Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 47]

“Lihat saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan datang.

Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh pertanyaan.

Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi-jadi.

Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng.

“Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.”

“Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat.

“Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan.

“Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan kita?”

“Tidak, Pangeran.”

“Tapi…bukankah…”

“Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang dimilikinya?”

“Ya, namun saya kurang paham?”

“Inilah bukti kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…”

“Maksudnya?” Pangeran Modang ikut bertanya, keningnya berkerut-kerut.

“Jika kaki Pangeran terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?”

“Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?”

“Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat.

“Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk-garuk kepala.

“Kita telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba-tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan guntur.

“Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!”

Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari.
Bersambung………