Jumat, 21 Oktober 2011

> Lebih Baik menyembah pohon dari pada mengidolakan Tuhan

Dahulu orang tidak mengerti bagaimana caranya untuk menyembah Tuhan, tapi mereka tahu Bahwa Tuhan itu ada tapi tak tahu ada dimana, karena Tuhan tiada bentuk dan rupa. Lalu mereka mencari-cari, dengan hati yang masih lugu. Mereka beranggapan kemungkinan Tuhan berada dibalik pohon-pohon besar atau gunung yang paling tinggi dan diatas langit. Maka Menyembahlah mereka dengan segala ketulusan kepada pohon besar itu yang dalam hati mereka anggap itu adalah perwujudan Tuhan. Atau pula yang memenggadah keatas langit untuk menyembah dan memberi penghormatan kepada Tuhan.
Tapi mereka sungguh melakukannya penuh hikmat, dengan memakai pakaian yang terbaik dan sepenuh hati dan jiwa. Namun kita yang kepintaran menganggap mereka menyembah berhala. Tetapi tanpa sadar kita yang hidup dijaman sekarang justru lebih menyembah berhala yang bernama uang!

Kita yang menganggap diri beragama dan percaya Tuhan, menganggap orang lain menyembah berhala, seberapakah ketulusan yang kita lakukan dalam menyembah Tuhan? Tak jarang disaat ke tempat ibadah masih bisa memakai baju seadanya, tapi kalau menghadap boss pakaiannya sungguh kerennya.
Saat beribadah, dering handphone saut menyahut, tak jarang dengan suara berbisik masih sempatkan bicara soal bisnis. Saat mengikuti ibadah, otak kita masih bisa berkeliaran kemana-mana. Masih sempat menggosip dan dipenuhi pikiran kotor. Tak ada malu sedikit pun juga. Selesai berpuja bakti sudah timbul kebencian lagi. Itulah yang terjadi pada diri sendiri. Tapi tak perlu malu untuk mengakuinya saat ini. Simbol-simbol agama memenuhi tubuh kita. Kalau Tuhan ada fotonya, pasti setiap kamar kita ada mengantungnya .

Sekarang ini kita hanya sekedar mengidolakan Tuhan, bukan dengan sungguh-sungguh percaya dan menyembahnya lagi. Ini terbukti dari perbuatan kita yang sering memalukan Tuhan. Nama Tuhan dan ajaran-ajaran Nabinya hanya jadi pajangan dan bacaan tanpa tahu maknanya. Hanya jadi pembicaraan tanpa ada dalam pelaksanaan. Kalaupun dilaksanakan, dengan cara yang salah dan ditutupi dengan pembenaran. Buktinya adalah, Tuhan harus terpaksa terus menurunkan bencana-bencana untuk mengingatkan kesalahan-kesalahan kita.
Dan itu terjadi lagi dan lagi, kenapa belum sadar juga? Yang ada kita masih sibuk untuk saling menyalahkan.

Tuhan, maafkan saya, karena saya termasuk salah satu pelakunya. Masih adakah kesempatan untuk merubahnya?

Kamis, 20 Oktober 2011

> Budaya Nusantara VS Agama timur tengah

“Kalau tidak memberi dana untuk perawatan, kami bom patung raksasa ini.” Kata pemimpin Taliban enteng, sambil mengelus-elus jenggot lebat.

“Gila, masak peninggalan budaya mau di bom!”

“Biaran saja! Tak usah diladeni! Hari ini dikasih, besok-besok pasti minta lagi.”

“Sayang, peninggalan sejarah dan budaya jadi sasaran.”

“Kan bisa dijadikan objek wisata, sumber duit, bodok amat itu orang, mau hancurkan!”

“Mereka memperlakukan perempuan dengan biadab, bisa-bisa diberi uang juga untuk menindas perempuan!”

Hampir semua negera mengecam.

Taliban tak mengertak, mahakarya berseni tinggi simbol kejayaan leluhur masa silam, berdiri kokoh ribuan tahun di jalur Jalan Sutra tersebut, diledakkan.

Cerita di atas, digubah dari peristiwa heboh beberapa tahun silam, ketika Taliban masih berkuasa di Afganistan.

Mungkin Anda pernah mendengar peristiwa tersebut. Dan, Anda juga tahu bagaimana Taliban memperlakukan perempuan.

Entah “gizi” apa yang merasuk ke otak dan jiwa sebagian besar laki-laki di sana, sangking “jeniusnya” menafsirkan ajaran Islam, sampai-sampai perempuan harus mengkarung seluruh badan, menyisahkan sedikit celah untuk mata; perempuan tidak boleh sekolah, kalau sekolah diintimidasi, dipukuli, sampai di siram dengan air keras; derap langkah perempuan juga dibilang haram, karena bisa merangsang nafsu laki-laki; apapun dari perempuan, asal laki-laki merasa bisa terangsang, maka haram. Kalau yang terjadi sebaliknya, ya tak apa-apa.

Pembaca, mungkin Anda masih ingat, ancaman membom Borobudur, dari kelompok yang salah menafsirkan agama, beberapa tahun silam.

Terbayang tidak, apa jadinya, kalau Borobudur dan Prambanan akan diledakkan, dengan alasan itu berhala dan relief di kedua candi menampakkan dada, kelamin perempuan dan laki-laki?

Nah, bagaimana dengan Nusantara (baca: Indonesia) Akankah perempuan di sini, atas nama agama, bernasib (atau lebih ringan sedikit) seperti perempuan di Afganistan khususnya, Timur Tengah umumnya?

Tidak!

Kenapa?

Karena raga Nusantara yang melahirkan Indonesia Raya, ditopang jiwa Bhinneka Tunggal Ika, jiwa yang lebih kuat, lebih besar dari budaya (baca agama) Timur Tengah!

Mau bukti?

Para pendiri negara ini, salain sangat intelek, juga penganut agama-agama produk Timur Tengah, namaun mereka sapakat negara ini tidak berazaskan Islam atau Kristen, tetapi berazaskan Pancasila sebagai dasar negara!

Adat kebiasaan yang mewarnai agama, yang muncul di daerah padang pasir, beriklim kestrim (siang sangat panas, malam sangat dingin), memang harus beradaptasi dan “tunduk” pada budaya tuan rumah (baca: Nusantara) yang lahir di tempat tropis nan subur. Terutama cara berpakaian! Hidup di padang pasir dengan iklim ganas, tentu wajar melilitkan kain menutupi sekujur tubuh, kalau tidak bisa mati kedinginan dan meleleh disengat matahari. Bukankah tidak ada orang Eskimo di kutub berbusana singlet saja?

Agama adalah bagian dari budaya! Dan budaya harus beradaptasi dengan lingkungan dan manusia di luar produk budaya itu lahir. Hal senada, secara apik,

Silahkan simak tulian dan tanggapan yang sangat menarik tersebut

Salam Nusantara, rahayu

Selasa, 18 Oktober 2011

> Agama Saya adalah Sontoloyo

Pencerahan adalah suatu kata yang menyegarkan. Menggairahkan. Optimistik. Vitalitastik. Dan entah apalagi istilahnya asal adrenalin hidup bisa lancar mengalir seiring denyut nadi kehidupan. Sejalan dengan mekanisme hukum alam. Tapi

Ketika agama dipahami sebagai berhala tua yang disemir lalu dipajang di langit untuk disembah, maka agama akan berubah menjadi racun sontoloyo. Pembunuh gairah hidup. Mengingkari akal dan menumpulkan kepekaan hati.

Pencerahan, menurut saya, adalah lawan dari tabir. Dan keduanya bukanlah barang mati. Keduanya hidup saling bertempur dalam dialektika kehidupan. Jika hari ini ada pencerahan, maka setahun kemudian mungkin yang disebut pencerahan itu telah ditutup lagi oleh tabir baru yang bernama usang. Jadul. Ketinggalan zaman.

Agama, sejauh yang saya pahami, adalah pelembagaan iman dalam satu komunitas yang seiman. Pelembagaan dari suatu kelompok yang menganut sebuah kitab suci. Akan tetapi ketika agama yang dipahami sudah melampaui fungsinya, maka ia telah menjadi berhala, menjadi sesembahan yang memberangus pembebasan. Dimana iman, kitab suci, sejatinya datang untuk membebaskan manusia dari tirani, dari cengkaraman mitos dan tahyul, dari belengggu hawa nafsu, dari belenggu kepicikan, dari tabir sempit pandangan. Dari kultus dan dogmatisme. Iman datang untuk membebaskan manusia dari menyembah apa saja selain Tuhan. Bukan menyembah para Nabi, para leluhur, para syeh, para ulama, tradisi dan apa saja.

Agama hanyalah bungkus dari iman. Ibarat kepala, agama hanya topi. Jika kepala tumbuh menjadi besar, maka topilah yang akan dimodifikasi. Bukan kepala yang dicincang. Tapi dalam prakteknya, tidak jarang posisi agama sudah terbalik. Agama seakan-akan sudah menjadi isi. Tidak boleh disentuh apalagi dipahat ulang. Akibatnya agama mengkorup nilai-nilai iman. Maka terjadilah kebuntuan, stagnan, jumud. Umat beragama bersikeras menarik kehidupan hari ini ke sekian abad silam. Agar cara hidup umat beragama hari ini kembali ke cara hidup seperti di zaman agama itu dicanangkan di zaman para Nabi. Sebuah nostalgia psikologis.

Andai agama dipahami demikian, tidak akan ada para pembaharu agama di sepanjang jejak sejarah. Tidak akan ada para mufasir, faqih, teolog, cendikiawan dan para ulama yang selalu estafet seiring perjalanan waktu. Tidak akan ada mazhab Maliki jika imam Malik tidak merekonstruksi pandangan gurunya imam Hanafi. Tidak akan ada mazhab Hanbali jika iman Ibnu bin Hanbal tidak merekonstruksi pandangan gurunya imam Syafii. Tidak aka ada Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hassan Al Banna, dan seterusnya jika masing masing mereka tidak menata ulang pemahaman agama dari gurunya masing-masing.

Iman tidak perlu diperbarui, karena iman sudah Absolut Universal. Sebuah penghambaan pada Realitas Absolut, Unlimited Power, atau Tuhan. Tapi iman hanya perlu dihidupkan, dibangkitkan agar semakin peka dan menggetarkan dalam hati dan pikiran. Tapi agama, tetap harus diperbarui seiring perkembangan zaman. Jika tidak, agama hanya akan menjadi barang aneh dalam kehidupan sehari-hari. Seperti minyak dalam air. Tidak pernah bisa melebur inklud dalam keseharian umatnya. Tidak pernah menjadi garam dalam sebuah masakan.

Umat beragama akan selalu berada dalam dua ketegangan ini. Iman yang Absolut dalam diri pribadi, dan agama yang relatif kondisional di medan sosial. Hablum minan nas dan hablum minallah. Fanatik (jika istilah ini yang akan digunakan) ke dalam diri pribadi, dan toleran dengan sesama manusia lain dalam kehidupan sosial.

Tapi jika agama masih dianggap sebagai sesuatu yang Absolut, yang tidak boleh dijamah, yang selalu menjadi sebuah TABU, maka pencerahan agama akan tiarap digulung zaman. Jika itu terus berlangsung bukan tidak mungkin di suatu zaman nanti, manusia akan mengatakan: AGAMA TELAH MATI!

Minggu, 16 Oktober 2011

> Tuhan itu tidak Ada

Saya sering menulis Tuhan tidak ada, Tuhan saya bunuh, Tuhan omong kosong, dan seterusnya dengan lontaran cadas menyeramkan. Hingga banyak pembaca kalang kabut, ngeri, lalu lari tunggang langgang. Dan sebagian mereka tak sabar lalu mengamuk melempari saya dengan granat kata-kata. Bahkan seorang Pepi, sempat menjadikan saya target utama untuk dilempari bom buku sebelum Ulil Abshar Abdalla. Akan tetapi juga tidak sedikit yang merasa tercerahkan oleh tulisan saya, yang pengakuan mereka langsung mendarat di email, inbox dan chat boox saya dimanapun saya berada di dunia maya.

Singkat kata,
Riwayat saya di medan tempur wacana agama di belantara maya hiruk pikuk sudah.

Tapi saat ini …
Akan saya eja dengan lain cara.

Tuhan, sejatinya tidak mungkin saya bunuh. Mana mungkin. Bagi saya, tidak ada satu mahkluk yang paling gagah pun yang akan sanggup membunuh Tuhan. Menemukan Tuhan, proses mencari Tuhan, berlangsung sepanjang hayat usia manusia. Itu pun terseok-seok jatuh bangun tidak karuan. Perih dan menggetirkan. Mengguncang nalar merinding bathin. Apalagi untuk membunuh Tuhan.

Tuhan yang saya bunuh, adalah Tuhan imajiner. Tuhan yang ada dalam imajinasi saya. Karena imajinasi itulah yang merusak saya. Karena Tuhan menjadi seperti keinginan saya. Menjadi seperti dambaan saya. Dengan kata lain, saya mengukir Tuhan sesuai keperluan saya. Secara psikologis, tentu manusiawi. Karena tidak ada cara lain untuk membayangkan Tuhan selain berimajinasi. Tapi secara teologis, adalah keliru menganggap Tuhan yang saya bayangkan adalah Tuhan yang sebenarnya, yang terlalu agung, tak terbatas, jauh teramat jauh di luar batas kemampuan saya untuk memahaminya. Apalagi untuk menunjukNya sambil berseru: “Inilah Tuhan!”

Jebakan imajinasi inilah yang saya coba lepaskan.
Hanya saja, saya melemparkan semua penghayatan ini kemana-mana di setiap sudut bumi maya. Hingga tidak semua pembaca selamat saat melahapnya. Tidak sedikit yang mabok, pingsan dan kejang otot penafsiran. Maka sekarang saksikanlah saya dengan keyakinan saya yang sebenarnya.

Tuhan, bagi saya adalah puncak penghayatan metafisis.
Puncak penerawangan bathin.

Tidak ada topik yang paling menarik bagi saya selain perbincangan mengenai Tuhan. Lama sudah saya geluti. Dalam sendiri di ruang bathin. Dalam sunyi dalam malam dalam gelisah yang tak terperi. Tak ada yang tahu bagaimana kecamuk bathin saya mencari Tuhan dalam kesadaran diri. Selain hanya bercermin dan bertarung dalam diri sendiri.

Pembaca….
Tuhan, tak akan kemana. Dia selalu ada dan hadir. Dimana-mana. Sampai kapan pun. Tapi Tuhan sekaligus juga mudah mati dalam kesadaran saya. Dalam hidup saya. Dalam kecamuk sosial masyarakat. Bahkan dalam agama, Tuhan begitu mudah mati. Digantikan oleh berhala-berhala yang bernama penyembahan terhadapa ritualitas seremonial. Penyembahan terhadap pemuka-pemuka agama dan pimpinan ajaran spiritual tertentu.

Tuhan, melampaui segala yang ada.
Tak terjamah, tapi selalu ada.
Karena Tuhan adalah ROH. 
Roh yang menjadi darah daging Alam Semesta.

Tuhan yang saya yakini, bukanlah objek. Bukanlah sebuah persona. Bukanlah sebuah sosok yang terpisah dari alam apalagi diri saya. Tapi Tuhan yang saya yakini adalah Tuhan yang meresap dalam segala zat dalam segala yang ada. Dia adalah sumbu mistik kehidupan. Disebut atau tidak, dinyatakan atau tidak, diyakini atau tidak, bahkan ditolak sekalipun, DIA, Sang Tuhan, selalu ada.

Siapakah Dia?
Tidak bisa saya lukiskan. Tapi bagi saya Tuhan juga bukan khayalan.
Tuhan bukan nabi, malaikat, setan, nabi,dll.
Tuhan bukan kitab Suci. Tuhan bukan Alquran bukan injil bukan Alkitab dan seterusnya.

Tuhan, bagi saya adalah perasaan yang berkecamuk dalam diri saya
Tuhan adalah kerinduan. Tuhan adalah kegetiran hidup yang tak tertahankan. Tuhan adalah embun sejuk yang membasahi pagi. Tuhan adalah kehangatan mentari. Tuhan adalah keindahan Rembulan. Tuhan adalah tangis bayi di malam hari. Tuhan adalah nikmatnya senggama. Tuhan adalah segarnya es rumput laut.

Dan Tuhan adalah ditemukannnya energi listrik. Tuhan adalah ditemukannya internet. Tuhan adalah kemunculan, Facebook dan entah apalagi.

Tuhan, bagi saya selalu mengepung saya.
Sejak saya lahir, hingga saya mati. Jadi tanah.
Jadi cacing dan bangkit lagi menjadi dan kembali padaNya.

Itulah sebabnya sering saya lontarkan Tuhan tidak ada.
Karena saya tidak bisa mencariNya. Karena Dia adalah Saya. Anda dan kita semua. Dan …. semua entitas Alam Semesta. Tak satupun lepas dari substansi Tuhan. Meski yang disebut adalah ini dan itu, tapi sejatinya yang disebut dalah Dia. Tidak ada selain Dia. Hanya Dia yang ada. Tidak ada tandinganNya. Dia satu-satunya ZAT yang otentik. Dan saya, anda, semua mahkluk hidup, Alam Semesta, adalah serbuk tak terhingga dalam Dia.

Tuhan, bagi saya hanya sebuah istilah.
Tapi rohNya, kehadiranNya, kesadaran akan Dia, sudah include dalam diri setiap manusia.
Sejak manusia dilahirkan. Sejak alam ada, serentak Tuhan didalamnya.

Jadi, bila dipandang secara personal, sebuah sosok pribadi yang berdiri di luar alam semesta, maka bagi saya Tuhan tidak ada. Ini yang sering disebut sebagai Atheisme. Dan saya termasuk di dalamnya. Tapi bila dipandang secara totalitas, saya meyakini ada pusat energi, medan mistik Alam Semesta, pintu bathin, visi ruhani, dan apapun istilahnya.
Dan itulah Tuhan bagi saya

Minggu, 09 Oktober 2011

> Jadilah Islam Sejati Bukan Islam Kampungan

Tentu saja tidak semua umat Islam.

Tapi sebagian besar umat Islam.

Sangat banyak jika fakta ini dibeberkan.
Tapi cukup saya nyatakan satu hal saja:

Yaitu soal nilai-nilai moral kemanusiaan

Umat Islam mengklaim bahwa nilai-nilai moral itu hanya ada dalam agama Islam. Dan sumbernya dalam Alquran. Sedang pada agama lain, apalagi pada kaum yang tidak beragama, mereka pandang tidak ada. Mereka itulah kaum yang membolehkan hidup seenaknya. Hidup kacau tanpa pedoman mulia dari Tuhan. Bebas sebebas bebasnya.

Bagi saya, itulah perasaan merasa benar dan merasa super sendiri pada umat Islam. Dan itu konyol dan memalukan. Karena nilai-nilai moral, sense of morality, bagi saya sudah include dalam diri setiap manusia. Karena pada hakikatnya, manusia punya hati nurani. Dan ketika hati nurani itu membisu, maka disaat itulah manusia menjadi biadab. Dan itu bisa menimpa siapa saja. Baik pada orang beragama maupun pada orang atheis. Karena soal moral, tidak ada labelnya. Murni soal akhlak kepribadian seseorang. Itulah naturnya manusia. Titah kosmik. Inspirasi mistik Alam Semesta (Tuhan).

Siapa yang tidak akan merinding bahkan menangis ketika melihat pembataian sesama manusia? Melihat pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah? Dan segala perbuatan lainnya yang benar-benar menyayat hati?

Perlukah manusia sadar diri bahwa dia beragama A atau B kemudian baru menetes air matanya? Bukankah air mata itu refleks emosional saat hati nurani merasa tersentuh dan haru? Bahkan orang bisu tuli yang tak pernah mendengar kotbah agama sekalipun, setahu saya tetap akan bergetar hatinya saat melihat kejahatan yang tidak manusiawi.

Dengan kata lain, bagi saya:
Moral, hati nurani itu, sumur tanpa dasar.
Tanpa batas wilayah keyakinan, apalagi harus bernama Islam!

Rabu, 05 Oktober 2011

> Orang Tua Kita Lebih Baik dari pada Nabi

Benarkah nasihat Nabi lebih baik dari nasihat orang tua kita? Menurut saya belum tentu. Nabi diutus untuk membawa wahyu Tuhan, dan memberi nasihat secara umum mengenai berkehidupan yang Tuhan inginkan. Tapi, orang tua kita lebih mengenal kita daripada Nabi manapun yang pernah hidup di dunia.

Jika anda berdosa, bersalah menurut masyarakat. Pantas dikeroyok masyarakat. Pantas dihujat masyarakat. Pantas dibunuh masyarakat. Siapa yang paling dahulu mengampuni anda? Nabi? Belum tentu. Jika kesalahan anda dianggap dosa memerangi agama, sudah pasti Nabi duluan yang akan memenggal kepala anda.

Yang akan mengampuni anda dalam hitungan detik adalah ibu. Lalu ayah. Orang tua kita akan sabar menunggu kita kembali ke jalan yang benar. Sementara orang lain buru-buru meminta Tuhan mengazab kita. Jadi menurut saya, kasih sayang dan nasihat orang tua untuk kita adalah yang terbaik, melebihi kasih sayang dan nasihat Nabi untuk kita.

Selasa, 04 Oktober 2011

> Kandjeng, sebenarnya kita ini berasal dari Kera atau dari Adam ?

Kandjeng, sebenarnya kita ini berasal dari Kera atau dari Adam ?
 
Kandjeng ; Kalau kamu rasanya berasal dari Kera, wong tampang dan kelakuanmu seperti Monyet. Kalau saya pasti dari Adam, kalau nggak percaya, tanya isteri saya ! Ha ha ha ha.
Kalau kamu tanya seperti itu, seperti tanya mana yang lebih dulu ; “ayam” atau “telor”, yang tak akan terjawab sampai kiamat.
Sebenarnya ada dua pendekatan atau pijakan dalam memahami ktab suci dan kehidupan, untuk menemukan jawaban, terutama tentang proses “Penciptaan”, yaitu pendekatan TEXTUAL atau SKRIPTURAL dan pendekatan KONSEPTUAL.
Yang pertama, mengartikan teks secara lebih harafiah dan dengan demikian akan percaya bahwa manusia itu keturunan Adam. Karena dalam kitab suci dinyatakan bahwa Tuhan menciptakan Dunia dengan mengatakan ; “Kun faya kun ! Bila kukatakan jadi, maka jadilah” Kemudian dielaborate dalam firman yang menceritakan kisah “The Garden of Eden” atau “Taman Sorga”, sebuah cerita bagaimana Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi.
Yang kedua, adalah pemahamanan berlandaskan “konsep’, yaitu apa yang dapat dibayangkan oleh pikiran seorang  yang beriman dan berilmu, sehingga kita memperoleh gambaran  atau abstraksi akan makna dari apa yang kita pahami. Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana firman Tuhan, Alqur’an diturunkan sebagai sejelas – jelasnya alkitab, berisi perumpamaan – perumpamaan, bagi orang – orang yang beriman dan berilmu !.
Secara konsepsional, evolusi adalah sebuah alternatif kemungkinan. Karena, Tuhan tentu mampu dan dapat berbuat menurut kehendakNya. Marilah membayangkan jagad raya ini sebagai komputer tiga dimensi Tuhan, yang terprogram sedemikan rupa, sehingga sesuatu terjadi secara alami berdasarkan hukum alam (soft ware) yang diciptakan. Dengan demikian terjadilah perkembangan – perkembangan yang kemudian kita kenal sebagai sebuah evolusi, seperti yang diamati oleh Darwin. Tetapi, tentu Tuhan dapat juga menginsert program “Penciptaan Manusia” dalam komputernya, dan seperti inilah yang digambarkan oleh alkitab tentang keberadaan Nabi Adam. Kita tidak tahu Tuhan melakukan yang mana, rasanya akan tetap menjadi rahasia Sang Pencipta. Jadi tidak perlu diperdebatkan.
 
Lalu, berlandaskan pandangan konseptual, bagaimana keberadaan Adam dan Hawa ?
 
Kandjeng ; Konsepsi seperti ini akan memandang cerita tentang “Penciptaan” sebagai sebuah Mitologi, dan menempatkan Adam sebagai simbol makhluk yang mulai berbudaya, yang kemudian disebut manusia, yang dengan demikian membutuhkan ajaran moral, dan saat itulah perlu dihadirkan agama. Inilah makna cerita “The Garden of Eden” atau “Taman Sorga” yang tertulis dalam kitab suci, bagi orang - orang yang berpandangan konseptual.

> Daging Babi Haram...Masa?

Dalam Al – Qur’an surat Al Maidah ayat 3 tertulis : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya [395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. …. “
Berdasarkan ayat tersebut diatas, secara tekstual atau skriptural, tak dapat dibantah bahwa memakan daging Babi adalah haram hukumnya ! Janganlah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Tuhan !.

Yang perlu direnungkan atau mungkin dipertanyakan adalah ; Apa sebenarnya yang melatar belakangi pengharaman tersebut diatas. Kaum tekstual atau skripturalis menganggap hal itu tak perlu dipertanyakan, karena merupakan sebuah NAS atau ketetapan Tuhan. Keimanan kita harus menjadi landasan akan pelaksanaan garis ketetapan tersebut.

Namun kaum Konseptualis, yang menggunakan akal pikirannya, sebagai anugrah paling berharga dari Sang Khalik, untuk memahami Al – Qur’an, dengan cara membayangkan ( conceive ) tentang gambaran mendasar ( general notion ) sebuah perkara, akan berusaha mendapatkan jawaban, apa sebenarnya latar belakang pengharaman tersebut. Karena, mereka menganggap ayat tersebut merupakan ayat mutasyabihat ( tersamar ), sebagai sebuah konsep tentang suatu perkara besar yang berkaitan dengan hidangan, yang menjadi santapan manusia.

Ternyata dalam surat berikutnya yaitu Al Anam ayat 145, terdapat keterangan tambahan terhadap pengharaman tersebut, yang berbunyi : ” Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Secara konseptual yang diharamkan adalah menyantap hidangan yang kotor, baik jasmaniah maupun rohaniah. Bangkai, kucuran darah dan Babi adalah kotor dalam pengertian jasmaniah. Sedangkan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah adalah kekotoran secara ruhaniah. Secara konseptual, bangkai, kucuran darah dan babi seharusnya tidaklah diartikan sebagai barang atau benda yang kotor semata, tetapi harus diartikan sebagai representasi dari beberapa jenis kekotoran berdasarkan sifat kekotoran yang dimiliki oleh ketiga makhluk atau benda tersebut.

Bangkai terbayangkan sebagai benda yang kotor dengan telah munculnya jasad renik yang ditandai dengan bau busuk, yang dengan demikian berimplikasi lebih jauh akan menimbulkan penyakit bila disantap. Darah adalah barang atau benda yang menjijikkan, yang membuahkan kesan dan bayangan yang muncul sebagai cairan dari luka binatang atau manusia, yang dengan demikian menjijikkan. Babi adalah sebagai binatang liar yang hidup dihutan, yang habitat maupun makananannya tidak terjaga, sehingga kesan jorok yang melekat pada tubuhnya. Dengan demikian seyogyanya ayat yang menyatakan haram terhadap hidangan sebagai santapan manusia adalah : untuk kepentingan jasmani, adalah semua yang busuk, jijik dan jorok adalah dharamkan. Untuk kepentingan ruhani, atau secara spiritual, hidangan yang mendistorsi keimanan kita adalah haram hukumnya !.

Dalam Al – Qur’an dinyatakan ; segala binatang ternak adalah halal untuk dimakan. Karena dengan diternakkan maka dapat dihindari kekotoran karena habitat dan makananannya, serta dapat diawasi cara mematikannya, sehingga tidak menjadikannya busuk, berkesan jijik dan jorok.

Yang menjadi pertanyaan adalah ; jenis babi yang tidak termasuk babi hutan sebagai binatang liar dan dapat diternakkan, dan  dengan demikian terjaga segala aspek kebersihannya, adalah termasuk yang diharamkan atau dihalalkan ? Saya perlu saran anda untuk menjawab pertanyaan diatas.

Senin, 03 Oktober 2011

> Sok Tau!

Kandjeng, ada tiga gereja dibakar di Malaysia oleh “orang – orang Muslim”, karena menyebut nama Allah dalam kebaktiannya, ini gejala apa lagi Kandjeng ?
Kandjeng: Itu kan cermin mentalitas orang yang baru mengenal Tuhannya. Padahal Tuhannya itu sudah dikenal dan diakrabi oleh orang lain, bahkan sebelum Nabi Muhammad yang membawa Islam, lahir. Seperti OKB ( Orang Kaya Baru ), hanya sebegitu saja sudah merasa kaya. Lalu semua – semua seakan sudah menjadi miliknya. Itulah kelakuan beberapa orang Malaysia. Baru memakai “Batik”, seakan Batik menjadi miliknya. Baru mengenal “Reog”, seakan Reog menjadi miliknya. Baru bisa menari “Tari Pendet” seakan Tari Bali adalah miliknya. Kalau mengenal agama hanya diujung, mereka tahunya Al Qur’an itu berdiri sendiri, padahal sebenarnya kelanjutan dari Taurat (Torah) dan Injil (Bible). Dan di dua kitab yang lahir lebih dahulu itu, Allah sudah disebut sebagai Tuhan … Yang Tertinggi. Ada sebuah literatur yang meyakini, Allah itu digunakan oleh kalangan Aramaic untuk menyebut Tuhannya, yang berasal dari kata Eli – yah. Eli berarti “Yang Tertinggi”, Yah ( Jah ) berarti Tuhan. Jadi kan aneh, lha wong kita yang “meminjam” kok melarang yang lebih dulu “punya”.

Minggu, 02 Oktober 2011

> Dongeng Al Quran

Dalam diskusi-diskusi santai dengan teman-teman saya pernah melempar sebuah pertanyaan. Dalam Alquran dinyatakan bahwa penyebab turunnya Adam dan Hawa ke bumi adalah gara-gara tergelincir dosa di sorga, yaitu karena memakan buah yang dilarang Tuhan. Ini menyiratkan bahwa kalau Adam dan Hawa baik-baik saja di sorga tentu mereka dan keturunannya (kita manusia) tidak akan turun ke bumi dan tetap hidup bahagia di sorga.

Ini bisa berarti bahwa dari semula Tuhan tidak berencana untuk melemparkan manusia ke bumi. Artinya manusia terdampar ke bumi adalah di luar perencanaan Tuhan semula. Atau, kalau memang Tuhan sudah merencanakan, kenapa harus melewati sorga dulu. Kenapa harus ditunggu Adam dan Hawa tergelincir dulu baru kemudian manusia terlempar ke bumi? Kenapa Tuhan tidak dari awal langsung campakkan manusia ke bumi? Jadi ada ketegasan dan kepastian perbuatan Tuhan. Tapi yang digambarkan Alquran seolah-olah Tuhan tidak perkasa dengan planning dan keputusannya.

Dalam kesempatan lain saya juga pernah melempar sebuah pertanyaan lain. Kalau memang Adam adalah manusia pertama, kenapa ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, malaikat protes: “ nanti manusia itu akan membuat bencana di muka bumi”. Dari mana malaikat tahu bahwa manusia mempunyai sifat demikian? Apakah itu berarti malaikat sok tahu atau arogan? Atau memang dia sudah tahu sebelumnya. Kalau ya, berarti tentang manusia sudah ada dalam memori malaikat, dan itu berarti bahwa Adam bukanlah manusia pertama, karena sudah ada manusia sebelum Adam yang menjadi rujukan memori malaikat.

Ini hanyalah sebagian kecil saja hal-hal yang terasa ganjil dalam Alquran bila di teropong dengan kaca mata nalar. Masih banyak kisah-kisah dan hal-hal lain yang menurut saya, di hadapan nalar, kedengarannya bagai sebuah dongeng. Berhadapan dengan persoalan ini bisa diajukan 2 pilihan. Pertama, atas nama nalar semua itu bia ditolak.

Kedua, jika Alquran akan tetap diyakini sebagai firman Tuhan, ia harus dipahami secara simbolik. Artinya ayat-ayat itu adalah ungkapan metaforis, kiasan-kiasan. Tujuannya adalah untuk mengetuk kesadaran manusia untuk berbuat baik, bukan pada kebenaran kisah atau logika ayat demi ayat. Apabila kisah demi kisah itu sudah mengetuk hati dan mendorong seseorang untuk berbuat baik berarti misi Alquran sudah tercapai.

Bukankah Nabi Muhammad bersabda: “Aku diutus ke dunia untuk merubah akhlak manusia”. Dalam hadis lain beliau juga bersabda: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. “Hikmah adalah barang seorang Muslim yang hilang, pungutlah ia dimana pun kamu temukan”. Ini menyiratkan bahwa target Nabi Muhammad bukanlah untuk memahami kebenaran, bukan untuk mensyiarkan ilmu pengetahuan (sains), melainkan adalah menyeru agar manusia berbuat baik agar umatnya menjadi orang yang bermoral.

Yang menjadi persoalan adalah banyak pendapat, keyakinan, yang bersikeras bahwa Alquran adalah segala-galanya. Tidak diperlukan lagi sumber-sumber lain (termasuk hasil-hasil temuan ilmiah, sains dan sejenisnya selain alquran untuk memahami kebenaran, prinsip kenyataan dan kehidupan. Sehingga dalam banyak perdebatan seputar agama dan ilmu pengetahuan, banyak pendapat yang bersikukuh mencari pembenaran ilmu pengetahuan dengan Alquran. Setiap ditemukan hal-hal baru dalam sains, para apolog (pembela fanatik) Alquran selalu mengatakan bahwa itu sudah ada sebelumnya dalam Alquran. Bahkan jika sebuah temuan ilmiah tidak selaras dengan Alquran maka hasil temuan itu ditolak atau harus ditolak, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Alquran.

Tetapi anjing menggonggong kafilah berlalu. Waktu terus bergulir, penelitian dan penemuan-penemuan ilmiah terus berlangsung. Suka tidak suka, yakin tidak yakin, banyak dari hasil temuan sains telah memberi manfaat yang nyata dalam kehidupan nyata sehari-hari, apakah di bidang kedokteran, ilmu bintang, fisika, teknik, dan sebagainya.

Jika memang Alquran adalah segala-galanya, kenapa Nabi Muhammad masih mendorong umatnya mencari ilmu ke negeri Cina (yang bukan Islam), atau mencari hikmah (ilmu) dari sumber di mana pun kita temukan? Kenapa beliau tidak suruh ke Alquran saja? Secara tersirat bukankah ini bisa diartikan sebagai sportifitas Nabi, bahwa untuk soal akhlak (moral), tirulah aku, dan jadikan Alquran sebagai pedoman. Tetapi untuk menuntut ilmu (memahami prinsip-prinsip realitas) carilah dimana pun kamu temukan. “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Artinya Nabi ingin mengatakan bahwa aku bukanlah ahli segala-galanya.

Bertebaranlah di muka bumi ini. “Alam dengan segala isinya menjadi tanda-tanda bagi orang yang berpikir”. Artinya alam adalah ayat-ayat yang hidup, yang selalu siap untuk ditemukan makna dan manfaatnya bila kita terus dan terus menggalinya. Dengan kata lain, Alquran bukanlah satu-satunya ayat Tuhan.

Sehubungan dengan ini ada pula yang gigih menyatakan bahwa Alquran adalah pusat kebenaran, miniatur kehidupan dan ringkasan ilmu Tuhan, sehingga jika ada orang yang mampu menguasai Alquran maka ia sudah menyamai ilmu Tuhan. Padahal, bukankah ada ayat yang mengatakan bahwa jika kering air laut untuk dijadikan sebagai tinta, maka tidak cukup untuk menuliskan ilmu Tuhan. Bukankah ini menggambarkan bahwa betapa dahsyatnya keberadaan Tuhan dangan segala sifatnya, termasuk ilmuNya? Bukankah alam dan kehidupan yang terbentang ini menyimpan banyak misteri yang terus menggelitik dahaga keingintahuan dan kerinduan manusia akan kebenaran yang tak pernah berhenti? Tidakkah itu bisa dipahami sebagai ayat-ayat Tuhan yang terbentang hidup dalam pengalaman nyata manusia?

Begitulah. Banyak kisah dalam Alquran memang bisa menyentuh ketakjuban dan keasadaran manusia. Tetapi di sisi lain kisah-kisah itu juga bisa menjadi obat tidur yang meninabobokan nalar manusia. Setiap kisah dan perumpamaan-perumpamaan dalam Alquran ditelan mentah-mentah sebagai pil ajaib untuk meneropong dan memahami kebenaran.

Kadang-kadang dalam fantasi nakal saya, pikiran ini membayangkan sebuah dialog ironis. Ketika seseorang bertanya pada temanya: “Bagaimana cara membuat komputer?”. Temannya menjawab: “Carilah dalam Alquran. Semuanya sudah ada di sana!”

> Kenapa Tindakan Tuhan Ngawur

Kata Aquran Adam semula hidup damai di sorga bersama Hawa. Tapi karena godaan iblis akhirnya dia kilaf dan melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Singkat kata Tuhan murka dan akibatnya Adam ditendang ke bumi. Maka sejak itulah semua manusia, keturunan Adam, hidup di muka bumi.

Yang menjadi pertanyaan saya adalah:

Diyakini oleh umat Islam bahwa Tuhan sudah menentukan segala sesuatunya dari awal. Istilahnya sejak azali. Segalanya sudah tertulis di Luh Mahfuz. Ibaratnya Tuhan sudah punya grand desain kehidupan dari awal sampai akhir. Dan semuanya berada dalam pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Dan tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Tuhan.

Nah, jika demikian, kenapa adanya kehidupan di muka bumi terjadi secara kebetulan. Yaitu gara-gara Adam tergelincir dosa di sorga (Ini juga menyisakan pertanyaan sisipan: Kenapa di sorga masih ada kejahatan: Iblis menggoda Adam dan Adam berbuat dosa). Apakah jika Adam tidak tergoda bujuk rayu iblis dia akan tetap di sorga? Jika jawabannya ya, berarti Tuhan tidak berkuasa akan jalannya kehidupan. Karena ternyata bergantung pada mekanisme hukum alam. Bergantung pada evolusi kesadaran penghuni alam semesta. Tapi jika jawabannya tidak, artinya tanpa digoda iblis pun Adam tetap akan dikirim ke bumi. Tapi pilihan ini tentu akan muncul pertanyaan baru:

Kenapa Tuhan harus menyusun skenario tragedi Adam tergoda bujuk rayu Iblis di orga? Untuk akhirnya ada alasan agar kenapa Adam dilemparkan ke bumi? Kenapa tidak langsung saja dirancang dari awal bahwa bumi memang sudah dipersiapkan untuk tempat tinggal manusia? Sehingga kemunculan manusia di bumi bukan membawa dosa asal seperti yang lazim dikenal dalam Teologi Kristen?

Bisakah anda membantu saya untuk menjawabnya.
Tapi jawaban yang memuaskan akal pikiran. Bukan jawaban dogmatis.
Karena jika jawaban dogmatis, sudah percuma. Karena sudah sering saya dengar sejak kecil. Misalnya, Tuhan memangberbuat sekehendakNya. Jadi manusia harus patuh dan menerima saja.

Okey, bisa bantu saya?
Sebelum saya melajur menganggap bahwa Alquran itu hanya karya sastra yang penuh dengan majaz atau metafora. Untuk menyampaikan pesan-pesan moral demi sebuah cita mulia kehidupan damai sesama manusia.

Silahkan dan terima kasih.