalu disaring, dan sebelum diminum tambahkan 1 sendok madu.
Aturan Minum :
Diminum 1 kali 1Minggu.
Tambahan  :
Bila susah buang air besar makan pisang.
S T E P
A.  Versi Godokan (direbus) :
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
1 dompol kunir muda.
1 buah temu ireng sebesar 2 jari yang masih muda.
2 gula aren (dimasukkan 15 menit sebelum jamu diangkat).
Cara Meracik :
- Direbus dengan 1 liter air dijadikan ½ liter.
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari, pagi seduah makan dan malam sebelum tidur.
B.  Versi Buah :
Bahan Ramuan dan Cara Meracik :
1 buah kelapa hijau yang masih muda di kupas (dibuka) atasnya lalu masukan 2 sendok madu dan perasan kunir yang masih muda. Tunggu 15 menit baru diminum.
Aturan Minum :
Diminum selagi masih hangat.
Larangan  :
Selama dalam penanganan pengobatan si anak dilarang makan HONGKUE.
C.  Penanganan STEP waktu darurat
Lepaskan semua pakaian dan tidurkan dilantai lalu siram dengan air dingin.
D.  Penanganan Dengan Pijat
Pijat telapak kaki bagian tengah dengan minyak tawon atau minyak angina selama 10 menit.
E P I L E P S I
Terapi dengan air dingin dan air hangat :
- siapkan 1 ember air hangat maksimal 15 liter.
- siapkan 1 ember air dingin (es).
Cara  :
- Dibuat mandi yang hangat dulu baru kemudian yang dingin – jangan sampai ada tengangnya.
- Di lakukan diwaktu pagi, sedangkan pada waktu sore pada jam 3.
HERNIA + GINJAL + PROSTAT
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
3 buah lobak.
5 lembar daun puring.
15 biji kapulogo.
1 buah temu lawak sebesar telur.
1 genggam daun kumis kucing.
1 genggam daun keci beling / pecut kuda.
1 sendok pulo waras.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kalai dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
Diminum 1 hari 2 kali.
HERNIA PLUS TAMBAH STAMINA PRIA
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
1 genggam daun kumis kucing.
1 genggam daun keci beling.
1 buah lobak.
1 sendok adas.
2 sendok pulo waras.
3 buah empu temu lawak.
3 buah empu kunir.
3 butir telur ½ matang (diminum sebelum minum jamu).
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Auran Minum  :
Diminum 2 kali sehari.
KEPUTIHAN
Bahan Ramuan :
3 biji bunga mawar merah.
21 biji bunga kenanga hijau.
12 biji bunga melati.
Cara Mecarik :
- Direbus dengan 1½  liter air dijadikan ½ liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
- Yang paling bagus diminum setelah “MENSTRUASI”.
- Diminum 2 kali sehari, pada waktu istirahat siang dan malam menjelang tidur.
Penanganan Darurat  :
Diminum 1 minggu 3 kali pada saat menjelang tidur.
KANKER PAYUDARA
Bahan Ramuan :
1 genggam benalu teh.
13 biji bunga kenanga hijau.
11 biji bunga melati yang belum mekar.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter, direbus mengunakan kemaron.
Aturan Minum :
- Pagi jam 9, sore menjelang maghrib dan malam menjelang tidur.
- Sebelum diminum tambahkan 2 sendok madu pada saat pagi dan malam.
TBC / PARU-PARU
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
1 buah empu kunir putih.
12 lembar daun cocor bebek.
1 sendok jinten ireng.
1 genggam krorot jangkrik.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
Aturan Minum  :
Pagi jam 9, sore jam 3 dan malam menjelang tidur.
Untuk Bobok/di oleskan :
1 sendok minyak wijen.
1 sendok minyak tawon.
1 sendok perasan jahe.
Larangan  :
Jangan makan ikan laut dan makanan yang mengandung santan.
PARU-PARU BOCOR
A.  Versi Godokan (direbus) :
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
3 buah empu kunir putih.
2 buah empu kunir.
12 biji mrica bolong.
21 lembar daun cocor bebek.
5 biji bunga suko warna kuning / merah 7 biji.
9 buah bawang putih lanang.
- Kayu manis secukupnya.
- Gula batu sebesar telur dimasukan 10 menit sebelum jamu di angkat.
Cara Meracik :
Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.
Aturan Minum :
Diminum sebelum tidur.
B.  Versi Mentahan :
Bahan Ramuan :
14 lembar daun cocor bebek.
½ batang lidah buaya.
½ bonggel pisang kepok sebesar telur angsa.
4 sendok madu.
Cara Meracik :
Digerus dan tambahkan 1 gelas air aqua lalu disaring.
Aturan Minum :
1 hari 2 kali.
KELENJAR GETAH BENING
Versi I
Bahan Ramuan :
7 batang tapak dara beserta bunganya.
44 lembar daun sirih temu rose.
1 sendok pulo waras.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 2 liter (harus memakai kendil).
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum  :
1 hari 2 kali.
Versi II
Bahan Ramuan :
3 genggam benalu teh.
3 buah empu kunir putih.
1 sendok adas.
1 sendok pulo waras.
Cara Meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dala 1 bulan.
Aturan Minum  :
Diminum 1 kali sehari.
K I S T A
Bahan Ramuan :
1 genggam benalu teh.
5 biji Bunga Kenangan Hijau.
1 dompol kunir muda.
1 dompol kencur.
3 buah Jambe muda.
5 lembar daun sirih temu rose.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari, pagi jam 9 dan malam menjelang tidur.
STRUK + JANTUNG + DIABET + SEMBELIT TAPI DIARE +
BENGKAK + SUSAH TIDUR.
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
17 lembar daun sirih temurose.
12 buah jambu klutuk.
7 lembar daur apukat.
5 buah sawo mentah.
½ sendok mrica.
1 dompol kencur.
1 dompol jahe.
7 biji cengkeh.
7 buah bawang putih lanang.
7 buah bawang merah.
1 dompol kunir.
1 dompol temu lawak.
1 akar lamtoro dan daunnya.
Cara meracik :
- Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari, pagi, siang dan malam menjelang tidur.
MENGATASI THYPUS DI SERTAI
KEBOCORAN GAS TRITIS
Bahan Ramuan :
1 mangkok kerang kukur.
1 dompol kunir di iris tipis-tipis.
Cara meracik :
- Masukkan kedalam rantang yang tertutup lalu dikasih air sebanyak ½ liter, kemudian dikukus dan setelah masak diambil lendirnya yang menempel didinding rantang lalu campurkan dengan air aqua dan selanjutnya tambahkan 2 sendok madu, lalu diamkan selama 10 menit baru dapat diminum.
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 1 kali sehari.
JANTUNG LEMAH
Bahan Ramuan :
1 iklat akar alang-alang.
5 buah bawang putih lanang.
3 buah bawang merah.
1 dompol kunir.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari.
PENGASAMAN
Bahan Ramuan :
2 iklat akar alang-alang.
1 kunir putih.
3 pohon meniran.
2 genggam jambul jagung.
1 dompol kencur.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari.
PENGASAMAN KELENJAR
Bahan Ramuan :
4 iklat akar alang-alang.
2 buah daun sirih.
7 batang tapak dara.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari.
HEPATITIS
Bahan Ramuan :
2 ikat akar alang-alang.
1 genggam kumis kucing.
15 biji kapulogo.
2 empu temu lawak.
1 sendok pulo waras.
5 lembar daun dewa.
12 lembar daun cocor bebek.
2 genggam jambul jagung.
1 sendok adas.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 1 kali sehari.
Pantangan :
- Dilarang minum telur mentah.
- Hindari makan kacang goreng.
- Hindari makan marning (jagung goreng).
PENGASAMAN URAT SYARAF
KARENA REPRODUKSI ASAM LAMBUNG TINGGI
Bahan Ramuan :
3 iklat akar alang-alang.
12 lembar daun sirih temu rose.
2 dompol kencur.
1 batang kayu manis.
2 buah lobak.
3 buah sawo mentah.
3 lembar daun sawo muda.
2 dompol kunir.
1 dompol temu lawak.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari.
SUSAH KENCING
(Kencing dengan alat bantu Cut Teter)
Bahan Ramuan :
3 genggam kumis kucing.
1 genggam keci beling.
1 genggam jambul jagung.
2 dompol temu lawak.
3 lembar daun dewa.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Sebaiknya diminum pada saat hendak istirahat 1 kali sehari.
MATI SEPAROH
Bahan Ramuan :
2 iklat akar alang-alang.
11 pohon meniran.
21 lembar daun sirih temu rose.
1 sendok pulo waras.
12 biji mrica.
1 dompol kencur.
Cara meracik :
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 2 kali sehari.
PARU-PARU LUKA KARENA BAKTERI
Bahan Ramuan :
1 ikat akar alang-alang.
1 genggam kerokot jangkrik.
1 empu kunir putih.
1 sendok adas.
2 biji kembang suko.
17 lembar daun cocor bebek.
Cara meracik :
- Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.
Aturan Minum :
Diminum 3 kali sehari.
CATATAN :
DALAM MEMBUAT RAMUAN INI AGAR HASILNYA MAKSIMAL DISARAN DALAM MEREBUS RAMUAN HERBAL INI SEMUANNYA MENGGUNAKAN KENDIL/DANDANG YANG TERBUAT DARI BAHAN TANAH LIAT DAN DILARANG MENGGUNAKAN TEMPAT YANG TERBUAT DARI BAHAN LOGAM MISALNYA : ALUMINIUM, SENG, DLL.
UNTUK RAMUAN HERBAL YANG ADA BENALU TEH, TEMPAT UNTUK MEREBUS DIMOHON JANGAN DIGUNAKAN UNTUK MEREBUS RAMUAN HERBAL LAINNYA (KHUSUS).

> SERAT SURYANGALAM


Dalam naskah Serat Suryangalam dikisahkan bahwa Sultan Suryangalam di keraton Aripullah yaitu negeri yang bernama Adilullah, diceritakan bahwa Prabu Riri Jagad dari Ngatasangin membentuk badan yudikatif dengan menerapkan hukum Allah yang berdasarkan keadilan, kejujuran dan kebenaran, yang kewanangannya dilimpahkan kepada jaksa untuk menangani perkara-perkara hukum berdasarkan hukum dan syariat  Islam sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dalam Serat Suryangalam terdapat aturan atau Unang-undang yang mengatur mengenai lembaga peradilan dengan menyebutkan aturan perkara di pengadilan, tugas, syarat wewenang dan larangan-larang bagi jaksa dan hakim, prosedur peradilan dan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa. Antara lain syarat-syarat sebagai saksi (waria tidak boleh menjadi saksi, bukan saudara dan saksi-saksi yang ragu dan lain-lain) bahkan dalam aturan atau Undang-undang disebutkan bahwa saksi dan penuntut yang berdusta dikenai sanksi. Tidak hannya itu pihak-pihak yang terkait dengan perkara (penggugat, tergugat, terdakwa dan saksi apabila tidak hadir diperadilan tanpa alas an yang jelas (membangkang) dikenai sanksi berupa denda uang.

Sebuah perkara dapat diproses dipengadilan apabila telah memenuhi 30 ketentuan. Antara lain adanya saksi yang memenuhi syarat, adanya bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, adanya unsure yang merugikan orang lain, semisal merusak, mencuri,  membunuh ataupun melukai orang lain, sengketa jual-beli yang memiliki bukti tertulis serta saksi dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dipersilahkan kepada sutrisna budaya Jawa untuk membaca naskah Serat Suryangalam dibawah ini :

@@@

SERAT SURYANGALAM

/1/  : Bismillahirrahmanirrakhim:

 Punika  Sultan  Suryangalam.  angêndika marang jêksané wong kêkalih, manawa ana wong apadu, dèn tarka angambil maésaa méndaa kapala, sapia,  utawa panarkané dèndol pisan, ujaré kang narka, utawa ujaré kang dèn tarka, boya ngambil    manira ménda  manira dhéwé. manira wandé. yèn têka ing pamicaran sira kalahna paduné. yèn ora utara lan sawêwêngkoné lan sakiwa têngêné ora  manjing pan ukum    Allah , sira kalahna adêgan, yèn si utara lan sawêwêngkoné sakiwa têngêné sira aji ngêna ing agama, iya iku wêwêkas ingsun maring sira, lan sira jumênêng   jaksa aja kaburu dhêmên, aja kaburu gêthing, lan aja mélik-mélik ing donya. lan sira angrasaa lara lan pati, iya iku wêwêkas ingsun marang sira poma-poma.

Punika ana jalma mati tinaton  mangka dêndhané sakêthi limang lêksa, dèn prapata kang kanggonan, anyakêthi, sajawining prapat alimang lêksa ,  lêt lêlurung angalih lêksa limangèwu, lêt sawah lêt kêbon angalihwêlaséwu sawêwêngkoné patingginé  lêt alas, kêni pangara sak patangéwu, wontên déné yèn sidhêm pêpati,  iku kajaba tigang / 2/   dintên, kalêbêting sidhêm, dêndhané tigang yuta, sanadyan ing umaha ing alasa, ing tapêl watêsa ginarayangan ing karta basa.

Punika katampaning sidhêm pagarayangan tan kawruhan kang duwé bumi kari bêbalung kawruhan déning wong liyan tujah wêlah wong désa iku anglimang lêksa wong sijiné, anané  sidhêm pramanêm. dhêndhané anyakêthi wong sijiné lamona wêwarah agêndhongan atitir apisaid kadêdêg ngêmban patra pralaya, anglikur rajuna cakrapati, ina pralayah, aprang payahan nilat karaa mutung pasangan anambung watang bubukên pacaprakopa tan juk mawacana apacarêksi, adiyu rêksa, surya candra, miruda wêcana, ati risak saupaya, ing sabda maéca pramana. Pisèrèn pisaid, sêrêgané, pangasiné tarkané saksiné, tuturé, kêndêlé, kawalé, sêsandhané.

Punika kang kalampahing Mataram liré undhang-undhang. wontên wong mêtêng kanggénan tanapi ingkang angruntuhakên dêndhané limang lêksa sarta  dinêdêg déning palampah. Jênêngé    triyogya sêksi tiga wêlas kênya liring sastra bumi, duka wardaya candragêni mayauning lara, trisona, wida mêsthi wartigna, sawah artanya nyuda sabumi, prara kang/ 3/ toya, têgêsé kang rêradin manisapé lan ujar damar kang bêcik anawang karya wantah, lwirna anatoni utawa dènsuduki maling dadi lan cina bukti lari. Têgêsé    ana wong ngaku sinuduk maling,  agêndhongana titir kadêdêg déné bumi désa salah sajroning   dêdêgan titir  kadêdêg déning bumi désa. ujaré anuduk maling tandhané kêmalingan cina bukti lari kasaidan, déning bumi désa iku loké kêni maling, têkèk mati déning uloné, atitir dhingin dadi maling.

Yèn ana wong katumbakan   sabêt sapaning   wong liyan têtkala ing wêngi tanpa cina tanpa bukti. maling dudu maling rabiné tan wênang pinaradhah. Yèn ana gugaté jumênêng  anggaskara arané linampahakên ulat liring, cècèl kulit  bêlah daging nugêlakên otot dêndhané nugêlakên bau balung saluhur sêdaya. Yèn mati kasukana pangilèn ing wong.

Yèn  ana wong anumbak maling tatkala ing wêngi sajroning  élok. ana titir kadêdêg déning bumi désa salêbêté  sinuduk maling kari-kari kang anumbak maling atitir, anênitik panitiké sarta bumi désa lariné, malêbêt ing wismanipun. nuntên titir dhingin. iku kalah cina bukti pramana, iku rupané / 4/ maling, ginarayangan lungguhing  durjana, ana wong gawa gunting narajang barêng liwat palêgungan iya durjana dudu durjana déning ora manjing kisas pandhita apangulu amantria ana kang wruh kala pamêté duwèké wong iku lah durjana uga manjing kisas ginarayangan karoné kang narka lan kang dèntarka êndi kang bisa ujar roro, iku têgêsé abangun wêcana anuda wêcana, kalahna paduné, dènrowangi dènasaput pamalingipun, ginarayangan karta basa. Iya dyan mantria pandhitaa yèn watêk saba pasar, titané anggaskaroné êndi kang akèh cacadé kalahna paduné wong ngayawara arané, lir kirang pangrasa tan wênang rinasan paduné ing  pradatané, winastan aprang paya. anyalawadi, têgêsé winangkara abot prabéyané aprang paya, tan wiyosi karta, anyalawadi owah ujaré wênang kalahna paduné, tan pangucap muwah banjar ing abanjar  kang alèh maling ginanjar, kang darbé wong mêmaling dhinêndhaa.

Ana wong liwat ing banjar, tatkalaning wêngi sinapa sapisan pindho jangkêping têlu yèn ora sumaur, iya padha kalawan maling. Yèn ana wong manpêling lawang pagêr liwa-/ 5/ t mangsané pinandhakakên maling.

Punika andhih – andhihan  têrka kandhih  déning patra kadhih déning sêksi kandhih  déning bukti, bukti kandhih   déning pramana, pramana kandhih déning ububaya, ubaya kandhih  déning utara, utara kandhih déning nyata. Punika tatrapaning dhêndha utara. Traping dêndha dhatêng mantri bupati  lêlurah bêbêkêl patinggi  kang darbé mélik kang dènsidhêm salokané anayarêsmi. abau sawiwi akirang wisa tatrapan dhêndha nistha raja utama. Bupati ubal mantri, ubal lêlurah bêbêkêl pikukuh ing désa. kang pramana ing dhustha sami lêlurahé punika lakuning sastra.

Gêrah Bismilah,

Punika wontên ratu ing Atasangin, jumênêng    ing adil Allah , bisikané  ratu Sang Prabu ing Suryangalam, Sultaningarip, ratu puniku nyaritakakên pêpakêming aksara, kang rinêksa déné sang prabu padhangé aksara, déné padu sèwu limangatus. pêpitu pêpakêmé pamêgat padu satus patang puluh papat. Ratu iku nyata yèn amadhangi ing balané dadi wêdhar budiné mantêb ubayané ing  piyambêkira, tan gingsir pangandikané sanadyan kulit dagingé. Yèn ala angalapana tangan ki-/ 6/ wa ala dursila kang têngên trapêna. tangan têngên dursila,    kang kiwa tanrapêna, kang dènlinggihi adilolah bêlaka ora amicara èlaning nagara muwah rusaking nagara. tan kéni bêcika dhéwé. wiyosé dèn  jumênêng  adilolah  anrapi sabênêré ingadilalah.

Punika prabaning jaksa, yèn sampun nyata sampun nyata aksara tigang prakara, iku kang ingaran jêksa kang ana sadurungé ngucap. ikilah aksaran déwan, yèn  kabênêr   pangangsiné kang apadu karoné tanapi yèn ora padhang nggoné apadu wong pêdhotên poking ilaté. Jajênêng  yèn tan kangdi pratula. Supitên wêsi  abang cangkêmé pinêrung kupingé karo panglakuné yèn ora bênêr  dènya  anglakoni anênulisi tugêlên tangané karo colokên matané karo yèn ora tinrap paukumé binuwang têka nêgara winatêsakên, yèn Sang Prabu angéman ing balané. yèn gênêp sêtaun Sang Ratu wênang animbalana malih déné ora anglakokakên saujaring pêpakêm. angowahi sabdaning pangéran. kang tinimbalakên ing Rosululah Salalahu Ngalaihi Wasalam.

/7/  Wiyosé jumênêng kang kalih prakara, agama dirgama kang  tinurunakên ing pabuka bumi kalih prakara, pangrasaku. yèn  tan bênêr anrapakên saujaré sastra. mangka lélérongana laré ina ing pasar. yèn ana kang mêmadhani padu pradatané tan bênêr sapangucap mangka trapné saajining jaksa, wiyosé jêksa iku. sira ing mantra patih, maliwaraning patang prakara, pangulu jaksa, pêpatih pêpancugal sawujudé déné sami alêsukoma dèn wruhi nayakané jalma, sira iku    paliwaraning pangucap-pangucap iku paliwaraning paningal tingali kumaka  wéhné pati iku magawéyané ngurip, urip iku panggawéné sukma, sukma iku tan  pituduhan. iku kawruhana têgêsé suara iku. ulihné kang duwé rupa. landhêsé kêna ing goné sêpi lan mê-/ 8/ nêng dèn prasipta parérénan, kang wangsit punika isi jagat, kang dèncaritakakên déning titi jagat, lungguhé tri rasa upaya kang tan kêna pinisah tinunggal . têgêsé tri têtêlu rasa sawiji pênêré dadi nênêm. dhingin paréntah, pindho ukumalah kang dèngawé pangilon. dirgama ing ukumalahi kang dèn gawé pangilon. ikilah tugêlé rasa tri rasa upaya paréntah padu pradata. iku ora kêna winor pan awasêna dènawas. aja tinggal karêpé sastra aja gagah pangawasé dwaséna lungguhé.

Yèn kalêbu sanga prakara, paréntah kang aduwé gêgadhangan. yèn kalêbu ing dasa wiguna padu pradata kang duwé gêgadhangan punika sira ing paréntah kalêbêt gunturani lagu tur guntur bèna kang lumrahi nagara kalêbêt kasêrat paréntahing ratu. asalin ratu asalin paréntah wilaga paksi wong sabrang kang ajawa. pangucapé iku tan wênang padu pradatané kaya kang dènarani êmaliku, kawruhana lan basa êmal.

Punika / 9/ têgêsé ing êmal patang prakara kang sinérênakên maring sang prabu tigang prakara. rinasanan ing pradata, banyu bumi, uwong, langit. Mulané banyu dènarani êmal, déning alah anduwékakên bumi arané dènarani êmal. Déning Alah angêrsakakên nanêm biji manusa karané dèn arani êmal. déning Alah tangala angêrsakakên anyatakakên manusa kabèh. langit karané dènarani êmal. déning alah anyatakakên srêngéngé, lan lintang lan sasirina lan wêngi.

Têgêsé êmal kang kumêré bab kumarining. marang kirna kang rupa brimamas lungguhé tigang prakara. iku wruhana dèn awas. punika têgêsé si sapa anêkakakên ing ukum  Alah , sing barang pakartiné ora wênang tinut pakartiné, kaping kalih sing sapa abênakakên paréntah kêrta, tan wênang minuswa padu pradatané bêkta kalahna adêgan. Punika sira ning pangukaya wakarya, buwawahan tuwawa witana tan witana têgêsé kirya-wikarya têgêsé iku paduné upahakên. / 10/ wus opahé tuwawan juwawa iku paduné wong anênitik, witana tan witana paduné wong adola pakuwis picisé angrasa durung picisé.

Utawi sarat kang wajib kisas iku roro, sawiji arêp ana kang dènpatèni iku mupakat, tangan padha tangan, lan kiwa pada kiwa, lan kaping pindho iku arêpa anggota kang dèntatoni, mupakat pada waras, mangka ora dèn tugêl tangané kang têngên sêbab anatoni tangan kiwa, lan ora tinugêl tangan waras sêbab natoné tangan jèmpè utawi sakèhé anggota kang tinugêl saking adon-adon kaya sikut lan pagêlangané iku kisas ukumé, lan liyané iku mangka ora na kisas.

Punika sira ing padu pradata sinabêt tilari. satmata pramana êlos. ikralé dhéwé  kang tanpa sêksi. iku sira kawruhana dadi jumênêng êmbanani sosot.  kang minangka sêsocané jagat. iku sang ratu tan duwé kêkalih kang minangka êmbanan. pangulu jêksa pêpatih rêrangkêpé nagara. kang angrêksa praja. panyarikan paliwaraké bayan wong tindak ajingêmban. Wong arégol kang wicaksana, amriha    kartaning praja, muwah dustha sarana iku inguwohakên tandha  kabayan kajinêman. wong régol kang wicaksana, lungguhé jalma kang artakakên nagara. iku kang prara kang karta jênêngé  padha wicaksana.

Punika pituturé Sang Ratu Ngatasangin, bisikané Prabuné Jêksa Wirapêksa, Patrakèlasa, Jêksa Pramana, Jêksa Miraya. têgêsé Wirapêksa amirantining wong apadu angiloni kang akèh rurubané. têgêsé Jaksa Pratakilasa kang tu-/ 11/ ngggal sêsolahne bawane lan kang apadu. têgêsé Jaksa Pramana kang anglakokakên saujaré sastrané ora angurangi ora angluwihi. têgêsé Jêksa Amijaya kang owahi  donya kang bênêr   saujaré  sastrané kang apatut lan ukum Allah.

Punika sêsukêré nêgara kang rumêksa kathahé patang prakara sing sapa angrusak sesamané tapa karma dhêndhané yèn ana duwé  ilang dèn têmpuh putung. basané ing umbul-umbul. lêlurah bêbêkêl yèn arusak sêsamané tan pakrama dhêndhané kamaya wong siji. Yèn ana duwèning wong kang ilang têmpuhna triguna. Yèning pati kang wasaya dhêndhané sanagara, bupati kalungakên sangang taun sangking prajané.

Punika sabênêré wong rêbut sabêt  watês ki padha tuwuh padu padha kakitarêbut banyu rata, tarêbut sêsaba kang silêm kita rawal, rêbut sabalané kari ki pramana karêbut sabalané kang kodén rinasan  déning jaksané. Maniking jaksa kitukawayang paliwara kipantês ki-/ 12/ nêmbalan wêwalêr pinakra kêna ing pagarayangan. ing kutha ranampa sinalisik papaté lan sastra iku mêksah narka kang rinusak sêsandhan paréntah. kêna ing pramana, karang kirna pagêr antara tinajuk kramanya dèn kêmêt pariksané ing désa sapanglangkoné uga kramanya agama iku angalahakên sakaliré prakara, padu pradata, agama iku kalah déning nyomana, atiné bomana iku pramana.

Yèn karang kirna kalahing gama, déning nyata pramana aranya têgêsé nyata pramana iku kang nandur kang ngalahakên ing purusa kèh déning nyata, déning jagat dadi pêtêng pagarayangan sangang prakara iku taksih tarka.

Jênêngé kang aran tarka déné ulaté nyata pramana, nyatané tarka déning pramané kang anarka karané kang tinarka ora nyata déning tarkané ora pramana. nyatané tarka déning pramanané iku kawruhana dèn awas, lungguhing tarka kang manjing lan kang ora.

Punika ênggoné ngawaskên sadasa prakara / 13/ sêpisan pisêsêrêné, kaping saidé, kaping tiga sarêgané, kaping sêkawan pangangsiné, kaping gangsal tarkané,  kaping nêm sasiné, kaping pitu tuturé, kaping wolu kêndêlé, kaping sanga kawalé, kaping sadasa sasandhané, ika dèn agêmêt pariksanika. titénana dèn  agêmêt, karêpé sastranira aja tinggal karêping sastra. luguné tarka iku yèn têrus sêksiné kawalé sêsandhané. tuturé tarkané yèna sawala saênggoné kalih pisaidé, tanda dadia satêrkané, têgêsé sêrêgané lan pisaidé sawala kalih sêksining tandha diyasa tarkané saliring padi pradata, atanapia sawala, sapadu pradatané sayogya trapné ing dhêndha, asunga pakantuk sapangarsa.

Punika têgêsé apacabakah, ana ta wong wadon sawiji arané nora aniti tarkani tarna kalawan ing sona, kang narka wong sêkawan. panarkané barêng sadina papat iku, dènya ta wong papat iku tarkané béda-béda tan dadia  manarkané patènana kang narka iku, yèn ora pinatèn dinêndha trapna.

Punika karané wong parèntah kalih prakara, kang rumiyin parè-/14/ ntah kapindho   pêparèntah. têgêsé parèntah purusa lungguhé tigang prakara déning dhingin ratu, kaping kalih papatih, kaping tiga mungsuh iku angrusak êmal. walat sajênêngé yugya trapné dhêndha dasanara. puniku kawruhana wong pêparéntah aja kaburu sêngit aja kaburu ing dhêmên.

Punika pamêgat padu pradata tigang dasa prakara kang katindak tiga kang wêning angrusak amal. Kalih prakara dhingin ratu angandika lèh mungsuh lan pêpatih ing mal karusakakên angalahakên amêcah bumi angalih araning uwong anglaraa lungguhé yèn saparéntah ya mur amékana, tinarka durjana angambat wong kangadu dadi durjana. Pangambaté boya dadi kalih kudhang ciri. anuwuhi sastrané, sajabané titi ping tiga anambuk pugung. Têgêsé amêpang mêrang nyata, dorané dhéwé, sing sakawan putung pamatangé artiné sajroning nirêgol malayu tinggal gusti utawa mungsiliyan, gangsal prakara kalêbêt tinarka prana artiné wong arêp mêmatèni damaré mungsuhé, wolung prakara kalêbêti mangsa damar inatarik artiné jênêngé dènlungguhakên ing tuturé, sangang  prakarané kalêbêting /15/ bêkawêrona artiné pangucapé ora mêtu têka gustiné, mêtu têka wong agung liyan, sadasa prakara kalêbêt inapralaga artiné ana dêdalan anyêkêlan tur ta kang duwé bumi ora gèndhong ora titir, kalih wêlas prakara maring ayunaning tarka. tiga wêlas prakara kalêbêting tosan nukma pramona artiné wong mênang paduné pramana antuk piyagêm, pamênang yèn wus katapan, déné karasané kang  mênang ora ana rupané, malah kang watang ora wênang. balèkêna maring kang katên wênang sungana sarèngat tan wênang katura Sang Prabu Yogya tubaséna  dadanan tratêg muwah dados, patbêlas prakara kalêbêting sêksi rumêmbé artiné sêksi amung sawiji tinakènan kang wêruh wong nênêm, limalas prakara kalêbêt angêmban patra artiné ora titi pocapané, kaping nêmbêlas prakara kalêbêt anglikur  raja, artiné angungsèkakên pangucapé maring wong agung, kaping pitulas prakara kalêbêt cakrapati artiné angkuhing utang-utangan wong prasanak ing wong.ping wolulas prakara kalêbêting /16/ ina pralaya  artiné sêsandhan wong mati. sangalas prakara kalêbêta prang paya artiné gingsir ubayané, kalih dasa prakara kalêbêta mutung rakitan wêwarah, kalih likur prakara kalêbêt anambung watang bubukên artiné sawusé angiring patang wêwiyosan datan miyosi, pat likur prakara kalêbêting paca prakomah artiné daksura pangucapé solahé, salawé prakara kalêbêt anukma wêcana artiné asring anyarong jêksa, nêmlikur prakara artiné kalêbêting panca rêsi artiné manca lilima rêksi wêwolu ora nyata tulisé wulan rupané, pitulikur prakara kalêbêting suryacandra miruda wêcana artiné srangéngé lan bulan iku padha tulisé sarupané agingsir iku pangucapé, sangalikur prakara kalêbêting trirasa upaya artiné sajroning padu apring wêwèhing jaksa /17/ tigang dasa prakara kalêbêting sêbda maécaprana artiné agoroh panyéradi pangucapé déwé, sakathahé padu pradata yèn kalêbêt tigang dasa prakara kalahna paduné.

Punika pamêgat padu pradata wolung prakara kang dhingin  kalêbêting  gupita abêkmana pramana  artiné wong siji dèngawé kawal ora dènwêtokakên déné kang duwé sêsandhangan, kaping kalih kalêbêt tiban prakopa anukma lampah tanjuhing wisa artiné sêksiné sêsandhan sampun kalakon déné panglampah jênêngé kang arêrasan. Tan aduwé pocapan sêksi sakawal sêsandhan iku jaksa anêluhi kang padu êndi kang pêlingé kalahan paduné, kaping tiga kalêbêt wilutorah artiné saksiné kawalé sêsandhané ora kaya ujaré kang duwé sêsandhan, kaping pat kalêbêt tibaning gêsêngé aji pangucapé kang dadi apus, kang dèniloni nupatani wêruh kang dènilona kalahna paduné kaping lima kalêbêta ngadhang tarka dènilona kalahna paduné, kaping lima kalêbêta ngadhang tarka  artiné tarkané kaya kombang sataman, dèn jajahi kaping nêm kalêbêt angala gaman daya /18/ artiné ana sêsandhan wong ora pramana kalahan apaduné, kaping  pitu anyalawadi artiné analèni layang ubênga  anduwé layang kalahné paduné,  kaping wolu kalêbêta ga pita sabda pralaya artiné wong said anêrêg ing naid sarta  anêrêg kang duwé êmal sarta kang duwé dhawa   nanging kaloka baradhan déné   dudu kawruhé dhawa kalahna paduné.

Punika pamêgat padu limang prakara, kang dhingin pratélané ping kalih pinêgating tutur, kaping titigating sasi, kaping pat pinêgating kawal, kaping lima pinêgating paliwara, ginarayangan limang prakara, kang dhingin trataping, kalih titi, kaping tiga karta, kaping sakawan dupara, kaping lima sengara, têgêsé titi padhang laku satidak, têgêsé karta pinajangan tarka, têgêsé  dopara goroh, têgêsé  sênggraha wong corah.

Punika prakara wong katitipan, têgêsé duwèking wong kang ora katêmpuhan kang kalêbêt apaca sadaran lirnya kagunturan gunung, kanêban kobongan kalajoki mungsuh paréntahing ratu.

Punika gêgêdhêging nagara kang winarna ka-/19/ bèh dhustha iku têka gêthinging nagara. sing adudu iku gêgêthingi sato alas krami iku gêgêthingi sarira warêké iku gêgêthinging banyu, tingkah iku gêgêthinging manuk kabèh, iku kawruhana dènawas, pan sêsukêring nagara. Iku waspada kêna, pariksanira dèn  astiti aja sira mêliking donya. angrasa ala pati ora wondéné pinanggih.

Punika saloka patang  prakara, kariyin miruda wêcana angrêksa sêbda  pranglaya, artiné saksi iya kawalé sêsandhané. yèn ana mêngkono ing karoné sapocapané tanpa dadia kalih prakarané dhêndha matanggal sapisan kapurnaman. Sêpi boya warané pisaidé sêrêgané tarkané tan wênang dinawan tarkané. Kaping tigang prakarané angêmu wadi têgêsé kawal sêsandhané muwuhi pangucaping saksi anupêtakêning jaksa jêjênêngé panglaku. Patang prakara ana damar padhang bulan, aluhan déning lintang-lintang artiné wong kang narka lan kang dèn tarka asanggup olèh tulising bumi muwah tulisé kawalé. yèn têka kawalé ora dèn têmokakên, muwah dènsingidakên, punika kalah paduné lan antuk sapangara-/20/ hé dhêndha dêlêm.

Punika tatrapan ing pradata, saliring tarka yèn sisipan nêrkané asunga pakantuk sapangarané dhêndha dalêm. Yèn si manjing satarkané kalah kang dèn tarkané dhêndha pangêlua trapêna, punika sêksi kang wênang pinétung prakara dèn sami maspadakêna kang angrasani adil. Kang kariyin sami awarasan aprayayi kangalusur samaté jakêtib modin. Drasa sulêksana patrikarêkah kang wicêksana durni malêm. Bênêmantri kalari déning ing ratu sawarniné kang kanggo, duwé kêkasih jêksa jugêm, pandhita ginuroh déning ratu supaya kêning agêlarakên ujar kang abêcik, sapocapané tan gingsir pamaséké déning dahwé, sugih kang wandé takén duwéné iku kawruhana aja sira uwong ukumé padha sêksi.

Punika anggèné angulati bukti saliring bukti kang aran rupané bukti, kang tan ana wujudé pangucapé ingkang narka lan kang dèn tarka. Iya iku bukti kang marupa, têgêsé ing gonangin anonpucuking ring nyataning angin, iku godhong kayu artiné anggon pucuking patêmoning rêrasan, artiné dora lêksana bana iya ujaré déwé.

Punika wêlat upaya tigang prakara kang dhingi-/ 21/ n rêbut bumi nyarok watês angambil gêgamané kudhi kêrisé kalih prakara wêlat upaya, karang bukti artiné, gawa wong akéh, kagêndhongan katitiran katon tinaton padha jayanya sayogya kalahna déning pacaptrapna ing dhêndha nisjaraja utama, lulurah, bêbêkêl kaliwon, wong jaja, punika nasmakilah dasa prakara anyalawadi artiné  sajak kèndêla yèn sawalan tuturé, akaryadési artiné asanggup wêruh ora waspada, anirpaksai artiné wêruh ariku sanggup ora wêruh, aninyuktiyarané artiné pêtêng  sapangarahé, angadhawa artiné ana ora dèn cacêb dékêning umahé toya martah  artiné sajroning tinarka anyingidakên bawasabda artiné sêksiné dèn wor ujar dhêmit mang   itung rahartiné sêksiné sakawalé sêsandhané ora kaya mangucapé kalih kang duwé sêksi, rékapan daya artiné katêmbu agugunêman lan sêsandhané, angèla pandaya artiné gawé sêsandhan  wong ora karuwan lumahé, abakah artiné kêndé-/ 22/ lé sêksiné ora nana tuturé, ana sêksi anirat sêksi artiné ing kèndêlé ana sêksiné ing tuturé, ana sêksi anut watêsana artiné amaténi layang sastrané utawa anyuwèk layang. anyalawadi artiné anyalini la yang panêrêg, utawa anyingidakên layang. akarya dristhi artiné sajroning sinawung oléh layang utawa adêdan pagêr muwah popol, anglêga praléna artiné kalang-alangan, ora warta maring kang duwé siti, toya pralaya artiné tan mêroni saubayaning tulisé dhéwé.

Punika ujaré kutharagama alambang dadi ugêr-ugêring nagara, iya iku pangulu paliwaraning ratu, jaksa paliwaraning pangulu, pêpatih paliwaraning  jaksa dadi patang prakara, ratu pangulu jêksa papatih dén sami tunggal  budi. saujaré dèn sami, ulah sukmana sami ulah rasa dèn sami angonangin, silané ing  nayaga traning manusya, sila iku pagawèhné pangucap, pangucap iku panggawèané ati , ati iku panggawèané ngurip, urip iku kang / 23/ tanpa tuduhan.

Yèn arêp pawas ulatan ênggoné sêpêtkên, ênggoné nawung yèn wus tatas suwarané, ulihana kang ngadu wèswara, rupa iku ulihna kang aduwé rupa, lan wuninga agratané manusya, ala lan kang bêcik, yèn kang agama lan kang arigama, analinga déné pinalajêngakên, déné trangé sêkar tunggal sêkawan wité têgêsé kêna gawasa paningal sakêdhap, laku satindak manungsa ênggon pangucap sakêdhap, ikulah karêpé gusti rumêksa ing gêgamané lan rumêksa ing agama Islamé, rumêksa ing balané lan nrumêksa kuthané, dadi jumênêng ratu  pangulu jêksa papatih ing nagara, déné lirsida dugapawané, gêlap tanpa udan sêgara ngawang-ngawang ana murub jroning toya têgêsé awas tunggalê tinêmbus akathaha agama lan dirgama Islam, wiyosé ngadu para wicaksananing pawèrangan tan kèwuhaning papané.

Punika Sang Ratu ing Suryangalam kang adil Allah jumênêng pangulu  jêksa pêpatih, karoné jumnêng déning jênêngé  pangulu, kang jumênêng  jaksa pêpatih, mantri sê-/ 24/ salokané banyu kinum, bumi kapêndhêm srêngéngé pinégti, têgêsé kang tapa kanga ora tapa, iku kêkalih dhingin tapa wajib, karané punapa déné kang agung kang sipat jalma lan wong aji sing ing tapa. Kang aran kuwawajib kêkalih kang aran tapa sunat iku kêkalih têgêsé tapa wajib iku kang dhingin jumênêng  ing mesjid kang tilawat kuran, salat limang waktu, ingatawa   pangêngên parané, kaping kalih tapa kémayah arané kaya anêmbayangakên mayid lan nulati sandhang lan pangan, têgêsé  apa sunat kêkalih dhingin sunat, abngalé  sunat muakad ora kêna tininggal padha kalawan pêrluné têgêsé sunat muakad iku kaya palagrahakan salat ariyaya lan salat rakangat lan witir lan susur sadurungé wudu têgêsé  sunat dêsasa, kaya wêwacané sujud rukuk lan liyané muaghad iku angkati sirah yugya pakin pamubada, kang jumênêng pangulu papatih utawa sané manusya sêdaya, yèn ora anut pawartané Nabi Muhamad Salalahu alaihi wasal-/ 25/am.

Yèn pangabêkti liyan yèn ngawikanana sunat parlu lan ora anglakoni  rukuning iman, lan dèn wruha bayaning urip, lan bayaning salat, lan dèn bêkti ing Allah Tangala, yèn ora kang anglakoni sahadat maka ora Islam, déning jinarah artané lan wênang pinatèn, déning sang ratu adil.

Punika pangandikané kang jumênêngratu kang jumênêng pangulu jêksa papatih kangadilalim. Iku dadi pêtênging nagara, ingkang dilat alim, iku pinanjingakên ing swarga luwih saking luhuré, angingkang jaja adilalim, dinakoning gunung mirap iya iku gunung antaraning swarga lan naraka, mulané ana ingkono sangu sêmajing swarga, mulané ana ing gunung bahrap déné dosané wong atuwné.

 Punika kang gérah ing adilalim pinanjingakên ing naraka jahanam ing dhasaring naraka kaping pitu pisan kang dhingin gunung ing api ing gunung aktul ing antarané swarga lan naraka karané suwarga katingalan, naraka katingalan, saking gunung irap iku lawasé ana judah. Kang ana ing gunung mihrap iku amung sadina ing akhérat, yèn wus / 26/ sadina pinanjingakên ing swarga.

Punika sang ratu mila sangêt pituturé ing balané sêdaya, balané sami  pinênging apadu wicara sami angestokakên asarèngating iman sami kinonangan dal ing Nabi Muhkhamad Salalahu ngalaihi wasalam, yèn  tan ripé mubadir, uripé sami lan pêjah, minanjingakên naraka, yèn wong gêlêm pangabêktiné, yèn tan angawikané nasunatan pêrlu lan dèn kacakup tingalah tangala, yèn ora anglakoni  sahadat,  ora sêlam wêning jinarah artané lan déning pinatèn, déning sang ratu  adil.

Punika pangandikané kang jumênêng ratu kang jumênêng pangulu, kang jêksa pêpatih kangadilalim, ingkang dadi pêtênging ing swarga luwih luhuré kang jaga ngadilalim tinakoning gunung ikram iya iku antaraning swarga lan naraka, yèn wus ana ingkono majing swarga, karané ana ingkono déné wong atuwané, punika kang parèntah ngadilalim pinajingakên ing naraka aja anoming dhasaré kaping pisan, utawi gunung rip, iku gunung ukuli antaraning swarga lan naraka / 27/ déning swarga katingalan kang anèng naraka tingalan, saking gunung ngarip iku lawasé anajudahi, kang ana ing gunung ngarip musadina ing akérat  yèn wus olèh sadina pinajingakêning swarga.

Punika sang ratu milané asangêt pituturé ing balané sadaya, balané sami nênggi apadu wicara, sami angèstokakên asarèyating iman sami kinon angandêl uruting bêcik utung ala saking Allah tangala, aja jinah aja jurjana, aja analangsa alampahi siya-siya, sami amilang-milanga agama lan dirgama têgêsé drigama agawé isthiyaré mapan kabéh iku saking Allah tangala, swarga naraka wus pinasthi tan kêna owahana, lan padha ngandêla pangandikaning alah salalahu ngalaihi wasalam, animbalakên pangandikaning Allah tangala aja sirik, aja èsak, aja sêkêl, aja lia, aja samar, aja pangling, aja tanduki. Anarimaa saparèntahing  Allah Tangala iya iku panglêburan wujud kang anyar, lan mangana kang halal  lan nukumé, lan anyandhang- /28/ a kang suci kang halal lan ukum. Anginum banyu kang wêning lan lumaku ing dêdalan khérat sarta lan ukum iya saking toya kang wêning. Apatut lan ukum, bêbanyu mustakmal arané. Ukumé suci balaka ora cêkakakên   lan aja ana wong apadu iku kharam ujaré ukum  Allah.

Maka pangandikané Sang Ratu ing Suryangalam, maring jaksanira sêdaya. jêksané kêkalih kang adil, kang wicaksana ing agama Islam. Pangandikané Sultan Ngarip ing Suryangalam. dhawuh dhatêng jêksa nira. Yèn ana wong padu wicara maring sira, wruhna alané lan bêciké donya têkèng akhérat, Yèn ora gêlêm sira awêri, sira wruhna kalah lan mênangé lara pakénaké Sang Ratu Adil. Karoné padha sira wêlasana. Sawusé sira wêlasi tutur rèna kang adil. Kang mulih maring kang duwé wêlasan. Séwu sasuku ulihné maring kang duwé.

Yèn ana wong padu ora mêtu patang pasêban, kalahna paduné dhêndhané triguna. Yènana wong kamalingan utawa wong kabégalan kasayaban utawa wong kélang-élangan, ora pisaid inng jaksa aja sira rasani.

/29/  Yèn amêksa sarira kalahna paduné lan aja pilih papan. Poma-poma dèn asil. Yèn ana wong anakokakên anênahanên pêksaguna. Yèn ana wong sinuduk ing maling aja sira dhêndha sakaroné karané ngapa iku ora duwé dosa sasawujudé. Lan ing dalêma jalal sangêtoné ing Allah Tangala. Yèn ana wong mêmaling kalêbu kisas, kisasana tugêlên tangané têngên. Yèn kongsi gênêp pindho tugêlên kang tangané kiwa. Yèn gênêp ping têlu tugêlên sukuné têngên. Yèn gênêping pat tugêlên sukuné kiwa. Ikilah ujaré ukum, bèn wong lanang bêcik wong wadon tugêlên tangané ukumé maling. Sanajan ingaran ana maling mati angambil donya sasandhanag uripé wong malaku ing wêngi yèna upêti kang ora agawa obor.  Sanadyan pangulu sanadyan mantria, prayia umumé maling lan trapêna parèntahira.

Yèn ana wong apadu pêpunèn sariringané jênêngan  pisaidé. Déné urang paréntahing agama Islam. Lamung ana wong sinuduk ing maling tanapi karèpotan. Ora pisaid, dhêndhané sadasa guna. Yèn kang saikadêdêg pêpuné /30/ apisaidé wulan, ajiné séwu sasuku ukumé kisas. Wong liwating lêlurung banjar ing abanjar têtkala ing wêngi mati oboré    sarating jasira   dhêndhané, wujudé maling sangêt dosané ing Allah Tangala lan aja sira pilih kasih, aja sira paé-paé. Sira padhakêna anaké dhêwê, Iya ta alané durjana sira pêndhêtkêna,  lan kang murang parèntah ing agama Islam.

Wong liwat lêlurung ing banjar  tatkala ing wéngi, mati oboré, saraté  kang dadi obor    dèn rarasan dèn karungu maring liyané, omahé maling ora yèna parané. Yèn tinumbak ora nana paran ujaré tata nagara ujaré ukum Allah. Anyaurara ngawikaning abi wong nérat wêwalêring Sang Ratu Adil. Yèn ana rarasan kang ala kalahna, sarta dhêndhané, dosa pati pinatèn. dosa lara-linaran, dosa dhêndha-dinêndha, dosa wirang piningakên.

Punika patut lanturing ukum Allah. Duk padu séwu satus patang putuh papat. Kuthara kalih wêlas, kapupus déning salokatara sèwu satu-/31/s patang  puluh papat. Pamêgatipun wolung prakara punika kang rinaosan apus jawa.

Punika salokatara kathahé padu kawandasa papat tê gêsé salokatara, pararêkêna kang apadu kalihé, ala bêciké mangkéné alané mangkana kanandhapé kang kaloka ala iku. Punika kangaran padu sadaya parêntah kang tumandang  sakuthahé kagonan. Durjana saparatikahé wêruh polahé durjana. Sasorèkah sapadu ilon lan durjana mati ora kailén. Kabanda ora aléh, walat tatu ora aléh  tamba jampi.

Punika padu tigang prakara paduné wong adol tuku, kirya-wikirya arané paduné wong titip. Lan kang katitipan tuwawa tan tuwawa arané. Paduné wong angupahakên lan kang angalap upah witana tan witana arané.

Punika aran padu tigang prakara nistha maosaorasa, pariwêksa angambuk pugung. Punika nistha maongsa nagarabèi baé sajabaning lawang, lan dya mangsa araga garaboing pala- /32/ taran maongsa-ongsa akêdhah pagêr lumbung ana wong babusuk isiné umahé. Pakantuk pasumêngêr wolungèwu, pariwasa amêt duwèni  wong tan patrama angambuk pugung angrusak duwèking wong utawi ana amêmalingi tetangga.

Punika sastha-kustha pitung prakara maling utama, maling rêtna, maling jawita, maling wong wadon. Mamaling-maling laras wong lanang marani wong wadon. Maling têbunan durung olèh-olèh wis kalêbu wêwêngkoning. Maling arêp angiling-ilingi duwèning wong. Maling timpuh wong kamasan.

Punika padu limang prakara èstri cala sabêt purusa. Sagrawiruta, sagra  widhana, sanda candhala. Punika lirnya èstri cadhala pada palapina lapadha wong wadon. Sêbda candhala pisuh-pinisuhan. padha wadon sêbda purusa wong lanang tukar lan wong wadon sigra wêcana wong lanang aja jawat wong wadon.

Punika padu pitung prakara, angênidiyah awisadaa èka warna raja wisuna, apala dara jinah wara. Wong kasudukanyadah. Punika artinya angênidah angobong umah. Awisadaa upasé  /33/ uwong ékawarna wong nêluh utangé mêlik. Raja wisuna angakèn nakoni ujaré gustiné. Pala daraniyah wong marugul puniku dèn jinah nuli dinténi pisan. Wong ambuk pukung puniku pagarayanganing  patang prakara. Sarta kandhih déning patra. Patra kandhih déning sêksi. Sêksi kandhih déning patra. kandhih déning pramana. Pramana kandhih déning ngubaya. Ngubaya kandhih déning purusa.

Punika lirnya ing tarka ujaré ngaran têtulisan. Sing wêruh tigang prakara ngênêkséni lan kasinêksén. Sarta nênakoni bukti manut kang aran nyomana mêktokakên. Kang dènaran pramana alawas ubaya têtulisan. Sarta karon purusa pangandikaning pagarayangan kawan prakara. Sabda sawarsa, kaligana tawa Ratu lèna kanama lèna asalin watu. Punika liring sêksi pramana sakpapralèna sakumbah punika kalirnya saksi pramana sêksi kang kèndêl. Saksi pralèna saksi wong mati. Dadi adhapya, saksi kumbah sêksi sudrah tan dadiya.

 Punika saksi tan wênang tinakèn patang prakara sirna wêcana, sirna pramana, sirna niscaya, sirna miarsa, sirna saha  wong wuta, sirna pamirsa wong tuli.

Punika pagarayanganing ngastha corah kalih prakara. Ana maling dudu maling iya maling. Punika lirnya ana maling dudu maling ya dyan gawa agunting  pangkikis, yèn ora bêdhah pagêr dudu maling iya kêmaling. Ya dyan pandhita amalêbu ngumah ing wong dalu-dalu maling uga. Utawa ana pagêr kêdhah, punika pagarayang patang prakara. Aku wolung sêksi anyuda sêksi, anyau rêksa, abahu sabda, apa sêksi.

Punika liré akutha sêksi wonga sêksi, sanak tan dadia andhapya, anguta sêksi. Ana sêksi kudu sêksi wong durjana dadi andhapya abau sêbda, sêksiné dèn warahi dadi kandhapya, bau rêksa, asêksi anak para saksiné muni tan tinakon, aprang saksiné dèn êbang-êbang dadi adhapya.

Punika pagarayangan malih patang /35/ prakara pakandhih déning dirgama, kandhih déning dèwagama, dèwagama kandhih déning toyagama, toyagama kandhih déning purusa.

Punika têgêsé jugulmudha, ora duwé ujar roro. Sanajan prayayi aduwé ujar roro ora dadi saksi .

Punika têgêsé atas karta basa sajan pandhitaa yèn saba pasar ora dadi sêksi. tarkané dèn angési.

Punika têgêsé rajaniti, titènana saprajané dadi andhapya.

Punika têgêsé titi swara, titènana pangucapé kang ala lan kang bêcik. Kang

aran lan kang dèn aran, iya iku têgêsé tidhar salokika.

Punika têgêsé sarudèntha, titènana sarupan, pangucap ing karoné.

Punika kang akèh dorané dadi kandhapé.

Punika têgêsé caya-murcaya, ana wong ngapadu wus ing tutur ing pajêgan,

wong kêpatén sajroning apadu maka adhapya, kang upata ika.

Punika têgêsé kuthara manawa akèh arané manawa bêcik manawa ala. Awang-uwung angalap-alap kang ujar-ujaring malih tatana- /36/ na.

Punika lirnya angawang-ngawang, angujar-ujari tut bajar tang kauningan kang dèn ujari sakathahé amiarsa padha olih pakanthuk mangkéné pakanthukipun angalap-ngalap, angujar-ijari maring tata anêng mangkéné ugi tatrapané  muwahing ngalimahé salawang. Kalaning yèn atus sêkar cina bêkti têbasané yèna malayu têbasané kalih wêlas.

Punang arusak sagul istri tan payun kadhêndhaa kang rusak utamané kariyin kalih duman. Kang sadumané dipakantuk, punika rinusak ana punang dalih dinalih tan pikantuk padaliyé. Kawalikêna sêsapa ngarah olah trapna in dhêndha sapadalihé, muwah angaku-aku. Saliré kang dèn aku apadu tan payun ngilènana, ayuga lèpèk ing palakarta.

Yèn apadua sung apa mutung yèn wênang katigarsa pangarahnya. Tur kadhêndha muwah ing palakarta. Aguwa ana kala luwiyan. Kanistha raja utama, tikahi saujalma wong rasa dadia jatiné warah arigama. Arigama kandhèh déning ngadigama, dirgama kang sakuthara, manawa dirgama saking suwara kang ngapit ing nara. Anyumana ngarané nyumana nyamanalah déning ngubaya mangkéné kang linampahakên sang darma patih.

Punika wong mangandêlakên piutang, kang pinangandêlakên margi  /37/ tumawa wikan, utawa ilang, kang mangandêlakên anagurona, jumênêng aprada nagarané. Muwah ana tarka, muwah ana palamarta.

Punika lirnya titah toya dènya nganya rasi ing tarka. Kirnané nangurapi kang mami, paramartakoné kang ala lan kang bêcik, uripé kang sêdaya ngabêcik mamaya kang sêdaya ala. Karasak akarya krama ing lumampah tigang prakara.

 Punika lirnya tikah ing ngarêsihi karta kang dawa déning uripakên kang mati paramarta. Yèn pati gajah, wong wadon yogya sirahana.

Punika kakramanya, asaloka mantri pasawanga tripa piyan. Tur ana dukanya ora miyad tumaa muni kang wuni tan asring tun lisring asipaté.

Punika lirnya pawatak ring padhêt tuna iku ora nana warêgé kayu. Ranaduk kara tuna wiyad, ngasaara iku ora nana wareging banyu. Malamung nita wuyat lana pandhita iku warêg dé-/38/ ning kawruh, sri tut miwoya miyad wong wadon ora nana warêgé ing wong lanang.

Diyat iku atas rong wêrna, kang dhingin mugalalah, kaping pindho mukasapah, mangka diyat mugalalah iku satus unto, dèn pêrtêlu kang awal unto têlung puluh, pada ngumuring taun, lan kapindho unto wadon, têlung puluh pangumur patang taun, lan kaping têlu unto patang puluh pada mêtêng sakabéhé. Utawi diyat mukasapah iku, unto satus dèn paro lima, kang wal unto rong puluh, pada wadon lan kapindho unto rong puluh pada ngumur rong taun, lan kaping têlu, unto wadon rong puluh pada ngumur pasuson, lan kaping pat unto rong puluh pada ngumur adi wêtêngan, lan kaping lima, unto sapuluh pada dadi pasuson kabéh, mangka lamun ora nana unto, mangka ingalih maring ngèwu dinar, mungguh wong ahli sloka, pada uga diyat mugalalah, utawi makasapah.

Ana saloka maning surak kramana sik amisuda. Kasanthi kanarnala. Nka nèna gêtaruné nyuda murti wisunaa. Punika têgêse suraté wani ngalah, ora na tagané saking ora wani sikara parisuda. Ora na duwé kang olèh kamulé ni ora buktiné. Yèn tha ora mulating wawarané anagéng karana budi. Langgêng pangabêktiné tinikah tinisuda anggé wong laranganèng Pangèran.

Punika saloka malih mati nyamrakramana suwara wisira turuté. Punika  gami ya bramana turuté kramana, déné anusun aburawistha. Turuté rawi iku déning kalih sana déning iwak. Lan thulané wulang mangsa déning nyuda kagèl ragu. Kusuma bramara turuté kusuma iku ingisêp ning bramara.

 Ana saloka tigang prakara, sakar gasa dargawi darga, têgêsé sang dargama maéning désa ing muyé nana patigi dargama têgêsé ,alèni gé rara liku. Yèna patikah anglamamakakên widargama kawan prakara man alani yèn Sang Jumênêng kalahan ping tiga jêksa kaping pat mantri.

Punika lirnya tan dadia sêksi pi- /39/ tung prakara kariyin. Ping kalih dhêmék ping tiga wisa, kaping pat kang rupa roro rupa nêpsu arakayayan. Kaping tuna tuagung. Punika têgêsé réna wong wadon, dhêmèt raré ciri, rupa karoron kêdhi nyinyima wisa dèna sudra kawarnaa wong kalang. Kasêkthi utang tata agung kalih sasandan warah ratu agung.

Punika pracèkané maréné iku karané ora dadi saksi. Dhêmèt raré ciri ora dadi sêksi yèn jan kasatmata. Punika liring ratu akirim surat, yèn wawèran salokané akacadra sisan tri tuna kasudra catur padha praya sadyagung ran. Naubêd pindho sanak, tuwa ubêd ping tiga ri iku. Ubêd ping lima maring bapa, ubêd ping nêma ring guru, ubêd ping pitu ana déné liring wèwèran ananggapi taduké. Ing karo patang kawarna kang rupa dêdagêl pêpucuk.

Ana déné karo pêksi jiyènsi anyènyaongi. Katur ing pandhita gung, pandhita lêlima dhatêng katitik kadu kêpéngén titimbalan, kanduk dêdagêl sapa têman sarta lan salam. Yèn kang muni surat, yèn luguh ing basa kang muni surat.

Saprayogyané kang muni surat, basa kang limang prakara dhingin basa, cêpèmanira, pêkêni- /40/ ra basasiki maning yidika pakanira. Basa atopan kakang  corètipun nidhi basa nukak. Kawula nika, kasaka tiba kawula dika. Pakapira punika lirnya nurat lêlêburan lan jumênêng luguh ing papradi kamang kêliré lêlêbaran punika lêluwangan paèradika kangasan sarta sirah têgêsipun.

Punika têgêsé nyata lan saloka rupa tidarsa, ana kang anya r ta satmataloki, kabukti tidharsa, wêwêngkon kang nyata nyumana. Satmata loki cina. Punika  èsthi corah wolung prakara kang dhingin tigang prakara. Ki sapran Ki Sakti Kara ita, Ki Mnanga mas picis.

Ana sawah lan nyara-nyara rabi ki warahné bègal, ing dalan arêp matèni ing umah. Punika saloka tigang prakara, kang anaa déning dalan bapa payon caya. Punika têgêsé kuthara jugul darana lan bab wong têmên dhasarya, punika têgêsé kuthara lan dunya kang linampahakên sadarma papatih kalih wêlas. Sarudita saruning pangucapé, saramarcaya tambang rawatrawat sadosané alungguh anya-/41/ lawandi, titigêmi nastiti, kuthara manawa kathah arané, manawa kapa-kapa wong suduk prayoga tidhar sasaganda rupa anggas karta basa luput prayoga basané, caya murcaya cahyané bêcik parupané pangucapé, kathah wêning tingalé lan kang bêcik. Têgêsé salokatara, têgêsé kuthara titi mangsa tênggak sirah.

Punika kuthara munawaraja akèh arané manawa ala manawa bêcik. Ika arané, punika uring saksi karya dasih tan patut ujaré  sêksi dadi kandhapya. Lêpas kayayi angulati sêksi malaku sinêksèn, wiruwa urah angaduhakên ujaring sêksi, anglayapa trahan ulasahakên ujar malaku sinêksèn, tan abaya angêmban saksi. Angadhang sêksi akundhang cina, anglironi cina, agalih cina, watang ananggal tan patra. Gêgadang angamukti anêbus cina watang dadi adhapya. Kang anêbus durung sêksi mula tinakon, astra patra nadah sawang katitula winarahakêna nguwadrastha angruh nguwarah winarahakên, amaluguhakên sêksi ing pa-/42/ riksa angrawuhi pocapan dènya takakèn lan nutur wit dèn tingali dèntakeni  anêksèni ing sir sapocapané kang dènsêksèni yugya andhapên ujaré sapocapané tan dadiya.

Yèn ana wong ngutang kamalingan tan wênang anagiha dhatêng anak putuné utang tukun utang pasêksén dhêndha kunarah ingsun patra tigang prakara kang yogya. Andhapêna ing wong sasirah têgês triwara saksi bumi.

Punika yugya minangka sêksi ingkang agêng ing kangarahané kalih kang mitugu ingkang gêlar maka darma ing kawal karya sabrama sakriya ika wèsa ingkang tuhu ing karya kunang minaka tan dadia pangasi sangang prakara.

Punika lirnya ingkang ngumpat padhanya ingkang doyan liyak ingkang wanita sawala ingkang ngatukar ika aranya dosa, ingkang dosa dustha ingkang wong dama.

Punika traping dhêndha saloka kasukartaning sarira sangang prakara. Musthi kang tikus sarad ula macan culika kênthêl rupa ulêr gêni karêming panadhang war, wardulintah.

Punika saloka patang puluh prakara. Punika minaka sukartaning nagara titir sani surating ngampuhan. Sing agama karang ginugung gajah adaka durga brama saloka kamalih. Utama èsa sing akogama duka ratan wruhing baya.

/43/ Punika salokané sidhêm pramanêm sadhêkêt acula étan darbèya têkèk  mati nguloné. Punika salokané èstri sagrahan daka angalsur saritan aribaya. Salokané tidhar saloki kasimagama ngapas patra.

Punika salokané kadunung saloré kang dumunung manawara. Salokané gana tan wruh ing baya, salokané anyêkêl gajah adaka anguwang sari. Salokané uni ning nulitana patut panolèhipun. Salokané wong arêbut bumi. Gana ing tata  tan wruh ing baya. Salokané acacaya gana sunguté prana, salokané sigra wècana bara-bara kadi bara tan aribaya salokané wong tanpa krama, sing alodra moangsa tan dribaya. Salokané èstri cadhela linuding lara, salokané ngacala wani ula /44/ mungup ilang kari buntuté. Salokané èstri sanggra atidharsa astri candhala kêdhalêm apalan daraném. Salokané tidarsakan patukan parutuan ana kang ngana tan wruh ing ala salokané sagra ing damasa tan wruh ing sukarta.

Ana salokané malih tidhêm winêm angrusak sagul tan ligana. Salokané ngata lêmbu gara angrusak pradata tan wruh ngupaya. Salokané sagrahita alalambar padhang bulan asuluh salokané utama maèsa wong ngatatu, simasa tarka ngapusana. Salokané kang kobongan inglang darbèna kang dumunung gana ina léka tan wruh ing laksana.

Salokané singa kang dènparo asula kên bukti tidhêm ing karya. Saloka ngadhang caya, sumaos mangulati masa, saloka bêkêl lêmbu, angusarira, salokané nyara-nyara lêmbu kang angrusa karta, salokané mimisuh tan krama. Salokané ngarsara dula amari dèn salokané mamatèni singa kang dèn patenana, singa mangsa angawus singa tan wruh ing baya.  /45/ salokané anêlap sapi, singa mangsa wirodra masa, salokané nyolong wedhus wirodra basa galak amangsa-mangsa.

Punika caritanira Sultan Adilulah kang uga dirangulah piyambêk. Déné tan arsa ing sabda, ing angawasakên asilira piyambêk lan tan kêna wong dathêng  dalêm déné bala sêsukèrè lan balanira kabéh. Gêntha ginantung ing daganira winalêsan saking parang kilan. Wontên déné Sang Prabu apêputra satugil langkung marmi nira dhatêng kang putra. Kang putra pêpadhatên agili anaking jajawi pjah, mangka kang jajawi mala jêng dhatêng panakulan. Anêrad walêsan gêntha, mangka kang gêntha muni, Sang Prabu miyos paningilan angandika  dhatêng kang kêmit. Wong kêmit matur putra paduka aji. Apêpandhêtên angliling anak jajawi pêjah. Mangka winoting padhati anak ing jajawi. Mangka putra ginulingakên ing marga binêrêg padhati, anaké jajawi malêbêsati ngaurip. Kang kandhêg jajawi ngadhangi.

Punika pratikahé Sang Prabu ayuna jaakên alané. Yèn ing salat Sang Prabu aja saré ing wêngi awêwara,  /46/ ing bala kabèh. Sêdhêkaha  apem sawêlas  tangkêp wong sijiné sanagara pisan. Sang Prabu aja pêgat prihatin angligiha, anarêpiya, suku sumawa, sasari cakra, landèn agèli suwara ing bala, arané rusaking bala rusaking nagara. Déné Sang Prabu karané jumênêng Prabu Mada Raja Sasar Yalapa. Raradéné Nabi Isah amadhangi anglimputi déning Sang Prabu ngadah wicaranya, déné mantêp pangubayanya, kang kiwa dursila, kang têngên anrapêna, têngên dursila, kang kiwa anrapêna, déné Sang Prabu awi sukci.

Ana saloka kocaping kuthara, karané Sang Prabu ajênêngakên mantri wong sugih aja, wong kasiyan aja, wong mara dèsa aja, wong ngaram aja, mantri sugih anglampahakên dhéwé. Mantri miskin arêrusak dèsa, mantri wong ngaram aja dadi sangaring nagara. Yèn jênêngé wong akèh kawruh ngisik wong kang lêpas kawruhé kang wruhing gama arigama, aja wong susis. Karané wong susis lan satruning wong sanagara minangka yayah rèna nira wong sanagara wong kana luhur budiné. Kadi tanya nayakit amutarka  /47/ mulih tarka kang mungsuhi, kadi ta wong asamar asamur. Dèwa gama kang angmungsuhi.

Yèn Sang Prabu ajênêngakên mualin kang faésat. Wawacané kang akèh alip fa kang abênêr ukumé. Kan tanarsa ing alêmbana gènira Sang Prabu ajênêng Wakèd. Aja sah saking paligihané dèn kaparêksa rina sawênginé. Dèn sapangayun lan Sang Prabu, lan aja micara iya dudu lan aja amicara ècaning nagara lan aja widèyan amara sèba, gering nagarané kang dadi kartaning nagarané.

Punika kawruh ana Sang Darma Patih, yèn sira akarya panglampah, kang wruh ing subasita kang atikah pamacarané, kawruhana tingkah anrapakên, waosing padu giringên maring pakartan. Aja malêbu ing umah, ing jawining lawang, aja mêtu pagêr aja dik sura, aja nandèring pangucapé wong èstri aja doh wicara wiwitan lan wêkasan. Wong giniring dhatêng karta apa gunêman. Yèn langkung saking kang kalahing tarka, andhapên sawicarané tur kadhêndha wong ajarahing wong ya dyana mêmalinga angliwat jaya utanga, lokika atidharsaa. Yèn tuna giring panglampah dalêm sirna tan nana kara-kara.

/48/ Ana wong utang titir tinagih déné kang matungakên tanpa mauripun kang darbé angidhêti. Yèn tan ana giring maning panglampah Sang Prabu. Yèn dadi winata,utang sira darbé kemulih sakawit, lan kadhêndhaa ing nawasèsa arané, bagalampah ana saloka kocap ing kuthara.

Ana Ratu angandika dhatêng Sang Darma Patih, takon wong adol wêsi wontên pukulun nakoda mara dèsa. Rawuh abêkta dagangan wêsi. Iya patih tukunen ing undang dakoda. Tinakon déning Sang Darma Patih, sira duwé dagangan wêsi, Sang Ratu ngandika sira nakoda adol wêsi. Aturing nakoda inggih pukulun pangaos kawan yuta, iya ngong kang tuku wêsinira kabèh. Nuntêna angandika dhateng balané kabèh. Kinon angusunga angandika Sang Prabu dhatêng nakoda iya sira ingsun paringi arta, makèka wêngin aturé nakoda. Inggih  patih, sampuna wêjang dhatêng marêksa Sang Prabu, aturé nakoda, Pati Kaji anêndha ing  yatrané   wêsi. Angandika Sang Prabu wêsinira nakoda sirna tan ana kari dèn pangan ing  ra- /49/ yap, durjana sira dol maring wong. apa ujaring adil undangên Jaksa Patra ing Ong durjana, ing undang jêksa rawuh, angandika Sang Prabu liring Ong Jaksa  dèn doli wêsi. Déné nakoda, manké sira tan ana kari, mangké apaparèntah ira, aturé Jaksa, Sira indakên tuku rèna kanda ika, Ki Jêksa déné punapa panakathah tunggalé. Inggih Ki Jêksa matur dhatêng Sang Prabu, sarka lan Jaksa lan karêping Jaksané. Nakoda apangarané kagiring sira padha kulaa ring punika, lan pakanira ora gawa tutur, inggih kyai boka bêring darga. Katur tulung manira sêgara katunon jeng manira kaladèn, Sang Prabu amiarsa, bab sira nakoda ora nana sang gara katunon, kayuné nakoda ing jaksa, manira bab angucap Kyai Jaksa pukulun kawan paduné sang nata ika marganya aja napi nalaryan wong agung utang dèna gé kalawan krama. Adang usi lêlêrêyan dadia utanga utang mulih kadêndha asapangarahé.

Ana wong apadu wong kêka-/50/ lih kang satunggal akèk katutur sarta béya adhé durung ana pranatané jêksa, yèn gya kalah wong sagugup puniki aranya, wong anêlang tara.

Ana wong kêkalih padu dhatêng tarka. Sami bakta tutur sami sarta bèya gadhé déréng katata déning jaksa. Sayoyga kadhêndhaa sapa asisih. Kagyatang lang nguti kudrané. Yèn wus katrap kalih kang kêpêna malih ana pêksi kutul mencok angucap lawan Ki Kèlasa. Ana wraksaa luhur ujaré Sang Kèlasa padha wruh ing dhuwur, kang Kèlasa angucapa ya Sang Kutul, anulisi Kutul mibêr mèncoking luhur. Sang Kèlasa lagi ngiling-ilingi wité lawan oyodé lawan pangé lawan godhongé, nuntên dhatêng ing luhur. Anuntên pêpanggih lan si kutul. Angucapi kutul kang kèlasa ora sira karihin nuntên Kai Luhur kariyin ika. Yèn si mêngkono lan manira bênêr yèn kalah isun ngawula maring sira, ujaré Sang Kèlasa iya payo. Anulisa mami kê-/51 /krarèk dhatêng Sang Prabu, dhatêng mangarsané Sang Ratu Kitiran Putih. Anilisira napaki Kèlasa lan kang kutul ana gawé nira mring ingsun angucapipun kutul adhêndha lêlêrêsan Patik Kaji. Kang miraos pangucap Sang Ratu Kitiran Putih. Kang cira wicara apa, apaturé Sang  Kutul kariyin baa rèrèn saandhapé Kajêng Agêng aluhur. Inggih sami arêbut wruhing luhur kariyin kalih pun Kèlasa, Pati Kaji dhatêng kari Sang Kèlasa,  mêksih anantona yondé, tauripun Kèlasa, pun Kèlasa kang wruh ing luhur kariyin. Andikanira Sang Ratu Kangjêng Agêng luhur lahkita rebut kariyin nuntên Sang Kutul mibêr karihin. rawuhing luhur nulya matungsang Kèlasa meksih aligih, aturipun Kuntul. sampun patik kaji wruh karihin kadi lêrês Sang Prabu iya Sang Kuntul pira kèhé oyodé kang katon dènira pira godhongé, pira êpangé, mnêng sang kutul sira Sang Kèlasa pira kèhé oyodé, pira gêdhéné, pira luhuré, pir êpangé, pira kèhé go-/52/ dhongé. Matur Sang Kèlasa, inggih pukulun kèhé oyodé gangsal, gêngé sapaningal, ujaré tan kêna tiningal pangé sakawan, godhongé wolung lêmbar, pajingèling lêrêsan, angandika Sang Prabu kalah sira Sang Kutul, lêrês Sang Kèlasa, asasnijan wruh wohing titi raja iku.

Ana wong apadu katata déné karta, sampun katata sami karya tutur, Sami mantuk, kang sasisih pitakon dhatêng Jaksa, rawuhing pamicaran, ing apa bèn kang boya dhatêng Jaksa kalah padunira iku mangka dèn padala. Inggih Ki Jêksa, manira pakanira kalahakên manira boya tarima atriwali.

Dhatêng pêkênira, mungsuh manira trawali, dhatêng pakanira tanya kang ing ngigil andhap kang andhap, iku Jêksa bêbaya ingkang kalusura lan kadhêndhaa satus. Ingkang apadu miliha wacana maya sang kara ika aranya, lan putungêna dhustha maya wêcana arané ujaré  saloka, among jagat abawa tên durjana têka wuluné salaba, pangucapé sakêcap, isi upas, ujaré     /53/ corah tan kamdêl Ki Jêksa.

Yèn ana wong apadu aja dèn dadékakên karihin micarané dèn muningakên kalah kalawan mênangé. Poma dèn atiti ing ajêksa, yèn wong pradata mênang padha kalawan kalah. Kang kalah padha kalawan mati. Dèn kadi Ki Undagi aja kaliu ing papadhangané. Dèna bênêr lan dèn têgéng kiyangkahrané èngiling-èlingi sira. Dèn èling sawicaraning sastra. Dèn wikananga déning Sang Darma Patih. Iki lampahing jari rasan ning wawarah mapan sira gurit anrapna kang abnêr  kadir  data ing alapan. Kadi srêngéngé wau medal tan kerup. Déné anrapaken sarasaning sastra titi pradataning bukti. Wong lakika wong iki pramana ing agama .  Ing adhii goma agama aranya. Pingil yakin sastra adigama aranya katrapan dèwagama aranya. Cor katina diarani karya tuku bukti  /54/ arané. Kamasra lokita arané kèlangan. Yèn sisip ki ngaraos sing karya apan maraos, sing karya aja rausi. Yèn kasêrêngêna angraosi, temahe lali ing wicarané pasuranya, tan sayogya angraosi karya kadirgama aranya, ngawijil saking kuthara déning arigama déné tanawas katrepna adirgama samounya tumrap satodané. Mijil saking mawirat dhêndhané tiranya, aranya, ngadigama karané kalah déning nyumana abuna tan kakén limang taun, karané nyumana kalah déning pramana, déning ki bukti abêcik pramanané ala buktiné ika sakiwak dak taun, ika kangaran pramana kalah déning ubaya, iya lawas buktiné angingka ubayan sawidak taun, utawa saturun ingkang kalah ing  pramana. Déné ubaya agama kalah déning adiagama. Déné akrawak cakrapêna adigama, sampun atus trapna, karanya ngadigama kalah déning ubaya, déning   ubaya jumênêng, karané ubaya kalah déning utara déning kari bêbuya   / 55/ kariburik sêksèn ngajêng èsah ing karané. Ubaya kalah déning utara, utara kalah déning patra. Iya kasêksèn anisrah angitan muningèng wadi. Patra kalah déning purusa, iya ana patrané angita ana sêksiné ora buktiné.

Ana patrané, iya iku kang aran tripurusa sêksi kandhih déning bukti, bukti kandhih déning lukita, lukita kandhih déning bukti. Déréng kajabêl layang tan  antuk buktiné ing ana ariku kathahing bukti. Dènin lokita titingarani wulan, mangsa taun masa dina. Rêsiking alas alangan yèn tan antuki kalawan sirah kalawan têgêk mangsa sangkala. Yèn tan wontên kanda dosa déning sastra. Yèn tan boya miyos layang upah-upahé tan bênêr jênêngé lan layangé muni titi sing arahakên mangkéné kramané ngapiutang liré agama wicara. Aja abêkti paca prakosa. Owah sabdané owah silané, owah umahnya, owah tuturnya /56/ mangkéné kangaran paca prakosa bèdané bèda rarasanya. Amêt gisiring pamicara, arasana arané kang astri linyok ujarnya. Susmawacan aranya, ingkang asring amêt wicara udarat maka ing Jaksa kangaran pacarêsi kang tan payun kaya. baurêksa angulati sabên liyan, adriyurêksa asring ana rupa micara ning jaksa. Trisabda asring ing nyangaken pamicaran dhatêng karta. Dhêndha pangarané awadi dhêndha makuta. Musuh dhêndha rupa susumawaryasaruwisa. Saru amadal          pasilan I karta angabil gêdhé déning pun padha upaya arana kang agé wica yaa, sarta angakudu wêning wong amêdalakên duwé ujaré, wong séjé.

Tridasthi arané kang èsahakên anak rabining wong ing arana iwat, dhusta marupa sadu aranya. Asêpata dhatêng karta, anginggora bukti sampun asrah tuturakên malah aparas awarna santri. Mokalng pamicara kabéh kêkalihna kang  kaya ika, déning sang darma patih ulatana durjanané raré ciliwinong wong déning bapa katilar déning ibu, lan durjanané  /57/ wong èstri durjanané Jêksa durjanané   ing raré iku winong déning bapa raré anangis ana wong liwat ujaré bapa. Lan mênênga biyangi ratêka. Durjanané wong èstri mêdal saking umah. Anganggé wêwangi kangas déning wong lanang liyan. Durjanané jaksa ana wong apadu kangamêgat iya padu angambil wêlasan. Ika wong tan wêning dadi saksi ratu pandhita sudra pasu. Wong linyok wong I triwala ala kawulaning wong têtubasan ing wong karèk ing pandhita tan dadiya sêksi déning tarayun anusahakên déning wong.

Apakarané ratu andiya sêksi déning amêngku wèsésa apa karané wali jatan dadiya sêksi déné aburu ajujuk. Apakarané wong èstri tan dadia sêksi. Déné tikahe wong wadon apakarané wong ing wong tan dadi sêksi déning wong ing wong.

Apakarané wong sudra tan dadi saksi déning sudra karané won linyokakêna dèn cêkêl ujaré. Angira rasané padha goroh, padha pasupadha èstri, kayudya dadi saksi. kang è- /58/s tri resik sulêksanané. Kaya walijapa dhawa walijatan dadiya saksi. déné kathah sami satmata ingkang saksi tan wênang linakon. Wong kêdhi wong binimalad, ki dêdhilanya panuju radhok lan dalih kang tan dadi saksi yadyan satmata angawata tan dadiya.

Wong kang wênang dadi saksi déné wêwarah tusing wong apênêd. Wong  kang kulidé sawong èstri wong ing gamané. Punika yogya minaka jaksi, ujaré wêwarah ing isiné sang darma ya tikah saksi sawiyos prakara. Saksi tugal yèn  saksi roro mati têtiga piliyèn kang umate wong agung.

Mangkèné ana sêksi ana parêbatan, saksi wong kalih wong têtiga, mangkana  ajênêngakên. Punika warnanipun saksi pramana, saksi satmata, saksi watata, kang          aran saksi pramana, kaidina déning ratu, karané wêlasan Jaksa halal, déning kang dèn arani ratu, dèn jiyad madêp Sang Prabu kocaping kothara dèn abênêr lan  wiraosi sastra, ora tanjuki nagarané, dadia ngilangakên kalutuh- /59/ ing nagara. saking pariksaning Jaksa amadhangakên kang adol atuku kang utang. Dadi Sang          Prabu tan kêna angandika déné sampun darbé timbalan lagésudran.

Ana wong apadu para kêna ing pacoran, punika kamungsuh manira  anganggé wisayané ali-ali. Kapariksa nyata ali-ali dèn anggé. Mangka  kinawonakên kang anggé wisaya. Amadhanga tangkêp malih, yèn wis pêpék gadhé bèyané alapana ali-aliné kang dadi wisaya.

Ana wong apadu rawuhing dèwagama, kang asisih boya ayuna si lulup, kalahena panidhih isthiarané. Kang sasisih têka asilulup kalahêna paduné sadiupaya arané.

Ana wong apadu amêpék rêwang patakênan, ujaré karta kalahakên kang kakêrêngan mara bok parakarsa ababot. Para popoyana, si ora amitra kalahakên anêrang larangêna kang dèn iling, boya sami kalahêna amutung krama arané, utawa bali dêdalan kalahna pamutung pasangana arané. Ika kalah ing sêksi déné ubaya karané kalah ing saksi déning ubaya dé-/ 60/ ning anêlêsakên sawirasaning wawaran.

Ana kang kocaping kothara ana pêksi mibêr angêmbara tan ana uning ing           warnine pêksi, kènging laré gigol. Sawiji mangké katingalan ing akathah laré sawiji iya iku rupané uninga ing warnaning pêksi kang angêmbara ika déné nyata  ing rupané lan tibané.

Ana wong apadu adol atuku kang sumêbut kumaricing. Tanpa saksi padolé patukuné mangka aparêbatan ujar rêgané kang atuku. Ujaré  kang atuku sampun  payu sèwu, ujaré  kang adol payu rongèwu. Kaparakêna I patara yèn dawêg sèwu alahna kang adol déning kasatmata arané.

Yèn dawêg rongèwu kalahna kang atuku, Kasama ita arané. Yèn ujaré  sêjamèk murah kang sèwu larang kang rongèwu kapadha upaya arané. Têka dhatêngêna dèwagama dadi akarya kalih lan tapa sêksi.

Ana wong apadu kang sêsisih agawa saksi. kang gawa sêksi kalahna paduné, salokané abau wêcana marang sang kara ita. Ana saloka kocaping ko-/61/ thara ana paksi angambara abur aluhur tanagané kaya nyambêr radèn kajrih.

Ana wong sanagara yèna ngukuli nagara nuli mati. Kêcaping wong sanagara kala gila-gilah mangké awakila katon kabèh mêtêrta ning upaya.

Salokané ira tan wruhing masa ambatal pulawacana. Mangkana sang darma pêpatih, kang tan wênang cinatur ing tutur ananing watang. Yèn lan bèyan wadon, dasa ujaring watêng tan kacatura.

Kang cinatur ing tutur ana dosa kang si pakartiné saksi, pakartining saksi griyaning saksi ujaré tutur uninga, apa amara arsa, dèn bakali winatang tan kènging aja tura déné watang  yèn ambili pangucap. Pamatubaking awênang, watang ubulinga patang saksi yèn jumnêng ubul-ubuling mênang rabi.

Karana watang tan jinantur manawa bubukên. Tapan ubahé mungsuh  manawa dhadèk tuna panumbuk mring mungsuh. Saksi karané bênêr jinantur pangipalikpik angauyudawacana manawa duwé maling kawasa mungsuh ing  ayudawadé ilang yèn têngêné kambil déning maling.

Punika têgêsé  /62/ tidharsa, atawa wong nêmu, tan ana uninga pangambilé katuduhan wong adus, kari gagawané ana olèhé adus kapanggih déné kari  gêgawané ika. Yugya katêmpuhna sakawit, kaya ana wong pêjah ing ambil gagawane wong liyan dèn sêksèkakên sampun kambil tan antuk karipa sêksiné  déné tan muni ngapangambile kang mangkana katêmpa ana samulyané kang pêjah.

Ana wong kapadu ngandarbéné along kari ing lêlurung kêpanggih déning wong liyan tanpa sêksi pangandêlé lan kang mangkana ika katêmpahana sakawit,  kadi karyaning wong kamarga ning padu nyata kadalanan yugya kalêmpahêna sakawit. Ana wong pêjaha tatu dèn paranig sanaké kang wruh.

Ana kang kapapêksa wiji liwat sêndhangé kang pêjah, kang mangkana ika katêmpahna sakawit kang kapapag ika, kamarga baya arané. Sagêd kêna ing padu sèda kêkarang maya arané. Kang anêmu uninga pangambilé kabêktan kala badrané.

Ana wong rêrasan wadon ing wong, mangka minggat kang mangkana ika katêmpuhna  /63/ sakawit kawacipta arané.

Lamun ana wong kêmalingan, wêwadhahé mal kang kêmalingan kêpanggih ing lawangé wong liyan, yogya katêmpuhna sakawit salokané katiban tai abuh arané.

Dyan malih lokika, ana wong kêmalingan, wadhahé kapanggih ing omah   ing wong, iku yogya angilènana samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha 25000, salokané kapanca anggadhuh tai abuh.

Ana wong kakêrêngan sudukan salah sawiji ing dalu kang mangkana ika katêmpahna kang mati kayogya baya arané punika jênêng tidharsa. Yèn sisip pangarahé angakéni pagiring kalih wêlasan lirka tidharsakakên.

 Ana wong maring umah ing wong kang darbé driya sêpi anuli kècalan darbék katêmpahna sakawit.

Ana wong mara ngumah tan kasatmata antara rulimigat ika kamaruruh   kawan dasa dina. Yèn tan karuruh katêmpahna sakawit, anglir katidharsa.

Ana wong pêjah akuda amaosa asaliring kang wruh  ika kapusan satus  patang puluh dhèpa watêné sangkalé, kalêbêting cêkal, aruruhêna patang puluh dina. Yèn tan karuruh anganalina sakawit, ana wong alinggih angob garinggingên dèn têpa kang anêpaksa mimalajêng. Milih kang anyandhak manawa aduwé wong sanak /64/   waspada turaga cangkacandhak. Wong malayu ika mangkana wong katidharsa. Yèn tan duwé sêksi andhapena wicarané, lire lukita.

 Ana wong kêmalingan wêwadhah kêtêmu umah ing wong liyan, mangkana ika katêmpahna samulyané duwé kang ilang muliya mutung kadhêndhaa, angandhêg tali-tali wong linyokan arané.

Ana wong minggat gêgawané kapanggih ing liyané, têka ing pamicaran angulihna amutung sarta kadhêndhaa kidang malayu kari sikilé arané, jênêng lokika.

Ana wong pêjah gêgawané kêpanggih wong liyan, utawi dhuwungé, kang mangkana ika kacina loki kaarané. Angilènana mutung samulyané kang pêjah,  kadhêndhaa karaga têka arané.

Ana wong aburu maling, ana wong sajabaning babahan utawi lawang ingkang kêmalingan tan kapanggih saksi cina, kadhêndhaa kang kêmalingan duwéné mulia mutung. Yèn ora kalang amangka babah kèwala, asungapa takut kagata sangara arané.

Ana wong parêbutan angaku  /65/ duwéne kang sawiji kêcapé tan matra siyanu dudu lanang ingsun. Awirang ingsun utawa kamalingan utawa kacurigan salah sawiji jênêngé lokita. angilènana amutung lan kadhêndhaa, karagas askara arané.

 Ana wong dura cara sadipa jinahé anuli, kang dura cara migat têmpahna kang aduwé cara. Amutung kadhêndhaa kawéca upaya arané, déné bisa agawé ujar.

 Ana wong kèlang-èlangan   anaa sanggup pangrurun, anjaluk upah-upah anuli dèn wèhi ulahé dèn tampaning wus ana dèn ulihakên upah-upah ika sapanalih sapa biyung saliring sapana, opah-opah ika mulia mutung duwé kang ilang mulia sakawit lan kadhêndhaa loki katidharsa arané. Kadi paksi kalêbêting kalatan kawasa mudura.

Ana wong liwat umahing wong liya dalu ling sèna tuku maèsaa. Kuda, lêmbua, mèndaa. Kang dèn parani kapadungan yèn têkané tanpa cina, angulihna amutung, lokika arané maling sodanama arané.

Ana /66/ wong kasayaban kampuh, katêmu dèn anggo déning wong liya, dhatêng pamicaran mantuk kamuting lokika arané samulyané kang ilang, lan kadhêndhaa anganggé tai abuh arané.

 Ana wong mati alas, ana wong kapapag amaring jaksa kêrisé yèna lêbêting gêtih jênêngé lokika. Yèn têka ing pamicaran angilènana amutung supaya pêjah,  kadhêndhaa 45000 matêp angadas arané.

Ana wong ngamèk kayu, ana wong mati sandingé utawa kuda, utawa  maèsaa, salire kang pêjah ing sandhinge kono yèn dhatêng ing pamicaran angilènana mutung sang mutung kapêjah angadêging pangagasana arané, lan kadhêndhaa 24000.

Lamun ana wong liwat ing omahing wong dalu, sajaké atuku maèsaa, utawa  kapala, utawa sapia, utawa mèndaa, kang dèntêkani iku kêmalingan, yèn têkoné saha cina, angulihna amutung samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha 24000,  iku lokika arané, salokané maling sapana maya Lamun ana wong têtukaran kataton salah siji, utawa mati, kadêndha 14000, oléhé pikantuk kang atatu 80000 lamun ora mati. Lamun mati, angulihna samulyaning kang mati, lamun wong lanang lan wong wadon pada uga arané.

Punika undhang-undhang dalêm, yén ana pêpati ing sajroning kutha cinêkêl satus kawandasa jêngkal, kèh ingkang kalêbu ing jêngkal kadhendha.

Lamun ana wong kasayaban kêtêmu dènênggo déning wong liyan, yugya katêmpuhana samulyaning kang ilang, iku lokika arané salokané wong anganggo tai abuh arané.

Ana wong kakêrêngan wus napih têka  /67/ saloka curigan, utawa kamalingan. Yèn si acina angilonana pamutung samulya kang ilang, sawusé agadhé amaruruhna patang puluh dina.

Utawi aran maling kabunan, iku maling têtanduran sampun kaundhuh saliré têtanduran ana ing gubug sacina, utawa pakoléhé kang anduwé 24000 sarta kadhêndha 4000.

Ana wong maling têtanduran sampun kaundhuh  saliré tataduran,  ana gubug sacina pangambilé yèn langkung aji sèwu putungêna, yèn kirang aji sèwu pakolihé kang anandur arané maling saji.

Ana wong apadu tinarkaa mêndhêt maèsa, mèdaa, kapala, kang dèn tarka angundang saksi dhingin malaku sinêksènan, yèn têka ing pamicaran kalahna  paduné. lamun ana wong asunga bali ing lawang, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga, salokané wong anyuksma warsa arané.

Ana wong atitip ing omahé wong liyan, tan sukané kang duwé omah, ana duwéké kang duwé omah iku ilang, katêmpuhna marang kang atitip.

Ana wong apadu kakalih dèn tarka angambil maèsa, kapala, sapia, sarta dènwadé pisan. Panarkané kang aduwé ujaré  kang dèntarka angaku yèn adol ménda manira dhéwé. Yèn tarka ing pamicaran ora utara padu dhawa wêngkoné lan sakiwa têngêné, kalahna pêpaduné iya iku  /68/ wong mati ujaré  dhéwé, arané déné ora dumunung saujaré dhéwé, anyalawadi arané wênang kalahna sapêpaduné.

Lamun ana wong asunga bali ing latar, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga.

Maling arêp malingi têtanggané  angulahna mutung wong adinginakên  duwéné maling arêp parané mutung ana dhêndhané.

Lamun ana wong malingi wong kang satunggal saomah, barang kang déncolongi yèn saha cina, mulya amutung sarta kadhêndha  45000.

Ana maling wis malêbu ing omah, kabanda iku salokané maling pantara arané, sarta kadhêndha 24000, pakoléhé kang arêp kêmalingan 24000.

Lamun ana wong wong atitip barang kang déntitipakên, mangka dén ambil marang kang déntitipi, iku kadhêndha 24000, salokané amalingi darbéné dhéwé  arané.

Ana wong atilar umaha turu ing tangga.

Ana wong kêmalingan  wêwadhahé katêmu kang dèn tilar ika. Angilèna mutung katiban tai abuh arané /69/ aruruhna kawandasa dina. Yèn tan ruruh asraha pikawan lan kadhêndhaa.

Ana wong mêmanggih saliré kang pinanggih, yèn tan saka ping karta. Lami  arêp ipun wadé, karuruh déné kang darbé, kang mangkana ika kadhêndhaa ngalihna mutung samulyané darbé kang ilang maling temu arané.

Ana wong anyèndèkakên darbèk dèn arani ilang déné kang sinèndhékakên utang dèn wadé sacina kang mangkana ika. Kadhêndhaa darbék muliha mutung. Maling sadha arané.

Ana wong kamasang tinakona gawé ali-ali dèn alap utawa dèn lironi, yèn si kacina ulihna mutung lan kadhêndhaa maling timpuh arané.

Ana wong maling umah ing wong dalu, dèn sapa ora sumaur, dèn parani lunga bari sumaur. Kang mangkana ika kadhêndhaa singungana pakantuk maring kang darbé griya maling ganwah arané.

Ana wong mamaling wus kalêbu ing umah, wus kabèda maling pamata arané. Kadhêndhaa pakantuk kang kamalingan.

Ana wong èstri mêmara ing umah ing wong kalaning wêngi, kauningan déning lakiné. Yèn rabiné mêdhal yè- /70/ n dhatêng ing pamicaran kang duwé  umah kalêbêt maling kara, arané kadhêndhaa 4000 awèya patuku wirang maring kang duwé umah lakining èstri kang awèya 2000.

Ana wong mara ngumah ing wong agawa gêni mulih anyulêd umah sacina,  dhêndhané awèya pakantuk maring kang aduwé umah kasulêd mantuk kamutung angamuk tugêl arané. Yèn nrumbaka ing têtanggané awèya pakantuk.

Ana wong arêp mamaling umahing wong kang duwé umah arêp ki ajar kamalik padha déné kang aduwé banjar, mangka tinakon ujaré  arêp panuduki, asunga pakantuk saha jining wong sakawit lan kadhêndhaa maling utama arané.

Yèn arêp maling jaran utawa malinga raja wangagé saajiné maling pakatuké lan kadhêndhaa maling titaka wong uran arané, pokalé yèn kang ana ing banjar mangka pakolih têskarana arané.

Ana wong aburu maling ing banjar ing wong anguwahan jaluk tulung ora ana anulungi, kang aburu maling kasuduk déning maling sacina paburuné saking pamicaran takênana aduwé banjara  /71/ pakarané ora atêtulung, ujaré  manira atuku boya miarsa katrapna dhêndha 24000 sakawit saajining pêjah, kagêt wilungu arané.

Yèn si ujaré  atangi manira kalêbêt kajrih, yèn manira mêdal kaya-kaya wiyarsanira kang mangkana iku putung ngêna samulyane kang pêjah. Tan ana dhêndha kagét kapênêten arané.

Lamun ana wong dhêdhayoh kalaning bêngi têtanggané kêmalingan, iku katêmpuhana maring kang kêdhayohan, samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha, salokané wong kalédho kriya.

Ana wong adu wêcanan ana wong liyan tanpa utang dèngawé tan wawarah  kang kagénan karèran. Pangèkanipun sacina. Yèn dhatêng ing pamicaran, sira ulihna mutung asunga pakantuk.

Lamun ana wong bali ing dêdalan kalaning bêngi, kasatmatan déning kang duwé omah utawa liyané, mangka kêmalingan iku katêmpuhna, salokané wong anjuksma priyangga.

/72/ Lamun ana wong asunga bali ing lawang, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga, salokané wong anyuksma warsa arané.

Wong atitip ing omahé wong liyan, tan sukané kang duwé omah, ana duwéké kang duwé omah iku ilang, katêmpuhna marang kang atitip.

Wong atitip, arupa bêbuntêlan atawa wêwadhahan ,alongana, duwé kang ilang ing jêro wêwadhah iku, tanjuknya têmpuhna kalêbu ing saloka ina sancaya sjana.

Lamun ana wong asunga bali ing latar, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga.

Lamun amaténi wong liwat, tur nganiyaya, lan ora angalap arta, mangka pinatèn wong iku bakalé mati.

Lamun kapindho amatèni wong liwat, sarta angalap artané ing sanisab utawi luwih, mangka pinatèn lan pinanjara saluhuring kayu, sawusi êdusi, lan sawusé dènulêsi, lan dènsalatakên.

 /73/  Lan kaping têlu lamun angalap wong iku, ing arta sanibat utawa luwih lan ora matèni, mangka tinugêl tangané lan sikilé, sangking dénpêncêng têgêsé,        tangan têngên lan sikil kiwa.

Lan kaping pat, lamun amêmêdéni wong iku, ing wong liwat, ana ing  dêdalan ora angalap arta, lan ora mêmaténi ing awak-awakan mangka kinunjara belaka, têgêsé Ratu kang nginunjara.

Lan lamun angucap wong iku ing wong liyan, maténana sira ingsun, lamun  ora gêlêm sira, mangka sun paténi sira, kaol ésah ora nana kisas, lan ora nana diyat, lan lamun anêrêg wong iku, ing amaténi wong liyan, sangking duduké pati, mangka kari-kari amaténi mangka wong kang anêrêg iku dènkisas.

Ana wong mati gêgawané kari ana ing omahé wong liyan, miwah kêrisé, iku  lokika arané, angilénana amutung samulyaning pêjah sarta kadhêndha 25000, salokané iku karagas askara arané.

Ana wong kamalingan liré yèn tanpa titi, tan dadia kalahna paduné salokané  ing pêksa angagas pramanané aparêbat ing parta lirnya pangarah tan dadia ina wadaka angêdahakên basa. Sapura dukardi duwé ingoningan gagarangan putih, sinambuk tugu umahé ani bramani uninga yèn lakine sêpi. Asung dèn gawa sang garangan putih, ni bramani kèsah dhatêng kali. Anakira kari anèng badalan, tinuku déning garangan putih, maka ayun pinangan déning sang ula naga. Raré pinalayonan déning sang garangan putih. Udani ayun pinangan tutugané, nuli dèn karajan dèn saut gulu- /74/ né sang ula naga mati. Sang garangan putih tumutur maring lépén, cangkêmé muthah gêtih, Ni Bramani aningali dhatêng garangan putih cangkêmé mutah gêtih. Yatnaning nitra mani anak ingsun saira pangan dèn atêbih jabaran, mati garangan putih. Ni bramani malayu mulih anangis, asambat dèn tingali anaké mêksih ing bandulan. Ula naga anèng nakar mati, Ni Bramani asung uninga dhatêng ki pura karti, yèn garangané mati, Ki Pura ngêrti boya suka agiring paben, rinaosan déning karta. Ni Bramani katrap dhêndha, angilèni amutung saajiné garangan putih. Salokané anggaskara ina sabuta.

Punika sêdaya parêbatan lan duyu wijaka kang dèn nraosi sadurungé ana sawusé ana sami matur Gusthi Madana Sraya. Sang wirasa gupna angrasani sadurungé ana anganakakèning ora pangrasaning sun, pangucapira iku. Kaya sang dhadhang karya angrasani sadurungé ana, ing orak kakéni tinari sêdaya karta basa angaturi salokatama wontên  /75/ jênêng tan kawalasa, wong akathah angaulub saring waringin sakathahing pasar. Tiningalan patra kangana, kangana kayuné Patih Mandana Sra ya sira asung patidharan, anganakakên sakèhing ora  yèn goning   ra padha mangkono iku lawan sira wijaka angarakakên sakèhning ana, têgêsé parètah iki dora saking kawula saking gusti kabéh lawan sira karêpi jênêngé raja,  apayung malaku binuru déné bandha wongan anging katutan sahdènya liring salokané wong tan katari déning gustiné têka dhimini matur ing gustiné jênêngé patularan sakaning bnêré mênanga gènira ngawula tuban raksaka.

Ki Alon dèn piara ing wêngi angungsi udakarti giniring sabên rinaosan dèni karta kalah ki udakarti angilèna sangang ing kawula putungêna, salokané anawang karta supaksa andakaha singa ana alas.

Ki Mali awas sinilih artané Ki Badigul oraa sêmayaa rong wulan, kèwala, yèn ana wulan roge pnaur manira adurakadi, adora sembaga kaligaa winada- /76/s kartané , déné ubaya kalah ubaya déné karta, kalah karta, déné ubaya dados  karta janji ubaya, déning supabra saksi kalah déning supabra, supabra kalah déning saksi, déné cinatur paripaksa rinaosan, déning karta, ênggonya ngagas ngasilib èka basa tênga ing sagara, warah têngah dalu ing tanggal ping patbêlas. Sami alok mantri sadaya.

Yèn ana wulan roro ing andhap lawaning luhur kalah paduné Ki Badigul, katrapan dhêndha ora mantuk kaputung, sinalokanistha amêt upingan, andaya pariena lali ubaya. Tidhem ing agas salokané anggas andaka, ana saloka malih awija patra aber dadi déning anidra,  têgêsé  raditya.

Aja sira amada tutur, yèn ora nakarone  têgêsé  samurcaya.

Aja sira arasani kalanira kaserengan,  têgêsé  asurya sewanya.

Aja sira anibakaken pucuke ladingira, yèn durung gemet genira  angrasakaken  dèn kadi srêngéngé têngari bnêr tibané pucuké ladingira. Yèn maring papan, abêr dawa  déné kawaja mantra adrawésna, têgêsé uninga /77/ kêna i pangalahé i tuturé déwé , sawiji-wiji, poma-poma.

Punika kanyéthara aturika Pangèran Sènapati Jimbun, angitharakên saking pratikahnya pradata, kalih prakara, kapupus ing salokawara. Kèhing padu tigang dasa pêpitu. Pamêgatipun sadasa prakara, punika araning padu tingkahing durjana, codèkah kanggonan durjana, pratikah wêruh sapolahing durjana sabojanan tugal mangan lan durjana anakokrahing pèni olèh-olèhing ing durjana. Sakatraha wèha namaning durjana, codèkaha ngalingi durjana. Sacarèkah sapaduluran lan durjana.

Punika astanada corah aranya.padu pitung prakara kang pantês pinatèn déning Sang Prabu, awisadah angupasi gêni daha nunoni akawarna wong anêlah. Wajawa karih wong angamuk paladara ing ayah wong amaragul raja wisuna adona-doni wong obong atulung kêlik.

Punika kapadu limang prakara nistha maangsa-asa aloré, utama mangong sangangsa aro- /78/ béi atuwus-uwus arubahakên pagêr alèh susah saisiné ngupahé antuka pasumêngêr pariwangsa yèna mêkas pakrama angambuk pugung angapal-ngapal ing umah ing wong amêmisah kang duwé umah. Saisiné umahé alèna pasumêngêr, pariwasa yèn amêtan pakrama angamuk pugung angapal-ngapal ing umah ing wong amêmisuh kang duwé umah saisiné umah awèya pasumêngêr.

Punika pagarayanganing padu kalih wêlas prakara, kang wontêning salokatara, tarka kandhèh déning patra, patra kandhèh déning saksi, sêksi kandhèh déning bukti, bukti kandhih déning satmata, satmata kandhih déning cina, cina kandhih déning nyomana, nyomana kandhih déning pramana, pramana kandhih déning ngubaya, ubaya kandhih déning purusa. Tarka ujaré  kang aboh têgêsé patra têtulisan têgêsé ngadang wêruh kang dèn sudakakên.

 /79/ Têgêsé tétulisan métu saking kang dènarah, têgêsé satmata akathah kang wêruh,  têgêsé  nyumana metu saking kang dènarah, kabèh wêruh têgêsé pramana alawas têgêsé ubaya tetulisan lan karona, têgêsé purusa parèkah atêgêsé lèna, rasalin parèkahing ratu, têgêsé kaliganata asalin watu.

Punika lungguhing  saksi patang prakara, saksi utama wêruhing tigang prakara. Wangsa silan kardèn sinêsèkakên lan pinakaning sêksi, saksi pramana sêksi ing lyan kang andêl saksi pradina saksi wong mati, tanpa dadia sêksi sudra wong suara.

Punika ing kastha  corah kalih prakara, ana maling dudu maling iya  maling.  têgêsé  nadyana  gawa apangikis, yèn ana pagêr bawah. Mara dalu-dalu maling uga akutha paid abau said, abuta said  têgêsé  abahu said, asaksi lêbé modin tanapi utus saksi jurjana  têgêsé  abau sabda. Sêksi dèn wawarahi durjana.

Punika lirnya angayawara agama kalahna déning adigama, kadhèh déning toyagama, toyagama kandhèh déning purusa.

Punika  têgêsé  ju-/80/ gul mudha, ora ujar roro  têgêsé  karta basa karta déning jaré awaké satata bané ulatana, sapra yogyané basa kêna ing prayoga para kaandhapya. Wêwêkasing raja niti titènana prajané ulatana lan saprayoga, basa mangka ana minongka adhapya.

Punika  têgêsé  raja kapa-kapa, ulatana papané, punika têgêsé sadi, titènana rupané pangucapé ing akèh tan ana pangucapé rowah warnané minaka andhapya, punika  têgêsé  kuthara, manawa akèh kang aran mara nawa, manawa ala, manawa bêcik ulatana, punika  têgêsé  titiswara, titènana pangucapé lan kang dènarah lan kang arah iya lurah ing pamiarsa lokika mamaduning prabasa.

Têgêsé  ing kuthara, tingalana kakêtêgé ing karoné êndi ingkang ala minaka adhapya. Punika  têgêsé  sara supatama kaana wong apadu têtuga sêrêgané béya gadhé pajêgan mangka upaha sajroning ngapadu minangka kaadhapya,  têgêsé caya murcaya, mangka ana sajroning apadu kêpatèn minaka andhapya iya iku papêgataning /81/   ngalah  têgêsé  salokatara, ajarakên ala bêcik kang apadu iku, katona ala bêciké kangala dadi kadhapya wong dadi dalih adalih pajêganipun 10000.

Yèn si corah pajêganipun 20000.

Yèn sêpisan pajêganipun 14000.

Yèn si kaonang-onang pajêganipun 20000.

Yèn si kacorah kawastan déning dhêdhukun kèwala ora corah tumut dhêdhukun tétiga tuan, langkung tétiga pajêganipun 40000.

Yèn si dhêdhukun kêkalih pajêganipun 3000.

Yèn si dhêdhukun satugil, yèn kawasa kéndêl pajêganipun 5000000.

Dhêdhukun boya kèndêl sami panarkané kang sakit pajêganipun 500000.

Déné yèn sisip dhêndhane kang arani 1000.

Yèn si corah-corah tan ana ujar ing dhukun kang arana tan wruhên wong lanang pajêganipun 40000.

Yèn corah-corah kang gêring wong wadon pajêganipun 90000.

Yèn wong lanang kang durung umur limalas taun pajêganipun 90000.

Yèn si boya kaonang-onang déning dhêdhukun mung kang lara kang a-/82/rani, pajêganipun 150000. Punika wong lanang dinalih amêmatèni pajêganipun 50000.

Yèn si wong wadon dinalih amêmatèni pajêganipun 350000.

Yèn tinarka abègal pajêganipun 15000.

Yèn tinarka jina pajêganipun 15000.

Yèn si corah abêbègal mamaling ajinaa mamaténi wong iku tan antuk pakolih. Yèn ana wong utang dhêndhané déné kang apatang sirna patangé tanpa naura sakèhé utangé lèbar tanpa naura.

Yèn ana wong tan patut lan maruné pjah, kasudukan kasabat punika sajèna-jéné kang mati surngêna sanaké kang mati.

Yèn jêjaka anyêkêl parawan sakantukipun 14000 dhêndhané 230000.

Yèn anyekel somahan sakantukipun 30000, dhêndhané 250000.

Yèn èstri tindak sami èstri sakantukipun 10000, punika ingkang wêwêling Kanjêng Sultan dhatêng Kyai Angabèhi Diranaka, dawègira angraosi kang tigang prakara kariyin ujar ping kalihe wong, ping tiga duduga ping pat grahita.

Yèn wontên têtiyang jina jajaka raréyan wulat mamradika, yèn sampun kadadèkêna kawula dalêm, kaot wadon katon têna ajining wong wadon, ajiné kawula dalêm. Yèn kabêngan sajroning kaji, ngumpak kaji têbusanipun 15000. Yèn parèk kirangkah têbusané.

Punika kang parèntah panêmbahan kang sumaré pasragrahan. Yèn kawula dalêm bumi arabi ing kana-kana lananga, wadona, yèna ngirid, yèn si bêboyongan saking wètan, saking kilèn, urawi kukudan, kèsah alaki rabi ing kana-kana, mulia mradika akuwat kawula dalêm.

Wontên wong malêbêting griyaning wong dalu-dalu tan wontên babahan  kang mênga tan watên darbé kang ilang. Cinêkêlan ayuna papagih lanikènya sambaté kilok ika, atitir binêkta dhatêng pakêrtan kalah paduné Ki Dêrgul,  katrapan dhêndha 88000, pakantuk 24000, salokané maling anglandhêpi sing ati ngandika, angoningina nga -/83/ du pucuk ing ri, Ki Corah anjaluk kêrisé Ki Bègal boya awèh. Anulisinuduk pinggiring dêdalan anuli-nulianuduki patiné Ki Jukara patiné Ki Sawah. Anuli matèni Ki Agas dèn urugi sukêt anuli ing pasar anyolong dadot lan Ki Kutil anuli amêt dodoté Ki Sayab. Dumunung ing umahé Ki Saèka, angucap lan Ki Sakara ika, Ki Saprana angumpêtakên, Ki Corah, Ki Kutil, Ki Sayab anatuki katur dhatêng Gusti Patih Mandana Sraya rinaosan déning karta. Sira corah tiniban raja dhêndha 88000, sakathahé ing ambil amutung déning wong têtiga tiniban dhêndha 44000. Sinalolakani corah ing karang baya durga karaha mêt mangsa.

Kisahé kaki sakara hita, Ki Saprana salokané sagralêm tridhusdêm, amrih bègal jro dalêm si corah anyalok-loké bonèki tingar, patèni ing alas ing dêdalan. Yèn wêngi sarta atitir anêbêlah kêboné  /84/ tigêmpol ajalukartiné ki mêrkênèng anendhal kêrisé Ki Bapang gnidyan , angupasi Ki Awi Saayah arampog umahé Ki Garadhah dosané dèn arani bisa gêlah anuduk maring Ki Astaka rabinè arani cari dosanipun dèn arani, ana ragyana.

Ana Mandala aran Ki Danara rabiné, arani srapi dosanipun dèn arani, ana grana. Déning Ki Tata anuli anaké Ki Garadhah angadéning sawahé  Ki Dosa, dèn arani bumine anuli angaras-aras rabiné Ki Makathah. Kalakana ing umah, anuli malajêng saking karta. Ki Lalaki kadhêndha. 88000. asunga makantuk ing muliya mugung. 44000. Andaka adurga tan wruh ing boya ara Ki Walat amala Ki Sikara. Anulis dèn pirang papayoné gané wruwruhé ana saking sinakara.

Punika Sang Bramana sêkti, si karga coba pangrasani mara karta ing. Mêdhang Kawulan dumunung dhukuhe kiwipawikêna / 85/ kiwi sawicina aduwé anak, arani duka lani asih Sang Bramana angikahé arani tilam kêdah rupané sinimêna ning gêlung, Ki Bramana angliwat sanaké wisawigna, arani duka, panigalih sisimêna ning gêlung, wisawigna kèlangan anaké kekalih Sang Bramana ing niring bingmalan, rinaosan déning kêrta, atur ring Bramana sêkti. Punapa parètah Patih Turtabasa, matur dhatêng Patih Mandana Sraya, pakarya catur mariksa marang Sang Bramana sêkti, yan wiku wigna amêndhêm bêkèl  /86/ apatih Mandana Sraya, apatih Karta Basa tana kênaa Ki Wigna swaraning ngapa ika. Kayuning iku wigêna, swaraning banyak, Kyai Pamirèka mula Rêkyana Patih Mandana Sraya angulam, bramana sêkti ana swarané ika, bramana sêkti angucap ujara pamirsa kula swaraning naga. Yata pinarêgsa, dèn pariksa nyata yèn naga déning mantri sêdaya. Rêkyana Patih Mandana Sraya angucap naga banyak-banyak. Pangawasaning Sang Gusti Patih mulih dadi banyak malih. Kyai Patih Karta Basa angucap Bramana sakti kakraping parèkah  /87/  dadi pakalahipun bramana cinekelan ing alapan pangagèné déning para nayaka sadaya, kapanggih  ing gêlung. sanaké wikuwigna Ni Duda, lan Ni Asih, lan Ni Tilam rabiné Bramana sêkti. Dadi pikantuk wikuwigna. Kinawi Brama sakti, wikuwigna, duka  swasih kari Tilam.

Ing atas Gusti yumana, ora na pêgaté kapranan ing dhusta, sang nana babahan kang menga, banon tan ana gigrig, lung-lungan tan ana kang pugêl sira Gusti yumana. Asuwara ing rabiné sadaya miwah para sêlir ora na kaliwatan sadaya, sami kinuwoning têtamanan. Kèdéran ing sasêkaran, Ki nyumana ala wêdgal uga lan agal. Biyumana asuwara, yèn ana wong mêdal sun kèn-kèn sira  lambang salumat, malebet ing dalêming anak, amarani manisam nikèn rèni. Para rabi nira yumana, ni manisan lan ingon rêsmi, agunêm lambang salukathara jama réné sakathah ing kusuma, sami sinambura tan kalugahanatal. Ni manisa Ni rêsmi angèlokakên, lambang saluka lêngbêt dalêm. Sira yumana amépét     /88/ wong kapêndhêt sira lambang salukat kaya winarna kampuhé lambang salukat, lambang salukat binasta, dinadisa  Ni Rêsmi winêdalakên saking dalêm katuring Patih Mandana Sraya, rinaosaning kêrta, katrap ing parèntah, lambang salukat. Sinalokan nyumana maning rasa Ni Rêsmi, ni lambang salukat tênung ing tilari sira mangunadi.

Ika taki galugalan Ki Pandugalan kapapag pasanakané aran Ki Warna dèn kanthi astane dèn ajak mantuk dhatêng griyane. Ki Galuga rabiné têtiga, Ni Sari,    Ni Pasar, Ni Rêsmi lagi sêpi marig pasar.

Ki Galuga angucap, adhiwarna, balikana rabiya amaraganga amarugula, gawanên maring umah ingsun. Sun rèwangi boya pati inggih kakahané dhasih.

Pakanira Ki Warna, sami kayunipun Ni Rêsmi manthuk tinuk buri, Ni Pasar malayu, poyan dhatêng Ki Galuga, mesem Ki Galuga, déné dèn ora poyani yèn rabiné dèn parugul déning Ki Warna. Salakiné déréng uning  /89/ ngadhagé Ni Rêsmi, Ki Susur amidhangêt gupuh agadang kariyin. Ki Galuga kantun Ki Warna kapapag ing lawang déning Ki Susur puguh dèn suduki warna dhatêng Ki Susur kapisanan, katiwalan déning Ki Galuga, sanak pjah. Ki Galuga amangnas Ki Susur pjah yèning Ki Galuga, Ni Rêsmi aningali dèn pjah. Sanaké pjah anuntên  suduk salira Ni Rêsmi, Ki Galuga rinakul. Ki Galuga wruh Ni Rêsmi pjah Ki Susur pêjah, Ki Warna pjah, Ni Pasar, Ni Sari agendhongan atitir, kêranana wong  aja tandang. Ni Pasar, Ni Sari malajêng patèng Gusti apagih, panda graya.

Yèn wong sakawan pjah, têka Ki Galuga rinaosan déning karta wong manungkulan kang abêkti wêndhasa dèsa pisan. Sawantuningwong. Ni Pasar, Ni Sari kadalêm ing aranan wênang galu asinusur ing sari pinasar ing rêsmi, sinalokan andakara ra mulih malih maring pandongan.

 I kara Ki Anggas katitipan duwéné Ki Warah, dèn tuluk duwéné Ki Warah. Déné sampun sora dèn kon anginep, dalu Ki Warah kasudukan Ki Anggas a-/90/ gêndhongan titir, linari déning wong kathah tan antuk maring katur dhatêng parèntah Patih Mandana Sraya, rinaosan déning karta nayaka sadaya. Ki Anggas katrapan dhêndha. 80000. Ati lèna saajining wong. 10000. Ingaran anggaswaran.

Ana wong ana kitha, wong ing wong adodosan, têka sina kitha, boya uninga    kang sing akitha, anuli singu kêrta, déning Gustine. Jêjnêngé gagayu arana  balawuran, adirbaya jalukên artané kang angutakakên anangina piwangana nauraken ing umah ira, atanapi angandêlêna ing pasamayané, kari-kari dèn tebus, nora sasi panêbusé, déning kalebeting suka.

Ana wong gadhé wênang dèn anggé kang kumarêbut kumaricing. Yèn si rusak suda panêbusé, yèn kimiyang ginawèkakên, mangka ing anggé tan parisukané, ilang artané tur kêna dhêndha. 150000. Jêjênêngé sampèkanthuk  pradananya .

/91/ Yèn ana wong agitik saluhuring, yèn ana lêbêting gitik kasukakakêna limang lêksa, yèn bêlah daging tugêl otot, rêmêk balung pakantuk têlung kêthi pitung lêksa.

Yèn ana wong atukar, tinulung dèning wong akèh kang atukar angunus kêris, kang têtulung kalongkaning, uliha patiba jampi, sawêtaraning kalongkaning lan dêndha 24000.

Yèn ana wong atukar, tinulung dèning wong akèh kang atukar angunus kêris, kang têtulung kalongkaning, uliha patiba jampi, sawêtaraning kalongkaning lan dêndha 24000.

Lamun ana wong atukar, arêbut dêdalan, miwah arêbut watu, kayu, pala gumantung ing alas, sami bangsané atawa tatu patiba jampi dhêndha 40000.

Lamun ana mukul wong wadon kalawan mukul kang èntèng, utawa anabok, wadon asangêt ngadat anêkakakên sangking tatu, mang ijtihadé hakim.

Ana wong akêna mêmisuh èstri liyan utawi asunga sasalin, tan sukaning lakine kêna dhêndha. 44000. Pakanthuk. 20000. Jênêngé akarya bau dastra.

/92/  Lamun ana mukul wong wadon kalawan mukul kang èntèng, utawa  anabok, mangko ta’zire wong iku 10000, lan lamun pamukulê wong lanang ing wong wadon asangêt ngadat anêkakakên sangking tatu, mangka ta’zire wong iku ijtihadé hakim.

Lamun ana wong wadon cinêkêl ing wong lanang liyan, kang pada karêpé kadhêndha 7000, dêndhané kang lanang 8000, iku wong wadon wêwujang, yèn sampun jinah sangking sijiné kang lanang mangka nuli matur ing gustiné, yèn saha cina olèh tuku wirang 7000, sarta kadhêndha 24000, salokané sênggraha purusa arané.

Lamun ana amarani wong èstri dènundang, nuli dèncêkêl, wudar gêlungé tuwin kêmbêné salokané iku caya sanggraha arané, awèha pakolèh 8000.

Lamun ana wong lanang anyêkel wong wadon ing sêndhang, kliru dèn nyana rabiné, iku sênggraha arané, oléhé 4000, dêndhané 8000, yèn wêwujang pakolèhé 2000, dêndhané 4000.

Lamun ana wong wadon liwat, dèn balang ing gagang, utawa kêmbang sapapadané, utawa dènsabêt ing jêjarik iku sênggraha arané, pakolèhé kang binalang 1000, dhêndhané 4000.

/93/ Lamun ana wong rêrasan lan rabining wong, aning nggon kang sêpi, iku sênggraha arané, pakolèhé laki 4000 sarta dhêndha 8000.

Lamun ana wong wadon anganggo kêmbang, runtuh sinapa déning wong lanang nuli dén ênggo, mangka kawêruhan kang lanang, anuli anuduk iku ora nana ing kara-kara 4000 sarta dêndha 4000, salokané iku kêkêmbangan baja arané, utawa sanding alungguh iku sênggraha arané.

Ana wong wadon liwat, ana wong lanang ing sandingi, iku kalêbu  sênggraha arané dêndhané 8000.

Ana wong wadon liwat sandingé wong lanang, mangka angucap wong lanang mau, aku mambu wangi-wangi iku kêna ing sênggraha, salokané angambung baja arané, iku ana dhêndha 7000.

Ana wong wadon liwat dèn rangkul dèning wong lanang nyata pangrangkulé, iku pakolèhé 7000 sarta dhêndha 7000, salokané mampang-mumpung arané.

Ana wong angundhang-ngundhang, laksana rawuh anuli dèn cêkêl salokané mampang-mumpung arané, pakolèhé 25000.

Ana wong amêmisuh ngajar pakaranganing wong. 24000. Ana katukana sakèhe kang amiarsa, kalêbêting awang-awang tan wruhi  subasita.

Ana wong ananaton ing ambèning wong singadèn tontona sêpi kang darbé pati, wênang trapna ing raja, dhêndha. 24000. Kalêbêtingina dhasti.

/94/   Lamun ana wong anggawa gêni anyulut omah yèn saha cina mulya amutung sarta kadhêndha 27000, salokané iku wong angamuk tugêl arané.

Punika yèn ana wong cacab-cacaban ujar ing pasêban, ing wong akèh ana ing pasêban sinapih kang kêna dinêndha tinanggung yugya kramannya 40000.

Punika yèn ana wong têtukaran ing pasêban, utawa anibaning sabda saru,   yèn kawula dhêndhané 4000, yèn wong bêcik dhêndhané 8000, kang kasisih yèn anantoni dhêndhané 10000, lan awéh patiba jampi suda karané tatuné.

Yèn ana wong atukar, kongsi aparani sangking rosane manjing ing lawang,kongsi angrubuhakên pagêr, amêrang-mêrang têtanduran, utawa pêtêtan mangka kadhêndha 4000, lan sira awéha pasumêngêr.

 Punika yèn ana wong  angruntuhakên sarta gêgamannya, dèning amarani yèn mandêg jabaning pagêr dhêndhané 24000, wong sawiji yèn manjing ing lawang bali mêtu ing latar, dhêndhané 40000, wong sawijiné, yèn ana wong  ambêdah pagêr kalêboning omah dhêndhané 5000, wong sawijiné, lan saliring darbéné kang ngili muliyo sadaya, gunamantuka triwiguna, lan asunga pasumenger, wong lanang 8000, wong wadon somahan dhêndhané 5000, yèn randa 4000, yèn pêrawan 2000, yèn raré sapihan 2000, yèn raré pasuson 1000.

/ 95/   Lamun ana wong wadon maring griyaning wong, kalaning bêngi konangan déning kang lanang mêtu omahé sarta asêksi, kadhêndha kang duwé omah 12000, salokané maling kara arané.

Yèn awus awas ing datna mingsuh Rêkyana Patih adarbé, amênga-mêngan kodhok ijo nanging cantri sukuné winiyosakên saking dalêmé Gusti apatih. Alah tanggapana si kodhok ijo, alah sang kungkang linyok aparah ira maring ingsun, dèra patèni tiragawa, ginawa Ki Kintêl pidhadha, kayune Rêkyana Patih ingantukaken rabiné Ki Arya Seba, sanga sinaloka narya suba awona tan wruh ing basa, ngungkang tanpa pathané.

Sira soma radité kapetenganingara-ingara, Mêdhang Kawulan mulih saking Majapahit, kawêngèni têgala wus angrèrèni pigir pasisir, agunêm kalih sanaké adalan si mongmong lugêdhah êmas pinêndhêm ing kêndhal kara wong abacoka kadhi pinêt ing ngaturakên Sang Prabu.

Ana déné bauwarna adhi ginawa mulih dhatêng Mêdhang, sadalan lampahé  ana   /96/ gadhangan têka ing umah kasamuting siyang rabiné Ki Soma sanaké Ki Radité têkèng griyané bauwarna dinum pinatiga, saduman kinalaraakên Ki Soma ratinakon déné Ki Anggara.

Yèn alèh êmas sawong-wong gêdhah kari ing kêndhal garadhana, niagara aduwé babaudan, arani kalêksana èstrine arani pramana. Ni Anggara awadé  kampuh, maring griyané Ki Lêksana, Ni Pramana awarah maring Ki Lêksana.

Yèn Ki Soma alèh êmas dinèkèn ing dhêndha karawang, dupi wêngi  pinarahan déning Ki Lêksana pinêt ènjing Ki Radité maring pagigir, tiningalan êmase ilang rèntên mamahé Ki Radité. Endhal garawang tinêgor ginawa mulih ing aturaken dhatêng Rêkyana Patih. Pinen angraosakên êmas ical ing kêndhal garawang, rinaosan déning parana akasa daya, Rêkyana Patih sakêdhap mênêng, Ki Patih angucap semaradité lênga iki tigawanên mulih. besuk rina-rinaos /97/ nangi sampun suwara angambil damar inupuk ing alun-alun, sira radité mantuk saking pasowan, alah dhatêng rabiné.

Yèn sinungan pratandha dènira apatih buratarum, sira asminingrat ginadah déning Nini Anggara sinungakên dhatêng Ki Lêksana. Ucapên Rêkyana Patih, sampuna suwara.

Yèn ana anganggè ya burat dalêm, kang kinona nyêkêla wong alun-alun, inguworakên têtêg wuning miwah bèn agè. Sami gita sadalêm kitha, miwah sajawining kutha sami atandang, sampun rinakitan. Déné wong kaparêk Si Lêksana kacêkêl, binak dhatêng pasuwan rinaosan para mantri sêdaya. Tinakènan sira nganggé burat dalêm, awarah olihé tubasing pasar. Tinakonan rabiné Ki Lêksana, aran pramana. Boya tumbas lisah dalêm, lisah jawi boya ana wandé kaya mangkéné gandané, Ni Anggara dhatêng griya manira, awadé kampuh, manira lagi asêpi tinakênan Ki Lêksana boya angkéh réh ira Gusti apati-/98/h   kalih patik saka basa, Ki Lêksana dadi durjanané jinarahan Ki Lêksana, Ni Anggara  dinalêmakên déning Sang Prabu Si Raradité pinakaliyan, sarabiné durjana prasakang amawidosa kadhêndha 80000, 4000. Ingaranan somaradité anggara kasih.

Yèn Lêksana apramana, sinalokan andaka sarati durjana tilam. Sira dangu kèrangan alêksira waton wijaya putuné Ki Bujaga. Sira dangu kèrangan anglamar papêtêngan rabiné Ki Sajaya, araniwigêna, saleki Ki Aryasupêna, samaktu payu dèn tigali êmas. Raja kaputrèn tinigalan wong dalêm, Ni Esih lawan Ni Raras, dadi patiba sampir. Sira satama saraké nasiwigêna atari yèn awéh yèn ora angucap.

Ana karêp ira sira tama angrusak wawêtêngan, pinasthi sira ingilangakên sira anangu kèrangan. Sampun winarah yèn tanpa wèh sira sutama, giniring sabên déné Ki Bujaga, katur dhatêng Rêkyana Patih rinaosan déning para naya- /99/ ka  sadaya. Rèhing kartakakên dadosa piawon ingsun sinalakên Ki Bujaga.

Ana rawèh tan wruh ing baya dalêm wulan aksarané, katrapan dhêndha, 80000. 4000. Sira supaya sinalokaliyan. 40000. Patiba sampir dados gendhong winawir suka mawigêna, kasèsèh ing laras wagan wijaya ujaga dangu kèrangan, sinalokan andaka angara sari kaingaran dhorané panguntawang.

Sira wisuna ayuna dêrêgawa, anilih dèn èman wong dalêmé wiarya rudiga arani praya. Lawani aku tinakèn déné Ki Wisuna, anambuk irkanè Ki Sudra Pralaya, sapangêlé, alihna baksa paha, sakathi ing manglêksa, katur yèn anduwé gawé, Ki Wisuna, Ni Praya, Ni Aku. Mantuk dhatêng griyané angucap dora  ulangné anilih noraa déné pan ana kang duwé nguwong. Ki Udapraya anagih maring arudipa kakang baya rumasa yèna utang, dhatêng pakanira arta sakêthi li-/100/ mang lêksa boya angaku pined kudane saking gedhongan.

Ki Arya Rudita anagih dhatêng Ki Wisuna, boya angaku anuli matur dhatêng Kyai Patih sampuna kakênan anggiring mamaring Ki Udapraya, Ni Praya, Ni Aku. Winiyosakêning ngarsanira Rêkyana Patih. Ni Praya, Ni Aku tinakonan déning para niyaka angakèn kinêkèn dhatêng Ki Wisuna.

Ki Wisuna boya angaku, yèn  akèkênan boya anigih uwong pinaripih  tinakêna. Yèn aduwé gawé êstu, yèn anilih kèkênan dhatêng Ki Aryarudiga, Ki Wisuna dados pikawonipun rèhing karta katrapan dhêndha. 40000. Angulihna pugung.

Ni Udapraya katrapan dhêndha. 40000. Angulihna pugung, paring tiarya rudita ingaranan. Angadonira raja wisuna. Ni Aku, Ni Paya sinalokan andaka asari aculika ing pêpadhang Rêkyana Patih anggaskara, maturé Rêkyana Patih Mandana Sraya, kadospundi salokanipun winastan saloka agama tugak mati kalingan. Ron urip déné putuné karêpé punika urip déning ratu  /101/ winasaa sêmbada amiarsa pakêrta ing Mêdhang Kamulan, bênêr tuwané Ni Wêrgul, matur dhatêng Rêkyana Patih Mandana Sraya. Déné pabéhé sang kidang, angidêki anaké Sang Pragul pêjah. Rinaosan déning para nayaka sadaya, ujaré  sang kidang manira baksa boya mariksa.

Anaké kang wêrgul yèn pêjah, déné agendhonga atitir, karané manira bêksa puniki. Kang wijal anêmbang gamêlan. Ala ajur kiwijilin ring pabên. Ujaré wiwijal inggih manira anembang gamêlan, Ki Manyura angigêl wimanyura giniring pabên ujaré  Ki Manyura, inggih karané manira ngigêl, kiwaraa anêmbang gamêlan.

Ki Wara aginiring patèn, ujaré  wicara akarané sun nêmbang saruni kidang kalungan sakidhak agawa umah. Ing bakang kiniring patèn, ujaré kidang karanipun lunga sakida ujaré  kikuna. warané panira lunga sakidak boya ki andaman, déné kira kathah sami dèn anggawa, wawarih, kirêmatha iji  /102/ ring patèn. Mêpèk sato sêmbawa sadaya, rinaosan déning nayaka sêdaya.

Ki Wêrgul saking pangarahipun tan antuk sarehing karta déné boya udhangakên gèndhongan atitir, sakèhé sato sêmbada katrapan dhêndha. 40000. Salokané ina paksa agaskara rêsminé parêbatan.

Punika Sang Kamala Jati, ing Nusakambangan amiarsa Nagara Mêdhang Kamulan. Agêlarakên aksara, sira Patih Mandana Sraya, sasosra ing jagat, manahé Sang Ratu Jayakomala, yata dhatêng ing Mêdhang Kamulan ayuna pagih kalih Patih Mandana Sraya, yata kèsah king nagarané. Ucapên rêtna widuré ing Nuswakambangan sami kayunipun apagih ing marga sami agunêm nulya malêbêting Mêdhang Kamulan. Pinarêk déning para mantri sadaya, saandhaping mandira, ucapên Sang Ratu Jawa, rêtna widuré malêbêtan para rapad amiyak wong asêba sinapa déné Sang Prabu. Punapi sor karya pakanira, paring nagara manira, maka ngucapa raja, kumala, miwah rêtna widuré amiyosakên cacangkrimaning aksa- /103/ ra.

Punika namané dudu anamining prabura sêmbada, wigting dura sêmbada sahara ngawang, gêlap tanpa udan. Gêni murub sajroning banyu, sêkar tunggal wit tiga warna, iku cangkrimaningsun. udharên dènira yèn katuka isuna nêdha parentah ira. Maka rinaosaken déning patih Mandana Sraya, kalih Patih Karta Basa, cacangkrimanika  têgêsé  Sang Jaya Wécala, miwah retna widura,  têgêsé duduga nama manira, karêpe Sang Prabu sadurungé ngawédal pangucapé dora adoh, sang karana maning ngaluhur, têgêsé Sang Prabu lawan pangucapé agungakên kagungané sagara ngawang-awang.

Sang Prabu gêlap tan udan pangandikané Sang Prabu api murub jroning banyu, kudhup wruhgal kawulaning ratu, pinasti kang winawikan, kang pinadha padha kang kinasiyan ingakên.

Kang owah tan widuré sira raja komala, sapangucapé buwar, déning Rakyanapatih Mandana Sraya. Ayun kèsah wong kakalih tinarajang tinalêman Sang Ratu Nuswakambangan sampu kabêkta, sira Rêkyanapatih Kêrtabasa matur dhatêng Rêkyanapatih Mandana Sraya.  /104/   kados saloka lawan pan suku sêngkaan kulumangsang wohan mulaning nganucuk manuk punika. Salokané dadia kawi gawé ala ajing manukun angiring manduhakên ulah saking adados pria jurang, mangada-ada, aja malaku amapanyung binuru déning pandhan wangi.

Sira Ki Carub katunon, sira Ki Banyu kiwisuwan Ki Lulur sami agunêman déné patiné Ki Wulikan anaké Ki Kalubuh pjah kabranan pigiring margi sami agendhongan kitir wanèh uwang udhang arik dinêdêg déning wong kathah.

Ana kawiyosipun sami mantuk lan ana rinasan tan matur déning wong    agung kapa wiwih déné anrima maèsa déning wong agung sadaya. Karaosan déning karta, katrapan dhêndha 40000. 40000. Sami èstri nira kabèh ing balen patining mênêng mulat kapining. Kinawi déning para nayaka matur Rêkyanapatih kalu dèn kalunyêhan murub kaduda kiwisuyan kadus aluluran patiné wulukan mulating mênêng kapinêng.

Punika paduné  Ki Tunggakwarè lan Ki Juraganalun adi- /105/ kimban bandhané mariki tugak aji sawidak sasur limang kêthi limang lêksa, têka iki uga swararêngkap malingan saisiné umahé, têlas wêkas têka titipané katut, Ki Tugakwarèng agendhong atitir undhang arit.

Yèn kamalingan Ki Tugakwarèng aduwé ank wadon arani Esih lawan Ni  Sari. Linamar déné Ki Yungan, anakéni baya. Ki Alun kêkadhang nuli watêng umahé Ki Tuga lèrèng winarah. Yèn kamalingan telasa isine umahé,  Ki Aluna malampah titipane norana kari telas, sami matur dhatêng Gusti apatih rinaosan déning para karta niyaga sadaya. Pabèné pitunggak lawan Ki Alun, pinaripih agêndhongan undhang aritaning kamalingan. Pinaripih malih angakên yèna duwé anak sampun linamar rèhing kagati Ki Uga lèrèng katrapan raja dhêndha. 40000. 4000. malingasih inilaran dèn kaya simpên. Ginawa déning kartaniyaka, sadaya, nêngêr gagakwarèng kasèsèh ing alun bayaning alungwang sari.

Ki Udang ing arana mêmêdining anakénira / 106/ mulih anangis nora kinon déning ni rondho katur déné Rêkyanapatih, rinaosan déning para nayaka sêdaya. Tinakoni Ni Randha. Déné tan sukané déné anaké mulih angangis, Ki Udhang    tinakênan amêpat, pinaripih Ki Undhangakên amung mangkéné, ujaré  Ki  Undhang. Mangka bocah ing kudak silihe biyangané réhing karta Ki Undhang karapan dhêndha. 40000. Pakalih. 2000. Ingaranan bara-bara tan bara, oléh lara amrénéni.

Patih Mandana Sraya agunêm kalih Patih Kêrtabasa agunêm soring mandira  pêpèk mantri sadaya, kang rinaosan cacangkrimané aksara sapauninga ing mahadan. Pinasthi kawulaning ratu namaning cacakriman prayoginé duduga, sêmbada gêlap tanpa udan, sagara ngawang, gêni murub ing papadhang, ujaring kawi, ayru tan wruhing subasita mamamulung mara sacondrasa, dèn awas kang alêlawan surupé. Minaka walêsanira sang durjana udhanging ra jaksaning praja, ing Mêdhang tinumpuk yèn ana wêwalêring kêrta katrap ing raja dhêndha.

Punika Kuthara manawa  /107/ kang antuk Kyai Sènapati Jibun. Punika lwiring parakarta, sawi kuramanawa tikah ingkang yogya, kawikan ana déning Sang apatih déning anglarani. Yèn angluputêna ing bênêr, abênêrna ingkang luput. Kênaa ing ngupatané bêthara, kalêbua kawan dêrba manga, sèwu taun tanpa mentas. Alokanana papan nêraka, punika wêkasing bathara tambuh.

Punika lwiring ngasta yusta, walung praka lirnya byaklah, isakah codèkah, akana matènana, codèkah ngênini, kaliga yogya pamatèni, arêpa urip pawèyan dhêndha, kinotama. 40000. Sabojakaawèh panganing maling, pratikah asami ralan maling. Astanadahawèh êgoning maling, krawana tugu abahu rêksa ing maling, kang nêptaha ngumpatakên maling. Sacarakah atuk sadulur lan maling,  kalima utama dhêndha. 4000. Kartah aweh wot sangkara ilah adona malingi tikah dhêndhanè. 12000. Sapaduluran lan maling dhêndha. 24000. Kadalanan maling padhalan wowot aweh babahan dhêndha. 24000. Angileni malih du- /108/ wéné kang ilang, amugung, sapangandan maling sakolihè mèlu dhêndha galêsa amangan lan maling sakuthu dhêndha. 24000. Samara ika lan maling anuduhakên maling dhêndha. 12000.

Punika astacorah wawalu kathahipun kartan maling lumêkas malih. Pratikah sami pralan maling, nista jawah sakaning maling, krawah ngomah arêksa maling. Jaka Makah amacuk lan maling, kabèh iku yogya patènana, anak rabiné yogya  pajingèna ing dalêm. Kara ikah amanah Sang Prabu yèn arêp têbasên utangè na walungé wuwong sijiné wong wadon nèm èwu , raré patang èwu.

Punika linging sastra, nista jawah sakaning maling, dhêndha. 10000. Angilèni duwé ilang sakawit. Pratikah sami kralan maling dhêndha 1000. Apakah-apacuk lang maling. 10000.

Punika tata agènidah, anudoning awisadah angupasi, bodé karah angamuka parawanah anêluh, awèh raja wisuna Sang Prabu amupangèstri larangan, rupa ranu arangkat yèn putungêna tan dosaa yèning rêp lupute kêna ing dhêndha.

Punika acorah i- /109/ tikahing maling, dhusta anayab abèlaa maling ngutil adhudhut alêlér, ingitir, ajupuk, angêmbat andika lirnya, anayab majing jro ngomah wênang patènana, saha cina tinali-tali, dhêndha yata dunungan 8000. Angêmbat pagêr. 2000. Pakantuk trap ingkang nêbak, angêntasi kang kinêbating sampiran dhêndha. 4000. Pakantuk kaputung adhudhut kang déning witing dèn pikul, dhêndha. 1000. Pakantuk. 4000. Ajupuking balé, dhêndha rinolasan, anglêlèr kang dèn salahakên sinawêlasan lan regané kang dèn alap. Iku amutung angutil pakêyanira wong dhêndha.8000.8000. sèn wong wadona ngutil dhêndha. 4000. Abapang anêndhal kêrisé kalapan dhêndha winor pinatèn. yèn kawali tali  maring gusti, dhêndha. 8000. Kêris muliya wugung. Yèna nganitip pasumêngêr. 4000. Rêgané masa. 4000. Muliya mutung, anyolong kuda dalêm kadhêndha.  2000. Pangajiné kuda. 10000. Yèn kuda kukurungan pangajiné. Yèn kuda wadon. 4000. Anyalong sapi 6000. Ajining sapi. 3000. Amutung anyalong maèsaa arêgi limang kuda  /110/  amutung.

Ana wong ngautang urêdtaya akèh anaké. Satugal saking wong atuwané mati, ana kang anglakoni darma aji, wnang anêbasa utang wong atuwané tan wênang anugoni anaké.

Ana wong utang pradata tan wruh anaké yèna utang, saking wong atuwané wong anaurana utangé wong atuwané.

Anata ya tanpa utang ing alap abdining pradana, wong aku wawnang angawusana utangnya tenaknya mekuwaara.

Ana wong atuwa piyambêk ing pradana sampuna kawaya ing sadasa wêrsa. Wênang uwusnya utangnya. Ana prahara bituwanan panaktaya duwé abdipun paraniman anak lanang tunggal wênangakên kêna wong atuwané, yèn wadon anak taya ma I wong atuwa jaluk tribaganên maring anak èstri rong duman maring Sang Prabu saduman mangkana linging sastra.

Punika tingkahing pradana aduwé wong kang manèku maliring anak, diwaja kartah anunggoni  pinangan gêrajahu, kawula awèh anêbusi, sawisé kawula  déning pikratah kawula paweweh trikalah kawula kêna anêbusi. Pèk makah kawula kalilir- /111/ ran, dhêndha kandasa, kawula déné dosané.

Punika pramananing ngautang, saksi patra likita tulisakên bukti sinandhang ping wadon, pakantukipun. Yèn lanang sapakantuk kang lanang, ana bapa anêdhakakên ing anaknya, dewalakuna, wnêng pramana, iku bapanya, wnêng maruwata.

Ana èstri lunga saking bapa, saking paran malaki taya awêkasan didol taya lakinya, wnang bapa anêbus.

Ana wong adhêdhakakên kawulané winalat taya, déné kang matêdhakakên anaura utang maring kang sinandhan, utangnya, kan manandhakakên ulung. Migating pasandan kang manandhakakên asunga utang dhatêng kang sinandhanan sautangé anaura.

Ana wong mangandêlakên tan lungané kawula, drêsasana Patabawah ngaranya wnêng katempuhana.

Ana wong angandêlakên sauraning utang drêsana pratibuh aranya. Wênang anaurana.

Yèn mati kangandêlakên tan têtagih anaknya, tan tumus ing anak rabinya. Ana wong angandêlakên aboting panauré sawalanya angandalakên akona nyêkêla, kang ingandêlakên  /112/ yèn ora têka kang ingandêlakên anaurana sautangnya.

Ana ta wong utang lan wong ngapiutang, awastan panagih awêkasan managih taya liwat saking pitung taun wênang saurana. Wêrdi saka awit sasauré iku kapranan  têgêsé  kapêrmanan.

Ana sêksi jumênêng yèn tan ana sêksi, yèn tan manah linatan wênang managihnya, kadasa wasa aranya.

Ana wong utang èstrinya autang piyambek, binukti lan lakinya tanpa nak taya awekasan mati rabinya, wnêng lakinya anaurana utanging rabi. Punika têgêsé pancacandrané.

Ana darbéning wong atitip wong apatang manahé dhakakên yèn kalêbuwa, pancasadarana, êndika têgêsé  pancasadarané, kaparana déning munguh karaja baya, agening baya, kacorah baya. Iku karané tan managih déning kang adarbé.

Ana wong utang boya managih lami panagihé awêkasana mêt bumi mangalap èstri, mangalap anak tanpa suka amalat, tan suka kang autang tan ana anaura u- /113/ tangé ora sinaur déning amalat, panauré saking wênalat ulihna.

Ana wong autang baya kang apiutang angala duwéne kang utang kêbo, asapia, mèndaa, winalat ana wèh kangautang wneg mangalap ika.

Yèn sami ajinanya, yène sereginya amusuh ana ingkang mautang. Yèn tan pasung saking luwihnya salah satunggal tan awang sulèna kadhêndhaa. 8000.

Uwus panagihé lapên kang ingalap ika.

Ana duwéning wong liyan, binukti déning wong liyan anggêring sandhingnya, jumnêng tan inapêksa taya, mangka inganti pitung taun lawasnya tan kinapaksa taya ika mangkana yogya managiha darbénya malih.

Ana wong kojahakên kojah mugung ilangé mal, iku kaya pangucapé, iya satuhuné pagêri kurubuhêna bênêraken wong iku atas lawangé wong lanang wawanéh, maka iya iku kojah arané, anuduhaken buran tandha kojah padu kang nyata maka uwusma  /114/ kaya ukum Allah, kaya mangkana ukumé Burhan, mal kang ghaib maka tinêmu sapar gèné iku utawa sapratèlan maka ingukumakên ukumé burhan, titinukil saking kitab Rohkhullah, kawikanana dènira satuhuné los iku, kaya ujaré  wong lanang, atasatumuné, iya iku amatèni ing sadulur ingsun, sabab ngalamaté iya iku maka lumaku Ki Duda ngi iku maring supata, lamon ora gêlêm supata, maka ora wênang rinungu ing atasé iku lan kaya mêngkono ukumé burhan lan kojah utawi burhan iku. Arêp ana têtèla ing dalêm pratikahé maka ora  wênang tinarima ing atasé iya iku lan kaya mangkana ukumé kojah, nukil saking kitab Bayad Fakawi.

Bismilahirahmanirakhim  

Allahumma rukughu, risikughu, wa ismaghu, ngalaèka wa barkatu wa rahmatu, birahmatika yamarkhamarakhimin.

Punika  /115/  donga sakêthi.

Allahuma rukughu, risikughu wa ijra ilaya jabana ila. donga salêksa.

Punika pèling napsu luamah, iku palawangané lambé, dunungé usus, têtunggangané gajah, têngêrané malaèkat papat.

Napsu amarah, palawangané karna, dunungé paru, têtunggangané aksa, têngêrané gêni roka.

Napsu supiyah palawangané nètra, dunungé ati têngêrané mandhala giri, têtunggané naga.

Napsu mutmainah palawangané grana, dunungé jêjantung, têngêrané pêthak têtunggane wêruh tan marah.

Titi kala tamat gèné anurat, dintên Kêmis Pon tanggal ping sanga, sasi Sêla  tahun Èhé wukuné Kuruwêlut, titi angkaning. 1612. Titi. Tamat.