tag:blogger.com,1999:blog-88450099814630321242023-06-21T11:07:34.225+07:00Kandjeng Pangeran KaryonagoroKandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comBlogger461125tag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-19757268362722370372013-07-08T18:57:00.001+07:002013-07-08T18:57:37.270+07:00SEJARAH RAMADHANSejarah Ramadhan<br />
<br />
Ramadan, bulan ke-9 kalender Islam, dan ibadah puasa selama 30 hari di pagi dan siang hari, memiliki akar dari budaya paganisme di India dan Timur Tengah. Kebiasaan puasa untuk menghormati bulan, yang dilakukan di berbagai ritual oleh bangsa Timur penyembah bulan. Ibn al-Nadim dan Shahrastani menyebut al-Jandrikinieh, sekte India yang mulai puasa saat bulan menghilang, dan mengakhiri puasa dengan perayaan besar saat bulan sabit muncul kembali. [1]<br />
<br />
Sementara itu, praktik puasa untuk menyembah dewa bulan juga dilakukan dalam budaya timur tengah, dalam hal ini bangsa Sabean/Sabiin. Bangsa ini merupakan bangsa pagan Timur Tengah, dikenal dalam dua kelompok, yakni Sabiin Mandaean, dan Sabiin Harranian. Kaum Mandaean hidup di Iraq di abad ke-2 SM. Sama seperti yang masih mereka lakukan sampai sekarang, mereka menyembah berbagai dewa. Dewa² mereka terbagi dalam empat kategori: “kehidupan pertama,” “kehidupan kedua,” “kehidupan ketiga” dan kehidupan keempat.” Dewa² kuno termasuk dalam kategori “kehidupan pertama.” Mereka memanggil dewa² yang lalu menciptakan dewa² “kehidupan kedua” dan seterusnya.<br />
<br />
Kaum Harranian atau Sabiin dari kawasan Harran, menyembah Sin, dewa bulan, sebagai dewa utama, tapi mereka juga menyembah planet² dan berbagai dewa lainnya. Bangsa Sabiin berhubungan dengan Ahnaf/Hanif, kelompok orang² Arab yang diikuti Muhammad sebelum menjadi nabi. Ahnaf mencari pengetahuan dengan cara pergi ke Iraq utara, tempat tinggal masyarakat Mandaean. Mereka juga mengunjungi kota Harran di daerah al-Jazirah di Syria utara, dekat perbatasan antara Syria, Iraq, dan Asia Minor.<br />
<br />
Di Mekah, kelompok Ahnaf/Hanif disebut sebagai kaum Sabiin karena kepercayaan yang mereka anut. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi, dia disebut sebagai orang Sabiin oleh masyarakat Mekah karena mereka melihat dia melakukan banyak ritual Sabiin, termasuk sholat lima waktu; melakukan gerakan² sembahyang yang sama dengan orang² Mandaean dan Harranian; dan juga berwudhu sebelum sembahyang. Di Qur’an, Muhammad menyebut orang² Sabiin sebagai “para ahli kitab,” sama seperti orang² Yahudi dan Kristen.<br />
<br />
Ramadan adalah upacara pagan yang dilakukan oleh orang² Sabiin, baik Harrania maupun Mandaia. Dari tulisan Abu Zanad, penulis Arab dari Iraq yang hidup sekitar tahun 747 M, kita menyimpulkan setidaknya terdapat satu masyarakat Mandaean yang hidup di Iraq utara yang melakukan upacara Ramadan. [2]<br />
<br />
Asal-usul Ramadan bermula dari Ritual Tahunan yang dilakukan di kota Harran.<br />
<br />
Persamaan antara Ramadan Harran dan Ramadan Islam.<br />
<br />
Meskipun puasa Ramadan sudah dilakukan sebelum jaman Islam oleh orang² pagan Jahiliyah, upcara ini awalnya diperkenalkan di Arabia oleh orang² Harranian. Kota Harran terletak di perbatasan antara Syria dan Iraq, sangat dekat ke Asia Minor, yang sekarang adalah Turki. Dewa utama mereka adalah dewa Bulan, dan sewaktu menyembah bulan, mereka berpuasa besar yang berlangsung selama 30 hari. Puasa ini dimulai di tanggal 8 Maret, dan biasanya selesai di tanggal 8 April. Sejarawan Arab, Ibn Hazm, menyatakan puasa ini sebagai puasa Ramadan. [3]<br />
<br />
Ibn al-Nadim menulis dalam bukunya, al-Fahrisit, tentang berbagai sekte agama di Timur Tengah. Dia mengungkapkan, kaum Harrania berpuasa selama 30 hari untuk menyembah dewa Sin, yakni sang bulan. Al-Nadim menjelaskan tentang perayaan yang mereka selenggarakan dan korban² yang dipersembahkan pada sang bulan. [4] Sejarawan lain, Ibn Abi Zinah, juga menjelaskan tentang kaum Harranian, dan mengatakan bahwa mereka puasa selama 30 hari, mereka menghadap Yemen saat sholat lima kali sehari. [5] Kita juga tahu bahwa umat Muslim sholat lima kali sehari. Kaum Harranian puasa sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam, sama seperti yang dilakukan Muslim di bulan Ramadan. [6] Sejarawan lainnya, Ibn al-Juzi, menjelaskan kaum Harranian puasa di bulan ini. Dia berkata mereka mengakhiri puasa dengan memotong hewan kurban dan berzakat bagi kaum miskin. [7] Hal serupa juga dilakukan umat Muslim setelah selesai puasa.<br />
<br />
Akar mithologi akan perayaan Harran bagi bulan dijelaskan dengan menghilangnya bulan setelah bergabung dengan kelompok bintang Pleiades, dalam kumpulan bintang Taurus yang muncul di minggu ketiga bulan Maret. Orang² tersebut sembahyang pada sang bulan, memohon agar bulan kembali muncul di kota Harran, tapi bulan menolak kembali. Hal inilah yang membuat mereka lalu berpuasa di bulan itu. Sang bulan tidak berjanji untuk kembali ke Harran, tapi berjanji untuk kembali ke Deyr Kadi, daerah keramat dekat salah satu pintu gerbang kota Harran. Maka setelah satu bulan, para penyembah dewa bulan Sin, pergi ke Deyr Kadi untuk merayakan kemunculan kembali sang bulan. [8] Menurut Ibn al-Nadim, kaum Harranian menyebut perayaan ini sebagai al-Fitri الفطر , yakni nama yang sama bagi perayaan umat Muslim setelah puasa Ramadan. [9] Selain puasa Ramadan, kaum Harranian juga bersholat lima kali sehari. Sebelum sholat, mereka melakukan wudhu. [10] Hal ini pula yang diserap Muhammad ke dalam Islam.<br />
<br />
Kebiasaan puasa Ramadan menyebar dari kaum Harranian kepada masyarakat Arabia. Hal ini kemungkinan mulai terjadi setelah Nabonidus, raja Babylonia, menjajah Arabia utara di sekitar tahun 552 SM, sewaktu dia tinggal di kota Teima. Nabonidus berasal dari kota Harran. Dia adalah penyembah fanatik dewa bulan Sin, dan ibunya bahkan pendeta agama Sin. Nabonidus tak sepaham dengan para pendeta Babylonia yang menganggap dewa Marduk sebagai kepala para dewa Babylonia. Nabonidus bertekad menyebarkan kepercayaan bahwa Sin sang dewa bulan adalah kepala para dewa. Karena itulah dia menyuruh putranya mengurus Babylonia dan dia lalu hidup di Teima, Arabia Utara.<br />
<br />
Di jaman pra-Islam, Ramadan menjadi ritual Arab pagan dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan, dengan tatacara upacara dan sifat yang sama seperti Ramadan Islam.<br />
<br />
Ramadan dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan sebelum jaman Islam. Al-Masudi mengatakan bahwa nama Ramadan berasal dari panasnya udara di bulan tersebut. [11]<br />
<br />
Di jaman pra-Islam, Jahiliyah, bangsa pagan Arab telah berpuasa dengan cara yang sama seperti Muslim berpuasa, seperti yang diperintahkan Muhammad. Cara Arab pagan puasa termasuk tidak menelan makanan, minuman, dan tidak melakukan hubungan sexual – sama seperti Islam. Mereka berpuasa dengan berdiam diri, tidak berbicara, baik dalam waktu sehari maupun seminggu, atau lebih lama lagi. [12] Qur’an menunjukkan puasa dengan cara yang sama di Sura 19, ketika Allah memerintahkan perawan Maria berkata dia berpuasa bagi tuhan, yang berarti dia tak bicara dengan siapapun. [13] Kebiasaan bangsa Arab yang bersikap diam saat puasa tampak jelas pengaruhnya dalam Qur’an. Tertulis bahwa Abu Bakr mendekati seorang wanita diantara umat pagan di Medina. Dia mendapatkan wanita itu sedang berpuasa, termasuk puasa bicara. [14] Puasa adalah hal yang serius bagi bangsa Arab, diperkuat dengan aturan resmi yang menetapkan hukuman bagi siapapun yang gagal puasa bicara. Ramadan dalam Islam merupakan kelanjutan dari puasa jenis ini.<br />
<br />
Muhammad memasukkan berbagai ritual agama dari dua suku Medina yang mendukungnya menaklukkan bangsa Arab di bawah Islam. Salah satu ritual tersebut adalah Ramadan.<br />
<br />
Tampaknya Ramadan dipraktekkan di berbagai kota di Arabia utara di mana Nabonidus, raja Harran dari Babylonia, berkuasa. Salah satu kota yang dikuasainya adalah Yathrib, yang kemudian berganti nama menjadi al-Medina. Muhammad memerintahkan puasa Ramadan, juga ritual sholat menghadap Mekah dan bukannya Yerusalem, setelah dia hijrah ke al-Medina, di mana suku² Arab disitu juga terbiasa sholat menghadap Mekah dan juga berpuasa Ramadan. [15] Muhammad menyesuaikan aturan Islamnya agar sesuai dengan ritual dan kebiasaan agama suku² Aws dan Khazraj, kedua suku Medina yang mendukung Muhammad mengobarkan perang melawan bangsa Arab. Salah satu upacara mereka adalah berkumpul untuk sembahyang di hari Jum’at. Muhammad menetapkan Jum’at sebagai hari Islam.<br />
<br />
[1] Ibn Al Nadim, Al-Fahrisit, hal. 348<br />
[2] Abdel Allah ibn Zakwan Abi al-Zanad. Lihat Ibn Qutaybah, op. cit.hal. 204; Dikutip oleh Sinasi Gunduz, The Knowledge of Life, Oxford University, 1994, hal. 25<br />
[3] Ibn Hazm, I, hal. 34; dikutip oleh Sinasi Gunduz, hal. 167-168<br />
[4] Ibn Al-Nadim, Al-Fahrisit, hal. 324-325<br />
[5] Dikutip oleh Rushdi Ilia’n, Al Saebiun Harraniyen Wa Mandaeyn, Bagdad, 1976, hal. 33<br />
[6] Dikutip dari sejarawan Arabia oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57<br />
[7] Ibn Al Juzi , Talbis Iblis , dipersiapkan oleh M. Ali, Kher, hal. 84; Kutipan oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57<br />
[8] Dodge, B., The Sabians of Harran, hal. 78<br />
[9] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319<br />
[10] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319<br />
[11] Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 213<br />
[12] Jawad Ali, al-Mufassal, vi, hal. 342<br />
[13] al-Allusi, Ruh’ al-Maani 16; hal. 56 ; Tafsir al-Tabari, 16, hal. 56<br />
[14] Qastallani Ahmad ibn Muhammed, Irshad al-Sari, 6: 175; Ibn Hagar, al-Isabah 4:315<br />
[15] Al Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 295Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-20517108688504235342013-07-02T10:09:00.001+07:002013-07-02T10:09:46.185+07:00ANA KIDUNG ING ROSOANA KIDUNG ING ROSO<br />
<br />
Ana Kidung ing Roso ditulis dengan menggunakan tembang Jawa, khususnya tembang Dangdanggula. Ana Kidung ini bermaksud menghilangkan semua kekuatan yang dapat merugikan manusia dan ketentremannya, seperti penyakit, cobaan dan lain sebagainya, khususnya rasa bilahi. Di sini adalah alih aksara naskah lontar Ana Kidung, milik Kristel van der Korst, Loosdrecht.<br />
<br />
Alih bahasa: Pangeran Karyonagoro<br />
<br />
DANDANGGULA<br />
<br />
1. /1a/ Ana kidung, angrasa dina wngi, tan gu / rahayu, aduh ing alara, / luput ing balahi kabéh, ji / m sétan datan purun, pana /1b/ luhan datan awani, aduh i / ng panggawé ala, gni wong alu / put, gni atemahan tirta, / maling anah, tan ana wani ri ka /2a/ mi, guna dudu pan sirna.<br />
<br />
2. Sakeh / i lara pan samya ambali, / sawoh i kemat, si puru / n olas, kawelas asih padu /2b/ luné, sakéh i braja luput, ka / di kapuk tibaniréki, sakéh / ing bisa tawar, sawok roda / tatap, kaya’ agung lemah sih, /3a/ sok ing landak, gwa ri mong lemah mi / ring, pekik i puwaning marak. /<br />
<br />
3. Pagulingané warak sakang / lwir, kadya ngambah, i segara sat, /3b/ kowasa ngambah pucuké, apan sa / rira ayu, ngingidran sako / héh i widadari, rinak / ing para malaékat, sakatah /4a/ ing rasul, dadya ta sarira tunggal, / nétra Adam, uteku bagi / nda Esis, pngucapé nabi / Musa.<br />
<br />
4. Sumsumku Patimah /4b/ kang lénuwih, nabi Yakup, pamya / saningwang, nabi Yusup cahya / ngku mangké, nabi Dawut / swarangku, mwang Suléman kasaktén ma /5a/ mi’, nabi (I)brahim i nyawa, Idri / s i rambut, baginda (A)li ku / litingwang, Abu Bakar, getih / daging marsinggih, balungkuk baginda /5b/ Usman.<br />
<br />
5. Siji-sawiji mulana da / di, ta marencah, dadi (i)sini / ng jagat, kang sami ring jasat / reké, sakéh rencana (a)gung, nora wani ma /6a/ rek ing kami, sakéh ingkang rencana, / lan isining wanéku, jim kala / wan blis lanat, nora wani, / saking takdir Alah luwih, brerka /6b/ t nabi rasululah.<br />
<br />
6. Sing angidung ana / kidung iki, dénya gati, la / nggeng ma’muliya, aywa miril mu’mi / nin reké, slamet lan rahayu, /7a/ noranana wani marek ing kami, sa / nwéh ikang rencana, pada a / njarit-jerit iku, brakat na / bi Adam mwah, nabi rarul /7b/ Mustapa kang lénuwih, brakat la’ila / ha ilalah.<br />
<br />
7. Kuluhu’ gni u / balak-ubalik, séta / n mara, sétan matya, blis /8a/ lanat suminggah reké, sakéh / é kang arungu, kang anurat / kang animpeni, dadi raha / yuning jasat, kinarya sasa /8b/ bur, winacahakening to / ya, kinarya (a)dus, wong / lara tuwak iki, kiner / ya adus wong édan. /9a/<br />
<br />
8. Lamun ana wong édan dhurpari, puwa / sanen, sadina sawangya, / i derna jingga lengé, lamun si / ra angluruk, musuhira datan /9b/ wani, lamun sira aprang, wate / k ingkang skul, skurlé tigang pu / lukan, musuhira, rare / p norana wani, rahayu /10a/ kang aprang.<br />
<br />
9. Lamun ana wong kabanda / iki, mwang kadenda, lan wong / kabratan ing utang, yu / gya asembahyang reké, wayah /10b/ é tngeh dalu, ping sawola / s winaca aris, ucu / l ikang kabanda, malih kang / binanda iku, agelis si /11a/ ra linuwaran, wong utang / sinahuran déra Yang Widi / , wong agring nulih waras, (éh éh éh éh éh /11b/<br />
<br />
10. Sumsumku Patimah kang lénuwih, / kang minangka, rahayuni jasa / t, panguluning rasul ta reké, / sakéhé kang tumuwuh, salira /12a/ né tunggal lan nabi, atéku ya Mu / hammat, pangulun i rasu / l, pinayungan Adam / sowara, samaptané, /12b/ sakatah i pra nabi, mapan / salirané tunggal. /<br />
<br />
11. Pupuyun tutugeng /13a/ nong(?) tutub langit, angin barat, / gumlang ing tawang, cinancang ta ké / tang reké, angrajak gunung siyu, / jala sutra ilu mama’, mi /13b/ wah sawéh i braja, mangadang i / suh, anulak panggawé ala, / rara rungga, gumingsir pada a / glis, awor sakéh i wi /14a/ ksa.<br />
<br />
12. Alungguh ring luhur kursi, kang atunggu, / sinurak ing tawang, pangalebur lara kabéh, / kusuk-kusuk i luhur, iku ing lang / -lang i langit, miwa sakéh ing braja, ma /14b/ ngadang i musuh, atunggul (l)atri lan syang, ki / na wdi, blis lanat suminggah sami, nora wani kang karencana.<br />
<br />
13. Pan / punika i budiniréki, wali Arab, /15a/ sasang kadi mula, kirun sukung tangan reké, / wanak karuntang atunggu, suku kiwa nga / gem gada wesi, anulak rara ru / ngga, satru lawan musuh, pan tineggah /15b/ déni yang, ider-ider, kaluhu’ balan / ubalik, sing ala satruning Alah. /<br />
<br />
14. Gunung siyu sanggup palutur iki, sagara / asat, panuruh satruh driyané, mama /16a/ nikan teguh timbul, wawalyan kasakti / yan i nabi, lut senjata lanang, / tantu Mekah iku, betdil tulup / pancar upas, pada putung, jempar i /16b/ nora nginganin, pélor ambal iki Da / hlan.<br />
<br />
15. Gunung siyu makapager mami’, / katon murub, sing tumingal / ilang, miwah sang utamé reké, sa /17a/ kwéh i lara lebur, tantu mamah ing awa / k mami’, miwah sakwéh i bra / ja, magadang i musuh, ya ing rah / mat ma’mulya, rahmat jati, /17b/ jumneng basa jasmani, ya rahmat ma’mulya.<br />
<br />
16. Abner sang rasu bani, kang adulu, awla / s sadaya, lulut asih sarat kabéh / , mapan nabi ptang puluh, amayungang rahi /18a/ hina wngi, damar nabi wokasan, sapda / nabi Dawut, aptak baginda / Amsyah, sing arungu, ajeri / t-jerit samya wdi, linuruk /18b/ samya sirna.<br />
<br />
17. Lamun tan bisa amba sai / ki, ginawyé, dadi simat puni / ka, tguh tibul paparabé, ya / n ginawa alurung, musuhira ta /19a/ n awani, luput panggawé ala, gni wong / ngaluput, musuhira tan uni / nga, pan sinipen, rinaksa / i Yang Widi, teguhé tan pata /19b/ ndingan.<br />
<br />
18. Satru musuh kundhur pada wdi, / apawangan, wruh Bétalmukedas / bolak-balik panggawéné, amba / lik kinowang kundhur, rara rungga pada /20a/ gumingsir, kang agring nulih waras, wong / gni luput, nora wani umareka, / saking rahmat, rahayu pakra / tinéki, rahmat patulung Alah. /20b/<br />
<br />
19. Sing angidung ana kidung dina wngi, sapa / wruha, reké araningwang, dun disu / n maksi raré, dépun raré / ku, samurti lan ki sabrangti, ngalih a /21a/ ran ping tiga, arta driya téngsun, du / k ingsun angalih aran, yang arta / ti, araningsun tuwa i / ki, sapa wruh araningwang.<br />
<br />
20. Sapangu /21b/ wruh kembang tampus siréki, awruh / ingaran, yang arta drarya, tuga / l pancar i samané, sing sapa / wruh puniku, sasat teguh Pager /22a/ Wesi, rinaksa wong sajagat, kang a / kidung iku, lan aluput ing durjan / wngi, tanawani wong cidra (rusak) /22b/<br />
<br />
21. Du ana kidung iki, sabran wa (rusak) / nn awani wong cidra, yadyan bisa / tawar bahé, sing amaca arungu, / kang anurat kang animpeni, no /23a/ ra wani kang rencana, sawngi luput, / yan binakta alulunga, ri margané, / sing kapapak pada asih, dadya / n ana wong gila.<br />
<br />
22. Milané tan /23b/ kna sanding, gagéndhongan, miwah wawa / rakan, Alah angadangena reké, / krana ta aja wruh, yan awruh pu / nika wdi, saki sagara wétan, /24a/ Alah angadang iku, jujuluk syang tu / gal, tunggal jati, dumeteng / sang yang artati, aran pkur jati / nya.<br />
<br />
23. Apaparab soma hari, /24b/ ilaheni, arané duk agesang, wu / s mati kaya arané, duk langgi / h anéng gunung, apaparab wasi / séng jati, ngalih aran ping tiga, /25a/ duk anom matéku, adam jati do / dolan, ing urunan, ngalih aran sri jati, niscaya ake / ning rawa.<br />
<br />
24. Segara agung mako /25b/ bumi iki, lagi iku, ni wong sa / buwana, pada asih mawoh kabéh, / sing bisa ngakgé kampuh, ko / wasa ngangambah bumi, singandari bulan, /26a/ pada asih maréngsun, yadin manusya / asih sira, Sang Yang Tunggal, para / ndéné kawolas asih, atma / ni rama ring yang.<br />
<br />
25. Sakatahé panem /26b/ bahan puji, kaatura, kang angra / ksa jagat, kang asih i mu’min / kabéh, atuduh marga luhung, kang / adumi i dumi dasih, kang murah a /27a/ néng dunya, nora kang luput, sami sinung / an baksana, tkéng éwan, miwa / h ruma beténg jro bumi, sami sinunga / n baksana.<br />
<br />
26. Kang akraya utusan /27b/ kang lénuwih, i sakwéhé, jim lan / manusya, ngangangken kasih reké, no / rananana kadi iku, kasih / ané sakéh i pra nabi, pan /28a/ mulané akerya, dadi ratu iku, da / di swarga lan nraka, tan liyan / saking, sihira mri dutadi, ki / nerya kanyata’an.<br />
<br />
27. Sadéréng /28b/ é bumi langit iki, dur puniku, pan / wus ana, lan kayu’ ana reké, a / nginur kang rumuhun, saki takdir A / lah luwih, duk Alah anandika, ma /29a/ ring nur lan kayu’ puniku, lah nur a / sujut dasi (rusak) pada sujut, pi / ng lima asujut iki, iku mu / lané ana salat.<br />
<br />
28. Mulané ana /29b/ salatiréki, lima waktu, nur mula / né ika, asujut ping lima re / ké, karané kayu’ puniki, / Sajaratulmuntaha iki, empang /30a/ ipun lilima, anging ta kayu’ puni / ku, norana mawipatra, sajati / né, nur mulané rumuhun, iku kang / dadi panutan.<br />
<br />
29. Saking kasaka /30b/ ’ Alah luwih, akeryanen, kakasih / i yang, minangka didi kabéh / gumilang-gilang asruh, anéng u / sul kalam mri rincing, awarna /31a/ kadi lintang, kendil aranipun, / cinantél déning aras, tumé / tésan, tétés dadi roh / ing nabi, ika mulané ana jagat. /31b/<br />
<br />
30. Ing aranan yayahiréki, rohira reké, baginda Ada / m, tunggal iku pinakané, ba / ginda Adam ika, ingaranan /32a/ yayahing jisim, mulané ana ba / dan, nyawané kang rumuhun, nur / bwat ring rasullah.<br />
<br />
31. Sahira saki / ng Adam siréki, ginentis sira, ing /32b/ rarahinira, kang ingaran awa reké, / mijil saking suta jalu, inga / ranan baginda Sis, nurbwat anéng / Adam, lami-lami tumurun, prapta /33a/ siréng apdhulah.<br />
<br />
32. Tamat. né luhu’. nhung / sa’ (motif bunga-bungaan dengan aksara ditulis di tengah-tengah) hat dawa pukuhul laku yamilat, / wala yumilat, wali yumila / lat masahulahata, wa’ / ngahul sukal (motif bunga-bungaan) /34a/ né raja Ubesi, aran jaya. / bismilahirahmanirahim, / raja Ubesi, bapa’nya aji / namanya Besi, mendadi kentar /34b/ tiping batu ponku asal besi, si / di luwar besi, di dalem besi, / Alah besi Muhammat besi, bla / kangku besi, yén sira mangan /35a/ awak sarirangku besi, saheng ko / sing burungan, kapir jenengi / ra, yén ingsun mangan sira, haram jnengisun, aja sira /35b/ mangan kulitku satampaking apalu, / aja sira mangan dagingku, satampaking kaki, aja sira ma / ngan getihku satampaking /36a/ gurinda, galih aran pamor purasa / ni, maléla waja pada lemes / sakéh i wesi kuning, pada / lemes satampaking apalu /36b/ paron, brakat la’hilaha’hilalah, /37a/ Alah uma dowa tulak bilahi, / rubuh-rabah sandi babah, u / ru umbalah pandhu balah, ku / luhu’ sungsang-sungsang jim sétan /37b/ katulah, raja kanon, raja ku / ning, abulah ramatulah, / Majapahit buta bisu gni / pandhu bala, blis dara sétan mati, /38a/ janma marajan mati, sing jahil satru / ning Alah, kutda brakat do / wa tulak bilahi, brakat la’hi / laha’ilalah brakat Muha /38a/ mmatda rasululah. léyot latét / sang awet, Alah sang Alah sira / jayakrasa, jneng aku Jayakarsa, mapan aku gaduh sangurung-urung Jayakarsa, /39a/ nyarek acacek kaka’ amaté, / woda putih kalala musna i / lang, ayu mneng ratu burung, / sidi mandi mantra sangurung-urung burung /39b/ . mhal mati datu mur kawula / déwa ngéndéng dowé / datu mas panji mapan aku / gaduh sangurung-urung. /40a/ Alah uma dowa tulak bilahi, ru / buh-rabah, rendhib kabalah, uru / umbalah, pak dhurbalah, raja ka / kén raja kuning, raja bumi raja /40a/ langit, raja lahat, majapahit / panulak bilahi. (/41a dan /41b/ kosong) né senjerit tawu se / hér. ugik-ugik-ugik. uwak uwak uwak uwak /42b/ ugik ugik ugik ugik , / ugik ugik ugi / k, uwak uwak uwa / k uwak uwak uwak.<br />
<br />
<br />Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-47838125414403938452013-07-01T14:33:00.001+07:002013-07-01T14:33:16.979+07:00KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH<br />
<br />
Konflik Syiah dan Sunni merupakan konflik yang dilandasi motif kekuasaan, bukan motif agama. Persaingan tersebut diwakili oleh rezim keturunan (bani) Umayah dan keturunan (bani) Hasyim berebut kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Namun, dalam rangka melegitimasi dan meraih simpatik, kedua belah pihak menarik konflik politik ke dalam isu agama.<br />
<br />
<br />
<br />
Dengan berbagai rekayasa, diciptakanlah isu-isu peyimpangan pandangan akidah. Kedua belah pihak menganggap keyakinan dan praktik kesyariatan para pendukung yang bersebrangan sebagai keyakinan keliru. Diciptakan isu-isu penyimpangan, seperti kerasulan Imam Ali, para pihak yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, dan lain-lain.<br />
<br />
<br />
<br />
Isu penting yang diangkat oleh kelompok Syiah terkait aliran Sunni adalah perihal legalitas kekuasaan para pendahulunya, seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebagian aliran Syiah menganggap bahwa kekuasaan yang diraih oleh ketiga khalifah tersebut ilegal, karena merebut hak wasiat yang seharusnya diterima oleh Imam Ali.<br />
<br />
<br />
<br />
Kelompok Syiah merupakan kelompok Arab yang menjaid pendukung Imam Ali. Sedangkan, Sunni diindikasikan sebagai kelompok Arab yang mendukung Muawiyah dalam konflik kekuasaan. Ketika Imam Ali berkuasa, pusat kekuasaan dipindahkan ke Bashrah, yang sebelumnya berada di Madinah selama beberapa periode khalifah sebelumnya. Ketika Muawiyah berkuasa, setelah berhasil menggulingkan Hasan bin Ali, ibu kota pemerintahan dipindah ke Damaskus.<br />
<br />
<br />
<br />
Pemindahan ibukota oleh Imam Ali ke Bashrah tidak lepas dari strategis kekuasaan. Basrah merupakan merupakan basis kekuatan Ali, karena sebelumnya dia menjadi gubernur di sana pada masa kekhalifahan Usman. Untuk membangun banteng kekuasaannya, Ali menjadikan Bashrah sebagai tempat menjalankan kekuasaan.<br />
<br />
<br />
<br />
Pemindahan ibukota oleh Muawiyah ke Damaskus juga karena pertimbangan kekuasaan. Sebelumnya, pada masa Usman berkuasa, Muawiyah adalah gubernur Damaskus, yang kekuatannya telah cukup kuat tertanam di sana. Sehingga, ketika kekuasaan puncak (khalifah) ada di tangannya, Damaskus dijadikan sebagai benteng pertahanan kekuasaan.<br />
Isu saling sudutkan antara para pengikut Ali dan Muawiyah tidak lagi pada tataran politik. Terdapat sebagian pengikut Sunni yang menghubungkan legalitas Syiah dengan orangtua Imam Ali, yaitu Abu Thalib. Dalam rangka menyudutkan kaum Syiah, dihembuskanlah isu bahwa Abu Thalib berada dalam kemusyrikannya, tidak menyatakan beriman kepada kerasulan Muhammad. Diyakini oleh mereka bahwa perlindungan fisik yang diberikan Abu Thalib kepada Muhammad dari gangguan orang-orang Quraisy yang mengingkari kerasulannya lebih dikarenakan sisi kemanusiaan, bukan berhubungan dengan keimanannya.<br />
<br />
<br />
<br />
Diangkatnya isu Abu Thalib sebagai orang yang tidak mengimani kerasulan Muhammad sekadar loncatan untuk membidik keberadaan kelompok Syiah yang berptaron kepada Ali. Target isu ini adalah bahwa bapak kelompok Syiah merupakan orang yang lahir dari orang yang tidak meyakini kebenaran kerasulan Muhammad. Melalui penalaran ini, kesimpulan yang mau diarahkannya adalahpenegasan secara tidak langsung bahwa Syiah berasal dari orang yang leluhurnya bukan orang beriman.<br />
<br />
<br />
<br />
“Pertengkaran teologis” Sunni-Syiah merupakan efek domino dari konflik kekuasaan. Para “penggila kekuasaan” menyeret masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup kepentingan politik. Pertengkaran Sunni-Syiah merupakan pertarungan hampir abadi yang terjadi sepanjang sejarah umat Islam. Sampai saat ini, pertarungan bekas kekuasaan tersebut menjadi pemicu yang paling mudah meledakkan emosi masyarakat. Sentuhan-sentuhan kecil yang dibalut dengan isu penyeimpangan akidah sangat mudah membakar permusuhan.<br />
<br />
<br />
<br />
Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah bukan didasari pada konflik kekuasaan, melainkan kekeliruan sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai teologi. Selain itu, rezim masa lalu pun memberikan kontribusi dalam munculnyas konflik Sunni-Syiah.<br />
Pada masa Orde Baru, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang berhasil menggulingkan para penguasa otoriter. Para penganut Syiah dianggap sebagai para pengekspor revolusi Iran dan revolusi lainnya yang didalangi kekuatan Syiah.<br />
<br />
<br />
<br />
Sebagai bandingan, dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa pernah terjadi penghukuman mati Syaikh Siti Jenar oleh kekuasaan Demak. Siti Jenar yang berhaluan Syiah, oleh kekuasaan Demak diisukan membawa dan menyebarkan ajaran sesat. Fakta yang sebenarnya adalah bahwa Syaikh Siti Jenar merupakan pemimpin gerakan bawah tanah para pengikut Syiah di Indonesia yang akan mendongkel kekuasaan Demak yang berhaluan Sunni. Alasan sosial yang paling mudah diterima oleh masyarakat untuk melegitimasi tindakan politik kekuasaan Demak ketika itu adalah diangkatnya isu bahwa Syaikh SIti Jenar menganut dan menyebarkan ajaran sesat, yaitu ajaran manunggaling gusti ing insun (Tuhan menyatu dalam diriku).<br />
<br />Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-60639534941372230032013-07-01T02:25:00.001+07:002013-07-01T02:25:25.487+07:00Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?<br />
<br />
Larangan duduk ngangkang di Lhoksemawe yang dihimbau oleh Walikota Lhoksemawe Suaidi Yahya belum jadi Perda. Sifatnya baru himbauan. Tapi himbauan ini disertai dengan ditangkapnya 35 orang wanita yang dibonceng mengangkang. Apakah orang boleh ditangkap karena tidak mendengarkan himbauan mengenai cara duduk dari seorang Walikota?<br />
<br />
Ini berlebihan.<br />
<br />
Menurut Suadi, himbauan agar tidak mengangkang itu merupakan implementasi syariat Islam yang tercantum dalam qanun (peraturan daerah) anti-khalwat (mesum) yang berlaku di Aceh. Menurut dia, duduk dan berbusana sudah diatur dalam Islam. Suadi berpendapat perempuan dalam Islam harus sopan dan feminin. “Kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama,” katanya.<br />
<br />
Bagaimana dengan Cut Nyak Dhien? Pahlawan Aceh ini, bukan hanya duduk ngangkang saat berkuda. Dia juga tidak berjilbab. Sebagai janda, tinggal di hutan bersama dengan banyak laki-laki yang bukan muhrimnya saat bergerilya. Kalau beliau hidup di jaman sekarang, tentu sudah kena hukum cambuk, karena malam-malam ada di hutan dengan para pria yang bukan muhrimnya. Cut Nyak Dhien sama sekali tidak mencerminkan “kearifan lokal” masyarakat Aceh versi saat ini.<br />
<br />
Apakah kemudian gelar kepahlawanan Cut Nyak Dhien layak dicabut, karena beliau bukan wanita seperti dalam pendapat Suaidi Yahya: kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama. Dan tidak sesuai dengan pasal-pasal perda yang dikenakan kepada perempuan Aceh?<br />
<br />
Jawabannya ada pada masyarakat Aceh sendiri. Apakah masih mau mengakui Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan yang patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Namun, bangsa Indonesia, bangga memiliki pahlawan bangsa sekaliber Cut Nyak Dhien.<br />
<br />
Walikota Lhoksemawe, Suaidi Yahya dan teman-teman wanitanya.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-37523899610108729722013-07-01T01:03:00.001+07:002013-07-01T01:16:34.898+07:00Kajian Karyongoro Dalam Paradigma Ajaran TassawufPersoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini<br />
adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,<br />
dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia<br />
kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan<br />
karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed<br />
Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern<br />
men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini merupakan<br />
kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad<br />
pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama<br />
(Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan,<br />
sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan.<br />
Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu<br />
kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh<br />
beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan<br />
sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.<br />
<br />
Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas<br />
itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi<br />
untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam<br />
belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan<br />
ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari<br />
pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil<br />
aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan<br />
aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan<br />
dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang<br />
(ummatan wasathan).<br />
<br />
Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga,<br />
yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad<br />
saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun<br />
yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya<br />
pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam<br />
kehidupan spiritual.<br />
<br />
Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam<br />
beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu<br />
jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini<br />
paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual<br />
tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi<br />
pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam<br />
tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd<br />
ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.<br />
<br />
Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap<br />
penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras<br />
terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad<br />
sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan.<br />
Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang<br />
zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang<br />
kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar<br />
kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika<br />
cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara<br />
pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah<br />
beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah<br />
al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul<br />
organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar<br />
untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa<br />
ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd<br />
al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja,<br />
termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.<br />
<br />
Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep<br />
spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah).<br />
Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula<br />
dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf<br />
yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang<br />
menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad<br />
ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar<br />
dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204).<br />
<br />
Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat<br />
yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas<br />
lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu<br />
muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w.<br />
561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan<br />
kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke<br />
barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina<br />
dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah<br />
Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf 'Umar al-Suhrawardi,<br />
yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini<br />
ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.<br />
<br />
Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap<br />
lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar<br />
al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad<br />
ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir<br />
al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan<br />
tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia<br />
Tenggara. Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat<br />
yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15<br />
direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran<br />
spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat<br />
Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.<br />
<br />
Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini<br />
berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat<br />
Bektasyiyyah, yang dikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di<br />
Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah<br />
Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di<br />
Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah<br />
berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan<br />
oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang<br />
muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat<br />
mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat<br />
itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di<br />
kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan<br />
dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-60053879725933046362013-07-01T00:05:00.003+07:002013-07-01T00:05:53.432+07:00WALI ke 10 Syeikh Siti Jenar<br />
<br />
Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenar, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.<br />
<br />
Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.<br />
<br />
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.<br />
<br />
Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.<br />
<br />
Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.<br />
<br />
Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).<br />
<br />
Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.<br />
<br />
Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)<br />
<br />
Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.<br />
<br />
Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.<br />
<br />
Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.<br />
<br />
Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.<br />
<br />
Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-34659664094416133202013-06-30T22:51:00.001+07:002013-06-30T22:51:16.438+07:00Inilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUIInilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUI<br />
<br />
MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Ketua VII MUI Bogor, Fahrudin Sukarno, mengancam akan melakukan aksi besar-besaran jika ajang ini tetap dilaksana. Mereka beralasan Miss World tidak sesuai dengan karakteristik budaya bangsa dan lebih cenderung menampilkan pornografi dan pornoaksi sehingga tak ada manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Dikutip dari metrotvnews.com (9/4),<br />
<br />
Menarik sekali alasan MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Menunjukkan MUI dan ormas Islam Bogor tidak tahu menahu mengenai kegiatan kontestan Miss World lalu serta merta menuduhnya sebagai ajang pornografi dan pornoaksi.<br />
<br />
Apa saja syarat agar dapat menjadi pemenang Miss World? Berikut ini adalah hal-hal yang harus dikuasai kontestan Miss World untuk memenangkan kontes tersebut. 1) Penguasaan memilih gaun, 2) Penguasaan memilih pakaian renang. 3)Pengetahuan dan penerapan diet. 4) Menata rambut, make up dan senyum. 5) Intelektual dan pengetahuan umum.<br />
<br />
Poin 5, Intelektual dan pengetahuan umum adalah poin terberat. Untuk mempersiapkan diri menjadi pemenang Miss World, selain harus mampu berpidato di depan publik, kontestan harus menguasai pengetahuan mengenai:<br />
Aborsi dan hak-hak reproduksi<br />
Achievement<br />
Usia dan manula<br />
Pelanggaran hukum dan pelanggaran lalu lintas<br />
Pacar, pacaran dan pernikahan<br />
Karir dan pekerjaan<br />
Pandangan mengenai bedah plastik<br />
Pengetahuan mengenai negara dan pariwisata<br />
Kasus-kasus hukum yang terjadi dan kasus pada Mahkamah Agung<br />
Hukuman mati<br />
Perceraian<br />
Obat-obatan, alkohol dan rokok<br />
Masalah-masalah ekonomi dan perekonomian<br />
Pendidikan dan sekolah<br />
Pemilihan umum, dan pengetahuan tentang partai politik<br />
Kebijakan energi dan lingkungan<br />
Hiburan, TV dan Bioskop<br />
Etika, kecurangan dan pencurian<br />
Euthanasia<br />
Iman, agama dan spiritual<br />
Keluarga, orang tua, menjadi orangtua, kehidupan anak-anak<br />
Kehidupan wanita<br />
Persoalan kesetaraan gender<br />
Kebebasan berbicara<br />
Pertemanan dan menjalin hubungan<br />
Ibu negara dan wanita-wanita yang berkarir di dunia politik<br />
Perjudian<br />
Tujuan dan cita-cita<br />
Kepemilikan senjata<br />
Jaminan kesehatan<br />
HIV/AIDS<br />
Homosexual<br />
Imigran gelap<br />
Masalah-masalah kesehatan<br />
Masalah-masalah moral<br />
Penggunaan nuklir dan perang nuklir<br />
Ketelanjangan<br />
Internet<br />
Poligami<br />
Politik dan masalah-masalah politik dalam negeri<br />
Politik internasional<br />
Pandangan politik<br />
Pornography<br />
Presiden dan Presidensial<br />
Press, media dan reporter<br />
Ras dan diskriminasi<br />
Kegagalan<br />
Role Model<br />
Sex dan hidup bersama<br />
Olah raga<br />
Sukses, dan bagaimana menjadi sukses<br />
Undang Undang<br />
Terorisme dan keamanan nasional<br />
Pengalaman traveling<br />
Kehamilan tanpa pernikahan<br />
Wanita dan politik<br />
Tokoh-tokoh politik<br />
Tokoh-tokoh penting dunia<br />
Sejarah nasional<br />
Sejarah internasional<br />
Kejahatan dan tindakan kriminal<br />
Militer dan perang<br />
<br />
Dari semua pengetahuan umum yang harus diketahui kontestan Miss World di atas, dimana letak pornografi dan pornoaksinya? Dimana letak tidak ada manfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya wanita? Saya rasa, para demonstran penolak Miss World ini, belum tentu bisa menguasai topik-topik yang harus dikuasai kontestan sebagai syarat memenangkan Miss World. Jadi, hanya wanita cantik dan cerdas saja yang bisa memenangkan kompetisi ini.<br />
<br />
Secerdas-cerdasnya wanita, jika pria hanya fokus melihat dada dan bawah pusar wanita saja, tentu saja jadi porno pikirannya.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-69653922886355233022013-06-30T22:13:00.003+07:002013-06-30T22:13:58.157+07:00Solusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad HeryawanSolusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad Heryawan<br />
<br />
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menilai, kekerasan berujung perusakan pada saat penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, dan di Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya minggu lalu, tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang. (Kompas.com 7 Mei 2013).<br />
<br />
Sungguh sebuah solusi cemerlang yang ditawarkan oleh Gubernur Jawa Barat. Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang.<br />
<br />
Jika saya menggunakan solusi beliau untuk berbagai kasus kekerasan di tanah air, maka saya simpulkan:<br />
<br />
Kekerasan terhadap jemaah Syiah tidak perlu terjadi jika ajaran Syiah hilang.<br />
<br />
Kekerasan terhadap umat Kristen dan penutupan gereja tidak perlu terjadi jika ajaran Kristen hilang.<br />
<br />
Kekerasan terhadap bhiksu Buddha tidak perlu terjadi jika ajaran Buddha hilang.<br />
<br />
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tidak perlu terjadi jika Perempuan dan Anak hilang.<br />
<br />
Ahmad Heryawan ini dari PKS ya?Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-54145656429041268592013-06-30T21:14:00.002+07:002013-06-30T21:14:17.078+07:00Apakah Ahmad Fathanah Germo untuk PKS?<br />
“Assalamualikum Akhi, kurma satu kardus sudah ana terima, dan 10 biji ana ambil untuk vitamin unta kita, sebagai kendaraan jihat, syukron.”<br />
<br />
Kalimat di atas adalah sms dari Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq pasca diterimanya uang sebesar 1 miliar rupiah dari PT Indoguna Utama untuk diserahkan kepada LHI. 10 juta digunakan sendiri untuk membayar goyangan Maharani di hotel Le Meridien.<br />
<br />
Di KPK, Maharani mengembalikan uang itu, karena dia tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek tersebut.<br />
<br />
Setelah Maharani Suciono, muncul nama-nama baru. Ayu Azhari, Vitalia Shesya, Ayu Azhari dan Tri Kurnia Puspita. Semuanya memiliki kesamaan: mengembalikan uang dan berbagai hadiah yang telah diterimanya. Kemungkinan, para wanita ini memiliki kesamaan. Tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek.<br />
<br />
Menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, dalam kurun waktu 5 tahun ada lebih dari 20 orang menerima uang dari rekening Fathanah yang tidak jelas peruntukannya.<br />
<br />
Menanggapi hal itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq ikut berkomentar. Menurut dia, temuan PPATK merupakan urusan pribadi Fathanah dan tidak perlu dikaitkan dengan partainya. “Jangankan 20 (perempuan), ke 100 perempuan pun no problem. Itu urusan pribadi dan tanggung jawab pribadinya (Fathanah),” kata Mahfudz.<br />
<br />
Mari kita baca lagi sms Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS. Urusan pribadi kah jika menggunakan uang partai dan penggunaannya dilaporkan kepada Presiden Partai?<br />
<br />
Katakanlah anda punya hubungan dengan wanita, memanjakannya, memberinya hadiah uang, perhiasan mahal dan mobil, apakah anda menggunakan uang perusahaan dan melaporkannya kepada Presiden Direktur? Pakai uang perusahaan sekali saja untuk urusan goyang ranjang, anda bisa dipecat. Minimal, disuruh mengganti. Menggunakan uang perusahaan untuk 20 wanita, artinya wanita-wanita tersebut memang dibayar untuk kepentingan perusahaan.<br />
<br />
Demikian juga dengan Partai. Menggunakan uang partai untuk wanita-wanita serta melaporkan penggunaan uangnya kepada Presiden Partai, artinya para wanita ini bukan wanita simpanannya Ahmad Fathanah pribadi. Namun memang wanita-wanita nya PKS.<br />
<br />
Mengenai apa yang dikerjakan wanita-wanita ini dalam kurun waktu lima tahun untuk PKS, kita belum tahu. Mungkin saja guru mengaji. Mungkin saja….Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-56619437051321956412013-06-30T20:33:00.001+07:002013-06-30T20:33:39.790+07:00Pancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada KhilafahPancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada Khilafah<br />
<br />
<br />
68 tahun yang lalu, para pendiri negara Republik Indonesia, diantaranya Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Alexander Andries Maramis, Ahmad Subardjo, Ki Hadikusumo, Wahid Hasyim, Agus Salim and Abikusno merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam perumusan tersebut, disepakati untuk menolak usulan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.<br />
<br />
Semboyan Bhineka Tunggal Ika, merupakan pemersatu keberagaman di Indonesia. Karena Indonesia memang terdiri dari beragam suku, bahasa, budaya, bahkan agama. Berbagai agama impor, membaur dengan budaya lokal. Islam di Jawa berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Islam kejawen. Kristen di Jawa, berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Kristen kejawen.<br />
.<br />
<br />
Wetu Telu. Sumber: primadonalombok.blogspot.com<br />
<br />
.<br />
<br />
Kemerdekaan Indonesia, adalah hasil kerja sama bahu membahu semua pihak, semua etnis, semua suku, baik orang Jawa, orang Cina, orang Batak, Menado, Sunda, Bali, Padang, Makassar, secara bersama-sama mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 45 adalah konsep yang paling tepat untuk mewadahi keberagaman di Indonesia.<br />
<br />
Namun, pihak muslim radikal hingga saat ini tetap mendesak pemerintah untuk mengganti Pancasila menjadi Syariah, dengan alasan: Perintah Tuhan.<br />
<br />
Menerapkan syariah di negara yang plural ini, merupakan pemaksaan keberagaman menjadi keseragaman. Hal ini malah menciderai Islam sendiri sebagai rahmat bagi semua mahluk. Artinya, rahmat bagi masyarakat yang beragam. Bukan rahmat bagi masyarakat yang seragam. Menerapkan syariah di Indonesia menciderai ajaran islam yang menghormati kebebasan beragama dan menciptakan kedamaian global.<br />
<br />
Mari kembali melihat pembentukan Negara Republik Indonesia. Lihatlah konsep Dasar Negara, semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Undang-Undang Dasar. Semua adalah bentukan manusia. Bentukan BPUPKI. Seluruh konsep negara-negara yang ada di dunia adalah bentukan manusia. Tidak pernah ada satu negara pun yang dibentuk oleh Tuhan.Tidak ada. Tidak negara republik, kerajaan, kesultanan, kekhalifahan, institusi politik, tidak satupun yang dibuat oleh Tuhan. Semua adalah buatan manusia.<br />
<br />
Begitu juga Negara Islam. Tidak ada satu negara islam dimanapun sepanjang sejarah dibentuk oleh Tuhan. Semua negara Islam yang pernah ada di muka bumi ini dibentuk oleh manusia. Tuhan tidak membentuk negara. Hukum syariah yang diterapkan pun, merupakan produk interpretasi akal manusia semata.<br />
<br />
Dengan sumber yang sama, hukum syariah yang satu tidak sama dengan hukum syariah yang lain. Hukum syariahnya Arab Saudi tidak sama dengan hukum syariahnya Taliban, tidak sama dengan hukum syariahnya Iran, tidak sama dengan hukum syariahnya Aceh. Artinya: penerapan hukum syariah merupakan produk manusia dan produk interpretasi akal manusia. Bukan produk Tuhan. Tuhan ada satu, tapi penerapan hukum syariah ada banyak versi. Artinya, penerapan hukum syariah adalah bentukan manusia.<br />
<br />
Membentuk negara Islam, hanyalah meniru-niru negara Kristen jaman dahulu, tanpa mampu belajar dari sejarah, bahwa agama tidak bisa dijadikan dasar bernegara dan berbangsa.<br />
<br />
Mempropaganda pembentukan negara Islam Indonesia adalah tindakan memanipulasi massa, untuk kepentingan ekonomi dan politik. Jauh dari semangat toleransi, dan damai Islam itu sendiri. Mari lihat berbagai contoh negara Islam di dunia. Tidak satupun yang benar-benar menjalankan damai Islam sebagai hukum negaranya. Tidak satupun yang mewadahi keberagaman. Yang ada hanyalah keseragaman. Sampai warna pakaianpun dipaksakan seragam satu negara. Tidak satupun yang mengangkat harkat hidup masyarakat miskinnya. Ujung-ujungnya hanya melindungi elit politik yang korupsi.<br />
<br />
Bahkan Aceh pun, menduduki peringkat ke-2 propinsi terkorup se-Indonesia. Bandingkan dengan DKI yang menempati posisi pertama dengan jumlah penduduk 10 juta. Aceh berpenduduk 4 juta orang. Artinya, tingkat korupsi dibandingkan populasi penduduk, Aceh menempati Juara Pertama. Kemudian, lihatlah tingkat pendidikan. Aceh menempati Juara Pertama pencetak pelajar TIDAK LULUS ujian negara. Pembangunan Aceh pasca tsunami pun, secara gotong royong dibantu oleh luar negeri cq negara-negara non syariah. Artinya, penerapan hukum syariah tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Syariah digunakan sebagai kamuflase untuk melindungi keserakahan elit politiknya.<br />
<br />
Indonesia tidak memerlukan negara Islam. Tidak memerlukan pembohongan publik oleh politisi-politisi serakah yang membungkus keserakahan dengan agama. Yang kita perlukan sudah kita miliki: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD45, yang mewadahi seluruh elemen masyarakat Indonesia yang beragam.<br />
<br />
Mari kita tolak propaganda palsu orang-orang yang menjual Islam untuk tujuan kekayaan pribadi dan kelompok sendiri.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-7245558417412433352013-06-30T04:34:00.001+07:002013-06-30T04:34:53.260+07:00SERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVIISERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVII<br />
<br />
PUPUH XVIII<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Suwawi kisanak, sami karaosaken, cecangkriman gegujenganing para ahli budi, ing tanah pedusunan tembung wicaranipun makaten ing jagad sakurebing langit, salumahing bantala inggih salebeting alam donya punika isi kathahipun manungsa, kacariyos amung kekalih awarni jalu lan wanita, yen makaten pawestri punika inggih boten aprabeda (190) sami tinitah jumeneng manungsa sajati, ananging sareng kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya ingkang sampun kasebut ing inggil wau, ingkang kadunungan dating Pangeran kang amaha suci amung jaler kemawon, punapa sababipun teka aprabeda.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Leres kisanak, kula sadaya wau saweg tumrap dhateng sujanma priya kemawon, dene sampeyan bilih angraosaken dhateng sujanma wanita punika kacariyos boten aprabeda.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah cariyos sampeyan piyambak ing ngajeng wau wewejangan ingkang kaping nem, dipun wastani kayektening kahanan kang maha suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, awit dene pamejanganipun.”<br />
<br />
(191) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sampun makaten kemawon kisanak, wicantenan sampeyan punika boten susah kalajengaken awit kula sampun mengretos ubetipun karsa sampeyan badhe amelehaken dhateng kula.”<br />
<br />
Kontol punika kahananing Betal Mukadas.<br />
Pringsilan, kahananing purba punika wonten wirayatipun guru manawi amedaraken rahsaning ngelmi pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, ing atasing amejang dhateng pawestri, wenang kiniyas makaten : ing nalika Pangeran kang maha suci karsa anata malige ana ing dalem Betal Mukadas, jumeneng wonten ing baganing Siti Hawa, punika ingkang wonten salebeting baga : (192) puruna, ingkang wonten antaraning puruna retna, inggih punika mani, salebeting mani : madi, salebeting madi : wadi, salebeting wadi : manikem, salebeting manikem : rahsa, selebeting rahsa : punika dating atma, kang anglimputi kahanan jati.<br />
Dene pitedhahipun makaten : baga punika tetimbangan konthol purunan tetimbangan pringsilan, ing salajengipun sami ing atasing wewejangan dhateng kakung, anenipun merdi supados marsudi dhateng waskitaning sangkan paran.<br />
<br />
Sanesipun punika wonten malih, wewejangan ingkang kaping pitu ing ngajeng wau panetep santosaning iman, ing atasipun amejang dhateng pawestri wenang kawewahan makaten : Ingsun anekseni, satuhune (193) ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun Mukhammad iku utusan Ingsun, Patimah iku umat Ingsun.<br />
<br />
PUPUH XIX<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, menggah asmaranipun pawestri yen pinuju sinangama ing kakung, punika prayoginipun ing tingkah kados punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen nitik asmaranging priya, kathah rubeda samanten wau, saleresipun tiyang estri ing asmara boten malih, amung kedah anut ing ombak kasagedaning priya, ananging pawestri kathah ingkang anguciwani, lingsemipun ingkang boten pakoleh kadamel wadi, sujana yen kawastanan pawestri lenjeh ing kakung liripun makaten, kathah wanodya ingkang gadhah reka, saben-saben arsa rinabasa ing priya (194). Rewa-rewa datan arsa, kengingipun ngantos pineksa pinarosa, menggah gelar ingkang makaten wau pikajengipun supados sampun ngantos kawastanan pawestri lenjeh ing priya, tuwin sampun ngantos kawastanan pawestri karem dhateng raosing asmara, temah andadosaken kasereng karsaning priya, inggih panduking rubeda, wekasan ing asmara tan saged widada.”<br />
<br />
Wonten malih gelaring wanita yen nuju sinangama ing priya, lajeng ambiyantu ing solah obahing raga dadosaken keras maju munduring pasta, pratingkah makaten wau sedyanipun supados mimbuhi sakecaning prasa, wekasan sarem kataman sruning panggosok anuwuhaken dhateng bantering hawa inggih punika gegolonganing rubeda, (195) saged ngenggalaken pamudaring prasa.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Patrap pratingkah kasebut ing inggil wau kirang proyogi, sebab anyelakaken dhateng rubeda rumraping priya, wangsul tembung saleresipun wanita ing asmara kedah anut ing ombak kesagedaning pria punika empan lan mapanipun kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, bebakunipun ingkang prelu kedah waskita, amawasa nuju karsaning priya, ing solah kedah anut ing pangrehing kakung, wondene sarananipun ingkang rumiyin buka dhateng sereng angkaraning karsa priya kasensema ing asmara, menggah patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe amimbuhi dhateng kiyat pastanira, wekasan tan membat katiban ing gada. Ingkang kaping kalih niyat angencengna (196) daya wedaling seni, patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe ngrapetaken wiwaraning pasti baga, dene melar mingkusing daya wiwaraning baga wau cekap kebiyantanana pamethet uculing napasira. Wondene angsahing yuda brata kedah ngangge gelar mawi mangkara dibya, mengsah kapapana miring mangiwa, kaprenahna lambunging sang krodha kang tengen, prelu pakoleh kang nyata tahan kuwawa sarosa, tambah nyelaken denira sang sinungku mudasmara, makaten kabar sang reh pajaring laksita.”<br />
<br />
PUPUH XX<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kula nate nyumerepi, pinten-pinten sujanma pawestri, anggenipun murih supados dipuntresnani dhateng semahipun wonten ingkang sami mawi (197) sarana merdhukun utawi maguru aji pangasihan, menggah patrap ingkang makaten wau bebatosanipun kenging dipunwastani leres punapa lepat?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sasumerep kula patrap ingkang makaten punika boten anemunaken bebudenipun tiyang estri kemawon, sanadyan para priya ingkang sami anjangkah darajat kadosta kawiryan. Inggih punika anjangkah dados priyantun utawi jangkah kasugihan kathah ingkang ngangge sarana merdukun, utawi anyenyembah bulus, reca, kajeng angker, sela sesaminipun manawi saking panimbang kula, sujanma ingkang gadhah patrap makaten punika lepat sanget, awit saking bodho cublukipun, mangka pepuntonipun saking kinten-kintening menggah widada katarimaning sedya punika amung dumunung (198) wonten ing pandamelan labet tuwin labuh, awit labet utawi labuh wau ing sajatosipun sampun dados panedha utawi panembah. Awit wujudipun ingkang kawastanan labet wau inggih guna, tegesipun kapinteran, ingkang dipun wastani guna punika inggih sarana, tegesipun piranti, ingkang binasakaken sarana punika inggih : mantra, tegesipun muna, ingkang dipunwastani mantra punika inggih donga tegesipun muni, ingkang binasakaken donga punika inggih puja, tegesipun panggunggung, inggih punika sadaya wau dumunung pangrengganing basa, utawi patrap ingkang dados pepunton atining tata karami.”<br />
<br />
PUPUH XXI<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Cariyos sampeyan, (199) sadaya dalil dhawuh pangandikaning Pangeran kang maha suci utawi kadis pangandikaning Kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kasebut ing ngajeng wau, suraosipun lajeng karaos ing dalem raos, wekasan rumaos sakalangkung andadosaken agening manah kula, yayah amarwata suta, karana sampun terang lan tetela manawi dating Pangeran kang maha mulya punika sampun dumunung wonten ing kita priyanga, utawi kita punika terang sanyata yen wujuding Allah tangala blaka.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“E…., e…., kisanak, kula ngengetaken, sampun enggal-enggal gadhah pangrengkuh tuwin sumengguh nganggep jumeneng dating Pangeran kang maha suci, ing ngriki wonten tetembungan dolananing lare alit makaten : cohung, ora gombak ora (200) kuncung mung anggepe kaya tumenggung, ora jogan ora longan mung anggepe kaya Pangeran. Menggah patrap ingkang makaten wau saestu ageng ing sesikunipun, tur awrat ing kukumipun. Wonten malih cariyos ing Serat Wedatama, inggih tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, dumunung ing pungkasan kalih dasa sekar gambuh makaten :<br />
<br />
Nanging ajwa kesusu, aja pisan wani ngaku-aku, bok kesiku kang mangkono iku kyai, kena uga wenang muluk, yen wus katos pada melok.<br />
<br />
Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ngandeling takdir, akantya awas emut, den memet yen arsa momat.<br />
<br />
Pramila wonten lambang ingkang makaten wau (201) jer manungsa punika wewatekanipun beda-beda, wewejanganipun wonten tigang warni, kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Manungsa punika wiwit lare sinapih ing bapa biyungipun, lajeng ngupados sandhang utawi teda piyambak salaminipun, ngantos sepuh gruyuh-gruyuh dumugi pejah, boten pisan wonten tukuling pambudi, yen anedya mangretos rumaos, utawi karaos duk wonten ing gesangipun, lan saolah bawaning balanipun, punika kaliyan katitahaken dening Pangeran kang maha suci, inggih punika ingkang binasakaken manungsa uripe kewan blaka kados maesa tuwin lembu sasaminipun.<br />
Manungsa wiwit lare, sareng dumugining akir baleg, mangsa dewasa tukuling panggraitanipun, angaji maos kitab-kitab pekih utawi musakab, (202) dereng ngantos sumerep ing suraosipun, dereng absah murad maksudipun, kaselak kasesa ajrih dhateng Allahuthangala, kakinten badhe ngukum dhateng sadayaning, manungsa, kalebetaken ing naraka brama kang katikel sayuta lan panasing geni alam donya, saking sanget ajrihing wardaya wekasan dalu lan rina boten pedot tansah rukuk tuwin sujud, ngantos bundas batukipun, kacariyos saking pangraosipun seba nyembah Allahuthangala, ngantos supe ngupados boga, yen kraos luwe lajeng nglampra, nglojong ngulandara boga, anemis saba desa, ngasoraken sarira tembunge melas arsa, bok manawi inggih punika ingkiang binasakaken manungsa tuwuk anggenipun maca Alhamdu, (203) dados mendem kulhu, dhateng kraos mumet lajeng gumlimpang gumlundhung wonten ing sarak.<br />
Manungsa wiwit lare dumugining akil baleg, manungsa dewasa agegulang ngelmu rasa, surasa sakyeh pustaka dhateng pangulangipun dumugi ngelmi kang sanyata kasampurnaning manungsa kadi kang wus pinatela ing ngajeng wau sadaya, sarana suruping panampa jatining Allahuthangala, wujude ing badanira karana wus pira-pira, kasebut aneng pustaka, dating Pangeran kang maha kawasa, dumunung wonten manungsa, kang mangka seksi pratandha den cocoken ing badanira, adarbe angkara murka, ngangsa-angsa dremba, karem bukti lawan nendra, yen nuju angganira kataman ing sangsara, sru manangis rawat waspa, sesambate (204) melas arsa, iku kang kinarya tandha badane Allahuthangala, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa mendem kitab tasawuf kabatan ing donga sepi, utawi donga sepi (suwung).<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Amit kisanak, kula nyuwun pangapunten nyelani sakedhap awit kedah kekel gumujeng, boten kenging kula ampet, inggih sareng ngraosaken dhateng nalar lelampahanipun tiyang tetiga wau dene teka warni-warni.”<br />
<br />
Ingkang angka 1 : boten darbe rumaos dumadi kaliyan dinadekaken ing Pangeran, saiba anggenipun sakeca salebeting manahipun, kenging binasakaken manungsa mung sakarsa-karsa, momong ing sarira, saupami yen panuju nendha, inggih tulus ambukti tur kaliyan eca, yen sampun tuwuk lajeng nendra tur kaliyan sakeca, (205) karana boten wonten malih ingkang winiraos ing salebeting pangraosipun. Ingkang angka 2 : saking cupeting pambudi awit kataliban dening bodho, dumawah ing sesiku kataman ing bingunging manah, kasluru ing pangraita, temah ajrih yen pinentung dening malaekat den larak dhateng naraka, wekasan anempuh ing tekad anguntala pil Alhamdu, dhateng kasereten anggenipun ngulu lajeng dipununjuki ing lapil kulhu, saestunipun inggih wuru, wewah badanipun ginabagan ing sarak, gulung gelangsaran, wekasan anyepupung wonten ing sarengat.<br />
<br />
(206) Ingkang angka 3 : punika sanget gumujengaken, dene wonten manungsa ingkang kadunungan pangraita kados makaten, mangka saking kaengetan kula ugi kasebut ing surat Eklas inggih lapal kulhu ingkang ngendemi wau, pepungkasanipun makaten : lahu kufuan akad, maknanipun : Allah iku ora ana kang nyakutani ing sawiji-wiji, tegesipun ora ana kang memadani, dados saupami Allah punika awujud ageng, ing jagad punika ing saisen-isenipun dalah segantenipun kalebet awang-awangipun, dereng mantra yen sageda tumimbang, dados saupami Allah punika karsa dhahar sapinten kathah ing sekulipun, yen saupami Allah punika karsa amuwun saking bantering swaranipun bok manawi damel rangkading jagad punika sadaya.”<br />
<br />
(207) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Pramila lajeng wonten temban paribasan amung kalih bab makaten :<br />
<br />
Langkung tuna janma tan pangawak ngelmi, pikajengipun langkung tuna sujanma punika yen boten sumerep dhateng suraosing ngelmi.<br />
Genggenging dosa punika boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang kirang sampurna.”<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Yen makaten menggah kosok wangsulipun, genggengin kamulyan punika punapa inggih boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang sampurna?.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, punika leres nanging inggih boten manawi.”<br />
<br />
PUPUH XXII<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, wangsul anggen kula angraosaken bab jabang bayi wau, wujuding wewatekan tuwin (208) dawahing lelampahan sami awarni kekalih. Kadosta wujud jaler lan estri, kalakuwan awon utawi sae, sarta ing tembe lelampahanipun dhawah begja utawi sangsara, punika kados pundi mula bukanipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“E…, e…. teka nyeplesi tembung paribasan narithik kadi pakuning trebang, ananging inggih leres, wujuding bebayi punika warni kekalih, jaler, estri, awon utawi sae, lelampahanipun begja utawi cilaka, kacariyos inggih wonten ngriku. Winahyu dumawahipun pramila wonten tembung Pangeran-erang : luput pisan kena pisan, dumunung wonten panjing serapipun, ananging sinten ingkang uninga, karana taksih ginaib, ewa dene manungsa ingkang (209) sampun binuka waskitaning driya bok manawi boten kekilapan dhateng prakawis punika, dene sumerepipun ningali saking punapa, utawi nitik saking pundi?, punika kula dereng terang, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos bebasan amung sawonten-wontenipun tur inggih neniru, anular saking cariyosipun sujanma ingkang bodho, kirang pambudi, ananging inggih amung dados sesimpenan kemawon, batal yen kaucepaken saderengipun lahir, awit ingkang makaten wau binasakaken genggenging dosa, karana kami purun ketrecet ngrumiyini karsa kuwasaning Pangeran kang maha suci sejati, kacariyos menggah ing tumandukipun bebasan liru lambang utawi wolak-walikan, kilap leres utawi lepat (210) kapratelakaken kados ing ngandhap punika.”<br />
<br />
Ing salebetipun badhe pulang asmara priya kaliyan wanodya, ing mangka priya ingkang adarbe karsa sanget harda dhateng wanodya, ing sadangunipun apulang asmara hardaning karsa wau, layap liyep luyutipun ngantos dumugi ing cipta maya, lajeng amudhar prasa kapinujon pinarengan wahyaning mangsa kala, sarehning kala wau harda karsaning priya dhateng wanodya dados pikantukipun sami ugi kaliyan pawestri, kinten-kinten bok manawi kadadosanipun bebayi ing tembe inggih pawestri.<br />
<br />
Dene kosok wangsulanipun yen wanodya darbe karsa harda dhateng priya, (211) saolah kridaning leksana nunggil kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal priya.<br />
<br />
ING sapunika mangka wonten ingkang sarengan priya lan wanodya, darbe karsa sami hardanipun saolah kridaning leksana sami widada, datan sae kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal dampit awujud kekalih jalu kalawan wanita.<br />
<br />
Ing sapunika wonten malih, upamu sujanma priya mangka ing saderengipun saged kayuyun sageda pinaringan gadhah atmaja wanita pamuntuning panggalih inggih ngantos dumugi ing cipta maya lajeng pulang asmara, saolah (212) kridaning laksana nunggil kadi ing ngajeng wau sadaya, inggih punika ingkang binasakaken kayu dolong ketlusupan jati, liripun makaten wau cipta kaseselan ing cipta, kinten-kinten bok manawi kadadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih, kembar sami pawestri.<br />
<br />
Dene kosok wangsulipun yen wanodya, mangka ing sadereng-derengipun sanget kayuyun darbe atmaja priya, saolah kridaning leksana, nunggil kadi ing inggil wau sadaya kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih kembar sami priya.<br />
<br />
Dene yen makaten saupami lan wanodya sesarengan sami adarbe karsa saolah keidanira nunggil (213) kadi ing ngajeng wau sadaya, badhe gadhah bebayi pinten punika saestunipun para winasis rak inggih sampun galih piyambak sarta inggih sampun gadhah panimbang, menggah kodrating Pangeran kang maha suci dhateng ing atasing manungsa, sayekti kadamel beda kaliyan babi celeng rawa yen garbini, lahirira genjike langkung sadaya.<br />
<br />
Wondene alas hardaning karsa, dumugining cipta maya kados ingkang kasebut ing inggil wau, bok manawi boten amung mahanani dhateng wewatekaning bebayi, pramila para sujana lan sarjana ingkang waskita ing kadadosaning krida utawi pangripta wau sok (214) nuwuhaken, lajeng kangge tetenger nama dhateng para atmajanipun.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, mugi sampun dadosaken panggalih, gegiliran gentos kula cariyos, sampeyan mirengaken, ing serat Paramayoga mratelakaken ing lelampahanipun Kangjeng Nabi Adam kaliyan garwanipun nama Babu Kawa, dhateng kagungan putra rambah kaping gangsal sami medal dampit, ing riku atmaja wau badhe kajodhokaken sulayaning rembak sami bebantahan arebat kuwasa, wekasan sekaliyan sami amudar rahsa kama kalebetaken ing cupu manik astagina, dhateng dumugining mangsa kamaning priya saged dados manungsa, kaparingan nama Sayidina Sis, dene kamaning wanita boten saged dados manungsa, amung dados erah (215) kemawon, sarehning sampun tetela asaling atmaja wau saking priya, Babu Kawa lajeng ngawon miturut ing pranata karsaning priya, kisanak menggah suraos ingkang makaten wau panampi sampeyan leres punapa lepat?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah saking panampi kula inggih leres.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Sabab dening punapa kala wau nyebutraken, yen pawestri darbe karsa harda dhateng priya teka mahanani peputra medal kakung, punapa inggih kisanak pawestri punika kadunungan wiji, saupami makatena saestunipun badhe sulaya kaliyan suraosipun serat Paramoyoga wau.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen ta saupami ngrembaga bab prakawis wiji, leres sampun dumunung wonten ing priya, pramila sujanma (216) wanodya punika bebasanipun kasebut papan utawi wadah, wangsul ingkang karembag wau bab warnining bebayi jalu lan wanita, bebuden utawi wau wiji sampun nomor ing cangkok, pramila jalu lan wanita pundi ingkang santosa sami darbe kuwasa, wondening saksi ingkang kangge pratandha, bebasan ila-ila ujaring sujanma kina, nadya priya lan wanodya yen nuwuhaken atmaja taksih wonten salebeting guwa garba, mangka anabet utawi darbe sangit utawi aniaya dhateng sesamining tumitah punika asring mahanani dados jedaning putra, primila dumugi ing jaman sapunika katelah taksih sami ngangge tembung pepenget, yen ketaman (217) solah sesirikanira anyebut jabang bayi, dene pandhapur kula cariyos saha suraos ingkang makaten wau, amung medal saking kinten-kinten, boten langkung panimban dumunung wonten ing sampeyan piyambak.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula sawek sapunika sumerep lan ngraosaken, pikantukipun tiyang mamardi marsudi ing kawruh, yen sampun gadug, kandhas, tandhes, anggenipun gatukaken gegancaranipun lajeng boten darbe manah gumunan tuwin eraman, inggih dhateng kula ngraosaken cariyos sampeyan wau, bok manawi ing jagad punika boten dangu lajeng kebak kaisen manungsa, awit saben-saben sajumbana saged dados jabang bayi medal kalih, tiga, sekawan utawi (218) wolu.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, mangke ta rumiyin, punika pundi teka galuyuran, lajeng wonten pangraos ingkang makaten punapa boten mawi ngraosaken ing suraos utawi anglalar dhateng ukaraning tembung, pramila kula mestani makaten, awit cariyos kula ing ngajeng wau ingkang sapisan enget kula boten wonten, suraos ingkang nepak tuwin gampilaken tumraping lelampahan wau, ingkang kaping kalih dumugining kedadosan tembungipun yen pinareng dening Pangeran kang maha suci, pundi ta kisanak, ingkang suraos gampilaken sarta pundi tembung ingkang namtokaken, saking panyuwunan kula kisanak, ing salebetipun gegineman punika mugi kersaa dekeki pangalih sakedik supados (219) sampun gluyur, ing panampi boten kuwur, suwawi tan karaosaken kaliyan sayektosipun katimbang menggah ing nalar, kadosta saupami dedamelan wujud barang sasaminipun ingkang warni sae saestunipun rak inggih kedah jangkep ing suraosipun, makaten malih saupami pangolahing tetedan sapanunggalanipun, menggah sagedipun eca katedha saestunipun rah inggih saking jangkeping bumbu-bumbunipun, ewa dene boten kenging pisah kedah kanti rigening pangretos, liripun makaten kadosta saupami bumbunipun kirang ing raos inggih boten eca, saupami kekathahen bumbu ing raos inggih boten eca, menggah pangemaling taker ingkang makaten wau (220) punapa inggih kenging dipun wastani gampil, bok manawi pangolah upakartining kadadosan wijining manungsa wau kados inggih boten prabeda, ananging menggah anggen kula cariyos upami wujud lan barang sarta pangolahing tetedan wau inggih amung kadamel ande-ande utawi sanepa kemawon, minangka tetimbangan dhateng nal;ar-nalaripun, saestunipun sarupaning aran gaib wis ora kena dikaya apa, tembung ingkang makaten wau pikajengipun sampun boten kenging dipunupami, awit menggah ing kadonyan punika boten wonten sesaminipun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Ing salebetipun geginem kula kapurih (221) dekeki manah sakedhik inggih kula estokaken, kapara sapunika kula dekeki manah kathah tur ageng-ageng, ananging kados pundi meksa dereng saged mangretos, suwawi ta kagalih cariyos sampeyan punika, rak inggih aneh utawi mokal sanget liripun makaten wujuding bekakas ora liya iya iku, dene banyune ora liya iya banyu iku, apa sababe nagnggo ana kang dadi uatawa ana kang ora.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, kula badhe pitaken rumiyin, kula wau sampeyan punapa ngunjuk kulhu, sarta angrencani nyunggi donga sepi, dene kok kalajeng karaos wuru, awit dhateng kula waspaosaken warninipun katingal gujeng, suwawi tan (222) kisanak kagalih trap-trapanipun, kadosta saupami gelaning lega mangka kadamel kemba, utawi wutah kejening karsa saupami kalimpekaken ing antara dereng utawi sasampunipun pun pasthi amudhar prasaning rahsa sanadyan kasarengana saupami saking punahipun manginggil punapa saged dados rak inggih boten?.”<br />
<br />
Utawi malih panduk penden-pendening budi, ati, sir, tuwin karep, punika lajeng mahanani layap liyeping prasa ambuka sadaya langening pramana, inggih punika wenganing krida ingkang nami supe, manggen wonten pun temen idhep, punapa saged dados rak inggih boten. Aprabeda sanget kaliyan patrap makaten : oanduk pendening tingal, (223) pangucap, panggonda tuwin pangrunu mahanani layap liyepingrahsa, buka daya langening atma, inggih punika wenganing krida, ingkang emut manggen wonten pun tetep madhep peparengan kaliyan wahyaning mangsa kala, karsanira Pngeran kang maha mulya karsa nitisaken wijining manungsa, yen makaten bok manawi inggih saged dados menggahing patrap pratingkah ingkang makaten punika sanadyan wujuding toya sajun, rak inggih kengging binasakaken beda-beda.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisnak, inggih leres, kala wau kula ingkang dereng mangretos, sareng sapunika sampun sumerep ingkang dados nala-nalaripun, tetela boten kenging kadamel gampil.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, anggen sampeyan lajeng cumeples, saged amestani boten (224) kenging kadamel gampil punika saking pundi, mung tetumpukani, cecaruban, wolak-waliking tembung ing ngajeng wau, suraosipun sampeyan punapa sampun mangretos?.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kauningan kisanak, anggen kula gegulang dhateng tembung maos serat-serat sampun sawetawis lawi, utawi sampun kathah, pramila boten kewran amawas suraosing tembung ingkang makaten wau.”<br />
<br />
Ingkang rumiyin wutah kajenging karsa kalimpekaken wenganing dwara, punika pikajengipun sampun ngantos kalebeting wadhah, menggah sasaminipun pratingkah ingkang makaten wau prasasat toya kabucal ing siti kemawon, layak saged amestani boten saged dados, awit saestunipun boten dangu, (225) toya lajeng asat ingkang kaping kalih tembungipun kala wau makaten, panduk pendeng-pendenging budi, ati, sir, tuwin karep mahanani layap-liyeping prasa, ambuka daya langening pramana punika pikajengipun kahananing wiji suwung amung medalaken toya blaka, dados sesaminipun, upami nanem turus kajeng dhadhap ingkang sampun aking, yen nalaripun inggih leres boten saged semi.<br />
<br />
Dene ingkang kaping tiga tembungipun makaten : panduk pendening tingal, pangucap, pangganda, tuwin pangrunu mahanani layap-liyeping rahsa buka daya langening atma, tambah pinareng wahyaning mangsa kala, saking pikajengipun, punika kenging binasakaken jangkep, sesaminipun prasasat ana nem turus kajeng dhadhap ingkang taksih seger, tambah (226) nyarengi mangsa nuju gesanging tetrubusan, yen nalaripun inggih leres lajeng saged sami.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sukur kisanak, yen sampeyan sampun mangretos.”<br />
<br />
PUPUH XXIII<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta Kisanak, dhateng dangu-dangu anggen kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya wau, punika rerembagan bab prakawis ngelmi punapa dedongengan, punapa tembung gegujengan, yen ta kula westani tembung dedongengan utawi gegujengan, dakik-dakiking cariyos ungel wileting tembung menggah patrapipun boten makaten, yen ta saupami kula kawastanan angrembag gaibing ngelmi inggih sanes, awit titikan satunggal-satunggaling golongan lampahipun (227) boten wonten, ing mangka kacariyos ngelmi punika wonten ingkang lampah mutih, saben nedha tanpa lawuh, namung sekul thokthok, laminipun pitung dinten, trekadangan wonten ingkang ngantos pitung dinten, tuwin malih lajeng wonten ingkang lampah pati geni, tilem ing papan ingkang sepi-sepi kadosta kramatan sesaminipun, bilih sampun rampung anggen ipun anglampahi ing riku lajeng nandukaken panyobi, wonten ingkang badanipun kasuduk ing duwung utawi kapentung, warni-warni punapa ngelmi ingkang kalampahan wau, wangsul cariyos sampeyan ingkang sampun gumelar (228) ing inggil wau gegolonganipun bab prakawis punapa?, mugi kersa paring pitedah supados gamp[il anggen kula ngraosaken.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, duka sampeyan, kula piyambak inggih dareng sumerep. Amung mugi-mugi sampun andadosaken panggalih, kula badhe anyariyosaken wonten tembung paribasan dedamelanipun tiyang pinuju pejah, sawek ketaman pegeling manah, makaten prasasat kadi pepethaning patok nanging bisa manthuk-manthuk, sairip kadi rupaning jodhog, nanging bisa delog-delog. Sayektosipun kisanak kula inggih saweg sepisan punika angraosaken patitisipun pangandika sampeyan, leres sejatosipun ingkang nama ngelmi (229) punika menggah kalampahanipun kedah mawi lampah, wondene anggen kula saged mastani makaten wau ing Serat Wedatama, tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, sekar pucung amung mendhet sekawan pada, dumunung pada wiwitan, ungelipun makaten :<br />
<br />
Ngelmu iku, kelakone kanti laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, santa budya pangekes sang dur angkara.<br />
<br />
Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar dadi rubrda.<br />
<br />
Beda lamun, kang wus sengsem ing ngasemu, semune ngaksana, sesamane bangsa sisip, sarwa sareh saking (230) mardi marta tama.<br />
<br />
Taman limut, durga mengtyas kang liniput, kerem ing karamat, karana karobaning sih, sihing suksma ngrebda sakardi gengira.<br />
<br />
“Kados pundi kisanak, rak inggih leres menggah ngelmi punika kedah mawi akanthi lampah, dados cocok sanget kaliyan pangandika sampeyan wau?.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Inggih leres kisanak, cocok pada ingkang wiwitan, ananging namung sapada lingsa, ngelmu iku kelakone kanthi laku, dhateng sapiturutipun boten wonten ingkang magepokan, liripun makaten pundi ingkang nyebutaken mawi nglowon tingan dinten utawi mutih kawan dasa dinten bok boten wonten?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Inggih leres, saupami sampeyan mangretos dhateng suraos ingkang makaten wau, mindak oncat saking (231) anggenipun anetepi ing tembung dhengkul ngangge iket, ing mangke kula nyariyosaken bok manawi saking pangandikanipun para winasis duk ing kina-kina, menggah ing lampah kacariyos makaten.”<br />
<br />
Yen wonten manungsa ingkang jibar-jibur, tansah bruwah, inggih punika tiyang ingkang tanpa lampah, wonten ing alam donya salami-laminipun, tansah baksana, andrawina, tegesipun tansah asuka-suka, adhedhahar miwah ngunum, ing tembe, manawi pejah kacarios jasadipun bosok dados siti, dene yitmanipun dados memedi, kemamang utawi edhon sedaminipun.<br />
<br />
Makaten malih ingkang karem anyenyegah nendha, ing tembe manawi pejah kacariyos jasadipun garing, lajeng dados atos dados sela, yitmanipun ngalambrang kadi (232) kinjeng tanpa soca, tegesipun kadi mibering kinjeng ingkang tanpa netra.<br />
<br />
Utawi malih, manawi wonten sujanma, ingkang karem tapa cegah nendra, inggih punika tiyang ingkang karem anglampahi melek, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados setan utawi jin perayangan.<br />
<br />
Utawi malih, yen wonten sujanma, karem tapa cegah boten sahwat, tegesipun boten sanggama lan wanita, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados dhayang ingkang semara siti.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Pramila sandyan dipun wastanana, dheyos mawi bebedan utawi reca mawi clana, inggih nariman awit manawi kapanduk dhateng nalar ingkang makaten wau, sinten manungsa ingkang saged amilih karana sampun anyeplesi dhateng tembunganing paribasan makaten yen mlayu mangidul dithuthuk, yen mangalor (233) digepluk, yen mangulon disampluk, yen mangetan dikepruk, wekasan thenguk-thenguk, ora lali iya digepuk. Boten langkung ing mangke bebasan amung pasrah jiwa raga, mugi-mugi lumuntura asih welasing sumitra, aparinga berkah sajarwa leksanane kang sanyata, tumitah ing alam donya.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, mugi-mugi sampun andadosaken pangalih, menggah pamurih sampeyan dhateng prakawis punika tumrapipun ing kula piyambak sejatosipun dereng sumerep pisan-pisan, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos saking nenular, aneniru ing serat wirit yasanipun Raden Ngabehi Ronggowarsita pujangga ing negari Surakarta Hadiningrat, inggih panunggilanipun ingkang sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau, bab lampah-lampah ing kapratelakaken pepetikanipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sampun sok amestani, allah, dene yen kapengkok kaplesetna anyebut utawi amestani, Pangeran.<br />
Sampun sok amestani namining, manik, utek, utawi polo, sarta sampun sok nedha ulamipun.<br />
Sampun sok amestani, angen-angen, sarta sampun sok nedha ulam ati tuwin jantung.<br />
Sampun sok amestani, mani, sarta sampun sok nedha ulam pringsilan.<br />
Menawi saged acecegah ingkang makaten wau, kacariyos lawanipun asring katarimah lajeng dados ing ngelminipun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Saupami wonten kesupenipun kisanak, amestani naminipun utawi nedha ulam wau kados pundi, punapa kenging?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kacariyos bilih kasupen (235) inggih kenging boten dados punpa, sabab sajatosipun ingkang prelu dados awisan amung hawa napsu bilih saged ambirat ing hawa napsu, kacariyos ing adat asring kadunungan awas lan emut, manawi tansah anggenipun awas kaliyan emut, bok manawi estu amanggih kamulyan ing sangkan paran dene patrap lan pikantukipun kados ingkang kasebut wirayating para ahli ngelmi, kapratelakaken ing ngandhap punika :<br />
<br />
Taberi, suci, temen mangka dados pambirating durgandana ing tembe, tegesipun anyirnakaken ganda awon.<br />
Angirangi dhahar miwah ngunjuk, mangka dados pangluluhaning raga ing tembe.<br />
Angawis-awisi sare tuwin sahwat, mangka dados pangluyuting jiwa ing tembe.<br />
Anyenyuda (napsu wuwus, mangka dados panglenyepaning rahsa ing tembe.”<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula eram sanget, inggih amangsuli bab asmaragama wau sakathah ing manungsa tuwi sato kewan, pitik, iwen ing sadayanipun punika, dene teka lajeng saged anindakaken tur kalayan boten winulang, ananging menggahing tindak saestunipun inggih namung angawur, mokal sanget yen sageda pratitis pramila kula sanget kepengin mirengaken bilih wonten piwulang, anggenipun ingkang mesti solah pratingkahing salira, wektu apulang salulut wau kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, saupami kala wau sampeyan karsa prasaja, yen sejatosipun jumeneng dados ratuning ngacubluk, (237) utawi jumeneng dados lelurahing tiyang bodho, rak inggih boten penjan-panjan anggen kula cariyos, mugi kauningana ing sampeyan menggah suraosing serat Sruti, makaten sinten manungsa mangka boten niyat saged sumerep sarta boten mangretos, utawi boten niyat purun anglampahi dhateng suraosing kasampurnaning ngelmi sejati, pinten-pinten ingkang sampun ginelar dening para Nabi miwah para wali, punapa malih para sujana, kacariyos sampun boten kenging pisan dipunajak rerembagan, bab kahananing nalar-nalar utawi pandamel inghkang elok lan kang edi-edi, awit tetela sampun amratandhani terang yen manungsa kebak kaisen ing duraka, wondene anggenipun memaleri ingkang makaten wau bok manawi jalaran saking kuwatos bilih anglepeti (238) ing durakanipun.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, teka lajeng wonten tembung ingkang makaten, mugi kersaa genahaken rumiyin, kados pundi sebabipun.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah ing atasanipun tiyang rerembagan punika, kedah mawi wiwitan, tengahan tuwin pungkasan, wasana dhateng dangu gegineman meh dumugi nalar wekasan, lajeng wangsul tanglet nalaring wiwitan, rak inggih sampun tetela, yen boten mangretos dhateng suraosipun ingkang karembag wau, wondene menggah bodho budheng lan cubluking manah punika sampun kasebut ing kitab Candra, kacariyos jalaran saking jampen panca driyanipun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, sarehning kula dereng nate maos kitab Candra, nyuwun pitanglet, bilih wonten manungsa ingkang bodho tuwin cubluking manah, kacariyos (239) jalaran saking jampen oanca driyanipun punika gegolongan sae punapa awon?.”<br />
<br />
PUPUH XXV<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Manawi saking pamanggih kula, tiyang ingkang kasebut cubluk utawi bodho punika inggih sae, jalaran manawi dipun pisuhi dgateng sesamining tiyang boten kraos, kilap manawi mireng swaraning lembu bok manawi saged mangretos, suwawi kisanak, kamirengna tembung ing sasaged-saged, kula dapur cariyos, supados lega ing panggalih sampeyan, ananging panyuwun kula, anggen sampeyan lengah sampun celak-celak manawi nyiprat ing durakanipun, dene menggah patrap pratingkahing sanggama, punika prayoginipun bok manawi kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang rumiyin nyariyosaken tenbung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, (240) badhe dumugekaken karsa apulang salulut sami lumebet ing jinem rum, tegesipun dununging pasareyan, ing riku sanadyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa samanten menggah pepantenganing panggalih, sampun ngantos kasupen dhateng suraos lan dununging tembung :<br />
<br />
Nitas, tegesipun awon.<br />
Madya, tegesipun sedenan, utawi tenahan.<br />
Utama, tegesipun sae, menggah pikajenipun suraos ingkang makaten wau, solah lan pratingkah salebetipun sanggama kedah angengeti dhatengi tanduk ingkang awon, ingkang sedheng lan ingkang sae, dene menggah empan lan mapan tuwin dunungipun makaten.<br />
(214) Ingkang binasakaken tumanduking pandamel nista punika, kados ta apulang asmara, pratingkahing salira anulat kadi patraping sangamaning sato kewan, maesa, lembu, buron wana sasaminipun inggih punika ingkang binasakaken manungsa purun ngangge dhateng patrap awon, ing mangke kacariyos wonten tembung pangandikaning para sujana, suraosipun makaten : sing sapa manungsa gelem nglakoni tumindak marang panggawe nintha sayekti bakal anemu papa, wondene pangandikanipun para sujana ingkang makaten wau, bok manawi karsanipun asung pralambang minangka pasemon, saking sanget pangowelipun dhateng para manungsa ingkang sami kadunungan muda miwah paguning budi, awit para sujanma anggenipun purun nglampahi dhateng pandamel nista wau jalaran saking dereng nate (242) pisan-pisan srawungan dhateng atining tata krami, utawi dereng nate pisan-pisan kapranggul raosaken dhateng suraosing ngelmi sejati, kasampurnaning manungsa prmila binasakaken dereng uninga ing tata krami, utawi malih binasakaken dereng srawungan ing ngelmi, punika menggah liripun makaten : dik wau pratelaning wewejangan ingkang sepisan, ingkang sampun kasebut ing ngajeng winastanan wisikan ananing dat, sampun anyebataken menggah dating Pangeran kang maha suci punika, manawi karsa micara muhung ngagem lisan kita, yen karsa anganda muhung ngagem grana kita, yen karsa miyarsa, muhung ngagem ing talingan kita, yen karsa ningali muhung ngagem ing netra kita.<br />
<br />
Utawi malih duk wau bab ingkang kaping 17 pratelaning wewejangan ingkang kaping wolu dipun wastani sasahidan, sampun nyebutaken makaten : iya sejatine kang (243) ingaran Allah iku badaningsun kang ingaran rasul iku rahsaningsun, kang ingaran Mukhammad iku cahyaningsun.<br />
<br />
Wondene pratelaning cariyos ingkang makaten wau, manawi kirang gumatok ing panggalih, ing ngriki wonten cariyos malih kangge minangka saksi, nukilan mendhet saking surat maksuding suraosipun sorahing kitab, kawastanan kakekating salat, kacariyos ugi gegoloanganing kitab tasawuf, wiwitanipun mratelakaken kadis pangandikanipun kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kajarwakaken makaten : aningali Ingsun ing Pangeran Ingsun, iya kalawan Pangeran Ingsun.<br />
<br />
Menggah pangandika ingkang makaten wau muhung anetepi suraos kajatening salat, sabab salat wau pikajenganipun anggelengaken raos ingkang pisah, dene ingkang (244) binasakaken pisah punika wonten sekawan warni kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Tembung Ikram, tegesipun ningali ing Allah, dene ingkang binasakaken aningali ing allah punika, sirna paningaling kawula, kantun mligi paningalaning Allah blaka, dados menggah ing pikajengipun tembung aningali ing allah wau ingkang ningali Allah, dene ingkang dipuntingali inggih Allah.<br />
Tembung munajat, tegesipun maca ing Allah, ingkang binasakaken maca ing Allah punika, sampun sirna pamacaning kawula, salugu kantun pamajaning Allah blaka, dados menggah pikajengipun tembung mava ing allah wau ingkang maca Allah, dene ingkang dipun waca inggih allah.<br />
Tembung tabanul, tegesipun gentekake kalawan wujuding allah, ingkang binasakaken gentekaken kalawan wujude Allah punika sirna kawujudaning kawula, kantun tetela kawujudane allah wau sejatosipun inggih allah ing maujud.<br />
Tembung mikrad, tegesipun angluhuraken paningal saking adam maring asaling Pangeran, ing mangka klajeng wonten manungsa, ingkang tetep angluhuraken samubarang kadosta ngelmuning Allah, pangucape Allah, panandhane Allah, pamiyarsane Allah, paningale Allah, date Allah, sipate Allah, afngale Allah, inggih punika tetep rahsaning Allah.<br />
Semangga kisanak, karaosaken kalayan sayektosipun ingkang ngantos dumugi ing dalem raos, bok manawi inggih lajeng kraos liripun makaten sinten manungsa ingkang purun nglampahi (246) dhateng tindak lan pandamel nista, inggih punika sami ugi kaliyan damel kanistaning Pangeran, sinten manungsa ingkang purun agawon-awoning salira, inggih punika sami ugi kaliyan angawon-awoning Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun damel sawiyah-wiyah dhateng salira, inggih punika sami ugi kaliyan adamel sawiyah-wiyah ing Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun angremehaken salira, inggih sami ugi kaliyan angremehaken dhateng Pangeran. Sinten manungsa, ingkang andamel camah ing Pangeran.<br />
<br />
Dene manawi wonten manungsa, ingkang boten mangretos sarta kraos, tumrap ing daalem raos, suraosing pralambang ingkang makaten wau bok manawi inggih punika ingkang binsakaken tetep manungsa kapir sejati, (247) awit tembung kapir wau tegesipun kasupelan, utawi kiling-kalingan.<br />
<br />
Dene manwi wonten manungsa, ingkang mangretos sarta kraos, sarta ingkang lampah lajeng anetepi angluhuraken samubarang, ngelmune Allah kados ingkang kasebut ing pralambang tembung mikraj wau kenging dipun wastani tetep anyalira lan kasalira ing allah blaka, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa islam sejati, karana tembung islam punika tegesipun pasrah utawi slamet.<br />
<br />
Dados manawi karaosaken utawi kagathukaken tembung kekalih wau makaten : manungsa ingkang islam sejati punika, tetep hanyalira lan kasalira ing Allah blaka, bok manawi inggih punika manungsa ingkang sampun kasebut priksa islaming rasul, tegesipun priksa empaning (248) pangira, benering panuju, tepaning sujana, buka wenaning mangsa kala, ingkang makaten bebasan sampun tinamu-tamu kunci rahsaning Allah.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula sanget kepengin sumerep tembung sakedik punika, pipiridan saking punapa dene wonten tembung islam ingrasul, punika gadhah teges priksa empaning pangira, tinamu tamu kunci gedong rahsaning allah. Gumuning manah kula dene wonten tembung sakedik gadhah teges kathahipun samanten, saking panginten kula pepatokanipun pancen sanes kaliyan tembung ing ngajeng wau sadaya liripun makaten kala wau sampun nyebutaken tembung islam, tegesipun pasrah utawi slamet, tembung rasul tegesipun inggih rahsa dados bilih wonten tembung islaming rasul punika tegesipun (248) rak inggih slameting rahsa, prmila kula kaget dene boten makaten tegesipun punika kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah panginten sampeyan ingkang makaten wau bok manawi inggih leres, pancen sanes pepathokan dene menggah prabedanipun makaten, dene tembunging cariyos sadaya ingkang kasebut ing ngajeng wau pepathokanipun amung wetah anegesi lan amerdeni tembung salugu kemawon, dene tembung sakedik ingkang gadhah teges anuncer punika wau bok manawi anggenipun anegesi tembung kabawur cinarub kaliyan raos maksuding suraos, pramila kula lajeng saged amesteni terang bilih geseh pepathokanipun, namung pikajenganipun tembung ing ingil wau bok manawi makaten : pangirane empan, tujune bener, kasujanane nganggo tepa, kados kok inggih leres supami tigang patrap wau kapandukaken badhe ambuka wenaning mangsa kala ingkang slamet, wekasan binasakaken tinamu-tamu kunci gedong rahsaning Allah, sabab lengahipun dumunung atining tata krami.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, punika prayogi, dhateng kapratelakaken makaten badhe langkung terang sanget, pamurihipun supados boten damel bingung dhateng para maos utawi ingkang mirengaken, yen tembunging cariyos sadaya wau pepatokanipun medal saking kalih prakawis : 1. Teges saking wredining tembung, ingkang kaping 2. Teges saking cacaruban maksuding suraos, wangsul menggah dumugining cariyos sampeyan wau kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kala wau saweg satunggal manungsa, ingkang binasakaken islam sejati (251) punika tetep kasalira lan anyalira ing Allah blaka. Ing mangke bosok wangsulanipun, manungsa ingkang binasakaken kapir punika bok manawi inggih tetep nyalira lan kasalira ananging dening setan blaka, dados manungsa ingkang binasakaken kapir wau saupami karsa apulang asmara, mangka lajeng saged dados wijining manungsa wiwit duk maksih jabang bayi tan pedot pinidih ing pamulangan tur dhateng tindaking kautaman, ing tembe bilih sampun dewasa bok manawi lajeng wigar katragal dados dugal awit enget manawi pandameling setan blaka. Pramila para sujana sanget pangowelanipun, ing sasaged-saged manungsa punika sampun ngantos nglampahi dhateng pandamel nistha sukur ing sagadug-gadug sedya angayuh dhanteng tindak ingkang utami, dene cupetipun ing panyangkah (252) yen boten saged dumugi inggih angayuha dhateng madyanipun kemawon.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Makaten manawi sampeyan kuwatos kalepetan dhateng duraka ingkang kula sandhang punika inggih kula lenggah nebih kemawon, amung ta panyuwun kula mugi-,ugi kisanak kersaa nglajengaken cariyos malih, tindak ingkang madya punika badhe uninga kados punapa?.”<br />
<br />
PUPUH XXVI<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Manawi ing sejatosipun kisanak, kula piyambak dereng sumerep, sarta dereng terang dhateng nalar-nalaripun, namung nyariosaken lelabuhanipun para sujanma ing jaman kina, ingkang kasebut sami amarsudi dhateng kautamaning tuwuh, kacariyos sarehning bab saresmi wau binasakaken nami aji asmaragama dados patrap panganggenipun inggih kedah kaaji-aji, utawi dipun pundi-pundi, liripun makaten menggah ing saresmi wau boten kangge (253) pakareman utawi boten kangge memainan, tegesipun boten kaangge dedolanan utawi geguyonan, wondene bilih sawg ajar-ajar badhe nglampahi dhateng pakarti, saolah kridhaning aji asmara wau wiwitipun ingkang rumiyin anyunyuda tuwin angengirangi kados ta pepulang asmara kaliyan wanodya, menggah patrap ingkang makaten wau saking pikajengipun inggih punika binasakaken anenetah, anglajengaken utawi ngatulaken anggenipun badhe nitik neniteni dhateng saolah bawaning salira, ingkang atas malige tulen saking karsa kawasaning Pangeran kang maha suci sejati, dene manawi ingkang kasebut sampun dados punika binasakaken manungsa sampun kawicaksana utawi waskita ing pambudi, lajeng boten purun anglampahi pulang asmara lan wanita, (254) yen boten angsal wewangsiting pangeran kang maha kawasa, kinarya lelantaran anggenipun nuwuhaken wijining manungsa, wondene bilih pinuju badhe karsa salulut anggenipun anaji-aji lan angedi-edi ing patrap kapratelakaken kados ing ngandhap punika.<br />
<br />
Ingkang rumiyin, duk wiwit kagungan karsa badhe apulang asamara lan wanita sakaliyan sami sesucia, inggih punika siram tuwin jamas lajeng ngasta siwur anyiduka toya kaangkat celak ing wadana mawi dipun donganana, ananging donganipun ing jaman samangke inggih katimbang kendel kemawon lowung kaangge minangka gegondhelaning niyat, prayoginipun mawi angucap makaten :<br />
<br />
Niyatingsun adus, padusan banyuning tlaga kalkaosar, anuceni sakaliring eroh, kang dumunung ana ing jasad kita, mlebu manik metu inten, cahyaku amancurat mancorong kadi cahyaning Pangeran kang maha kuwasa. Ing riku toya siwur wau lajeng kasiramaken ing wadana, lajeng siram ngantos dumugi sucining saliranipun sadaya. Menggah pratingkah siram ingkang makaten wau jalu lan wanita ing patrap sami kemawon boten aprabeda. Ing sasampunipun rampung sesuciya siram jamas lajeng sami angadi-adi warna, kinarya sarana pangundhaning asmara, liripun menggahing pratingkah sami busana ingkang sarwa pantes, sarta angeganda wida, sasampunipun samekta ing sakaliyan lajeng reruntunan sami malebet ing papreman, tegesipun malebet dhanten ing panglereman utawi dununging pakendelan, inggih punika pasareyan, ing riku priya lajeng angrakit pamasaning aji kamajaya dumunung amung winaos wonten salebeting batos kajarwakaken kados ing ngandhap punika (256) :<br />
<br />
Ingkang rumiyin, amuntu pangesthi, sedya jumeneng ing betal mukadas, tegesipun niyat anjenengaken kahanan salebetipun puraya pasuciyan dumunung ing konthol.<br />
<br />
Ingkang kaping kalih, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nala, tegesipun senseming manah, inggih punika kahananing birahi, tegesipun sengsem utawi branta, tumus dados jumemening purba, tegesipun wiji dumunung ing pringsilan.<br />
<br />
Ingkang kaping tiga, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tura, tegesipun sengseming pandulon, inggih punika wahananing hawa, tumus dados jumenenging kanta, tegesipun jengereng, dumunung ing mani.<br />
<br />
Ingkang kaping sekawan, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara turida, tegesipun sengseming pamirengan, inggih punika wahananing karsa, (257) tumus dados jumeneng ing warna, dumunung ing madi.<br />
<br />
Ingkang kaping gangsal, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nada, tegesipun sengseming sapocapan, inggih punika wahananing cipta, tumus dados jumeneng ing rupa, dumunung ing wadi.<br />
<br />
Ingkang kaping nenem, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tantra, tegesipun sengseming pangrasan, inggih punika wahananing pangrasa, tumus dados jumeneng ing suksma, dumunung ing manikem.<br />
<br />
Ingkang kaping pitu, lajeng amusthi ngesthi aji asamaragama, tegesipun sengseming salulut, inggih punika wahananing wisesa, tumus dados jumeneng ing atma, dumunung ing rahsa.<br />
<br />
Wondening sang wanita ingkang rumiyin ugi muntu pangesthi sedya dumunung ing Betalmukadas, tegesipun niyat anjumenengaken kahanan salebeting puraya pasucian, dumunung ing baga. Ingkang kaping kalih lajeng amusthi ngesthi pambukaning (258) aji asamara nala, tegesipun sesngseming manah, inggih punika wahananing birahi, tegesipun sengsem utawi brangta, tumus dados jumeneng ing purba, tegesipun wiji, dumunung ing purana. Ingkang kaping tiga, kaping sekawan, kaping gangsal, kaping nenem, dumugi kaping pitu, boten aprabeda kados pamusthining kakung wau.<br />
<br />
Ing sasampunipun samekta pangruktining sakaliyan, lajeng sami kakaronsih, andumugekaken karsa, dene patrap lan pratingkah tumanduking pulang asmara, saestunipun bab makaten punika kadamel pipingitan, sinten ingkang saged uninga amung kinten-kinten yen anithik lelabuhanipun, wiwit duk murwani wau dumugining ngendhon kados inggih sae, liripun bok manawi inggih kados caraning manungsa, sarta boten angicalaken ing tata krami, kados-kados bok manawi inggih punika (259) ingkang kasebut anggendam langening pramana, ambuka kahananing atma, ingkang badhe pinurwaning wicaksana.<br />
<br />
Ing sasampunipun salulut, sakaliyan medal saking papreman, lajeng samya asiram jamas malih, menggah solah lan pratingkah boten prabeda kadi patraping siram duk ing ngajeng wau, amung donga sarananipun santun angucapa makaten “suku asta winengku ing solah bawa, solah bawa winengku ing driya, driya winengku ing Hyang Pramana, andadekna adus ing suci santosaning roh kang ana ing badan kita”.<br />
<br />
Menggah ing sawawratipun lelampahan ingkang makaten wau tur saweg kasebut madya, suprandosipun lelabetaning kasaenan sampun amratandhani pinten-pinten kathahipun, ingkang sampun kasebut ing cariyos wonten ing serat-serat (260) atmajanipun para pandhita, utawi para wiratama nalika ing jaman kina-kina, wiwit duk maksih jabang bayi, binucal ing wana arga, sareng dumugi wanci diwasa, thethukulaning pangrahita boten pedhot pangayuhing kautamen, trekadhang asring wonten ingkang katarimah lajeng saged langkung saking bapakipun.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, bilih kula amestani lelampahan ingkang makaten punika sampun kenging dipun wastani elok lan langka, yen manungsa sageda kuwawi anglampahi saestu ageng ganjaranipun, bok manawi boten angemungaken dhateng saening putra kemawon, sandhunganipun ngantos tumrap ing gesangipun saged linangkung sesamining manungsa, wangsul patrap utawi pratingkah ingkang makaten saweg dipun wastani madya, punika kula lajeng gumun sarta eram sanget, saiba ingkang dipun wastani tindak ingkang utami punika kados punapa?.”<br />
<br />
PUPUH XXVII<br />
<br />
(261) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, prasajanipun prekawis punika kula dereng sumerep syektos, amung cariyos tembung gethok tular, tegesipun carita saka biru, utawi anenular, yen sampeyan kersa amirengaken, kula dhapur kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kala rumiyin kula sampun nate amirengaken para sujanma ingkang sami ajar-ajar, oleh ngelmi, sami kekempalan, rerembagan kaliyan bebarakanipun piyambak, kacariyos pepangkatipun ngelmi kasampurnan punika mawi kaperang dados sakawan pangkat, makaten pratelanipun :<br />
<br />
Binasakaken ngelmi sarengat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing raga.<br />
Binasakaken ngelmi tarekat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing manah.<br />
Bisanasakaken ngelmi kakekat, kacariyos dunungipun (262) pangawruh lampahing nyawa.<br />
Binasakaken ngelmi makripat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing rahsa.<br />
Ing sasampunipun kapratelakaken peperanganing ngelmi sakawan golongan wau, lajeng kadamel ande-ande, upami makaten :<br />
<br />
Ngelmi sarengat lampahing raga punika dipun pindha upami kadi wujuding baita.<br />
Ngelmi tarekat lampahing manah, punika dipun pindha kadi wujuding toya samara.<br />
Ngelmi kakekat lampahipun nyawa, punika dipun pindha upami kadi wujuding musthikia dumunung salebeting toya thelenging samodra.<br />
Ngelmi makripat lampahipun rahsa, punika dipun pindha upami kadi wujuding pangawruh, kadosta nyumerepi lampah saening baita, lebet cetheking toya, utawi nyumerepi dunung wujuding musthika.<br />
Menggah kajengipun pralampita ingkang makaten (263) wau saupami sumedya badhe mendhet musthika, ingkang wonten salebeting thelenging samodra yen gothan salah satunggil saking sakawan prakawis wau saestunipun badhe boten saged kalampahan, liripun makaten kadosta, upami tanpa baita punapa saged lumampah angambah toya sanadyan angawiya baita, yen boten uninga dununging musthika sarta boten uninga ewet pakeweding leksana, punapa saged kadugen paraning sedya rak inggih boten, pramila sekawan prakawis kedah jangkep boten kenging gothang ing salah satunggilipun, suwawi kisanak, kagalih jangkeping lampah sekawan prekawis wau punapa inggih kenging binasakaken gampil?, bok manawi gegolong pepilihan manungsa ingkang saged kuwawi anglampahi, ewa dene lampah ingkang mekaten wau kacariyos inggih saweg madyanipun kemawon, awit wonten malih pangolahing ngelmi (264) menggah warninipun kados langkung saking punika, kados cariyos lelampahaning para waliyulah utawi cariyos jamanipun nalika Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma ing nagari Mataram, kilap dora utawi leresipun, kacariyos bilih nuju karsa amendhet barang ingkang wonten salebetipun samodra utawi manawi nuju karsa tindakan dhateng ing pundi, sapinten tebihipun sanajan dhateng senes pulo, lampahipun inggih boten mawi baita, kacariyos kepara boten ebah saking palenggahanipun.<br />
<br />
Wonten malih cariyos lelampahan Seh Siti jenar inggih Seh Lemah Abang, pepuntoning tekadipun murtat ing agama ambucal dhateng sarengat saking karsanipun negari, patrap ingkang makaten wau kagalih ambebaluhi andamel risaking pangadilan, ing riku Seh Siti Jenar nakpeni hukum kisas, (265) tegesipun hukum pejah, sareng jaja sampun tinuweg ing lelungiding warastra, nratas anandhang brana muncar wiyosipun ludira nlutuh awarni seta, amesat kawandha muksa, datan ana kawistara nulya ana swara lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita, dene ta carita kula lugu mung methik Pustaka, pamacakipun rinenga ing kidung Kinanthi sekarira, pratelanya kasebut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Wau kang murwen don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguhing jamaning pati, ing reh pepuntoning tekad, santa-santosaning kapti.<br />
<br />
Nora saking anan ngrunu, reringa rengat siningit, labet asaling salaga, salugune den ugemi, yeka pangagemu raga, sumingah ing sangga runggi.<br />
<br />
Marmane sarak sininkur, karana angresubedi, manggung karya was sumelang, embuh-embuh (266) den andhemi, iku panganggone donya, tekeng pati nguciwani.<br />
<br />
Sajti-jatining ngelmu, lunguhe cipta pribadi, mustinen pangesthinira, ginileng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kahanan eneng-ening.<br />
<br />
Ing sasampunipun wonten cariyos ingkang makaten kisanak, manawi sampeyan anglampahi salat gangsal wektu, sampun seling serep ing panggalih sarta sampun klentu ing panampi, menggah suraosipun cariyos ingkang kasebut ing inggil wau boten pisan-pisan yen badhe ampika tuwin anyingkura dhateng sarak sarengat kados ingkang sampun ginelar ing Gusti kita Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, dumunung rukuning Islam gangsal prakawis, sahadat, jakat, salat, puwasa, mungah kaji dhateng Mekah.<br />
<br />
Ingkang sami karembag wau sanes bab punika, saking karsanipun para winasis ing budi asung pralambang anyenyemoni, sinten manungsa yen agadhahi sedya mangka pamendhetipun asarana mawi linampahan dening obah solah inggih punika ingkang binasakaken taksih angagem lampahipun sarengat blaka, ing mangka lajeng anitik pangandikanipun para alim ingkang sami ahli kitab, cariyosipun makaten sinten manungsa ingkang tekad ngantepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat dumunung delahan ing tembe, kawastanan makam parek, tegesipun dumunung pepisahan, dene ingkang binasakaken pepisahan punika nyawa kaliyan raganipun.<br />
<br />
Menggah suraos ingkang makaten wau lajeng dipun kiyas dening para winasis, kacariyos makaten sinten manungsa ingkang ngegunaken dhateng (268) pandamel sarengat sayekti tinebihan dening drajatipun, pramila saking pamuji kula kisanak, bilih sampeyan kersa galih marsudi suraosipun ngelmi sejati sampun sanget-sanget gondeli lan anetepi dhateng sarengat, mindhak kalebet ing bebasan kerem ing sarak amendem ing kulhu.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, anggen sampeyan cariyos kula sturi kendel rumiyin, kula badhe pitanglet, sampeyan punika punapa pinuju gerah, warninipun kula tingali kados kenging sesakit benter minggah, lajeng lungkrah, dhateng kaengetan lajeng bibrah, gegineman inggih lajeng boten saged genah, temtunipun ingkang mirengaken inggih sisah. Suwawi ta kisanak, kagaliha anggen sampeyan carita, kenging yen binasakna sasat mung angere muna, (269) wiwitw anggunem prakara, patrap tingkahing asamara wekasan angambra-ambara nyritakake auliya, lelakone jaman kuna kang elok lawan kang langka. Amit lo mas, sampun andadosaken ing panggalih, sewu-sewu ing kalepatan kula, mugi-mugi kisanak aparinga pangaksama, karana anggen kami purun wicanten akathah-kathah ingkang makaten wau, sampun kagalih yen punika medal saking Santya Budya, miwah martaning manah kula boten pisan-pisan darbeya kedal ingkang samanten kasaripun, rak inggih sampun terang lan tetela yen punika medal saking sawantah pegel sarta sempelah ing manah kula blaka, dene menggah wontenipun thethukulan ingkang makaten wau inggih jalaran saking gluyur-glayaring cariyos samp[eyan, liripun makaten : menggah cariyos duk ing jaman (270) kina-kina kadosta lelampahanipun para waliyulah tuwin para auliya, utawi mangingilipun malih kacariyos lelampahanipun para nabi punika kula sampun ngandel, boten ngagem sarengat kadi caraning manungsa wantah punika, kados boten dhahar, boten nendra, boten busana, awis nandika temahan saged kawasa, uninga saderengipun sinalya, utawi yen karsa tedakan slira tan lumaksna saged dumugi dhateng paraning sedya.<br />
<br />
Yenm ta menggah patrap ingkang makaten wau rak sanes babagan utawi sanes gegolongan, boten kenging kacaruban katunggilaken dene manawi sampeyan dereng uninga ing suraos, terangipun bilih geseh wewijanganipun makaten, kados ta manawi karsa kekesahan tebih saged dumugi ing panggenan tur boten ebah saking palenggahan. Wangsun sesaminipun (271) bab apulang asamara, punapa kenging sarta punapa saged tumindak, upami boten mawi sarana ebahing pasta purusa rak inggih boten, ewa dene bilih sampeyan sampun mireng cariyos duk ing kuna-kuna, kala jaman punapa ingkang wonten lelampahan kados makaten wau?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, teka leres temen anggen sampeyan mestani, yen wektu sapunika kula panuju sakit benter mingah dateng sirah, ananging lakar kula angkah supados sageda genah amawas sakweh pratingkah, beda kaliyan sampeyan punika, yen sirah adhem tumraping manah lajeng ayem, sakehing roh sami tentrem, pangrahita lajeng amem, dhateng tandhang lajeng glendam-glendem, tur tan wruh rasaning gunem, yen kiraku datan mamak, iku wong budine rupak, kadunungan ati cekak, watak tan kena diidak, ngawur tandhane (272) nracak.”<br />
<br />
Beda bilih sira benter, dhateng manah lajeng ajer, sumarambah budi luber, dhateng ulat inggih ater, warninipun inggih blancer, sabab kongas kang panca driya, dadosipun apana pranawa kang pancen boten hina dene yen kurang pracaya kisanak dipun cobiya suwawi tanglet punapa, menggah liripun mekaten, kadosta anggen kula anyariyosaken lelampahanipun parai waliyulah, tuwin lelampahanipun para auliya ingkang sami bucal sarengat wau, inggih punika ingkang dipun wastani pangolahing ngelmi sampun sampurna, dene ingkang binasakaken aji asmara punika rak inggih ngelmi kasampurnananing manungsa, saestunipun boten aprabeda, yen ing tanduk taksih mawi sarana leksanane pasta purusa, inggih punika ingkang binasakaken taksih (273) angagem sarengat nlaka, wondening bilih kirang cetha kangge seksi sesaminipun, kadosta tiyang olah ngelmi kapraworan, gegoloangane ngelmi jaya, esmu, tuwin ngelmu kak, sesaminipun yen saben-saben dumugining prelu kasuduk ing duwung tuwin ketaman ing dedamel sanes-sanesipun, manawi anggenipun anggadhahi taksih amawi sarana temen utawi kere, sebab taksih angugemi ngangge dhateng nalar-nalaripun kadosta empuk tuwin tipising kulit, punika menggah nalaripun kadi boten saged anulada dhateng landhep utawi lanciping dhuwung, mila angagem sarana tameng utawi kere inggih punika ingkang binasakaken sarengat, dados tanpa damel anggenipun anggegulang ngelmi jaya wau, beda kaliyan manungsa ingkang kasebut prawira, sanajan sinosok ing warastra tinadhanan (274) dening hanga, suprandosipun ing kulit boten tumama inggih punika ngelmi ingkang sampurna bok manawi bab asmara wau, inggih boten aprabeda, dene yen sampeyan karsa amirengaken cariyos duk ing jaman kina, ingkang sami ngagem kawasaning aji asamara wau.<br />
<br />
Ingkang kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Kangjeng Nabi adam garwanipun anama Babu Kawa apeputra medal dhampit ngantos kawan dasa, tiga jodho, amung sarana asamara ulat kedhaping netra, kepara ingkang angka nenem anama Nabi Sisi ingkang kados sampun kula cariyosaken ing ngajeng anggenipun asmara boten lelawanan garwa, kasebut medal saking asmara cipta.<br />
Ugi kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Sang Hyang Girinata, inggih Batara Guru, garwanipun anama Dewi Uma (175), sareng Sang Hyang Guru ing galih rudatos pamuntuning cipta adarbeya atmaja ingkang linangkung kuwasa ing kasektenira, lajeng karsa apulang asmara kaliyan garwa boten mawi sanggama mung sarana saking ulat kedhapng netra, katarima sesedyanira samya amudhar prasa, ing riku garwa lajeng angarbini dumugining mangsa ambabar miyos priya, sinung peparab Bathara Suman, inggih Sang Hyang Wisnu.<br />
Kasebut ing Serat Lokapala, lelampahanipun Maha Prabu Arjuna Sasrabahu ing Nagari Maespati, amengku garwa dhomas, tegesipun amemngku garwa saemas kaping kalih gunggung kawan atus, bilih karsa asmara sesarengan kawan atus sami sanalika ugi sareng pamudharing prasa.<br />
Ingkang kasebut wonten ing Serat Centhini, kacariyos wonten satunggaling wanodya anama Retna Dewi Tambangraras (276) sampun awanci dewasa, salebeting batos sedya boten purun apalakrama manawi boten kagarwa dening priya ingkang saged angresmeni wonten salebeting supena, ing wasana lajeng wonten satungiling priya taksih jejaka ingkang karem bangun leksana brata, ajejuluk Seh Amongraga darbe sedya mlebet dhateng patembayaning Sang Dewi wau, duk saweg dumuginipun anjujug lenggah ing pandhapi pinangihan dening yayah renaning Sang Dewi. Sasampunipun bage binage Seh Amongraga ajarwa nglairaken sejating sedyanira, ing riku Sang Dewi Tambangraras tinimbalan dening ingkang rama, kinen manggihi dhateng tetamunira, sang Dewi datan lengana praptanira singra lenggah sacelaking rena, wus campuh liringing netya, sang Retna datan legawa kataman asmara cipta, lir kawudhar suh kang angga racut salira marlupa, luyut apindha supena jroning rasanira pangrasane (277) sinanggama kalayan Seh Amongraga, ngantos dumugi karsa pamudharing prasanira, pramila Sang Retna Tambangraras lestantun lajeng dados garwanipun Seh Amongraga.<br />
Wondening bab ing asmara ingkang makaten wau bilih saking pangandikanipun para winasis ing budi, kacariyos boten mrojol inggih mendet saking murat maksuding suraosipun aji asmara ingkang kapratelakaken ing inggil wau, dene menggah panggelar lan pangukudipun, panggledhahing maksud dumunung wonten katarima waskitaning para winasis piyambak-piyambak.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, sampeyan rak dereng uninga anggen kula umpetan utawi sesingidan, ingkang makaten wau jalaran saking alus utawi memedipun ing pratingkah anggen kula netrapaken, dados kados-kados dene kula punika rak inggih (278) sampun kalebet ing bebasan amiguna ing ngaguna, tegesipun bisa minteri murang wong pinter dados menggahing sajatosipun langkung saged kula katimbang kaliyan sampeyan pratandhanipun dene sampeyan kekilapan boten uninga ing pratingkahing gelar kula.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah pangandika sampeyan wau kisanak, anggenipun leres lan cumeples tetela ing kanyatanipun boten siwah inggih makaten sinten kula yen darbeya rumaos angungkul-ungungkuli dhateng sampeyan, kepara ing saben dintenipun pangraosing manah kula boten pedhot anyenyuwun ing Pangeran kaindhakan kasampurnaning pangawruh, awit saking agening rumaos bodhoning manah kula, wangsul wewijanganipun kalepataning lampah, tuwin patraping pratingkah kula (179) kisanak, mugi karsa amratelakaken.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah ing adangu-dangunipun anggen sampeyan cariyos wau, ing sajatosipun kula wawas tur kalayan titi wekasan pikantuk terang ing pangreti, sapunika kula saged amestani tetelanipun kang sayekti tekad sampeyan punika wus katon jroning carita tan nganggo waton kanyata, liripun makaten kadosta traping ngagesang punika bebakunipun ingkang prelu rumiyin kedah amarsudi dhateng patitis tetesing kawruh, manawi sampun sampurna ing pangawruh ing riku lajeng bontosaken dhateng ihtikad, sampun daya-daya linakpahan manawi dereng sampurna ing pangawruhipun, dene anggen kula saged amestani yen sampeyan punika dereng jajag ing pangawruh awit taksih kadunungan manah elu-elu, (280) titikanipun duk nalika sampeyan nyariyosaken makaten.<br />
<br />
Rumiyin ing lampah bucal sarengat dipun tegesi sami ugi kaliyan bucal raga, sampeyan alam sae. Kaping kalih, anetepi ing lampah sarengat, ing tembe pepiahan raga kaliyan nyawanipun dipun cacad awon, menggah cariyos kalib bab wau punapa prabedanipun suraosipun : 1. Bucal raga, 2. Raganing pisah, suwawi kisanak kagalih rak inggih sami kemawon kok sampeyan alem utawi kacacad punika kados pundi? Ingkang kaping tiga anyariyosaken lelampahanipun Seh Siti Jenar, muksa raganipun kabekta, dipun alam sae inggih punika pratandhanipun manawi sampeyan dereng gadhah pathokan ingkang leres.<br />
<br />
(181) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“E…., e….< kisanak, gumuning manah kula anggenipun ceples tembung ing paribasan : wong bodho brengkelo, wong cubluk tang mangan wuru, prayoginipun kisanak, sampeyan punika bok inggih blaka kemawon yen sejatosipun cubluk utawi bodho, dados gampil anggen kula ngraosaken, ewa dene menggah ing sasampunipun kawedal wicanten kula ingkang makaten wau inggih sedyaning manah kula amung anetepi dene wonten tembung pralambang, suraosipun makaten : sanajan manungsa ginanjara ing birahi utawa kasusahan dening Gusti Allah iku murih becike, wondene menggah kekiyasanipun tembung ingkang makaten wau, kadosta sesaminipun anak dipun srengeni ing bapa punika rak inggih mung kapurih saenipun, (282) samanten ugi panyendhuning sumitra, kados dene kula kaliyan sampeyan punika saestunipun inggih boten aprabeda, suwawi kisanak kagaliha ing saleresipun, sadanguning nalar kadosta sagedipun mulur galuring cariyos kula sadaya wau rak inggih jalaran saking wilet lan patitising panjawab sampeyan sadaya wau saestunipun rak inggih mendhet saking suraosing cariyos kula dados ing sejatosipun ingkang cariyos kaliyan jawab punika sami kemawon.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, kula badhe pitanglet rumiyin, kula sawang-sawang warninipun sampeyang kados sampun sumerep, krentheg salebeting (283) batos ingkang dereng kula lairaken sajatosipun kala wau nalika sampeyan ungeli kathah-kathah manah kula kasereng nepsu, meh kemawon kasupen kridha angadeg suraning driya, wasana sampeyan lajeng angucap ngangge tetembungan manis, bebasan amung sakecap teka saged damel trenyuhing manah swuh sirna serening driya, kula kadi keleban ing tirta marta, sumrambah dadosaken girang tuwin segering angga, menggah anggen kula pitanglet wau sagedipun uninga nepsu kula ingkang dereng kalair punika sabab saking punapa, ingkang kaping kalih dipun wastani tembung punapa?, ingkang saged nyirnakaken ing kanepson kula wau?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, kula basakakeb aneh sarta mokal wicanten sampeyan wau, liripun makaten sinten tiyangipun ingkang saged uninga dhateng kanepson (284) salebeting batos ingkang dereng kalair, ewa dene yen manungsa ingkang wicaksana ing budi inggih boten kekilapan, kacariyos nitik saking tri taya wijanipun kasebut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ulat, inggih punika kedhap liringing netya.<br />
Ilat, inggih punika kedaling pamicara.<br />
Ulah, inggih punika ebah solahing raga.<br />
Wondening bilih sampeyan pitanglet tembung ingkang asring saged amberat kanepsoning liyan, punika dipun wastani tembung pangalem, panembah pangluluh, punika pangasih-asih sarta akauti panujuning prana lan empan mapaning tata krami, yen ta menggah patrap ingkang makaten wau tumrap dhateng sujana priya utawi janma wanita sami wanita dipun wastani tembung panembrana, yen ta menggah kaange sujanma priya katrapaken (285) dhateng wanodya utawi katrapaken dhateng priya tembung wau kawastanan pangungrum utawi tembung manuhara, pramila ingkang kasebut ing Pustakaraja Weda jamanipun Maha Prabu Aji Pamasa ing Nagari Witaradya, pamacaking tembung mawi sinawung ing kidung sekar Kinanthi suraosipun makaten :<br />
<br />
Jagra angkara winangun, sarjana marjayeng westhi, puwara kasup kawasa, marina ing jro weda muni, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.<br />
<br />
Wondene tembung ingkang makaten wau teges utawi suraosipun bok manawi makaten, atasing manungsa punika menggah panjaginipun dhateng hawa napsu punika kados tiyang sedya ambengkas dhateng ing pakewed, wekasan ingkang sampun misiwur kawasa Serat Weda sampun anyebutaken makaten, kasuran kawanterang, kasekten utawi kadigdayan ingkang sampun linangkung ing jagad punika (286) adat risakipun kaliyan panembah.<br />
<br />
Wangsul wicanten sampeyan ingkang kathah-kathah wau, sedyaning panggalih badhe amelehaken dhateng kula, ananging sejatosipun sampeyan dereng tampi sarta dereng mangretos dhateng suraosing cariyos kula sedaya wau, dados kalebet ing tembung salah surup utawi lepat panampi, duk waunipun, kula anyariyosaken lelampahanipun para wali utawi lelampahanipun para auliya sami ambucal sarengat boten angagem sacara lampahing raga.<br />
<br />
Lajeng anyariyosaken malih lelampahanipun Seh Siti Jenar ugi ambucal sarengat, wasana sareng dumugining delahan muksa dalah saraganipun, dados menggahing suraosing cariyos ingkang makaten wau genahipun sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya (287) ambucal sarengat boten ngangge dhateng sacaraning raga, wekasan sareng dumugi ing delahan kumpul raga kaliyan nyawanipun, mila kula ngalam, kacariyos lelampahanipun ingkang makaten wau sae.<br />
<br />
Wondene menggah kosok wangsulipun, sinten manungsa nalika gesangipun ing alam donya ing tekad mantep anetepi ing lampah sarengat samu ugi angumpul ing raga, bok manawi ingt tembe dumugining delahan apepisahan raga kaliyan nyawanipun, prmaila kula anacad, kacariyos lampahan ingkang sampun kasebut ing inggil.<br />
<br />
Wondene wontenipun cariyos ingkang makaten wau bok manawi mendhet kekiyasan saking pangandikanipun para alim ingkang ahli ing (288) kitab, suraosing tembungipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya mangka salebeting tekad, anetepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat inggih punika bab lampahing badan kacariyos pejahipun ing tembe nami makam parek, tegesipun dunung pepisahan, ingkang binasakaken pepisahan wau raga kaliyan nyawanipun.<br />
<br />
Kaping kalih, sinten manungsa duk gesangipun wonten alam donya ing tekad anetepi aneguhaken dhateng pandamel tarekat, inggih punika lampahing manah, kacariyos ing tembe nami makam jamek, tegesipun dunung kakumpulan, ingkang binsakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.<br />
<br />
Kaping tiga, sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken (289) dhateng pandamel kakekat inggih punika lampahing nyawa, kacariyos ing tembe nami makam jamek mukamek, tegesipun kumpuling kumpul ingkang binasakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.<br />
<br />
Kaping sakawan, sinten manungsa duk gesangipun ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken ing pandamel makrifat, inggih punika lampahing rahsa, kacariyos ing tembe nami makam baka, tegesipun dumunung ing langgeng, ingkang binasakaken langgeng punika inggih nyawa kaliyan raganipun.<br />
<br />
Ing mangke kula angulur malih cariyos supados kaanggea minangka saksi tuwin tetimbangan kaliyan cariyos ing ngajeng wau, duk nalika ing jaman purwa lelampahaning Bambang nama Raden Narasoma putera narendra (290) ing Nagari Mandraka, kacariyos adarbe aji candhabirawa wasiyat saking marasepuh anama Begawan Bagaspati, kacariyos sareng katempuh ing karya nuju prang adu prabawa lelawanan kaliyan Bambang anama Raden Pandu Dewanata putra narendra ing Nagari astina. Raden Narasoma prangira kalindih lajeng amatek mantra wikrama aji Candhabirawa sami sakala medal saking guwa garba, awarni lare bajang tur kera ing riku Bambang Narasoma lajeng ngandika makaten ”eh Candhabirawa ingsun jaluk pitulunganira sirnakna mungsuh ingsun si Pandu Dewabrata”, Candhabirawa amangsuli makaten : “dhuh Bapa Narasoma wawasen raganing sarira yayah wus tan darbe daya wruhan ta salawase kita dumunung ing guwa garbanira datan antuk bukti lawan nendra, apa margane bisa nyirnakaken mungsuhira”, Raden Narasoma ngandika (291) malih makaten : “yen saka pamikirku Cabdhabirawa wus ora kekurangan dene sadina-dina gonku jibar-jibur, amemangan lawan nendra dadya segering angga supaya sumambrah tetumusane marang sira, ananging sarehning wektu sira sun tampani saking Bapa Bagawan Bagaspati tekan ing saiki isih ana ing tanah pegunungan mesthine ya aka kekurangane sawatara, ing dalem sadina-dinane lagi bisa nganakaken rerampadan kehe telung puluh piring, dene ing emben yen ingsun wus tumeka ing praja sanadya jaluka kareman rerampadan satus piring sadina klawan pepanganan kang enak-enak ingsun bisa anutugi, balik ing samengko ora luwih ingsun mung jaluk pangapura ing sira”. Candhabirawa mangsuli makaten : “Bapa Narasoma (292) wruhanta mungguh patrap lan pratingkahira kang mangkana wau sejatine kuwalik, lire mangkene : kalamun sira sadina-dina tansah bruwah bukti lawan nendra lan juruni nepsi angkara murka iku kuwalik mungguh tumrape marang ingsun, yen sira tuwuk pambuktinira dadi ingsun tan entuk mangan sarta luwe, yen sira tansah karem nendra ingsun melek salawase, yen sira anjurungi nepsu angkara murka tumrape raganingsun kadi binasmi ing salawase, mulane aprabeda duk ingsun isih melu marang Bagawan Bagaspati raganingsun saben-saben lemu-lemu thipluk=thipluk awit si Bapa Bagawan Bagaspati muhung karem marang panggawe tapa brata arang bukti lawan nendra lan ambeg santa para marta narima legawa ing driya ing sasampunipun kapratelakaken pabenipun Raden (293) Narasoma kaliyan Ji Candhabirawa wau, menggah gagathukanipun lampah sekawan golongan : 1. Sarengat, 2. Tarekat, 3. Kakekat, 4. Makrifat kasebut ing ngajeng wau kula sumonga ing sampeyan.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, sapunika kula sampun terang sanget, tetela kala wau kula ingkang lepat sarta salah ing panampi, wangsul suraosipun cariyos sampeyan wau punapa boten badhe dadosaken gumujeng ing para ingkang sami mirengaken, suwawi ta kagaliha upami wonten sujanma ingkang ngegungaken lampah tarekat utawi kakekat cariyos bilih pejah raga kumpul kaliyan nyawanipun, ingkang makaten wau punapa inggih, saupami wonten tiyang pejah jisim lajeng katenga ing tiytang kathah mangka lajeng saged ebah, mlajeng sedya (294) ngupadosi nyawanipun ingkang sampun saiba gegeripun para tiyang ingkang sami nengga wau, sandhunganipun wonten ingkang gila sanget, lajeng kekelen boten saged ebah kaliyan malih ing salami-laminipun kula dereng nate nyipato, sarta mireng wonten bathang oyak-oyakan sarta miber kekalangan ngipadosi nyawanipun, inggih saweg mireng cariyos sampeyan punika.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, sampun dangu anggen kula gagas amung saking kinten-kinten kawawas saking warni, yuswa sampeyan punika bok manawi langkunga inggih sakedhik, punapa sampun wonten sawidak taun? Gumuning manah kula dene anggenipun saged angemperi tembung paribasan : ana bocah akeh umure, tegesipun liripun makaten ingkang binasakaken bocah punika (295) manahipun, dene boten gadhah pangreti kados manahing lare, yen ningali ing warni tuwin kapetang umuripun makaten kisanak, kula ngaturi priksa ing sampeyan wonten cariyos kasebut ing Serat She Tekawredi sinawung ing kidung sekar Dhandhanggendhis, namung kula pendet ingkang prelu dhateng ing atasing cariyos punika kemawon makaten suraosipun :<br />
<br />
Amurwani wit anom kariyin, lire anom iku isih tuna, durung akeh luwangane, beda lawan kang sepuh, lire sepuh iku nyepuhi, nyepuhi tegesira, nyawabi sadarum, marmane sinebut tuwa, lire awenang tuwi-tuwi, mring siwi wekanira.<br />
<br />
Lamun ora mangkono kaki, tan jumeneng arane wong tuwa, tuwa mung tuwane bae, (296) basa tuwa puniku, angandelaken tuwane sami, yeku wong tuwa ampas, kapapas ing kawruh, lire ampas iku raga, raganira wus cape luwasing kardi, mangka ing jro suwunga.<br />
<br />
Aja iku wong cupet ing budi, duk anome tan purun tatannya, ngandelaken kuwat rosane, tan mikir olah ngelmu, kabangkitan datan praduli, mung eca amemangan, esuk nyamuk-nyamuk, tan etang wekasing gesang, kan den etang mung nikmat pucuking preji, lan nikmat pucuk ilat.<br />
<br />
“Kados pundi kisanak, menggah suraosipun serat She Tekawardi wau, punapa inggih kraos, cocogipun kaliyan salira, tumrapipun ing dalem raos ?”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Leres kisanak, lakar cocog sanget kaliyan lelempahanipun badan kula, nalika taksih anem wiwit duk (297) mila gegolongan royal (blunthah) karem nyemataken dhateng sahwat tuwin tetedhan malah dumugi sapunika sanajan suda inggih namung sawetawis, wangsul kalajenganipun cubluking, kethuling pambudi kula pangasahipun kamurih landep utawi lantiping pangrahita, boten langkung kula amung nyumanggakaken ing sampeyan, ing mangke kula andumugekaken kuwur, kuwur, kodhung tuwin bingunging manah kula, sabab angraosaken suraosing cariyos sampeyan wau, dene wonten tiyang pejah nyawa kumpul kaliyan jasadipun, punika menggah patrap lan pratingkahipun kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kala wau kula sampun matur, cariyos tetempilan saking nulat aneniru, yen kula piyambak prakawis ingkang makaten wau dereng pisan-pisan (298) mangertos, suwawi kisanak sami karaosaken ing ngriki wonten cariyos dhapur dedonengan, menggah pikajengipun kula inggih dereng mangertos, namung katimbang kendel athenguk-thenguk minangka cagaking lelengahan, dene gathukanipun kaliyan cariyos ing ngajeng wau kula sumangga ing sampeyan piyambak menggah purwanipun ing cariyos kadhos ing ngandhap punika.@@@<br />
<br />
Wonten pralambang dinapur kadi rerembananging peksi tetiga ingkang 1. Awarni peksi gemak, ingkang kaping; 2. Awarni peksi platuk bawang, ingkang kaping; 3. Awarni peksi prekutut, kacariyos menggah lelampahanipun nuju satunggaling wektu peksi gemak wau, saba wonten pepangul hardi satepining samodra sarta kekipu wedhining gisik, boten antawis dangu ing riku kedhatengan peksi (299) platuk bawang, ing sasampunipun pranata mudar tata krami bage binage, peksi platuk bawang wicantenan makaten :<br />
<br />
bersambung Pupuh XXVIII-XXXIIKandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-29097516398266971622013-06-24T23:58:00.003+07:002013-06-24T23:58:57.353+07:00SERAT NITIMANI PUPUH VII - XVII<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
Kisanak, sampun kagalih ngalem sarta ngumpak, tur kula saweg amirengaken (90) cariyos sampeyan punika bab asmaragama wau, bok manawi jalaran saking terang anggen sampeyan damel nalar nulur-ulur patrap lan pratingkahipun andadosaken cethaning panampi kula, yen nitik warni wujuding pawestri anggenipun kapanduk marlupa ing sarira wau, sanadyan adarbeya aji suksmanyana inggih kawewahan malih, darbe aji pancasona yen mengsah priya ingkang waskita, tatela boten kuwawi angembarana kekuwatanipun, mangka punika saweg sami ijen kemawon teka ketawis boten tumading, dados saking pangadikanipun Maha Prabu Widayaka tuwin Wara Drupadi wau genah manawi pasemon, ingkang makaten wau lajeng sampeyan tampeni tembung pangandikanipun para sujana, pralambang kapurih angudaneni aji asmara kangge lelantaran anggenipun nyumerepi asal wijining manungsa punika nalar-nalaripun (91) nyebal sanget gagagasan sampeyan wau wewatonipun medal saking punapa?, liripun makaten : kala wau wewatonipun ingkang karembag utawi suraosipun pangandika ingkang kaangge pralambang, prakawis nalar-nalaring salulut amoring jalu lan wanita teka sampeyan lajeng gadhah panampi sumimpang dhateng nalar wijining manungsa, punapa sampeyan sampun nate sumerep wujuding wijing manungsa, punapa sampeyan sampun nate sumerep wijing manungsa punika warni punapa?, asalipun saking pundi?<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
Mugi-mugi sampun kagalih, badheya angungkul-ngungkuli sarta nyenyemoni dhateng sampeyan punika boten pisan-pisan, kula namung anglairaken cariyos ing sayektosipun, ing kitab Musakak, inggih punika Kur’an ing jus sapisan salebeting Serat Bakarah bilih wonten lepat ing pametang kula, Ayat ingkang kaping seket punika mratelakaken, tembungipun cara Arab, (92) sarehning kula tiyang bangsa Jawi tulen ngungelaken tembung Arab wau kirang ceples yen boten geseh anggenipun maknani kula jarwakaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sakatahing para sujanma, ingkang sami dumunung wonten kampung Bani Srail punika sami nyembah reca, yen ing agami Islam nyembah reca wau binasakaken nyembah brahala, inggih awit punika dipun namekaken tiyang kapir duk nalika samanten, awit sakingpangandikanipun Kangjeng Nabi Musa kalamullah kasantun agami kadhawuh sami nyembah Allahuthangala, saking atur wangsulanipun para sujanma kapi wau makaten : e Nabi Musa, kula boten badhe pisan-pisan ngandel lan mituruta dawuh sampeyan wau, ewa dene bilih sampeyan saged ngetingalaken kawujudaning Allahuthangala ing sakedhap kemawon kula inggih badhe miturut, (93) sasampunipun mangsuli wicantenan makaten wau boten dangu wonten swaraning Allahuthangala, dhatengi tumraping janma kapir wau kapireng sami pejah. “Kisanak menggah suraos ingkang makaten wau mugi andadosaken kauningan ing sampeyan.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, leres sampeyan punika amung pepenget dhateng kula, ananging kula kula wau boten rumaos ngetingalaken kawujudaning Allahuthangala, ingkang kula tangletaken bab asal wijining manungsa punika saking pundi awujud punapa, kaliyan malih kisanak, sareng kala wau sampeyan nyariosaken suraosing kita Musakab, kula lajeng kengetan ugi kasebut ing Kur’an kados boten tebih, ugi wonten salebeting (84) Surat Bakarah yen botenb lepat pametang kula ayat ingkang kaping satus seket kalih, jus kaping kalih, sarehning dhateng tembung Arab kula punika inggih kirang kulina, amurih patitis kedaling lati, yen boten lepat anggenipun maknani kula jarwekaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sing sapane manungsa anyingetake samubarang kang tetela, lan angumpet samubarang pangawruh surasaning kitab-kitab sapepadane, mangka wong iku nuli antuk sesiku, iya iku bebenduning Allahthangala.<br />
<br />
Ing riki wonten seksi malih pepetikan saking kitab Ahyatul Ngulumudin, yen boten lepat anggenipun maknani tembung Arab makaten wau kajarwekaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sing sapa wonge anyinitake ilmu Allah nuli anggendaleni kelawan kendeli geni. (95) Menggah suraosipun pepethika saking kalih bab wau kula amung nyaosi nyuwun priksa mugi andadosna kauningan sampeyan.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kula boten pisan-pisan yen badhe angumpet sarta anyingetaken ing ngelmi, amung jalaran saking dereng sumerep. Ing mangke kula anglasahaken para mangretos utawi para winasis suwawi sami ginaliha punapa rembag pitanglet ingkang makaten wau, sinten tiyangipun ingkang saged uninga wujud wijining manungsa, saupami kula wangsuli ingkang kasat mata tegesipun ingkang kenging katingalan dening netra kadosta : jagung, punika asaling inggih wiji saking jagung, pari punika asaling inggih wiji saking pari, ing mangke manungsa asalipun punapa beda, rak inggih wiji saking manungsa, nanging ingkang makaten wau binasakaken gerbang (96) inggih nalar reringkesan, adatipun kisanak sok boten kersa dhateng nalar gerbang, kedah mundhut ngoncer gancaring cariyos, wekasan saking wangsulan kula anenular utawi aneniru tembunging bangsa santri, ananging inggih santri ingkang saweg ajar turutan sarta taksih lare tur sereng kathah umuripun, menggah nalar ingkang makaten wau binasakaken bab mutasobiyat tegesipun : iku bab kang ora kena pisan-pisan disumurupi lan kang ora kena pisan-pisan diarani, utawa kang ora kena pisan-pisan diupama, inggih punika kang binasakaken taksih gaib tegesipun taksih edi, alus, samar, utawi pepengitan, sarehning anggenipun badhe nyumerepi nalar ingkang makaten wau sakelangkung angel sarta (97) ewet pakewet, kajawi saking karsa sampeyan kisanak, mbok inggih sampun kalajeng-lajengaken anggenipun nedya badhe nyumerepi asal wijining manungsa wau.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
Kisanak, mugi-mugi sampun dadosaken ing panggalih, anggen kula purun pitanglet ingkang makaten wau jalaran dereng sumerep, saking panginten kula prekawis gampil : sareng punika kula sampun mirengaken saking cariyos sampeyan wau sampun tetela sujanma boten saged pisan-pisan yen sedya badhe nyumerepi asal wijinipun manungsa inggih sampun narimah, boten sedya badhe nyumerepi sarehning cara pepantesing jejagonganipun, katimbang kendel binasakaken cecagaking lelenggahan murih jenak prayoginipun inggih mawi gegineman, ananging sampun prakawis ingkang aneh-aneh, saupami kisanak kersa (98) nglajengaken malih cariyos bab asmara wau, sababipun teka patrap ingkang makaten saged dados jalaranipun tiyang estri lajeng meteng punika kados pundi?”.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Leres kisanak, punika prayogi, sampun sok galih nalar ingkang elok-elok mindahak angribedi manah, sapunika kula dumugekaken cariyos ananging inggih medal saking gagasan anenulat utawi aneniru saking cariyos sujalma liyan, tur tanpa wewaton bebasan ing sawedal-wedalipun tembung ngayawara tegesipun cariyos ingkang boten gadhah misil, tuwin asil, bilih sampeyan kersa mirengaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Duk apulang asmara, kados pratingkah ingkang sampun kula pratelakaken ing (99) ngajeng, yen pinareng dening Pangeran ingkang Maha Suci, kinen dados lantaran nitahaken manungsa, kacariyos menggahing raos eca lan sakecanipun sanget ing prabeda kaliyan ing adatipun, dene menggahing solah lan pratingkah dedel sendal sarping pawestri utawi priya, yen prasaning rahsa sampun kawudar dening jiwa pramana, kawistara dumunung wonten ing lelet puletipun ing riku sapucuking pasta purusa sayekti karaos, ingkang rumiyin kadi kasendol ing mina, inggih punika wenganing dwara kekatanganing Hyang Kamajaya wau amudar rahsa rekta, sarta saking rah mreta (asrep) ing adat sengoring napas sedhatengan (100) sarta ganda ambeting hawa nalika duk makaten wau harum amrik anambar, saemper kadi gandaning sekar melati, ingkang saweg nedeng binuka ing sari, menah sadaya wau bok manawi punika satuhu gara-gara pangaribawa tumuruning cahya adi mulya tumedak lelantaran saking priya, dumarojog lajeng katampen dumunung guwa garbaning sang wanita, ing riku wanodya lajeng angarbini utawa binasakaken meteng.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“E…, e…., kisanak, saweg sapisan punika kula mireng cariyos ingkang makaten, ananging eram gumuning manah kula ingkang nami cahya adi mulya punika warni punapa utawa wujud punapa, nalika taksih wonten guwa garbaning priya dumunung wonten pundi dene teka boten katingal mrongkol utawi grenjel.”<br />
<br />
PUPUH VIII<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Saweg sepisan punika kula (101) nyumerepi anggenipun ceples kaliyan tembunging paribasan yen tumrap tiyang gadhah damel kadosta : metu ing sasaminipun, binasakaken sinsing-sinsing wekasane teles utawi malih tembung ngirit-irit wekasane dadi ngorot-orot, yen tembung paribasan wau tumrap penganten estri makaten lengkak-lengkok wekasane ngumbah katok, ing sayektosipun kisanak, kula punika dereng sumerep sarta dereng terang dhateng nalar ingkang makaten wau, dene sampeyan karsa cariyos tetempilan, liripun cariyos saking aneniru kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kasebut wonten wewijangan ngelmi, ingkang kaping nem dipunwastani kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran (102) kang Maha Suci sejati, anggenipun kersa jumenengan maligening Dad, minangka Betullah katata wanoten konthpling manungsa, punika sejatosipun inggih dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal anandakaken kalarating Dad kang Maha Mulya, lajeng boten kenging ewah gingsir saking ing kahanan jati, kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping nem nukilan amendet saking kitab Insan Kamil mratelakaken wewangsiting Pangeran kana Maha Suci sejati, dhateng Kangjeng Nabi Mukammad Rasulullah ayat ingkang kaping tiga, kajarwakaken makaten : sejatine ingsun nata malige ana ing sajroning Betalmukadas iku omah enggoning pasucian ingsun, jumeneng ana kontholing Adam, kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ana sajroning pringsilan iku nutpah, iya iku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku manikem, sajroning manikem (103) iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran iya ingsun, Dad kang anglimputi ing kahanan jati jumeneng ana ing sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal ing kono wahananing Alam Akadiyat, Alam Wahdat, Alam Wahkidiyat, Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam, Alam Insan Kamil.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, menggah cariyos sampeyan wau saking pamanggih kula sanadya ingkang mirengaken sampun kawilang sujanma winasis, utawi lantip ing budi, mbok manawi inggih boten saged mangertos, saupami kisanak karsa nggenahaken suraos ing kitab ingkang kajarwakaken makaten wau, (104) saiba badhe lega lan bingah ing manah kula.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen kula piyambak sayektosipun dereng sumerep, amung nyariyosaken menggah dalil pangandikaning Pangeran Kang Maha Suci ingkang makaten wau, sampun dipun werdeni dening para sujanma ing tanah Jawi, inngih punika satunggaling priyantun nama Raden Ngabehi Ronggowarsita pangkat Kaliwon, minangka pujangga amardi basa ing Nagri Surakarta Hadiningrat, kasebut wonten ing Serat Wirid Hidayat Jati ingkang mawi tinengeran ing tau Jawi ranta warna sinuta salebetin alip : 1779, kacariyos dunungipun makaten :<br />
<br />
Konthol punika woyosipun kahananing Betulmukadas, tegesipun griya ingkang sinucekaken.<br />
Pringsilan punika kahananing purba (105) katumusan saking kahananing birahi, dados bebukaning asmara nala, inggih punika sengseming manah.<br />
Mani, punika kahananing kantha, katumusan saking wahananing hawa, dados bebukaning asmara tura, inggih punika sengsem ing pandulon.<br />
Madi punika kahananing warna, katumusan saking wahananing karsa, dados bebukaning asmara turida, inggih punika sengseming pamireng.<br />
Wadi punika kahananing ripa, katumusan saking wahananing cipta, dados bebukaning asmara nada, inggih punika sengseming sapocapan.<br />
Manikem, punika kahananing suksma, katumusan saking wahananing pangrasa, dados bebukaning asmara tantra, inggih punika sengseming pangrasan.<br />
(106) Rahsa, punika kahananing atma, katumusan saking wahananing ises, dados bebukaning asmaragama, inggih punika sengseming salulut.<br />
Dene menawi sampeyan kisanak, mundhut cetanipun sarta genahipun babar pisan makaten : yen konthol tuwin pringsilan rak inggih kesagetan upami mundhut genahipun malih :<br />
<br />
Mani punika sajatosipun kama, ingkang taksih dados toya, warninipun surat biru.<br />
Madi, punika sarining mani, warnanipun surat dadu.<br />
Wadi, punika sarining madi, warninipun surat jenar.<br />
Manikem, punika sarining wadi, warninipun seta (107) maya-maya kadi retna.<br />
Nukat gaib, tegesipun wiji pepinisan, inggih punika sarining rahsa sejati.<br />
Johar awal, tegesipun sesotya ingkang wiwitan, inggih punika manik, dados embaning rahsa sejati.<br />
“Kados pundi kisanak, manawi sampun terang ing suraos wujut tuwin warni ingkang makaten wau salebeting guwa garba ketingal marongkol punapa manyutu?.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak sapunika sampun terang sanget ing pinampi kula, duk kala wau kacetakna bilih ingkang kaprtelakaken punika bab kama kula sampun mangretos leres boten katingal manyutu, jalaran warni toya kados bangsanin seni sasaminipun, sareng kama wau (108) sampun korut kaluntur saking priya anjog dumunung guwa garbaning wanita, punika salajengipun kados pundi ?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kala wau ingkang pungkasan nyebutaken johar awal tegesipun sesotya ingkang wiwitan, inggih punika manik dados embaning rahsa sejati sampun dumunung wonten guwa garbaning sang wanita, ing riku lajeng wahananing alam pepitu binasakaken martabat kasebut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Alam Akadiyat wahananing kendel utawi ngadeg, inggih punika wanita meteng yen saweg sewulan, ing tembung Arab binasakaken Lhatakyun, tegesipun dereng sanyata ing kahananipun.<br />
Alam Wahdat, wahananing meteng sawg (109) kalih wulan, yen tembung Arab Takyun Awal, tegesipun wiwit sanyata ing kahananipun.<br />
Alam Wahkidiyat, wahananing meteng saweg tigang wulan, ing tembung Arab binasakaken Takyun Sani, tegesipun dene sampun sanyata ing kahananipun.<br />
Alam Arwah, wahananing meteng saweg kawan wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Sabitah, tegesipun sanyata tetep ing kahananipun.<br />
Alam Misal, wahananing meteng gangsal wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Karijiyah tegesipun sanyata tetep ing kahananipun, sampun andarbe sipat ananging taksih upami kemawon.<br />
Alam ajsam, wahananipunmeteng saweg (110) nem wulan ing tembung Arab binasakaken Ajyan Mukawiyah, tegesipun sanyata gesang ing kahananipun sampun darbe asma bebayi lajeng karkat saged ebah.<br />
Alam Insal Kamil, wahananing meteng sawg pitung wulan ngantos ing dalem wolung wulan dumugi sangang wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Maknawiyah, tegesipun sanyata kawedar ing kahananipun jumeneng sampurnaning manungsa, sampun darbe pakarti, sedya badhe lahir wonten ing alam donya.<br />
Wonten malih pralambang, mbok manawi inggih yasanipun para sujana ing kina-kina TanahJawi, inggih pasemon pangudining pangawruh, tumrap dhateng tiyang makaten wau, bilih sampeyan kersa mirengaken (111) suraosipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Yen priya lan wanita anggenipun sami sahresmi pamudharin prasa sesarengan, woring kama mangka pinareng dening Pangeran Kang Maha Mulya badhe nitahaken manungsa, punika woring kama wau lajeng kendel dumunung wonten guwa garbaning wanita, binsakaken garbini inggih punika meteng.<br />
<br />
Yen sewulan dipun upamekaken kadi kusuma hanjrabing tawang tegesipun kados sekar sumebar wonten ing ngawang-awang. Yen saweg kalih wulan dipun upamekaken kadi bremara angajab ing tawang tegesipun kados kembang nelon ing tawang. (112) Yen saweg tigang wulan dipun upamekaken kadi isining bumbung wuluh wung-wang tegesipun kados isining bumbung wuluh ingkang tanpa ros. Yen saweg sakawan wulan dipun upamekaken kadi tapaking kontul nglayang ing tawang tegesipun kadis tapaking peksi kontul kang mabur wonten ing awang-awang. Yen nem wulan ulan kaupamekaken kadi cantuka kinemulan ing wismane tegesipun kados kodok kinemulan ing elengipun. Yen pitung wulan ngantos ing dalem wolung wulan dumugi sangan wulan (113) kaupamekaken kadi sujalma lumpuh angideri jagad, tegesipun kados tiyang sukunipun lumpuh nanging saged angideri jagad.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, mangke rumiyin, kula dereng mangretos cariyos sampeyan wau bab kama, sareng korut saking priya katampen baganing wanita, ingriku wanita lajeng meteng ngantos saged wujud warni jabang bayi, punika kisanak ingkang dadosaken kodhenging manah kula, inggih jabang bayi wau asalipun saking pundi?, teka lumebet guwa garbaning wanita, mugi-mugi sampeyan danganangan karsa paring jarwa sanyata iba bedhe leganing manah kula.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“saking kinten-kintenan manah kula bebasan ngawur, kilap leres kilap boten ingkang lajeng dados jabang bayi bok manawi inggih kama ingkang saking (114) priya wau.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“E…., e….., kala wau kawujudaning kama sampun kapratelakaken ing ngajeng terang toya balaka, mokal sanget yen sageda dados jabang bayi, kaliyan malih kisanank, suwawi sami kagalih, yen kama wau ingkang dados jabang bayi, punapa sebabipun duk maksih wonten guwa garbaning priya salaminipun teka boten saged dados jabang bayi.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sareng kiosanak wicantenan ingkang makaten dangu-dangu kula gumujeng tetukulaning panggagas saiba saenipun saupami wonten priya garbini. Ing mangke kula nyariosaken Serat Widyakirana, pangarangipun Raden Mas Ngabehi Wiryokusuma mantri langgen praja ing Mangkuneran Surakarta Hadiningrat kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
(115) Ing bab kaping gangsal nyariosaken salebeting jaman Dwaparayoga, tegesipun jamaning kamokalan ing riku para manungsa wiwit suda ing kasektenipun, sami ngangge badan karsa awit anedha wowohan, tutuwuhan ing siti wekasan ing salami-lami karsa saya tumangkar sami nuwuhaken akal, dados sacumbananipun lan wanita sami alampah raga, sang wanita inggih mawi sarana anggarbini, menggah tumurunipun wiji wau kacariyos bilih manungsa namakaken enenging cipta dangunipun boten kirang sapandurat (sagadag kendeling tiyang gegineman kanthi memanah). Punika daya panggendenipun daweg kuwawa nirik wiji, sumusuping wiji punika lajeng kuwawa mor sarahsa kalawan pramana, kuwawa rumesep mring utek lajeng rembes dhateng panon, ingkang dipun wastani panon punika toya sari sesarining uteg ingkang dumunung wonten (116) satelenging manik, kataman panusuping wiji, panon boten kawawa temahan kawedalaken ingkang temtu lajeng wuwuh karsa dhateng sajumbana, yen cinegah punika mimbuhi dhateng urubing pramana tuwin mimbuhi muncaring pangeksi, yen kalajengaken sacumbana saestu lajeng dados putra.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, menggah gumuning kula inggih bab kama wau, punapa tunggilipun toya seni punapa tunggilipun toya idu, punapa tunggilipun erah, teka lajeng dados jabang bayi.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Duga sampeyan kisanak, kula dareng ngertos, yen ngraosaken suraosing serat wirit, ingkang sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau yen kawalik makaten :<br />
<br />
Ingkang rumiyin Johar Awal, tegesipun sesotya ingkang wiwitan. (117) Kalih Nukat gaib, tegesipun wiji pingitan. Tiga Manikem, punika saking kinten-kintening manah kula ampasing Nukat Gaib. Sekawan Wadi, punika kinten kul ampasing Manikem. Gangsal Madi, punika kinten kula ampasing Wadi. Nenem Mani, punika kinten kula ampasing Madi. Boten langkung kula sumangga anggen sampeyan mestani, punapa tunggilipun idu, punapa tunggilipun seni.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kula dereng saged amstani, awit dereng sumerep asaling toya seni wau saking punapa ?,”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Bilih kersa medal saking kinten-kintening manah kula, bok manawi makaten : sujanma punika yen nedha, samubarang ingkang katedha kinten kula lajeng kinukut (118) dening rahsaning pramana, ingkang dumunung wonten antaraning telak lajeng tinarik dumunung ing uteg, ing riku lajeng kuwasa sumebar sumrambah ing jasad sedaya, dene kasaring tetedan wau lajeng katampen dening waduk lajeng kapingta-pinta, ingkang warni amapsa dados sesuker, ingkang warni toya dados seni punika.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Sapunika kula sampun mangretos, dados kama punika pancen terang sanes kaliyan bangsanipun seni, ananging ta sarehning bab kama wau warni toya blaka teka lajeng saged warni jabang bayi, punika kados pundi pratingkahipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, kula anyariyosaken Serat Widyakirana wau, ing bab kaping sekawan anyariyosaken ing Alam Tirtayoga, amiraos tetesing kasidanjati (119), miturut suraosing Serat Ciptapsara wewarahipun Dewi Rukmawati, inkang lajeng kinarang dening Begawan Parasara ing Nretawu kala ing jaman Buda, suraosing karingkes kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Wiyosipun, ingkang rumiyin Sanhyang Pramana punika bilih kataman ing daya asrep taksih pengkuh ing kahananipun, yen kataman ing daya pepanas temah kumringet, menggah kringet wau inggih punika ingkang dipun wastani mani, ing mangke mani ing saben kenging daya asrep lajeng pupul, manawi kenging dayaning pepanas kuwawa amer, menggah aner tuwin pupuling mani wau lajeng mahanani kumulut, kumuluting mani punika dipun wastani jantung, sareng jantung kenging dayaning pepanas darbeni kringet, kringetipun jantung wau kuwawas mahanani amperu kalih dumunung sakiwa tengening jantung, makaten ugi sedaya kahananing (120) jerowan, awitipun inggih saking jantung, ing salami-lami jantung kuwawa ambabaraken bayu oto, sungsum sapanunggilanipun praboting anga sakojur wanda, sampurnanipun warni gumana, bok manawi inggih punika ingkang kacariyosaken warnining jabang bayi wau, ewa dene menggahing panampi suraos ingkang makaten wau kula sumangga ing sampeyan piyambak.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, kula kirang terang, kula wau wiwitan ingkang rumiyin piyambak Sanghyang Pramana, ingkang binasakaken Sanghyang Pramana punika punapa?”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen sampeyan pitanglet inggih kasebut ing Serat Widyakirana wau, ingkang nama Sanghyang Pramana punika, panuksmaning Sanghyang Tripurusa, ingkang nama Sanghyang Tripurusa punika tegesipun santosaning campuran tetiga, (121) ingkang binasakaken campuran tetiga wau yen tembung jawi kawastanan Trimurti, tegesipun alus tetelu, yen ing tembung Sangskrit kawastanan : a, u, ma, tegesipun a = latu, u = toya, ma = angin. Suwawi kisanak, badhe tanglet punapa malih, sampun galih pakewet saha sampun galih kuwatos, sarehning punika jaman kreta boten-botenipun yen kula badhe nepsu utawi ngamuk.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Duk kisanak, mugi-mugi sampun kalintu ing panampi, anggen kula matur pitangklet sadaya wau boten saking nyengklong utawa jual wetak prasajanipun manah kula, pancen dereng paring pangapunten ingkang kathah-kathah, suwawi ta (122) kisanak kagalih, kados pundi anggenipun boten pakewet ing manah, anggen kula mirengaken cariyos sampeyan wau kadosta : kala wau mratelakaken cariyosipun martabat pepitu, sareng dumugi nem wulan jabang bayi wonten ing wetangan ing tembung Arab binasakaken Akyan Mukawiyah, tegesipun sanyata gesang ing kahananipun sampun darbe asma nama bebayi, lajeng karkat saget ebah, mangga kisanak, sinten tiyangipun ingkang boten kodeng nampeni suraos ingkang makaten wau, liripun kadosta : jabang bayi sareng dumugi nem wulan wonten wetangan dumugi gangsal wulan upami pejah boten saged ebah punapa sebabipun saged mindak ageng / ngantos dumugi nem wulan.”<br />
<br />
(123) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“E…., e….. saweg punika kula nyumerepi manungsa watak lingsang, boten ketang brindil wuluning buntutipun angger saged kenging wujuding yuyu ingkang wonten salebeting eron, makaten upamenipun menggahing patrap punika, samangke kula cariyos minangka wonten salebeting isining uwoh, dene uwoh wau kawastanan nama klungsu duk nalika wiji taksih wonten salebeting klungsu punapa kenging dipun wastani gesang ing uwit asem utawi uwit asem gesang, dene wiji ingkang wonten salebeting klungsu boten kenging dipun wastani pejah, pratandhanipun manawi kadeder lajeng tukhul. Dados yen makaten menggahing tetelanipun saking kinten-kintening manah kula, duk nalika wiji taksih (124) wonten salebeting klungsu inggih sampun kadunungan gesang, ananging kasebut gesanging wiji utawi wiji gesang, dene bilih sampun thukul tegesipun menthongal saking cangkoking klungsu, punika saweg kenging dipun wastani gesanging uwit asem utawi asem gesang, bok manawi wijining manungsa wau kula boten badhe mestani memper, inggih namung pepiridaning nalar kemawon kados inggih boten prabeda.”<br />
<br />
PUPUH IX<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah ing nalar-nalaripun kisanak, kados inggih leres, ananging duk nalika dados wiji punika gesang saking punapa utawi salajengipun dados jabang bayi punapa gesang saking pundi?.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
Kisanak, mugi sampun kalajengaken angrembag prakawis punika, semunipun saya rempit piniteta samanten kemawon, (125) sinten manungsa ingkang saged sumerep sarta mangretos dhateng pitangletan ingkang kados makaten wau, ananging kula inggih boten pisan-pisan bebasan ngepak utawi ngilani dhateng sakathah-kathah ing para sujana, bok manawi inggih wonten ingkang pinareng saged kabuka ing kawicaksananipun, sarehning kula lan sampeyan sami sujanma nom, tegesipun manungsa ingkang apes, tiwas kaplengkang tur baoten saged dumugi, paribasanipun makaten : peksi cocak sedya ngunthal elo saking pundi marginipun saged kalampahan, pramila bilih kula kisanak, bab ing nalar elok lan langka wau boten susah kagalih mindak andamel ribeting tur tanpa damel, boten angsal paedah punapa-punapa, cekakipun, bab rembag aluran ing ngajeng prayogi kasigeg sampun kadugek-dugekaken kacariyos boten sae rumaos bab ngelmi wau prayogi rembag gegujengan binasakaken cariyos ngayawara, katimbang anginem awoning liyan.”<br />
<br />
Kula gadhah cariyos tembung pepiridan saking tembung Arab, kados prayogi yen kamirengaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Dlil punika anedhahaken pangandikaning Pangeran Kang Maha Sukci Sejati dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah. Kados punika mratelakaken wewulang pangandikanipun Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah dhateng para Sekabat.<br />
<br />
(127) Ijmak punika ngumpulaken wewijangan pangandikanipun para waliyullah. Kiyas punika mencaraken wewarah pangandikaning para pandhita sadaya punika sami dados pambukaning kekeran, ingkang medaraken rasaning gaib sajatosipun ngagesang supados waskita ing gesangipun, wekasan saged sampurna ing sangkan paran. Menggah bebukaning cariyos ingkang rumiyin mendet saking kekiyasan murad lan maksuding suraosipun nukilan, serahing Kitab Dakaikul Akaik kacariyos tegesipun alus sejati utawi sejating alus.<br />
<br />
Wonten malih mendet saking kekiyasan murad maksuding suraosipun alusing carita utawi caritaning kahalusan. (126) Kitab kekalih wau condong ing suraosipun Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah ingkang kawejangaken dhateng Sayidina Ngali, kinen angestokaken ananing dat ingkang kasbut ing dalil sepisan, wangsiding Pangeran Kang Maha Suci Sejati, kajarwakaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku ingsun ora ana Pangeran liya nanging ingsun, amartani ing asmaningsun, amratandhani ing afngalingsun sejatine Dat Kang Maha Suci anglimputi ing sipat ingsun mratandhani ing afngal ingsun.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula kuwatos manawi lepat anggenipun anjarwakaken tembung Arab wau, margi kula titik suraosipun kados kirang sarta taksih (129) kacaruban tembung Arab sakedhik, kadosta kala wau nyebutaken sadurunge ana apa-apa, kang ana dhisik iku ingsun, lo, punika tembungipun wau rak taksih wonten kajengipun, ingsun sinten, utawi malih ingkang nama Dat, sipat, afngal punika warni punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen saking pamanggih kula anggenipun anjarwakaken wau boten lepat, nanging kula titik kados sampun limrah, bab serat-serat tembung Jawi utawi kitab-kitab tembung Arab, punika suraosipun kathah ingkang pasemon, menggah jangkepipun ing pangretos kedah nyumerepi sekawan prakawis lafil, makna, murad, maksud yen sampeyan bedhe nyumerepi terangipun kasebut ing Serat Wirid yasanipun Kyai Ageng (130) Mukhammad Sirullah ing Kedungkol kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang binsakaken ngandika ora ana Pangeran nanging ingsun menggah ing sajatosipun Dat Kang Maha Suci punika inggih gesang kita pribadi, sayekti katitipan rahsaning Dat Kang Maha Agung anglimputi ing sipat punika inggih rupa kita pribadi sayekti kawimbuhan warananing Dat kang elok. Hanartani asma, punika inggih nama kita pribadi, sayekti kaaken, pasebutaning Dat kang wisesa.<br />
<br />
Amratandhani afngal, punika inggih solah bawa kita pribadi, sayekti nelakaken pakartining Dat kang sampurna. Mila ing bebasanipun, wahananing Dat punika anyamadi sipat, sipat punika hanartani asma, asma punika mratandhani afngal, (131) afngal punika dados wahananing Dat.<br />
<br />
Dene Dat anggenipun nyamadi sipat, punika upami madu lawan manisipun, sayekti boten kenging kapisahaken. Dene sipat angonipun hanartani asma, punika kadi surya lawan sorotipun, sayekti boten kenging yen kabedakna. Dene asma, anggenipun mratandhani afngal punika upami kadi paesan kang ngilo lawan wayanganipun, sayekti sasolah bawanipun kang ngilo wewayangan anut kemawon.<br />
<br />
Dene afngal, anggenipun dados wahananing Dat punika kadi samodra lawan ombakipun, sayekti wahananing ombak anut saking rehing samodra.<br />
<br />
Dene ing sejatosipun ingkang nama Dat punika tajalining Mukhammad. Sejatosipun ingkang nama Mukhammad punika (132) wahananing cahya kang nglimputi ing jasad dumunung wonten ing gesang kita, inggih punika gesang piyambak boten wonten ingkang gesangi, mila kawasa ningali, miyarsa, gonda, angandika, angraosaken saliring rahsa, punika saking kodrating Dat kita sadaya, tegesipun makaten : Dating Pangeran Kang Maha Suci punika anggenipun ningali tanpa netra, ananging mokal manawi wuta, inggih punika muhung saking angageming netra kita. Anggenipun miyarsa tanpa karsa, ananging mokal manawi tuli, inggih punika muhung saking angageming grana kita. Anggenipun ngandika tanpa lesan, ananging mokal manawi bisu inggih punika muhung saking angagemi lesan kita. Anggenipun ngraosaken saliring rahsa tanpa dunungan, ananging mokal manawi sunya, inggih punika muhung dumunung wonten ing (133) pangraos kita.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Leres kisanak, suraosipun Serat Wirit wau terang sanget, menggah pangawruh ingkang makaten punika naminipun kawastanan ngelmi punapa?, sarta kalawan kathah nyebutaken tembung kita, punika tegesipun kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah pangawruh makaten wau kacariyos kawastanan wisikan ananing Dat, dene yen sampeyan pitanglet tembung kita saking kinten-kinten kula tetimbanganing tembung ingsun tegesipun sami amestani Aku, dene wijangipun makaten : tembung ingsun tegesipun aku nanging Gusti, yen tembung kita tegesipun aku nanging kawula.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kadosta wonten tembung ingkang rumiyin ingkang sapisan siji, utawi satungal punika rak tembung cacah anelakaken badhe wonten tunggilipun, kalih, (134) tiga saurutip[un, duk kala wau sampun nyebutaken dalil ingkang ….. kaping kalih punika kados punapa ?.”<br />
<br />
PUPUH X<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
Leres kisanak, wonten ugi mendet nukilan saking sorahing kitab Dakaikkul Akaik utawi kitab Dakaikul Ikbar, tunggilipun kasebut ing ngajeng wau, dalil ingkang kaping kalih condong suraosipun sami mratelakaken wewangsiting Pangeran Kang Maha Suci Sejati dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken dados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sejatine Ingsun Dat kang murba amisesa, kang kuwasa nitahake sawiji-wiji, dadi pada sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, kang minangka bebukaning Iradat Ingsun, (135) kang dhingin Ingsun anitahaken kayu, aran, sjaratul yakin tumuwuh ana ing sajroning Alam Ngadam Makdum ajali abadi. Nula cahya aran Nur Mukhammad. Nuli kaca, aran Miratul Kayai. Nuli nyawa aran Roh Ilapi. Nuli damar aran Kandil. Nuli sesotya aran Darah. Nuli dinding jalal aran Kijab, iku minangka warnaning kalaratingsun.<br />
<br />
Menggah dalil ingkang makaten wau dipun werdeni dening Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kadungkol kasebut ing Serat Wirit kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kayu aran Sajaratul Yakin, tumuwuh wonten salebeting alam Ngadam Makdum ajali abadi, tegesipun sajati, tumuwuhipun jagad sunyaruri, taksih awang-uwung salaminipun, ing kahanan kita punika kakekatipun Dat multlak kang kadim, tegesipun (136) sajatining Dat kang mesti rumuhun piyambak, inggih punika Dating Atma dados wahananing Alam Akadiyat.<br />
Nur Mukhammad, tegesipun cahya kang pinuji, kacariyos ing kadis waninipun kados peksi Merak, wonten ing dalem sesotya kang petak dumunung arah-arahing Sajaratul Yakin, punika kakekating cahya kang ingaken tajalining Dat, wonten salebeting Nukat Gaib, minangka sipating Atma, dados wahananing Alam Wahdat.<br />
Miratu Kayai, tegesipun kaca wirangi, kacariyos ing kadis dumunung sangajenging Nur Mukhammad, punika kakekating Pramana, kang ingaken rahsaning Dat minangka asmaning Atma, dados wahananing Alam Wakidiyat.<br />
Roh Ilapi, tegesipun sasandhanging nyawa, inggih punika nyawa ingkang wening, kacariyos ing kadis asal saking Nur Mukhammad, (137) punika kakekating suksma, kang ingaken wahananing Dat, minangka Afngaling Atma, dados wahananing Alam Arwah.<br />
Kandil, tegesipun dilah, inggih punika dilah tanpa latu, kacariyos ing kadis awarni sesotya kang mancur mancorong gumantung tanpa cantelan ing riku enggen kahananing Mukhammad sarta engen pakumpulaning roh sadaya, minangka kakekating aneng-aneng, kang ingaken wahananing Dat, minangka embananing Atma, dados wahananing Alam Misal.<br />
Darah, tegesipun sesotya, kacariyos ing kadis darbe sorot amanca warni, sami kanggenan Malaekat, punika kakekating budi, kang ingaken papaesaning Dat, minangka wiwaraning Atma dados wahananing Alam Ajsam.<br />
(138) Kijab, winastanan dinding jalal, tegesipun warana kang agung, kacariyos ing kadis medal saking sorot amanca warni, ing nalika mosik nganakaken tigang pramana : 1. Uruh, 2. Kukus, 3. Toya, punika kakekating jasad, kang ingaken warananing Dat, minangka sesandaning Atma, dados wahananing Alam Insan Kamil.”<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, kula dereng mangretos, ingkang binasakaken kakekating jasad punika : 1. Uruh, 2. Kukus, 3. Toya, mangka yen saking pamireng kula sarta ingkang sampun limrah sakathah ing tiyang ingkang mastani ingkang binasakaken jasad punika : kulit, daging, erah, otot, bayu, balung sungsum, menggah sulayaning tembung ingkang makaten wau mugi-mugi kisanak kersaa nerangaken, saiba bingahipun ing manah kula.”<br />
<br />
(139) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen kula piyambak boten sumerep, inggih amung nyariosaken, ugi kasebut ing Serat Wirit wau, menggah pratelanipun saking Ijmak, Kiyas, pepangkating dinding jalal ingkang awarni : uruh, kukus, toya, wau sami dados tigang warana malih kasebut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang rumiyin, uruh amedalaken tigang pangkat :<br />
<br />
Kijab Kisma, dados wahyaning jasad ing jawi, kadosta kulit, daging sapanunggalipun.<br />
Kijab Rukmi, dados wahyaning jasad kang nglebet, kadosta uteg, manik, manah, sapanunggalipun.<br />
Kijab Retna, dados wahyaning jasad kang lembat, kadosta mani, rah, sungsum sapanunggalipun.<br />
Ingkang kaping kalih kukus amedalaken tigang pangkat :<br />
<br />
Kijab Pepeteng, dados wahananing napas sapanunggalipun.<br />
Kijab Guntur, dados wahananing pancadriya.<br />
(140) Kijab Latu, dados wahananing napsu.<br />
Ingkang kaping tiga, toyaamedalaken tigang pangkat :<br />
<br />
Kijab Toya Gesang, dados wahananing suksma.<br />
Kijab Nurasa, dados wahananing rahsa.<br />
Kijab Nurcahya, ingkang sakalangkung padhang, dados kahananing Atma, sadaya punika warananing Dat, sami dumunung Insan Kamil, tegesipun kasampurnaning manungsa.<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Lakalangkung eraming manah kula kisanak, anggen kula mirengaken cariyos sampeyan ing Serat Wirit wau, anggenipun wijang sarta terang sanget ing suraosipun. Menggah dalil ingkang kaping kalih ing kitab Dakaikul Akbar, kados ingkang sampun sampeyan cariyosaken wau, diupun wastani pangawruh punapa, kaliyan malih punapa boten wonten malih kitab sanesipun ingkang nyebataken makaten wau?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kacariyos menggah pangawruh (141) ingkang kasebut ing dalil kaping kalih makaten wau dipun wastani wedaran wahananing Dat dene yen sampeyan pitanglet kitab sanes-sanesipun ingkang mratelakaken makaten wau kula dereng nate mireng sarta dereng nate maos, namung inggih ingkang kasebut ing Serat Wirid wau kacariyos mendhet kekiyasan saking murad maksuding kitab Bayan Alip ananging suraosipun boten ceples, kenging binasakaken amor misah kemawon kados ing ngandhap punika.”<br />
<br />
PUPUH XI<br />
<br />
Prelunipun kapratelakaken supados kangge minangka tetimbanganipun ing ngajeng wau.<br />
<br />
Alif, punika lahiring sipatullah, sayektosipun woten ing wujud kita pribadi, sumandha ing Alam Khabir, dodos kahaning nukat tegesipun musthika, (142) ingkang binasakaken musthika punika budi.<br />
Nukat, punika lahiring budi, punika lahiring budi, sumanda ing Alam Sahir, dados kahananing darah, tegesipun retna, ingkang binasakaken retna punika jinem, winastanan aneng-aneng, amratandhani gesanging budi.<br />
Darah, punika lahiring jinem, sumomda ing budi, dados kahananing roh, tegesipun suksma ingkang binasakaken suksma punika nyawa amratandhani gesanging angan-angan.<br />
Eroh, punika lahiring suksma, sumonda ing aneng-aneng, dados kahananing sir, tegesipun rahsa, ingkang binasakaken rahsa punika pangraosing babahan hawa sanga, amratandhani gesanging nyawa, kantun karkating pramana sajati kantun karkating atma sajati.<br />
(143) Sir punika lahiring rahsa, sumonda ing suksma dados kahananing Iman, tegesipun santosa inggih punika pramana ingkang binasakaken pramana punika jangkeping ponca driya, amratandhani gesanging rahsa.<br />
Iman, punika lahiring pramana, sumondha ing rahsa, dados kahananing Nur, tegesipun cahya, ingkang binsakaken cahya punika sulaking netya, amratandhani gesanging pramana, dene pramana punika amisesa ing salira, tunggil sasana kaliyan rahsa, sami dumunung salebeting jiwa, ngibaratipun kados simbar tuwuh wonten ing wreksa, ananging boten tumut nyandhang saniskara, luwe sapanunggilanipun boten tumut kaleson, trekadangan ginggang saking sasana, manawi ngantos kangsiran pramana salira lungkrah temahan (144) ngalumpruk boten darbe karkat, saupami sirna karkating salira, kantun karkating suksma, saupami sirna karkating rahsa kantun karkating pramana sajati, saupami sirna karkating pramana sajati kantun karkating atma sajati.<br />
Nur, punika lahiring cahya winastanan pramana sajati sumanda ing pramana sajati, kados kahananing dwiyat, tegesipun padaning cahya, ingkang binasakaken padhanging cahya punika purbaning atma sajati.<br />
Duryat, punika lahiring atma sajati, sumanda ing cahya, dados kahananing Dat tegesipun kanta, ingkang binasakaken kanta punika jengerening sipat sajati.<br />
Dat, punika lahiring sipat sajati, dados kahananing nukat gaib, tegesipun (145) musthika kang samar, ingkang binasakaken musthika kang samar punika kanyatahaning rupa sajati, sinengker wonten salebeting Alam Sahir, gesang piyambak boten wonten ingkang gesangi, ibaratipun tanpa antawis kaliyan gesangipun suksma sajati, tuhu tunggil sasana, boten pisah ing salaminipun.<br />
Nukat Gaib, punika lahiring rupa sajati, sumonda ing Dat sajati, dados kahananing cahya gumilang tanpa wewayangan inggih punika tajalining Pangeran kang sipat : ta, tegesipun asipat satunggil ingkang binasakaken sipat satunggil punika dede jaler dede estri, dumunung wonten kodrat irodat kita pribadi, tegesipun saking kuwasaning karsa kita piyambak.<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Leres kisanak, Kitab Bayan (146) Alip punika kenging binasakaken amung mor misah kemawon kaliyan cariyos sampeyan ing ngajeng wau, ing mangke mugi karsa dumugekaken malih, ingkang kasebut ing kitab Dakaikul Akaik kaliyan kitab Dakaikul Akbar wau, kados pundi suraosing dalilipun ingkang kaping tiga?.”<br />
<br />
PUPUH XII<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menawi sampeyan kepingin mirengaken suraosipun kitab kekalih wau, dalil ingkang kaping tiga, utawi suraosipun Serat Wirit Hidayatjati sarta cunduk kaliyan nukilan, sorahing kitab Bayanumirat, Bayan Alip, Mandinil Asrar, utawi kitab Mandingil Maklum inggih punika bangsaning kitab tassawuf sadaya, sami mratelakaken wewangsiting Pangeran Kang Maha (147) Suci sajati, dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken kados ing ngandhap punika :”<br />
<br />
Sajatine manungsa iku rasaningsun, lan ingsun iki rahsaning manungsa, karana ingsun anitahake Adam asal saka ing anasir patang prakara : 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku dadi kawujudaning sipat ingsun, ing kono ingsun panjingi Mudakih liman prakara : 1. Enur, 2. Geni, 3. Eroh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku minangka warananing wajah ingsun Kang Maha Suci sajati.<br />
<br />
Kacariyos ing kadis,panjinging Mudah gangsal prakawis wau wiwit saking embun-embunan, kendel wonten ing uteg, lajeng tumurun netra, lajeng tumurun dhateng lesan, lajeng tumurun dhateng dada (148) lajeng sumrambah dhateng jasad sadaya, jangkepipun jumeneng insan kamil asipat rupa sajati.<br />
<br />
Dene yen isbatipun kados ingkang kasebut wonten salebeting Kitab Bayanu mir’at amarah saking pangandikanipun Sultan Sungeb ing Majan kajawekaken makaten : rupa sejatining rupa punika inggih sipating Pangeran kang Maha Suci sejati.<br />
<br />
Wonten malih kitab, naminipun boten kasebut warah saking pangandikanipun Sultan Abuyajid ing Bustam, kajarwakaken makaten : sajatining Dat punika dados tuladaning Suksma sejati, dene suksma sajati punika dados tuladaning sipat sajati, dene sipat sajati punika dados tukadaning rupa kita pribadi, (149) dados reringkesaning suraos ingkang makaten wau, kahananing manungsa punika saking duryat, dene wahananing duryat punika saking cahyaning Dat, dene sajatining Dat punika dumunung ing gesang kita pribadi.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kaange tetimbangan murih terang ing suraos, kala wau dalil ingkang kaping kalih kadekekan cariyos minangka kangge saksi, inggih punika suraosing kitab Bayan Alip, sareng sapunika dalil ingkang kaping tiga, punapa wonten kitab malih ingkiang nyebutaken makaten, margi saya prayosi bilih kathah seksi-seksinipun, manawi wonten mugi kersaa gancaraken cariyos malih, supados kangge tetimbanganipun suraos, utawi malih dalil ingkang kaping tiga wau kawastanan pangawruh punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah dalil ingkang kaping (150) tiga wau, kacariyos dipun wastani gelaran kahananing Dat, dene manawi sampeyan pitanglet kitab-kitab malih ingkang nunggil euraos kula dereng nate sumerep, sarta dereng nate maos, enget-engetan manawi boten lepat inggih serat Wirit Hidayat Jati wau anyebutaken mendetsaking kekiyatan murad maksuding suraos kitab Insan Kamil, bebasanipun ing suraos inggih nunggil misah kemawon kaliyan cariyos ing ngajeng wau, pratelanipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kulit, punika embanganing daging dados kahananing wujud.<br />
Daging, punika embanganing erah dados wahananing sipat.<br />
Erah, punika embaganing eroh, dados leksananing keketeg.<br />
Eroh, punika embanganing rahsa, dados (151) wahananing napas.<br />
Rahsa, punika embanganing pramana sajati dados tangaping raos pangraos.<br />
Pramana sajati, punika embanganing cahya dados sankeping panca driya.<br />
Cahya, punika embanganing atma sajati, dados wimbaning ulat.<br />
Atma sajati, punika embanganing Dat sajati dados purbaning gesang sejati.<br />
Dat sajati, punika embanganing Pangeran kang sipat sa, dados sampurnaning gesang sejati.<br />
Sapunika kisanak, murih tambah terang malih grebanipun makaten :<br />
<br />
Badan, punika wayanganipun budi.<br />
Budi, punika wayanganipun napsu.<br />
Napsu, punika wayanganipun eroh ingkang (152) winastanan pramana sejati.<br />
Eroh punika, wayanganipun rahsa ingkang winastanan pramana sejati.<br />
Rahsa, punika wayanganipun Nur Mukhammad ingkang winastanan atma sajati.<br />
Nur Mukhammad punika wayanganipun akyan sabitah ingkang winastanan atma sajati.<br />
Akyan Sabitah, punika wayanganipun Da tullah ingkang winastanan sipat sejati.<br />
Ing mangke kisanak, suraosipun ing dalil sapisan ngantos dumugi dalil ingkang kaping tiga, sarta pinten-pinten ketrangan sadaya ingkang sampun kasebut ing inggil wau, menggah panjing suruping tumrap kahananing jabang bayi, kula sumangga ing sampeyan piyambak.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Inggih kisanak, kula (153) piyambak badhe ngagas lan gatuk-gatukaken ing suraos wau, ananging menggah gumuning manah kula, wiwit mirengaken dalil ingkang sapisan Dating Pangeran kang Maha Suci punika yen karsa angganda muhung ngagem ing grana kita, manawi karsa amicara muhung ngagem ing rahsa kita, punika ingkang dangu anggen kula ngagas saestu dereng saged pinanggih menggah ing nalar-nalaripun, punapa inggih Dating cumlorot ndesul dhateng ing lesan kita, manawi karsa badhe aningali lajeng mancolot gumandul ing idep (154) kita, bilih karsa amiyarsa lajeng miber malih dhateng lening karna kita, bilih badhe karsa angraosaken lajeng lumebet ing raos kita, ingkang saupami makatena pratingkahipun, sinten manungsa ingkang nate uninga dhateng pancoloting Pangeran kang Maha Suci, sutanipun kados punapa kaliyan sinten manungsa ingkang nate uninga abur ing Pangeran kang Maha Suci, elaring swiwinipun kados punapa, utawi malih yen malebet ing raos kita, punika dumunung wonten ing pundi?.”<br />
<br />
PUPUH XIII<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sampun kepanjang-panjang kisanak, kacuthela samanten kemawon wicantenan sampeyan sadaya wau, bok manawi kamirengaken para santri ingkang cubluk ing budi, kakinten sampeyan maiben dhateng suraosing kitab, (155) kawastanan tiyang kufur temah dados garejeg wewinihing pasulayan punika kirang prayogi. Menggah ing prasananipun yen sampeyan gegujengan sarta rerembangan lelawanan kaliyan manungsa ingkang alus marsudi ing budi, tembung sampeyan sadaya wau bebasan nayuh alingan sada, pangonan welut diedholi udhet, ampingana rambut pinara pitu, kados boten kekilapan, sedyaning manah sampeyan badhe pitanglet, saderengipun kalahir wicanten sampeyan sadaya wau kula sampun nyediani wangsulan kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang rumiyin wonten tetembungan makaten, sadaya obah-osiking manungsa punika atas saking karsa kawasaning Pangeran kang Maha Suci Mulya, menggah patrap (156) pratingkaahing pamolah pitedahanipun ugi dumunung ing Serat Wirit yasanipun Ki Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol wau, wewejangan ingkang kaping sekawan, dipun wastani kayektening kahanan kang maha luhur, awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran kang Maha Suci, anggenipun anjumenengaken maligening Dat minangka Bettulah, katata wonten ing sirahing manungsa punika sajatosipun minangka pitedahan, kayektening kahanan satunggal-satunggal, anandakaken kalarat ing Dat kang maha mulya langgeng boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati, kasebut wonten ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan (157), nukilan saking sorahing kitab Insal Kamil mratelakaken wangsiting Pangeran kang Maha Suci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, ayat ingkang kapisan karaos ing dalem rahsa kajarwakaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sajatine Ingsun nata malige ana sajroning Betal Makmur, iki omah engoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam kang ana sajroning sirah iku dimak iya iku uteg, kang ana antaraning uteg iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran, nanging ingsun kang anglimputi ing kahanan Jati.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, sampun ketanggelan (158) anggen sampeyan nuntun dhateng binguning manah kula, mugi-mugi kersaa anggenahaken suraosing dalil ingkang makaten punika, menggah ceplesipun kaliyan pangagas kula wau kados pundi?, liripun makaten : Dating Pangeran kang Maha Suci punika yen kersaa ngandika utawi yen kersaa miyarsa patrap pratingkahipun kados pundi ?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, yen sampeyan kapengin badhe uninga terangipun kula dumugekaken gancaripun cariyos wau kados ing ngandhap punika :”<br />
<br />
Menggah suraosipun ing dalil kala wau makaten :<br />
<br />
Sirahing Adam inggih sirahing manungsa punika kawiyosipun kahananing Betakmakmur, tegesipun griya kang rame, utawi panggenan kang rame.<br />
Uteg punika kahananing kantha (159), narik wahananing cahya, dados pambukaning netya.<br />
Manik, punika kahananing pramana, narik wahananing warna, dados pambukaning karsa, dados pambukaning pamicara.<br />
Budi, punika kahananing pranawa, tegesipun padhaning manah narik wahananing karsa, dados pambukaning pamicara.<br />
Napsu, punika kahananing hawa, narik wahananing swara, dados pambukaning pamiyarsa.<br />
Suksma, punika kahananing nyawa, narik wahananing cipta, dados pambukaning panganda.<br />
Rahsa, punika kahananing atma, narik wahananing wisesa, dados pambukaning pangraos.<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula amung nirokaken kemawon, tembunging cariyos ing (160) ngajeng wau makaten : kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan. Nukilan saking sorahing ing kitab Insan Kamil, mratelakaken wangsiting Pangeran kang Maha Suci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, ayat ingkang kapisan, lo, punika lajeng nenuntun dhateng pangraitaning manah kula, suraos ingkang makaten wau punapa taksih wonten panunggilanipun daliling ngelmi ingkang kaping gangsal, pendetan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih, yen lakar pancen taksih wonten gancaripun, mugi-mugi karsa-karsaa dumugekaken cariyos malih sesambetaning pangawruh ing ngajeng wau.”<br />
<br />
PUPUH XIV<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Leres kisanak, wonten kula dumugegaken cariyos malih (161) suraosipun ing Serat Wirit wau, kasebut ing daliling ngelmi ingkang kaping gangsal nukilan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih punika dipun wastani kayektening kahanan kang maha agung inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukaram. Awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran kang maha suci, anggenipun karsa anjumenengaken maligening Dat, minangka betullah katata wonten ing dadaning manungsa, punika sajatosipun inggih dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-tunggal anandakaken kalarating Dat kang maha mulya, langgeng boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati, menggah daliling Pangeran kang Maha Sukci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken kados (162) ing ngandhap punika :<br />
<br />
Sajatine ingsun anata malige ana ing dalem Betal Maharam iku omah engoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dadaning Adam, kang ana ing dada iku ati, kang ana ing sajroning ati iku jantung, kang ana sajroning jantung iku budi, kang ana sajroning budi iku jinem iya iku angen-angen, kang ana sajroning angen-angen iku suksma, kang ana sajroning suksma iku rahsa, kang ana sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran nanging ingsun, Dat kang anglimputi ing kahanan jati.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, yen amirengaken suraosing cariyos ingkang makaten wau lajeng pepet kodhang boten saged mangretos, awit kulinanipun kula nate angeguru dhateng para pandhita dusun, (163) yen amejang ngelmi punika bebasan namung gletek-petelipun kemawon boten mawi tetembungan pralambang kathah-kathah, trekadangan asring wonten dapur cecangkriman kadosta : kyai guru anutupi cangkir kothong, lajeng wicanten dhateng muridipun kapurih methek suwung punapa isi, wonten ingkang methek kothong wonten methek ingkang isi, kyai guru lajeng anjarwani makaten : iya iku upama badaning manungsa sajatine isi, mulane padha upayaken sagaduging pamikirmu apa isen-isene sajroning badanmu dewe-dewe amung makaten kemawon kemawon lajeng sampun bok manawi cecangkrimaning kyai guru kapurih madosi isisining badan wau supados nyumerepana cariyos sampeyan punika. Pramila kula sanget kumedah uninga, dalil (164) pangandikaning Pangeran kang Maha Suci makaten wau, menggah sejatosipun yen kakeplokaken tumraping badan kita kados pundi wewejanganipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah cariyos sampeyan sadaya wau inggih leres, kula piyambak sampun nate amrangguli guru ingkang gedhah gelar ingkang kados cariyos sampeyan punika, menggah tiyang angeguru ingkang makaten wau kenging binasakaken wong golek-golek ketanggor wong luru-luru, liripun makaten sareng guru cecangkriman kapurih methek punapa isen-isening raga, ing riku para murid lajeng ambatang salah satunggilipun, bilih wonten kalantipaning para murid pratitising pambatanganipun lajeng dipun temu dening guru, ingkang makaten wau lajeng dados dapur kuwalik, leresipun guru punika amulang (165) dhateng murid, sareng wonten gelar pratikeling guru julig durjananing ngelmi, ing wekasan wonten lelampahaning murid mulang guru, pramila ing sayektosipun para Pandhitaning praja, awit sampun kaiden ing Sri Narendra, kacariyos Pandhitaning praja punika kedah saged angange pangawikan wolung prakawis :<br />
<br />
Parama Sastra, tegesipun limpad ing sastra.<br />
Parama Kawi, tegesipun putus ing kawi.<br />
Mardi Basa, tegesipun saged mentes ing tembung.<br />
Mardawen Lagu, tegesipun saged damel lemesing lelagon.<br />
Mawi Carita, tegesipun sugih (166) lan saged carita.<br />
Mandra Guna, tegesipun sugih kasagedan.<br />
Nawung Krida, tegesipun lantip ing panglepasan.<br />
Sambegana, tegesipun engetan.<br />
Dene ugeripun Pandhita praja wau inggih wolung prakawis :<br />
<br />
Asih inmg murid, den antepa putra wayah.<br />
Tlaten ing pamulangipun, boten mawi wigah wigih.<br />
Lumuh ing pamrih, boten darbe pangangkah.<br />
Tanggap ing sasmita, saged nakpeni pasemoning murid.<br />
Sepen ing panggrajangan, boten dados kinten-kintening murid.<br />
(167) Boten ambalakaken pitakenan.<br />
Boten purun ngendhak ing kagunan.<br />
Boten guru aleman angungkulaken kasagedan.<br />
Dene utaminipun Pandhita praja wau inggih wolung prakawis :<br />
<br />
Mulus ing sarira, boten darbe cacad.<br />
Alus ing wicara, boten asring amimisuh tuwin supaos.<br />
Jatmika ing solah.<br />
Antepan budinipun.<br />
Para marta lelabuhanipun.<br />
Patitis nalaripun.<br />
Sae labetipun.<br />
Boten darbe pakareman.<br />
Wangsul nyambungi cariyos ing ngajeng, (168) daliling ngelmi ingkang kaping gangsal ing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih kasebut ing ngajeng wau, ugi sampun kawerdenan dening pandhita ing praja ingkang sesilih nama Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol dunungipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Dada, punika wiyosipun Betal Muharam tegesipun griya lelarangan.<br />
Ati, punika kahananing panca driya, anarik wahananing nepsu, dados wahyaning napas.<br />
Jantung, punika panca maya, anarik wahananing brirai, dados wahyaning keketeg.<br />
Budi, punika kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dados wahyaning pamicara.<br />
(169) Jinem, inggih punika angen-angen kahananing pangraita, anarik wahananing swara, dados cahyaning pamiyarsa.<br />
Suksma, punika kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dados wahyaning pangganda.<br />
Rahsa, punika kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dados wahyaning pangrasa.<br />
Wondene bilih sampeyan pitanglet daliling ngelmi ingkang kaping nenem nukilan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat kaping tiga, dipun wastani tata malige ing dalem betal mukadas, katata wonten ing kontoling Adam sampun kapratelakaken kasebut ing ngajeng wau kaleres angka 8 kaca 74.<br />
<br />
PUPUH XV<br />
<br />
(170) Juru Patanya :<br />
<br />
“Ing sadangu-dangunipun kula amirengaken cariyos sampeyan wau sadaya kados pepetikan kitab-kitab pangawruh wedalan saking tanah Arab, anggen kula mastani makaten wau, dene tetembunganing cariyos taksih kathah cecaruban kaliyan tembung Arab, menggah ingkang makaten wau kisanak sumangga sami kagalih menggah sumebar tumraping ing tanah Jawi, pangawruh ing tanah Arab wau nalika jaman punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah patitisipun ing titi mangsa kula dereng sumerep, sayektosipun anggen kula maos serat-serat punika dereng patos kathah kwimbuhan radi lalen kinten-kinten kemawon, bok manawi kenging kadamel tetimbangan inggih bebukaning (171) Serat Wirid Hidayat yasanipun Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol wau, anyebutaken makaten wewejanganipun para waliyulah ing tanah Jawi sasedanipun Kangjeng Susuhunan ing Ampeldenta, sami karsa buka pepingidan ingkang kados wijining wewejanganipun suraosing ngelmi kasampurnan piyambak-piyambak.”<br />
<br />
Ingkang rumiyin kala jaman awalipun nagari Demak, para wali ulah ingkang karsa amejang kathahipun amung wolu :<br />
<br />
Kengjeng Susuhunan ing Girikadaton wewejanganipun wewisikan ananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Tandes wewejanganipun wedaran kahananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Maja Agung (172) wewejanganipun gelaran kahananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Bonang, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Makmur.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Muryapada, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Muharam.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Kalinyamat, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, wewejanganipun nem bab punika sadaya sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau.<br />
Kangjeng Susuhan ing Gunung Jati, wewejanganipun panetep santosaning iman.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Kajenar, wewejanganipun sasahidan.<br />
Ingkang kaping kalih, ing saangkatan kala jaman akhiripun ing nagari Demak dumugi jaman ing nagari Pajang, para wali ingkang sami karsa (173) amejang inggih namung walu :<br />
<br />
Kangjeng Susuhunan ing Giri Parapen, wewejanganipun wewisikan ananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Derajat, wewejanganipun wewedaran wahananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Atas Angin, wewejanganipun gelaran kahananing Dat.<br />
Kangjeng Susuhunan Kalijaga, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem betal makmur lajeng ambabar ingkang dados prabotipun amatrapake panjenenganing Dat sadaya ananging dareng turut patrap panganggenipun satunggal-satunggal.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Tembayat, kalilan dening guru Kangjeng Susuhunan Kalijaga amiritaken wewejanganipun (174) pambukaning tata malige ing dalem Betal Muharam.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Padusan, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Kudus, wewejanganipun panetep santosaning iman.<br />
Kangjeng Susuhunan ing Geseng, wewejanganipun sasahidan.<br />
Dene wewejangan kasebut ing inggil punika, suraosipun inggih nunggil kemawon, margi saking wiwitan pamejanganipun Kangjeng Susuhunan ing Ngampeldenta sadaya, sareng dumuginipun Kangjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, wewejanganipun wolung pangkat wau karsa kahimpun malih dalah saprabotipun pisan supados muhtamad ing suraosipun (175) sadaya, punika lajeng kababaraken dados wewejangan sapisan kemawon dados satunggal, sasampunipun cunduk kaliyan kawruhing para ahli ngelmi, saking karsa dalem Kangjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, ingkang kalilan miridaken wewejangan makaten wau inggih namung walu :<br />
<br />
Panembahan Purubaya.<br />
Panembahan Juminah.<br />
Panembahan Ratu utawi Batu Pekik.<br />
Panembahan Juru Kiting.<br />
Pangeran ing Kadilangu.<br />
Pangeran ing Tembayat.<br />
Pangeran ing Kejoran.<br />
Pangeran ing Wongga.<br />
“Saweg punika kisanak, serat ingkang kula sumerepi, kilap manawi wonten malih serat-serat ingkang mratelakaken jaman sangingilipun punika kula dereng (176) nete maos.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Bokmanawi inggih punika kawruh ing Tanah Arab, wiwitipun sumebar ing Tanah Jawi,sarehning dunungipun wejangan ingkang kasebut ing serat wirit leresipun wolung pangkat kala wau ingkang sampun kasebut ing nginggil saweg nem pangkat, dados wewejangan ingkang kalih pangkat :<br />
<br />
Panetep santosaning iman.<br />
Sasahidan, punika dereng kapratelakaken, saking panyuwun kula ki sanak, manawi sampeyan saged wewejangan ingkang dereng kapratelakaken kalih pangkat wau, sanajan boten tumrap dhateng abon-abon bumbu lelajering cariyos ing ngajeng wau, saking sanget kepengin kula kumedah amirengaken bebasan sumela ing cariyos namung sakedhap, suwawi kisanak, kula aturi (177) lajeng murwani kados punapa suraosipun?.<br />
PUPUH XVI<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Punika prayogikisanak, boten wonten awonipun mirengaken piwulang sae, tembung ing paribasan makaten, mungguh sakehing pangawruh yen ginembol tan marongkol yen ginuwak tan kemrosok ing samangke kula murwani cariyos ingkang kasebut ing serat wirit, enget-engetan yen boten supe kados ing ngandhap punika. Wewejangan ingkang kaping pitu dipun wastani panetep santosaning iman ambuka sahadat jati, awit dene pamejangipun amangsit ingkang dados pikekah pangandel kita anggenipun angestokaken dhateng kayektening gesang kita pribadi, manawi sampun tetep minangka tajalining Pangeran kang amaha (178) suci sejati, kasebut ing dalem ijmak, wirayating para wali ulah nukilan saking kadis makdus, salebeting takit ingkang terus dhateng Nabi Mukhamad Rasulullah, ingkang kawangsitaken dhatent Sayidina Ali, jarwanipun makaten :<br />
<br />
“Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran nanging Ingsun, lan anekseni Ingsun, satuhune Mukhammad iku utusan Ingsun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Punika kisanak, kula amestani tembung wau luwes, kewes, wilet, batos, tur patitis, ingkang makaten wau amung sol sampuna kula ngalem rumiyin, dene suraosipun kula dereng mangretos pisan-pisan (179) ingkang binasakaken, ingsun punika sinten, ingkang binasakaken Mukhammad punika sinten?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kula saweg amanoni sapisan sampeyan punika, dene wonten tiyang saged ngalem saening barang ingkang dipun sumerepi, punika pepiridanipun ingkang kangge nimbang saking punapa, ing mangke kula mangsuli, sampeyan pitanglet patitising tembung, ingsun lan ingkang binasakaken tembung Mukhammad punika kula dereng sumerep, kacariyos ingkang kasebut ing Wirit Hidayatjati, tembung makaten wau, menggah dunungipun kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang dipun wastani Pangeran punika inggih Dating gesang kita pribadi, sabab sajatosipun sagunging asiya punika sami kukum (180) napi sadaya, tegesipun asiya punika, sawiji-wiji tegesipun napi, sepen boten wonten mila kasebut boten wonten Pangeran isbatipun, tetep dados tetepipun ingkang anyebut kaliyan ingkang sinebut, punika boten wonten sanesipun ing suraos tunggal tanpa wewangenan kaotipun amung lahir kaliyan batos kemawon.<br />
<br />
Dene ingkang dipun wastani Mukhammad punika sipating cahya kita pribadi, pramila dipun basakaken utusan, margi kawistara wonten ing netya kados ingkang kasebut ing dalil salebeting Kur’an jarwanipun makaten : sayektine temen-temen ing sira kabeh utusaning (181) Dat metu saka ing awaking kang maha mulya, mungguh ing utusan iku anembadani ing saciptanira, yen angandel sayehti antuk sih pangapuraning Pangeran.<br />
<br />
Manawi sampun anekseni daliling Kur’an pangandikaning Pangeran kang amaha suci ingkang makaten wau, dipun waskita ing galih, inggih punika gesang kita pribadi, punika wahananing nugraha, kahananing kanugrahan : dene nugraha punika ddating gusti, kanugrahan punika spating kawula, tunggal tanpa wewangenan, dumunung wonten ing gesang kita, sabab ingkang kasebut ing kitab Insal Kamil, amarah manawi namaning Allah punika, inggih namanig Mukhamad, saupami kados dene sabet lan warangkanipun, (182) ing mangke Allah minangka arangka, Mukhammad minangka sabet, ing tembe wewangsulan.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Suwawi kisanak, punapa lepat anggen kula angalem tembung wau, dene wewejangan ingkang pangkat wolu, luwesing tembung, patitising suraos punika kula dereng saged amestani, amargi dereng nate mirengaken, cobi kisanak kados punapa suraosipun badhe kula mirengaken rumiyin.”<br />
<br />
PUPUH XVII<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen leresipun serat satunggal, damelanipun tiyang satunggal, punapa beda-beda tembungipun rak inggih tamtu sami kemawon, suwawi yen kirang pitados kisanak, amirengna suraosipun kados ing ngandhap punika.”<br />
<br />
Wewejangan ingkang kaping wolu dipun wastani sasahidan, awit pemejangipun kinen dhateng wahananing sanak kita, (183) inggih punika kahananing dumadi kang gumelar wonten ing alam donya, bumi, langit, surya, wulan, lintang, latu, angin, toya, sapanunggilanipun sadaya, sami aneksenana, yen kita mangke sampun purun angakeni jumeneng dating Gusti kang maha suci, dados sipating Allah sajati, kasebut ing dalem kiyas wewarahing para pandhita, anggenipun amencaraken nukilan saking kadis makdus salebeting bab Muklumatul Uluhiyah, wiyosipun amartani ing panetep santosaning iman, dados panuntuning tokit ingkang ambatos dhateng ikhtikad, inggih punika wewiridan saking cipta sasmitaning Kangjeng Nabi Mukhamad Rasulullah, ingkang kawangsitaken dhateng Sayida Ali jarwanipun makaten :<br />
<br />
Ingsun anekseni marang ing datingsun (184) dewe, satuhune ora ana Pangeran nanging Ingsun lan anekseni ingsun satuhune Mukhammad iku utusan Ingsun, iya satuhune kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul ing rahsa Ingsun Mukhammad iku cahya Ingsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita ora kasamaran, ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa kang kawasa, wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padhang trawangan ora krasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, kula lajeng (185) gumun sanget menggah lepasing pangretining manungsa, ingkang lajeng gadhah pangangep angaken jumeneng Dating Gusti kang maha suci utawi kang ingaran Allah punika, bedanipun kang ingaran rasul punika rahsanipun, kang ingaran Mukhammad punika cahyanipun, menggah pangrengkuh ingkang makaten wau sirnaning ringa-ringa, wekasan tumimbuling tekad, akandel kumandel punika mendet wewaton saking punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, kula cariyos ing Serat Wedatama, yasanipun Kangjeng Gusti Pangeran adipati Mangkunaga ingkang kaping sekawan ing Nagari Surakarta Hadiningrat, amratelakaken sembah kalbu mawi sinawung ing kidung sekar gambuh kados ing ngandhap punika.”<br />
<br />
//Samengko sembah kalbu / yen lumintu yekti dadi laku (186) / laku agung kangungane adipati / patitis tetesing kawruh / meruhi marang kang momong//<br />
<br />
//Sucine tanpa banyu, mun nyenyuda mring hardaning kalbu / pambukane tata titi ati-ati / den teteg talaten atul / tulada marang waspaos//<br />
<br />
//Mring jatining pandulu / panduking don dedalan satuhu / lamun lugu leger tanira maligi / lagehane tumlawung / wenganing alam kinaot//<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak inggih leres, menggah wewaton pupuntoning tekad, awit saking anitik patitis tetesing kawruh, wekasan saged waspaos pamawasing uwas, wansul tumanduking mring endon dunung panduking pandulu, rumambatipun lelantaran saking punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, bokmanawi (187) rumambatipun inggih lelantaran saking kalantipaning pangreti, awit suraosipun wewayangan ingkang kaping wolu kasebut ing ngajeng wau, kacariyos menggah dunungipun makaten : ingkang dipun wastani Pangeran punika inggih dating gesang kita pribadi, ingkang dipun wastani Mukhammad punika inggih sipating cahya pribadi. Manawi ingkang kasebut ing dalem dikir, la illa ha ilallah, Mukhammad Rasulullah, tegesipun boten wonten Pangeran nanging Allah, Nabu Mukhammad punika utusaning Allah. Ananging manawi kakekatipun ingkang dipun wastani Allah punika afngaling rasul, dumunung ing kahanan kita, Mukhammad punika sipating cahya (188) dumunung ing gesang kita, sejatining gesang kita punika dating Pangeran kang maha suci sejati, kayektosipun kasebut ing dalem daliling Kur’an, manawi Pangeran kang maha suci punika kawasa mijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inggih gesang kita pribadi punika sayekti awit saking pejah, ing wekasan boten kenging pejah dipun basakaken kayun sidaraeni, tegesipun gesanging kahananing kalih, wonten ing alam sahir gesang, wonten ing alam khabir kita inggih gesang, sarta boten kasupen dat kita kang maha agung, boten kenging gingsir, saking sipat kita kang elok, boten kasamaran asma kita wisesa, boten kekirangan afngal kita kang sampurna. Dados pepuntoning ing tokit (189) ingkang bontos dhateng bab tekad, sampurnaning gesang kita punika boten wonten kraos utawi boten wonten ketingal punapa-punapa, amung waluya sajati langeng, anglimputi ing alam sadaya, pramila lajeng boten uwas sumelang panggalih.”Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-91401549661129124262013-06-20T01:52:00.000+07:002013-06-20T01:52:19.506+07:00SERAT NITIMANI Pupuh I – VISERAT NITIMANI Pupuh I – VI<br />
<br />
<br />
PUPUH I<br />
<br />
(1) Serat Nitimani punika, duk nalika murwenggita, jroning warsa lumaksana, tinengeran candra sangkala, rasaning janma kaesthi juga, *** (taun Jawi 1816).<br />
<br />
Mangkya wau kang pustaka, ing karsa arsa tinata, kaewah ukaranira, kawewahan lan rinengga, duk kala mangriptanira, aniti pranata mangsa, almenak ing taun Jawa, purnama ing wulan sela, kuranthil ing wukunira, panuju ing mangsa sadha, tinengran candra sangkala, Raden Mas Aryasuganda, amandeng ngesti bathara, @@@ (taun Jawi 18210.<br />
<br />
PUPUH II<br />
<br />
Ingkang kinarya bebuka, kinantha petha saloka wangsalan tembung surasa, mung kinarya langgen driya, pralambang tumraping putra, kang supaya cinangua, mring weka kang maksih dama, ngularana kasebut ngandhap punika :<br />
<br />
Witing luput : amarga saking kalimput, yen kadaut : sayekti amanggih puput, ywa katracut, dipunemut miwah nebut, mrih tan kerut, pa(2)karyanira kang patut.<br />
<br />
Witing lepat : amargi saking kirang limpat, dadya mlarat, yekti datan manggih hurmat, yen kesrakat, yen kebat gonira tobat, mrih binirat, ngegungna manising ulat.<br />
<br />
Witing siku, ya saking pugaling laku, yen katleku, tan dangu amanggih bendu, reh rinengu, ruwaten budi rahayu, akaton sumeh ing semu.<br />
<br />
Lamun tandhing, marsudiya ing tyas ening, mamrih ering, kang supadi tan kajungking, den dumeling, gone ngliling dimen eling, yen wus takluk, ywa kongsi diengkuk-engkuk.<br />
<br />
Yen wus menang, manggalih aja gumampang, kudu nimbang, mrih langgenge denya numpang.<br />
<br />
Manungseku, kudu buru winahyu, kanthi laku, lan patitising.<br />
<br />
De manungsa, kudu ngupaya nugraha, pametira, wit saking brata laksana.<br />
<br />
(3) Empan mapanipun makaten : yen lelewa, den bisa anuju prana, mamrih rena, lan sukaning kang miharsa.<br />
<br />
Yen sembrana, den prayitna sampun lena, lamun ina, sayekti amanggih weda.<br />
<br />
Lamun cuwa, sampun kawustareng netya, wrananana, ing suka dhanganing karsa, kang supadya, datan amanggih dirgama.<br />
<br />
Lamun gela, jroning nala sampun daga, sengadiya, langkung condong ing wardaya, pamrihira, kang pinanduk tan legewa.<br />
<br />
Lamun rengu, aja kadulu ing semu, yen kaliru, graitane kang tinuju, kang saestu, anampi pamanggih dudu.<br />
<br />
Lamun lingsem, ing gunem aja katingkem, lamun amem, yekti katara ing klecem.<br />
<br />
Lamun supe, panggalih sampun kalimpe, amrih sae, supadi tan manggih dede.<br />
<br />
(4) Lamun harda, sampun dadra murang krama, mrih widada, pakartine kang utama.<br />
<br />
Yen murina, angakaha ucal cihna, karya tandha, dimen antuk manuhara.<br />
<br />
Yen sumungku, jro kalbu den ambeg sadu, kang saestu, antuk saening panemu.<br />
<br />
Lamun bekti, jro ati den ambeg suci, kang supadi, antuka panganggep yekti.<br />
<br />
Yen sumembah, den genah tancebing manah, dipunkekah, supada angsal berekah.<br />
<br />
Lamun sujud, aja kalimput ing limut, pamrih turut, saening lampah tan kerut.<br />
<br />
Yen alabuh, ywa tambuh manggih pakewuh, mamrih bakuh, yen tinempuh datan keguh.<br />
<br />
Lamun labet, den memet uninga ubet, mrih tan ribet, yen kasrimpet ing rwruwet.<br />
<br />
Panggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas.<br />
<br />
(5) Lamun purik, ywa elik weruha sarik, mamrih apik, ywa kongsi amanggih serik.<br />
<br />
Lamun mutung, ywa liwung kongsi kadarung, yen jinurung, yekti suwung dadya bingung.<br />
<br />
Yen kaduwung, ywa jetung panggalih kadung, yen delarung, ing wekasan dadya kumprung.<br />
<br />
Lamun mupus, ing pamawas dipunalus, dimen tumus, kulina panggawe bagus.<br />
<br />
Lamun lara, den pasrah marang Hyang Suksma, yen katrima, tantara yekti nirmala.<br />
<br />
Lamun sedih, den bisa memisah amrih, nanging rasa, malayu duhkitanira.<br />
<br />
Lamun susah, den betah ambeg tuminah, mbok kaprenah, nugrahen Hyang saben murah.<br />
<br />
Lamun getun, ywa bebangun ati gumun, mbok wulangun, kanduk ing ati ngungun.<br />
<br />
Budi eram, karya limput temah kewran, ywa kataman, wimbuh kadeng kang budiman.<br />
<br />
(6) Ywa sumengguh, mundak kataman kang tambuh, dadya wimbuh, wimbaning budi pangrengkuh.<br />
<br />
Ywa mamengku, lamun tan pranaweng kalbu, yen kasluru, rinetu panampa eru.<br />
<br />
Aja wangkot, yen pedhot pandadi abot, bedhat momot, wekasan tan bisa kamot.<br />
<br />
Ajwa lumuh, yen binobot ing pakewuh, dadya wimbuh, abiprajaning tumuwuh.<br />
<br />
Aja rikuh, yen rinaket rapu kang suh, mundak kisruh, gawe lingsem kang pada wruh.<br />
<br />
Ywa piangkuh, yen tan wruh benering kewuh, temah tinutuh, tetuladan bangsa pajuh.<br />
<br />
Ajwa dangkal, yen tan wruh kleru ing akal, yen katragal, dadine kaacan nakal.<br />
<br />
Aywa doso, yen tan wruh benering bodho, temah loso, ingaranan bangsa sato.<br />
<br />
Yen dedasih, ywa wigih panggawe luwih, ingkang pinrih, mamrih winalesa ing sih.<br />
<br />
(7) Lamun tresna, den murina labetira, mrih santosa, widadaning abipraja.<br />
<br />
Yen suwita, den sedya apuruhita, mrih binuka, uninga tata silaraja.<br />
<br />
Lamun abdi, kudu bisa nyimpen wadi, dadya sidi, bakal eruh rungsiding Widdhi.<br />
<br />
Yen santana, den rila ing labet tama, mrih tan kemba, ing lyan anggone mandarsana.<br />
<br />
Lamun batur, kedah anut lan tumutur, amrih jujur, tan siningkur para luhur, yen tan mulur, kabanjur tan wruh ing edur.<br />
<br />
Lamun ngenger, den ater ambeg blater, wruha teter, pakarywan ywa kongsi ngether.<br />
<br />
Yen angunjung, neng ngarsaning pra linuhung, srana irung, mrih nganaken tandha dekung.<br />
<br />
Yen sejarah, mrih astana janma pejah, den cecegah, karenanira bangsa dyah, yen sinarah, temah siku manggih tulah.<br />
<br />
Yen cecegah, den betah gonira ngampah, nganggah-(8)anggah, yeku pakarti luamah.<br />
<br />
Yen sumungkem, den kojem nganti tumanem, dadya tegen, amrih antuk kang pangalem.<br />
<br />
Yen sembahyang, ywa ginggang neng tepeting Hyang, mrih sumimpang, panggodhaning para dhayang.<br />
<br />
Lamun salat, ulat madhepa ing keblat, jroning niyat, nut srengat Nabu Mukhamad.<br />
<br />
Aja cihak, ngaku anake si bapak, mbok kacentak, yen pangawruh durung pepak.<br />
<br />
Lamun mamak, panganggone cihak-cihak, yeka nracak, weh cingak kang pada cedhak.<br />
<br />
Aja ciya, ngaku putrane si rama. Yen sanyata, durung wruh ing tata krama, yen sulaya panganggepe siya-siya, mundhak ewa, atine kang pada miyarsa.<br />
<br />
Ywa kesusu, ngaku putrane si ibu, jroning kalbu, lamun durung ambeg merdu, yen ginuyu, marang wong kang pada ngrungu.<br />
<br />
Ywa sumuci, ngaku wayahe si kaki, yen sajati, durung weruh ing leluri, yen tan yekti, karya ewa kang miyarsi.<br />
<br />
(9) Ywa gumampang, ngaku wayahe si eyang, yen tan damang, alurane klayan terang, yen kasimpang, yekti bakal newu wirang.<br />
<br />
PUPUH III<br />
<br />
Ing sasampunipun amratelakaken pasemon tembung paribasan kasebut ing ngajeng wau, sedya andumugekaken panganggitipun kadapur cariyos, pinindha kadi sujanma sami gegineman satunggal, asesilih nama Sang Murwenggita, ingkang satunggal asilih nama Juru patanya. Anggenipun sami rermbagan kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Sarehning kula sawetawis lami, anggen kula mboten pepanggihan kaliyan sampeyan supami lajeng kersa jenak lelenggahan saiba kados menapa badhe bingahing manah kula.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak mbok inggih prayogi.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Ing sayektosipun kula badhe nyuwun (10) pitulung ing sampeyan, mugi-mugi karsa andhanganaken lajeng amudari dhateng reruweding gagasing manah kula. Prasajanipun ing wektu samenika, mbok menawi ingkang binasakaken saweg nedheng birai, dene thethukulaning manah kula, teka kadereng kumedah-kedah kepengin pala krami amomong pawestri, nanging tansah mangu-mangu. Dereng saged angleksanani, karana dunungipun wanita punika, upami papan badhe pandhedhering wiji, saestunipun kedah milih ingkang prayogi. Wangsul titikan pamilihipun candraning wanita ingkang awon utawi ingkang sae ing warni, solah tenaga, tuwin pasemon ingkang kados punapa ?”.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Mugi-mugi sampun andadosaken cuwaning panggalih, kula boten saged anglegani ing karsa sampeyan, karane dereng nate sarawungan dhateng pangawruh ingkang makaten wau. Candraning wanita ingkang pantes kaagem garwa padmi (bojo), utawi pantes kaagem garwa paminggir, kalanggenan (selir), punika kacariyos kasebut wonten salebeting Serat Iman Supingi, ingkang awon utawi ingkang sae kados punapa, punika boten terang, margi kula dereng nate maos Serat Iman Supingi wau. Dene bilih kersa amirengaken kula acariyos, wonten piwulang medal saking para sepuh, tiyang dusun tanah pareden kaanggep utawi boten, gumantung wonten ing karsa sampeyan, pratelaning piwulang kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Para sujanma priya yen badhe amilih dhateng wanodya, kaagem pantesing pala krami, anyeplesana dhateng suraosing tetembungan tiga : bobot, bebet, bibit. Dununging tembung tiga wau makaten : ingkang rumiyin tembung bobot, pikajengipun amiliha wanita ingkang asli, dene titikanipun saking turun sarasilah bapakning pawestri ingkang (12) badhe kapendet wau.<br />
<br />
Ing sapanginggil kadosta :<br />
<br />
Darah bangsaning ngawirya, tegesipun trahing para luhur, ingkang taksih kadrajatan.<br />
Darahing agama, tegesipun trahing para ngulama, ingkang alim ahli kitab-kitab.<br />
Darahing ngatapa, tegesipun trahing para pandhita, ingkang alal brata leksana.<br />
Drahing sujana, tegesipun trahing para linangkung, ing olah pangawikaning budi dhateng kalimpatan utawi kawicaksanan.<br />
Darahing ngagune, tegesipun trahing para pinter, ingkang olah dhateng kabangkitan.<br />
Darahing prawira, tegesipun trahing para prajuritr, ingkang olah dhateng kawanteran, sarta ingkang asub ing kasudiranipun.<br />
Darah supatya, tegesipun trahing para tani ingkang wekel sarta temening manah.<br />
Ingkang kaping kalih tembung bebet, inggih punika (13) tumrap dhateng bapakning wanita, ingkang badhe kapendet wau amiliha darah ing supudya, tegesipun : bangsa sugih arta utawi raja brana sarta ingkang taksih kathah kabegyanipun.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, nyuwun pangapunten, kula anyelani cariyos sakedhap, bapakning pawestri dumugi kaki buyut, canggah, wareng, teka mawi katitik ing atasipun tumraping jejodhowan punika badhe perlu kangge punana?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Karsanipun para sepun tanah pareden ingkang makaten wau menggah patitisipun kula dereng terang, amung kinten-kinten mbok manawi inggih titikan lare pawestri, badhe kapendet wau, pikajengipun amiliha darahing winahyu”.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Inggih leres, yen ingkang badhe karabi : bapa, kaki, buyut, canggah, warengipun. Wangsul ingkang badhe kapendet bojo wau anakipun, (14) prabeda punapaa kaliyan anaking para bodho, sudra lan apes, angger sae ing warni, utawi seneng ing pamilihanipun.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Punika kekilapan, kula boten terang ingkangdados karsanipun, menggah nalar ingkang makaten wau, sarehning boten kenging tiningalan kaliyan netra, pramila anitik sarasilah darajatin bapa, ing sapangingil, gerbanipun, sinten manungsa ingkang winahyu, sayekti awit saking rahayuning batos, dene rahayuning batos punika terkadang kapinujon, asring pinareng tumus mahanani dhateng wewatekaning atmajanipun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Yen makaten inggih leres, pancen prelu anitik dhateng sarasilah ing bapa wau. Ingkang kasebut ing nginggil saweg kalih tembung, bobot kaliyan bebet, jangkepipun tigang tembung bibit, punika pikajengipun kados pundi?.”<br />
<br />
(15) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Ing sapunika kula dumugekaken tembung bibit, pikajengipun, tumrap dhateng wanita ingkang badhe kapendet wau, amiliha ingkang sae warninipun saha ingkang kathah kasagedanipun. Dene candra wewijanganing warni ingkang sae, saestunipun ing Serat Iman Supingi inggih sampun boten kekirangan, ananging sarehning para sepuh padusunan tur pareden,teka mdamel candra warni tuwin pasemoning wanita tanpa wewaton, bok manawi medal saking gagasaning piyambak kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Warni bongoh, punika prabaning angga ingkang pupuk, ingkang mengku pangraos lega, pawestri ingkang makaten wau, mbok menawi saged ambuka don tuju langgening asmaragama.<br />
Sengah, punika prabaning wadana ingkang pupuk, ingkang mengku pangraos sedhep, estri ingkang makaten wao bok manawi saged ambuka panggendaming (16) asmara tantra.<br />
Dlongeh, (semu anggendonaken gujeng) punika sesemuning wadana tuwin liringing netra : ingkang amengkoni prabaning ambeg temen, tuwin legawa, ambuka tanduk angresepaken tuwin prasaja, inggih punika bok manawi kawontenan ingkang kasebut saged anggendam panduk senenging pramana.<br />
Ndenakaken (edemipun angecakaken), punika pasemoning wadana liringing netya tuwin kedaling wicara, ingkang amengkoni prabawaning panggalih seneng tuwin kepareng, ingkang ambuka tanduk angkuning rumaketipun, mbok manawi punika kawontenan ingkang kasebut saged ambuka panggendaming, asmara nala.<br />
Sumeh, punika pasemoning wadana ingkang kapraban ambeg sareh, mbok menawi punika kawontenan ingkang kasebut saged ambuka panggendaming asmara nada (dana).<br />
(17) Manis, punika seneng ing guwaya utawi kocak ing paningal ingkang amengkoni prabawaning pramana wingit, inggih punika mbok manawi kawontenan ingkang kasebut saged ambuka panggendaming asamara tura.<br />
Mrak ati, punika panduk ing tingal, tuwin wicara ingkang amengkoni prabaning pramana wingit, inggioh punika mbok manwi kawontenan ingkang kawastanan saged ambuka panggendaming asmara turida.<br />
Jatmika, punika ingkang amengkoni heneng heninging cipta ingkang ambuka sorot serating pramana, inggih punika mbok menawi kawontenan ingkang kasebut saged ambabaraken prabaning prabawa.<br />
Susila, punika ingkang kedaling ilat panduk ing mripat, polah ing solah bawa, amengkoni budi temen trima legawa, ingkang nukulaken panduk empaning pangira, benering panuju, tepaning sujana, (18) anggendam graita ing nugraha, ambuka wenganing mangsa kala, tinamu-tamu atining tata krama, inggih punika mbok manawi kawontenen ingkang kasebut sampun ginenglanggening pramana.<br />
Kewes, punika pratitis, panduking wicara. Mbok manawi punika kawontenan ingkang kasebut saged amengkoni prabaning praman.<br />
Luwes, punika cucut lemesing wicara tuwin solahing hangga, ingkang amengkoni prabaning pramana.<br />
Gandes, punika wedaling wicara tuwin solahing raga, ingkangamemalatsih, mbok manawi punika kawontenan ingkang kasebut amengkoni prabaning pramana.<br />
Demes, punika ayem panduk wedaling wicara tuwin lenggahing trapsila, (19) mbok manawi punika ingkang kasebut amengkoni prabaning pramana.<br />
Seded, punika dedegan ingkang inggil ingkang isi, tegesipun ingkang sambada.<br />
Lecir, punika dedegan inggil ingkang isi.<br />
Wire, punika sarira alit ingkang singset.<br />
Gendruk, punika badan ageng ingkang kendo nanging isi.<br />
Srenteg, punika dedegan ageng ingkang kirang inggil kaliyan agengipun, ananging isi tuwin kenceng.<br />
Lenjang, punika badan ingkang alit nanging panjang.<br />
Rangkung, punika dedegan ingkang inggil kiriang isi semu ngrupak.<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah plompanging polatan kula tuwin anjenger deleg-deleging patrap kula ing (20) sadangu-dangunipun, sampeyan nyariyosaken bab candraning wanita, anggitanipun para pinisepuh ing dusun tanah pareden, punika sakalangkung andadosaken gumuning manah kula. Bab tembungan utawi suraos sampun pinten-pinten yasanipun para sujana, ing jaman kina-kina ingkang kula sumerepi, dereng wonten pisan-pisan ingkang ngemperi, kados anggitan ingkang sampeyan cariyosaken punika, kenging binasakaken elok utawi langka, dene wonten anggitan ingkan makaten, kadosta :<br />
<br />
Anyebutaken warni bongoh, punika prabaning angga ingkang pupuh, serta saged ambuka don tuju langgening asmaragama.<br />
Warni sengoh, punika prabaning wadana ingkang pupuk sarta saged ambuka panggendaming asmara tantra.<br />
Manis, punika ingkang amengkoni (21) pramana wingit.<br />
Mrak ati, punika ingkang mengkoni prabaning pramana wingit.<br />
Woten malih ingkang angka 8 anyebutaken jatmika, punika ingkang amengkoni heneng-heninging cipta, sadaya wau wawatonipun mendet saking punapa?, dene teka saged amestani, ingkang mengkoni warni pasemon, sarta ingkang dados gumuning manah kula dene wonten sesebutan heneng-heninging cipta. Kaliyan malih ingkang angka 9, anyebutaken susila punika ingkang kedaling ilat, panduking mripat, polahing solah bawa amengkoni budi, temen, trima, legawa, ingkang nukulaken panduk empan ing pangira, bener ing panuju, tepaning sujana, anggendam grahitaning nugraha, ambuka wenganing mangsa kala, tinamu-tamu atining tata krami, inggih punika sampun gineng langgening pramana.<br />
<br />
Ingkang andadosaken saya wimbuh eraming (22) manah kula, dene wonten ngangge tetembungan ingkang makaten punika wewatonipun ukara : mendet saking punapa, saking remen kula dhateng tetembungan wau, awit manawi kamirengaken kedaling lesan sekeca, dados sanget anggen kula amarsudi, murih sageda sumerep tegesipun, dangu-dangu njungkel kraos mumet meksa dereng saged mangretos, wekasan nyuwun pitulungan ing sampeyan, mugi kersaa merdeni kados pundi suraosipun tembung wau.<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sarehning kula ingkang cariyos tembung wau, saestunipun rak inggih sampun apil mawi sanget, suprandosipun ing suraos dereng saged mangretos, dene yen sampeyan kedereng kedah uninga werdinipun tembung utawi suraos sadaya wau, benjing yen wonten tiyang pejah saged gesang malih. Ketangletna mbok manawi punika saged njarwani, kala wau kula sampun matur (23) cariyos tanpa wewaton medal saking gagasan, ananging kauningana ing sampeyan wontenipun gagasan wau medal saking pinisepuh ing tanah pareden, kulinanipun ing lampah ngambah laladan sepi mbok manawi binuka ing mangsa kala, saking warah ingkang tambuh mangsanipun dumunung ing teja maya, momor jawata sinambi amudar weda memulang mring ajarira. Pramila wiyosipun tembung lan suraos ingkang makaten wau mbok manawi taksih caruk kamomoran saged uninga, yen dereng ngambah ing ngendra bawan.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah kinten-kinten sampeyan punika kisanak, kados-kados inggih leres pancen kamomoran tembung pangandikaning jawata, ing mangke sarehning prelu badhe tumunten kula leksanani, mugi-mugi arsaa paring rembag tembung ing ngarcapada, sarta ingkang turut nala-nalaripun, supados kula (24) sagda mangertos kados pundi ingkang wajib linampahan?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kinsanak, inggih prayosi, sayektosipun anggen kula amratelakaken cariyos sedaya wau, amung minangka kangge ancer-ancer. Serta kangge ngrameni anggenipun sami rerembagan, sejatosipun ing palakrami, boten kadamel prelu, ndadak mratitisaken candraning wanita, awit dumunungipun makaten : kados manising ulat, indah ayuning warni, dhemes prigeling solah, punika amung kangge minangka sarana amemalat dhateng thukuling sesenenganipun para priya, pramila lajeng wonten pralambang tembung paribasan makaten : “bebukaning pala krami dudu banda dudu rupa amung ati pawitane”, tegesipun dudu banda punika sanes kasugihanipun raja brana, dudu rupa tegesipun sanes ayuning indahing warni, (25) ingkang binasakaken condong utawi jodho.”<br />
<br />
Punika amung dumunung wonten seneng parenging panggalih, runtut utawi rujuk kalih-kalihipun, temahan sami angrumentah ing bapak kaliyan anak, dene pangangepe bapa binasakaken kencana wingka, pikajengipun tembung makaten wau tur kawujudanipun warni wingka, katon warni kencana. Genahipun makaten : sejatosipun warni awon suprandosipun katingal sae, dene empan mapanipun suraos ingkang makaten wau kadosta : wonten sujanma priya, seneng dhateng wanudya, ing kamangka wanita wau dedegipun inggil tur kera, yen lumampah mayuk-mayuk kados enggrang, punika priya ingkang seneng wau, boten kapanduk ing manah gela utawi cuwa, kepara lajeng rumntah ing kawelasanipun. Dene sirung anjenggureng ing ulat, seru kasaring (26) pamicara, priya ingkang seneng wau boten kapanduk ing manah elik, mutung, kapok kawus tuwin merang, patrap ingkang makaten wau kepara amimbuhi seneng utawi asihipun.<br />
<br />
Kosok wangsulipun ing tembung paribasan makaten : wong sengit ora kurang ing pamada, empan mapanipun makaten kadosta : priya sengit dhateng wanodya, tur gandes yen micara, demes luwes ing tenaga, punika boten dadosaken ena, malah amimbuhi ewa, trekadang lajeng gela. Dene sesaminipun yen katrapaken dununging pagesangan makaten kadosta : wonten sujana bilih ing kelahiran, tiningalan ing kathah sampun kawilang mukti lan wibawa, liripun : anenedha tuwin sandang pangangge mboten kekirangan, wonten ing wisma ngedingkrang, ongkang-ongkang lenggah ing kursi goyang, sarta mawi ngunjuk wedng punika dereng kintenan yen kadunungan trimah, lan senenging manah, trekadangan badanipun nglayung (27) saya kera, saking anggenipun ngrantes, ngraosaken daya-daya sageda langkung malih, saking ingkang sampun linampahan wau, trekadangan lajeng wonten ingkang lajeng nglambrang, kasurang-surang berangkangan mudhun jurang, munggah anggraning arga lan anusup wana-wasa, lelana jajan praja. Dene munggah tumraping kasenengan priya lan wanodya ing atasing jejodhowan wau, mbok manawi boten aprabeda.<br />
<br />
Wonten malih saksi minangka prtandha tur kayekten, sandhunganipun sampeyan piyambak inggih sampun nate mangguli, dhateng lelampahaning para priya, ingkang aneh kang gumunaken kadosta sampun mengku garwa utawi kelanggenan tuwin selir, tur indah ing warni tuwin asli, sandunganipun inggih wonten ingkang warni bongoh utawi sengoh, garwa utawi seliripun wau. Ingkang anggumunaken teka lajeng kagungan penggalih ngupados malih, mendhet wanodya tur mboten warni boten asli. Yen tiningalan (28) dening priya senesipun, boten pisan tumimbang kaliyan garwa, tuwin selir kelanggenanipun ingkang sampun winengku wau, ing wasana menggah sih lan remenipun ngantos saged ngawonaken.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Ki sanak, kula ngengetaken ketrecetipun anggen sampeyan cariyos yen tetelanipun garwa, selir, utawi kelanggenan wau bilih wonten ingkang warni bongoh utawi sengoh, kacariyos warni bongah punika saged ambuka don tuju langgening asmaragama, utawi warni sengoh punika kacariyos saged ambuka panggendaming asmara tantra, bilih estu makaten, saiba ingkang priya anggenipun kasengsem tansah salulut, teko boten makaten kepara lajeng siningkur, punika kados pundi?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Bongoh, sengoh punika anggen kula mewahi piyambak, amung kangge upami kemawon, yen nitik saben seksi-(29)seksi sadaya upami ingkang sampun kapratelakaken ing nginggil wau, tetelanipun palakrami punika terang yen gumantung wonten ing kasenenganing priya piyambak-piyambak, dene kasenengan wau boten kenging katemtokaken, liripun makaten kadosta indah ayuning warna boten temtu ndadosaken kasenenganing priya, wondene candraning wanita ingkang sampun kapratelakaken ing nginggil wau amung kangge ancer-ancer minangka penget dhateng para muda ingkang dereng winasis pamawasing ulat liring utawi guyu nuksweng semu, supados angatos-atos ing pamilihipun, karana menggah dununging wanita punika tumrapipun dhateng priya, binasakaken amung, swarga nunut liripun makaten yen pinuju saged karaharjan ing gesangipun pikantukipun wanodya wau amung saged mimbuhi dhateng seneng tuwin asringing (30) prajanipun, yen pinuju lepat ing pamilihipun mangka angsal wanita ingkang ambeg durta, tegesipun pawestri ingkang awon kelakuwanipun punika badhe saged narik damel sangsaraning priya, pramila saderengipun kapendhet garwa sasaged-saged kapratitisna ing pamilihipun, awit bilih sampun kalajeng rumentah ing sih kawelasan tuwin katresnan, saestu awrat ing pambiratipun, temahan badhe ngengetaken dhateng tumempuhing kasangsaran. Ing mangke kula nandukaken ing pamuji tumrap ing sampeyan, sarta para muda jejaka ingkang saweg nedheng birai, punika amung minangka dadosa kekudangan ing tembe yen palakrami, mugi-mugi wontena sih pariparmaning Pangeran Kang Maha Kuwasa, jinurung ginanjara krama antuk wanodya ingkang indah ing warni, sarta pantes ing solah bawa lan ambeg tepa ing rasa, tuwin dana ing tepa (31) utawi ingkang temen tobatipun rila dhateng ing atasing kasaenan, sabab kalakuwaning wanodya ingkang makaten wau watak lajeng kasaenan sarta kinurmatan ingkang kakung, awit pambekaning wanita ingkang makaten punika angrabasa dhateng bebudhening priya ingkang lajeng saged nukulaken dumateng rumentahing kawelasan tuwin katresnan.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Amit kisanak, kepareng kula nyelani sakedhap, kados pundi suraosipun pitembungan tigang bab nginggil wau :<br />
<br />
Tepa ing rasa.<br />
Dana ing tepa.<br />
Temen tobatipun rila, dene teka gadhah suraos ngrabasa dhateng bebudining priya, ingkang lajeng nukulaken dhateng rumentahing kawelasan tuwin katresnan, lo punika kula dereng mangretos.<br />
(32) Sang Murwenggita :<br />
<br />
Kisana, pitembungan tiga ing nginggil wau, wewijanganipun makaten :<br />
<br />
Tepa ing rasa (rasa tepa) punika pikajengipun sageda sumingkir saking lumuh tuwin rikuh ing loyan, sabab yen boten kadunungan tepa ing rasa (rasa tepa) wau sok ngawontenaken watak iren tuwin meren, ingkang pandukipun lajeng drengki.<br />
Dana ing tepa, punika pikajengipun sageda sumingkir saking panyaru tuwin panyikuning liyan, sabab yen boten kadunungan dana ing tepa wau, asring ngawontenaken watak : dahwen tuwin salah open ingkang pandukipun lajeng dados srei.<br />
Temen tobatipun rila, punika pikajengipun tobat ingkang kalebetan temen lan rila. Pramila pikantukipun pawestri ingkang makaten wau lajeng kinurmatan ing kakung. (33) kados pundi kisanak punapa sampun terang?.”<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Menggah saking panampining manah kula inggih sampun terang kisanak, suwawi kula aturi ndumugekaken malih anggen sampeyan nglahiraken pamuji wau.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Inggih kisanak, ing sasampunipun pikantuk garwa wanodya ingkang kalakuwanipun kados ing kasebut wau, menggah ing kasaenanipun mugi-mugi saged angsal ingkang angeblegi, kados ingkang kasebut ing Serat Darma Laksita, yen pangundang asmarangipun sageda angsal kados ing Serat Candrarini.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak kula nyelani, serat kekalih Darma Laksita lanCandrarini punika anggitanipun sinten, utawi nyariyosaken punapa, amargi kula dereng nate sumerep sarta maos serat kekalih wau ?.”<br />
<br />
(34) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menwi sampeyan tanglet serat kekali wau bilih boten klentu kados-kados anggitanipun Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunegara ingkang kaping sekawan upami kula pratelakaken ing ngriki badhe kamonceran sanget, bilih sampeyan kersa badhe maos serat wau prayogi tindak ing griya kula kemawon, lakar sampun sawatawis lami anggen sampeyan boten tetuwi.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, prayogi sanes dinten kemawon kula tetinjau sampun amung nyelani bab punika, suwawi kadumugekaken kekudangan wau minangka dadosa pamuji supados aemahana saged kadugen.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kula dumugekaken sedyaning manah, anggengudang minangka pamuji kula (35) wau kasaenan tuwin pangudang asarangipun, utawi samangke pamuji kula malih mugi dageda angsal wanodya ingkang kadunungan watek : sama, beda, dana, denda lan sageda uninga dhateng panduling : guna, busana, baksana, lan sasana. Dene pambeging pangrengkuh sageda angsal ingkang sawanda, saeka praya lan sajiwa.”<br />
<br />
Wondene wewijanganipun tembung ing inggil wau ingkang rumiyin : sama, beda, dana, denda.<br />
<br />
Tembung sama tegesipun pada, pikajengipun gadhahana wewatek asih dhateng sakehing dumadi.<br />
Beda tegesipun seje, geseh utawi milah, pikajengipun anggadhahana watek kulina sarta saged animbang, inggih punika putusing tepa.<br />
Dana tegesipun nganjar, pikajengipun gadhahana watek remen asung kasenengan (36) tuwin kabungahan dhateng sakehing dumadi.<br />
Denda tegesipun kukum, pikajengipun gadhaha watek putus lan patitis, pamiyak tuwin malih nalar ingkang awon utawi dhateng ingkang sae, anggenipun ngempan utawi mapanaken.<br />
Ingkang kaping kalih kala wau sageda uninga panduking guna, busana, baksana lan sasana wewijanganipun makaten :<br />
<br />
Guna tegesipun pangawikan utawi kapinteran, pikajengipun sageda sumerep lan mangretos dhateng wewenang lan wajibing lan pandamelaning pawestri.<br />
Busana, tegesipun pangangge, pikajengipun sageda uninga lan ngetrapaken dhateng raja tdai darbekipun ingkang pancen kasandhang.<br />
Baksana, tegesipun pangan, (37) pikajengipun sageda uninga lan nandukaken ubet kekayaning laki ingkang pancen katedha.<br />
Sasana, tegesipun dunung utawi panggenan, pikajengipun sageda uninga tuwin memantes lan memangun anggenipun gegriya.<br />
Ingkang kaping tiga kala wau ambeging pangrengkuh ingkang sawanda, saeka praya lan sajiwa, wewijanganipun makaten :<br />
<br />
Sawanda, tegesipun sarupa, sawangu utawi sawarna, pikajengipun sedya nyawiji badan, empan mapanipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun lan rumeksanipun dhateng priya dipun kadosn rumeksa dhateng badanipun piyambak.<br />
Saeka praya, tegesipun sawiji budi, pikajengipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun dhateng priya anedya nunggil kapti.<br />
Sajiwa, tegesipun satunggiling nyawa, (38) pikajengipun gadhaha ambeg pangrengkuhipun dhateng priya dipun kados dhateng nyawanipun piyambak.<br />
Kajawi ingkang kasebut ing inggil wau, wonten malih wajibing pawestri ingkang sampun apalakrami, pepiridan saking serat Pustaka Raja Weda inggih punika piwulanganipun Sang Begawan Drawa dhateng putrinipun peparab Dewi Rara Sarawasri, ingkang pawingkingipun dados prameswarining Batara Aji Jayabaya ing Kediri, manawi kula cariyosaken sedaya mindhak kemonceren, pramila amung badhe kula petik saprelunipun kemawon pratelanipun kados ing ngandhpa punika :<br />
<br />
Menggah pawestri ingkang sampun nambut silaning akrami, punika kedah netepi punapa ingkang dados wajibing estri kathahipun tigang pangkat, satungi-tunggiling pangkat wonten tigang pakarti :<br />
<br />
(39)Kedah gemi, nastiti, ngati-ati.<br />
Jedah tegen, rigen, mugen.<br />
Kedah titi, rukti, rumanti.<br />
Dene panduking damel kedah nglenggahi gangsal prakawis :<br />
<br />
Kedah rikat.<br />
Cukat.<br />
Cakut.<br />
Prigel.<br />
Trampil.<br />
Menggah labetipun kedah kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kedah idhep, madhep, mantep, sregep.<br />
Kedah wekel, petel, mungkul, atul.<br />
Kejawi punika ingkang dados wigaripun sadaya lelampahan wau manawi kadunungan pambekan, tamban, tamben, tambuh tuwin lumuh.<br />
<br />
Wondene wewijanganipun ingkang dados wajibing estri tigang pangkat ing inggil wau makaten :<br />
<br />
Kedah gemi, nastiti, ngati-ati, tegesipun gemi boten mborosi. (40)Nastiti boten anyelakaken dhateng pakewed. Ati-ati boten anyelakaken dhateng kalepatan.<br />
Kedah tegen, mugen, rigen tegesipun tuwin pakangsalipun makaten : tegesn boten andamel gela, rigen dados pakolih, mugen dadosaken ing piyandel.<br />
Kedah titi, rukti, rumanti tegesipun tuwin pakangsalipun makaten : titi boten kenging weya, rukti kedah mrayogi, rumanti kedah nyekapi.<br />
Sampun kisanak, samanten kemawon manawi panginten kula sampun nyekapi ingkang wajibing estri wau.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Inggih sanget ing panyuwun kula kisanak, ananging sampeyan kersaa nggancaraken rumiyin menggah wajibing estri wau empan mapanaken kados pundi?.”<br />
<br />
(41) Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah empan mapanipun makaten : ing sasaged-saged wanita punika kedah kadunungan pambekan makaten kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Manawi dipun pasrahi sampun mborosi, ananging kedah ingkang gemi.<br />
Manawi dipun pitados sampun weya, ananging kedah ingkang nastiti.<br />
Manawi dipun andel sampun sampun dleya, ananging kedah ing ngati-ati.<br />
Manawi dipun tambuhi sampun ngresula ananging kedah ingkang nelangsa.<br />
Manawi dipun eringi sampun daga, ananging kedah ingkang nggrahita.<br />
Menawi dipun ajeni sampun piangkuh, ananging kedah ingkang rumangsa.<br />
Menawi dipun welasi sampun lelewa, ananging kedah ingkang susila.<br />
(42)Manawi dipun asihi sampun andaluya, ananging kedah ingkang waskita.<br />
Menawi dipun tresnani sampun ngadi-adi ananging kedah ingkang wicaksana.<br />
Yen dipun remeni sampun langguk, ananging kedah nglanggatana.<br />
Makaten ugi estri punika kedah anguningana tumaduking tembung : sabar, maklum, tawekal, liripun makaten :<br />
<br />
Manawi dipun sabari sampun dadra, ananging kedah ingkang narima.<br />
Manawi dipun maklumi sampun sumangkeyan, ananging kedah weweka.<br />
Manawi dipun tawekali sampun mamengku, ananging kedah ingkang pasrah.<br />
Sampun kisanak, ing wasana pamuji kula mugi sampeyan nunten sageda kaleksanan. Amengku garwa ingkang indah ing warni sarta ingkang (43) gadhahi pambekan kados ingkang kula cariyosaken ing inggil wau.<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Amin, amin, mugi pinaringana dening Allahutangala, pujinipun mitra kula tumunten anemahana. Kisanak sekelangkung ing panuwun kula, ananging taksih wonten uwas lan sumelanging manah kula, mbok menawi ing tembe milih dhateng wanita ingkang wajib tinampik. Punika kula dereng uninga, wnita ingkang kados punapa?.”<br />
<br />
PUPUH IV<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah titikan ciri-diri sarandhuning badan ingkang nandakaken wanodya ingkang awon kelakuwanipun, punika ugi sampun kasebut ing salebeting Serat Iman Supingi wau. Kamonceran saupami kapratelakaken ing ngriki, kula amung badhe nyariosaken ingkang medal saking gagasan kula (44) piyambak. Bilih sedya angupaya rasa kenya, tegesipun estri ingkang taksih prawan. Panitikanipun ingkang rumiyin manawi payudara ngadeg margi alit sampun katingal anggandhul, utawi yen ngandhulipun wau margi saking ageng, kawaspaosaken katawis sampun boten isi panthenging wana-wana katingal sampun kendo, sarta wanguning guwaya warni sulak wilis kawistara kirang seneng, lambung ramping, bokong mekar, mbok manawi saged ningali wuluning baga warni cemeng sarta kasar punika dipun tampika, awit sedaya punika titikan tetengering kenya ingkang sampun nate sinanggama ing kakung. Utawi malih yen wonten pawestri ingkang ababipun mambet bener utawi letenging arus bacin kawoworan nduleking ambek kecut. Punapa malih yen githok mambet wangining sekar kawoworan gnda amis, arus, wengur, utawi yen tlampukaning mripat tipis sarta ketingal seret biru, utawi sanadyan tlampukaning mripat ugi ketingal biru, senadyan palapukaning maripat katingal kandel, manawi pethak dhelenging maripat ugi katingal biru punika prayogi dipun tampika, awit adat pawestri ingkang makaten wau asring gadhahi simpenan penyakit dumunung wonten ing wadosipun.<br />
<br />
Utawi malih yen wonten wanodya ingkang swaranipun drabah kadi swaraning jalma priya ingkang awor sumurak, punika yen saged inggih dipun tampika, sebab pawestri ingkang makaten wau ing adat sok asring nggadhahi watek hewan utawi panasen dhateng sesaming jalma, sarta boten triman ing pandum, watak daya-daya kesesa boten saranta ing manah.<br />
<br />
(46) Juru Patanya :<br />
<br />
“Punika sampun radi lega raosing manah kula, mugi kisanak kersaa dumugekaken ing sesampunipun daup dados jatu krami, patrapipun tiyang anggenipun mengku dhateng wanodya, wajib lan rumeksanipun kados pundi?.”<br />
<br />
PUPUH V<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen bab prekawis punika saking pamanah kula manwi kenging tamban tegesipun sareh, benjing kemawon manawi sampeyan saestu tetinjo dhateng pondok dunung kula, amaosa Serat Wulang anggitanipun para sujana ing kina-kina antawis inggih wonten, ingkang amratelakaken bab rumeksaning estri wau tur pratitis sarta terang, lajeng gampil anggen sampeyan nampeni suraosipun.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, bab anggen kula (47) badhe sowan sarta nggledahi serat-serat kagungan sampeyan punika prekawis temtu, sampun boten susah kerembag malih. Wangsul atur kula kala wau tembung tat lair wicanten panjawab kula nywun rembag, ananging sejatosipun rak nyuwun wulan ingkang tulen, medal saking gagasan sampeyan piyambak, bab rumeksaning pawestri wau kados pundi prayoginipun?”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, manawi sampeyan tanglet saking pamanggih kula piyambak, dereng mangertos pisan-pisan dhateng prakawis punika, ewa dene manawi karsa pamanggih dadakan, mendhet saking rerancangan tethukulaning manah kula bab rumeksaning wanita wau, kinten-kinten murih prayogi kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Ingkang rumiyin bab pawestri ingkang taksih rara kenya, ingkang dereng mangsa binasakaken manawi dereng kel (ngarapsari) (48) sampun ngantos sinanggama ing kakung, awit ing adat sok asring lajeng dados pawestri lenjeb. Terkadang sok asring lajeng boten saged ngadahi anak, dene ingkang makaten wau mbok manawi margi saking kudup sarining rasa wigar, jalaran saking kasengka rinabasa ing mangsa, wekasan kekayanganing Sanghyang Asmara saben-saben ketaman ing raos kadi kaagar, saestu lajeng karaos bigar, kinten-kinten mbok manawi inggih punika ingkang binasakaken dados purusente. Dene bab rumeksaning estri tumraping palakrami, punika kedah jembar, sabar utawi paramarta, ananging kedah ngenggeni tepa, prayitna, liripun sampun ngantos lena karana wewatekaning wanita punika asring kadunungan, manah cekak, budi rupak, calak mapak, jangkah cendak. Utawi sampun kacariyos (49) kasebut ing warah saking pangandikanipun Kangjeng Nabi Sulaeman, yen sujanma pawestri punika kang kadunungan kirang jejeg ing piyandelipun, liripun manah kirang antepan gampil dhateng ewah gingsiripun, asring kelayu dhateng priya sanesipun ingkang jalaran kepengin saking sabab wirya, rahsa, sarjana, guna, rupa.<br />
<br />
Wewijanganipun makaten : wirya tegesipun kaluhuran, pikajengipun wanita punika asring melik dhateng priya ingkang langkung luhur saking bojonipun.<br />
<br />
Rahsa, tegesipun inggih rahsa, pikajengipun wanita punika asring kadunungan raos kepingin kedah sinanggama ing kakung sanes ingkang sebab saking bosen, kemba utawi kirang marem sesaminipun.<br />
<br />
Sardana, tegesipun sugih arta utawi raja brana, pikajengipun wanita punika asring (50) kepingin dhateng arta utawi raja-brana, ingkang sabab saking kirang kasamektanipun.<br />
<br />
Guna, tegesipun kasagedan, pikajengipun wanitra punika asring kepingin dhateng priya sanesipun ingkang sugih kasagedan, utawi dedamelan ingkang langkung saking bojonipun.<br />
<br />
Rupa, tegesipun inggih rupa, pikajengipun wanita punika asring kelayu, dhateng priya ingkang warni bagus langkung saking bojonipun. Punapa malih ingkang kasebut wonten serat panitisastra punika sesaminipun lepen utawi oyoding kajeng, lampahipun amenggak-menggok yen kekenceng sok lajeng ical manisipun. Mila lajeng kakiyasan, benjing manawi wonten peksi gagak awulu petak tuwin tunjung tuwuh ing sela, punika bok manawi pawestri saged leres lampahipun, bilih saking pangandikanipun maha Prabu Widayaka (Ajisaka) pakareman utawi senggama punika bilih pawestri satunggal saminipun kaliyan priya (51) wolu, pramila awit saking pangandikanipun wara Dewi Drupadi : boten wonten tiyang estri tuwuk ing kakung. Sareng wanten suraos ingkang makaten panengahing pandawa Raden Arjuna lajeng memarsudi dhateng solah kridhaning sanama. Analangsa ing Bathara wekasan katarima ing sasedyanira sinungan Aji Asmaragama.”<br />
<br />
PUPUH VI<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Sarehning ing lami-laminipun kula dereng nate sumerep saha mireng, ingkang binasakaken nama aji asmaragama punika warni punapa, sarta patrap pangangge anggenipun nandukaken kados pundi ?”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Manawi tanglet kawujudanipun warni punapa punika kula dereng terang, amung kinten-kinten ingkang nama aji asmaragama wau bok manawi tegesipun makaten : aji punika tegesipun kaaji-aji rerenggan (52) utawi pakurmatan, dene asmara tegesipun sengsem, sanggama salulut, dene ingkang binasakaken salulut wau tegesipun pepuletan, momoran utawi kekumpulan. Dados pikajengipun ingkang binasakaken aji asmaragama wau bok menawi boten klintu anggen kula mastani rerenganing sengsem, pepuletan amoring jalu lan wanita.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“E…., e….., boten nyana pisan-pisan, yen ingkang binasakaken aji asmaragama punika patrap amoring jalu lan wanita. Duk wau saking panginten kula warni dedamel, curiga utawi sayaka, wangsul bab patrap amoring priya lan wanodya teka mawi rerengan nami aji asmaragama punika kados pundi pangetrapipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sayektosipun kula dereng terang, bebasan inggih sagaduk-gaduk (53) ing manah kula badhe mratelakaken, ananging sarehning medal saking kinten-kintening panggagas bilih wonten geseh sulayaning suraos utawi kithal kiranging tembung, boten langkung nyuwun pangapunten sarehning patrap amoring jalu lan wanita limrahipun binasakaken wados, sakalangkung saru yen kemelokaken prayogi jroning pratela dinapuring panca kara, kinarya warananging pamicara, campuhira kasebut ngandhap punika :<br />
<br />
Lampahing asmaragama, kalamun pasta purusa dereng kiyat lan santosa, ing driya aywa kasesa, nandukaken pancakara, kang mangkono wau mbok manawa, blenjani neng wiwara, dayane datan widada, temah dela (gela) kang wardaya, terkadang amanggih ewa, lan wanita lawannya, marga tan kapadung karsa, riwas wadi wus kabuka wekasan tan mantra-mantra, tumimbang serenging (54) driya, wangune salah mangkana, yeka kena ing rubeda, aran katitih asmara, awit dereng abipraja, duk wau kagyating pasta, iku uga mbok manawa lagya kaserenging daya, mung sengseming driya harda, sinerus lumaksana, kasengka mangsa ing yuda, marma dayane sapala, tan lama nulya marlupa, kacarita inggih punika, awit rahsa tuwin jiwa, dereng winengku samya dening prabanira Hyang Pramana.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Amit kisanak, nyuwun pangapunten, kula nyelani cariyos sakedhap. Sarehning boten wonten tiyang sanes, kula badhe matur sampeyan ananging kadamela wados bebasan suket godong aja krungu sayektosipun kula punika golongan kerep kepranggul dhateng tindak ingkang makaten, ananging ing sarehning bodho kirang pambudi, dados datan mawi dipun-nganglangi dhateng nalar-nalaripun saben-saben kepanggih sabab ingkang (55) makaten, lajeng kepanduk ing raos pegel utawi anyeling manah kawimbuhan sanget lingsem saupami wujuding pasta purusa punika boten gegandhengan kaliyan angga kita, bok manawi lajeng kula gebagi sanalika, supados lajeng kapok lan mituruta, sareng pakewed panggenanipun ing wekasan amung muring-muring ananging boten kantenan ingkang kula rengoni, pramila kula sareng mirengaken cariyos sampeyan ingkang binasakaken tembung katitik asmara, punika kados pundi tegesipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen sampeyan tanglet tegese utawi werdi bab tembung basa sastra kawi sapanunggalanipun, punika ing sayektosipun kula rak dereng sumerep sarta dereng terang menggah patitisipun, dene anggen (56) kula cariyos sadata wau sayektosipun saking aneniru, nurut serat uatawi anurut cariyos liyan, dene bilih sampeyan sidanak, kersa teges utawi werdi bebasan ing sawonten-wontenipun kula inggih angaturi kasebut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Kala wau ingkang sampeyan tangletaken tembung katitih asmara, mbok manawi wewijanganipun makaten : katitih punika tegesipun kalindih utawi kaendih, werdinipun kadesek, kasesek, kaseselan, katumpangan utawi kasoran, dene tembung asmara tegesipun birai, brangta utawi kasengsem. Dados pikajengipun tembung katitih asmara wau mbok manawi katumpangan utawi kasoran ing sengsem.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Kisanak, menggah kasenengan ing alam donya punika punapa wonten ingkang (57) ngungkuli malih kados senenging priya dhateng wanodya, tuwin wanodya dhateng priya teka wonten tembung katumpangan utawi kasoran ing sengsum.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Yen menggah kasenengan ing alam donya, punika kula boten saged amestani, dumunung wonten pinaringipun piyambak-piyambak, dene ingkang binasakaken katitih asmara wau sebab kalindih ing rubeda, menggah kawujudan ingkang asring murugaken dhateng tumanduking asmara, kinten-kinten kathahipun gangsal golongan, pepencaran kaperang dados kalih dosa bab, kapratelakaken kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Golongan yen kepanduk : 1. Arip, 2. Sakit, 3. Luwe, 4. Susah.<br />
Golongan yen kepanduk : 1. Geg, 2. Neg, 3. Gigu, 4. Elik.<br />
(58)Golongan yen kepanduk : 1. Mutung, 2. Kapok, 3. Kawus. 4. Merang.<br />
Golongan yen kapanduk : 1. Jeleh, 2. Manuh, 3. Kemba, 4. Bosen.<br />
Golongan yen kepanduk : 1. Gela, ewa, 3. Cuwa, 4. Jinja.<br />
Menggah pepacaring rubeda kalih dasa bab wau upami pinuju tumanduking salah satunggil, mbok manawi punika inggih dumunung wonten sesirikan busananing sarira, kadosta dhateng raga, driya jiwa sesaminipun sanadyan tumadukipun amung dhateng tri busana, yen menggah tetabetanipun bok manawi inggih tumus dhateng dunung kekayanganing prasa, utawi rahsa, pramila duk wau daya sarenging driya, ingkang tumus ing pasta purusa kirang santosa karana dereng kawinbuhan saking daya kridhaning prasa, utawi rahsa, amargi prasa utawi rahsa : katitih (59) brangta kasengsem saweg pinuju ngraosaken tumanduking rubeda wau ing salah satunggilipun.<br />
<br />
Kajawi ingkang kasebut ing inggil, wonten malih kalebet rubeda ingkang asring murugaken tumanduking asmaragama, ingkang binasakaken kasor prabawa wonten kalih bab kados kang kasbut ing ngandhap punika :<br />
<br />
Yen priya boten kepadan karsa, ingkang solah asmaragama.<br />
Saking sabab boten nunggil bangsa prasaning rahsa utawi rahsaning rahsa.<br />
Dene ingkang binasakaken kasor prabawa wau mbok manawi patrapipun makaten, empaning cipta boten kapandan dening mapaning pramana, ing wekasan prasa tuwin rahsa katamaning raos welas utawi engah, inggih rubeda patrap makaten wau ingkang binasakaken tumanding kang sanes bangsa.<br />
<br />
(60) Juru Patanya :<br />
<br />
“Sareng kula sampun mirengaken bab rubedaning asmaragama ingkang kasbut ing inggil wau, sadaya lajeng kapanduk narimah ing manah, layak awis saged kaleksanan, kerep kuciwanipun jalaran saking kathahipun rubeda ingkang murungaken, dene rubeda kathahipun samanten wau murih sageda sumimpang setiyaripun kados punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Prasajanipun kisanak, yen kagungan sampeyan punika saupami yen sinentor ing udaka wimba, tegesipun sinentor ing toya padasan sampun boten kersa wungu, punika sampun boten kenging dipunsetiyari malih, sesaminipun upami suku dipunwastani apus utawi tali, pikajengipun lemes dados tali saestunipun boten kenging kadamel lumampah, dene yen boten tumindakipun wau manawi amung jalaran saking kenging rubeda, (61) kados ingkang sampun kapratelakaken ing inggil wau, kinten-kinten mbok manawi setiyaripun kedah maluya krida, wewijanganipun tembung wau, amaluya tegesipun memulih, krida tegesipun gagas utawi osik pikajengan kedah amemulih dhateng ngujar gelenging prasa tuwin rahsa, bilih katarimah saged golong gumelening prasa tuwin prasa, mbok manawi lajeng saged lumaksana, kang tanpa sangsaya.<br />
<br />
Pramila pamilihing kedah ngatos-atos, karana bilih kaleresan angsal wanodya ingkang prasaning rahsa, ingkang nunggil bangsa, punika lajeng nggendam langgengin asmara, saniskaraning rubeda, temah mahanani susila pamoring lulut, awit binuka langgening pramana, dene ingkang binasakaken susila pamoring lulut wau, woring sekaliyan binuka tanpa rubeda, amung pinanggih seneng pareng.<br />
<br />
(62) Juru Patanya :<br />
<br />
“Sarehning dereng sumerep nalar-nalaripun dados namung kapanduk eram tuwin gumuning manah, kadosta : namung kapanduk gela, ewa, cuwa, jinja sesaminipun kalih dasa bab wau, teka kalajeng boten tumindak ingkang binasakaken daya santosaning pasta purusa punika warni punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“……………………………………………………………………………………………………………………. pangraos cuwa, engah, utawi cengah, alawanan kaliyan wanita ingkang sanget kuciwa (64) ing warni, inggih boten kapanduking raos gela, ewa, kemba lelawanan kaliyan wanita ingkang gandanipun awon, inggih boten kapanduking raos, geg, gigu, elik, punika ingkang sanget nggumunaken, dene anggenipun saged sumingkir nyimpang pepalanging jurang, sageda dhateng sakathah ing rubeda punika mugi kawastanana priya ingkang gadhah lampah makaten wau, punapa pancen boten kadunungan apiking pangraos utawi raos, punapa pancen tanpa sebut.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Priyan ingkang gadhah patrap makaten wau inggih leres gumunaken anggenipun sumimpang saking rubeda, katandha saben-saben tumanduk dene widada saged gembira ing asamarangipun, ing mangke kula cariyos kangge timbangan minangka saksi, supados katingala nalar-nalaripun, kinten-kinten priya ingkang (65) makaten punika kados sujanma ingkang binasakaken lembon, inggih punika sujanma ingkang karem sanget dhateng nendra, mila binasakaken karem sanget margi tanpa mawi mangsa, saben dinten netranipun karaos sanget arip, kadereng kumedah anendra, sarta boten mawi milih tuwin anampik ing dunung, bebasan inggih sadawah-dawahing badanipun inggih lajeng saged nendra tur kalayan sakeca, terkadang ngantos kelantur ing wanci, wonten malih sesaminipun sujanma ingkang binasakaken anggrangsang ing dremba, inggih punika sujanma ingkang ngangsa-angsa karem ambukti, mila binasakaken karem boten mawi mangsa, saweg tuwuk teka kadereng kedah anedha, tanpa mawi pilih tampik ing tetedhan, bebasan ing sawonten-wontenipun inggih purun bukti tur kalayan eca terkadhangan ngantos kelanduk ing taker, (66) punika saking kinten-kinten kula piyambak, bab asmaragama wau bok manawi inggih boten aprabeda. Samangke sareng katitik saking lelampahanipun para sujanma ingkang remen dhateng bukti, utawi sujanma ingkang remen nendra kados-kados inggih sampun terang, priya ingkang gadhah kelakuwan tanpa tampik dhateng wanodya wau mbok manawi inggih pancen karem dhateng raosing asmara.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Yen saking pamanggih kula kados-kados inggih sampun leres, janma priya ingkang tanpa tampik wanita punika. Jalaran saking karem asmara. Sapunika kula pitanglet saking pamanggih sampeyan piyambak kenging dipun wastani priya ingkang boten kadunungan apiking pangraos utawi raos, punapa priya tanpa sebut sarta kelakuan makaten wau sae punapa awon?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak, dunungipun wanita ingkang makaten wau yen kula kapurih mastani, nyuwun pangapunten ingkang kathah-kathah, senadyan dipun peksa kalayan santosa meksa mopo boten saged amratelakaken, awit kula sampun sumerep yen sampeyan piyambak inggih sampun saged mastani dunungipun priya ingkang makaten wau, saestu inggih terang yen tanpa sebut jalaran saking anggenipun sanget ngungun dhateng sabiyantuning daya ingkang ngangsa-angsa karem dhateng asmara ngantos kalimput, boten ngalih dhateng sakathah ing rubeda ingkang dados sesirikaning busana. Suwawi kisanak sami nggalih ingkang sampun kula sipati kemawon, pinten-pinten kathah ing priya ingkang sami nandhang sangsara inggih jalaran saking penyakiting senggama wau (68) kinten-kintening manah kula, mbok manawi punika inggih jalaran wektu sanggama, kapanduking rubeda sesirikan busana, boten mawi milih nampik ing dunung, mangka ingkang dipun dunungi nalika nendra wau, kang talemek nuju wonten barang ingkang gateli kadosta : uler, rawe, kemaduh, semut, klabang sesaminipun, rak inggih badhe kapanduk damel sesakiting seliranipun. Punapa malih sujanma ingkang karem ambukti tanpa tampik ing tetedan kadosta : pepedes, kekecut, lelegi, sesepet, utawi gurih sesaminipun tanpa mawi kagalih panedhanipun, sarampunging panedha mbok manawi inggih kraos, tumrap (69) penyakiting sariranipun. Suwawi kisanak, kula aturi mestani piyambak sadaya pakareman ingkang dadosaken kasangsaraning sarira punika kenging dipun wastani awon puna sae?.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Sampun kaping rambah-rambah anggen kula pitanglet dhateng lare ingkang saweg umur kawan tahun tur wicantenipun taksih pelo, suprandosipun teka saged amestani bab pakareman ingkang dadosaken sengsaraning badan punika boten pakoleh, kilap pamanggihipun lare wau, kula boten terang. Dene yen kula kaliyan sampeyan, sarehning janma sampun sepuh sarta priksa ing nalar, kilap anggenipun mastani saestunipun amung dumunung wonten ing batos kemawon, yen ta menggah saking panampining manah kula, cariyos sampeyan bab (70) katitih ing asmara utawi priya ingkang tanpa tampik wanita, kados-kados inggih sampun terang. Sapunika saking atur pamuji kula saupami pinareng karenan ing panggalih, kisanak kersa anglajengaken cariyos malih bab tumanduking asmaragama ingkang tanpa sangsaya, saiba badhe bingah ing manah kula.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Kisanak inggih prayogi, bilih kersa mirengaken lahiring gagasan, sagaduk-gaduking manah kula dumugekaken cariyos malih bab tumaduking asmaragama ingkang tanpa sangsaya, inggih punika nami susila pamoring lulut tuwin babar langgen mangsah ing pancakara, kinarya warananing pamicara kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
(71) Kalamun pasta purusa wus kiyeng kiyat santosa, kwehning daya wus samekta, iku nulya tindakena umangsah ing ronanggana, sayekti datan kuciwa tumempuhing banda yuda. Nanging ta dipun prayitna, ing tindak ajwa sembrana, gyaning bakal nuju prasa, mring wanita mengsahira, supaya leganing driya, wruhanta dipun waspada,jroning pasti kono ana musthikaning rasa mulya, rineksa para jawata, aram sanghyang Utapatra, utawa Sanghyang Gambira, dumunung wuri puruna, yen tinempuh dening gada, watakira prasanira, nuli bebantuning prapta, pepinginan ing jro baga,ingaran Sanghyang Asmara, sesilih Hyang Cakra, kang abipraya saraya, wimbuh keri griminira, anarik daya ajunya, mring Sanghyang Purnamasangka, ya Sanghyang Asmara Tantra, utawa Sang Kamajaya. Pameying rahsa mangkana, srana ngagema (72) wisaya, pratingkah ukeling pasta, kacarita solahira, duk murwani lumaksana, karsa pepucuking yuda, kwehning daya saniskara, ajwa sineru sarosa, ing tindak kesah saranta, pangangkah amung muriha, keri prasaning wanita, kalamun wus sawetara, jumpuhing prang lama-lama pepalu tumempuhira, pininda upama gada, tinangkis ing bada baya (tameng) saking rosaning panggad, kuwating panangkisira, wekasan metu dahana, mubal sumundul ngakasa, sesumuke nemu pega, kukus katut samirana, prapta tumaduking prasa, kekerining mengsahira, gumiringing saya dadra.<br />
<br />
Gantya wau wanita, denya gadah banda yuda, mubal metuning dahana, semrambah ing sarira, tan kuwawa anahana keri gumrining prasa, saya harda ngambra-ambra, wantu wataking wanodya, yen wus liwung kridhanira, (73) ing budi datan saranta, sigra amusti sanjata, warastra mangka pusaka, teturunaning sang jawata, ganjaran Hyang Girinata, piningit sajroning baga, yeka kang hru baru nastra, sumembur metu tirta, toya lir yiyiding mina, kumembeng sajroning baga, angelem pasta purusa.<br />
<br />
Wau ta sir pasta, silem kinelem ing tirta, tan mantra ririna ing solah saya gembira, anebur ing barunastra, lir ombak samodra bena nganggen lumut satepinya, samodra karoban toya, nempel ngumpul lir tinata, bebarising warhat bala, kadi gelar cakra byuha, bondhot bebudheting pasta, ning tan surut saya rosa, liwung pamukireng yuda.<br />
<br />
Mangkya gantya kacarita, remening prang bratayuda, anulya ana suwara lamat-lamat kapiyarsa, surasa asung wasita, wiyose kadya mangkana, e kulup sira sang pasta, poma (74) ngger dipun prayitna, panarik sendaling gada, maju miwah undurira, papane lunyu sedaya wus tan kena tinulaka, wit iluning barunastra, saya dres panyemburnya, dene nemu lumaksana, lamun lena pasti ina, yen kepleset ansahira, rebabe nindihi gada, katikel dadya rubeda ing jro aran roga brata, pileg ing kadadeyanya, adate ingkang mangkana, benjang maning lamun yuda, tumus mahanani roge, tumular mring pasti baga, yen iku tan sinucekena, ing sawusing pancakara, manawa pasta purusa kataman ing roga jaba, ubengan ing aranira. Kang iku den engetana, tembe sakaro tan kena, yen maning mangsah angayuda, kalamun durung nirmala, kudu temen tinumana, waluya sakalihira, mangka ujaring salaka, yen priya anandang raga, kaprenah jro pasti boga, lamun harsa (75) mangsah yuda, yoga rumuhun seniya, prelu nurutna memala, murih ajwa tumular, mring wanodya mengsahira, lan kulup sira weruha, adat wataking wanodya, yen wus ngedalaken tirta, kang kadi yiyiting mina, gumringinge saya harda, mempeng dereng ngireng prasa, kawistara sarabira, kiyat kiyeng saliranya, sawanda kejeng sedaya, dene lamun wus mangkana, sira darbeya sedya, tetulung mring mengsahira, tumraping asmara tantra, tan liya amung wisaya, solahing pasta purusa, sinengkakna pamukira, tempuh pamukuling gadha, kang ajeg lan den kerepna, kalawan dipun waspada, amawasa ing sasmita, adat wantuning wanita yen wus liwung pamuhira, nulya agawe lelewa, pratingkah solah ing angga, wit saking kirang prasaja, sejatine karsanira, biyantu solahing pasta, kinen nuju amrenakna, mring dununging prasanira, kang supaya tinrajanga, (76) sinenggol pucuking pasta, ing kono dipun turuta, sakarsanireng wanodya, yen pinareng datan lama, wanita amudar prasa, yekti ana wataranya, gara-gara jroning baga, anyendhol pucuking pasta, iku saka kira-kiram laraping reca gupala, kabukaning kang wiwara, jenenging Hyang Kamajaya, aliya tandha mangkana, kang sayekti kawistara, kawawas sawarnanira, ing hangga sakojur wanda, angler kaoncatan yitma, lesu ngalumpruk marlupa, kadi-kadi tan kuwawa, anyandhang enaking rahsa, sesambate melas arsa, karya trenyuh ing wardaya.”<br />
<br />
Yen tan menggah tetakeran, panimbang mendhet saking tepa, pamawas wujuding warni, panuja kaleganing wanita ingkang makaten wau, kados-kados sampun nyekapi, pratandha dene sang wanita sampun kapanduking marlupa sariranira, ewa semanten sarehning tetakeraning (77) panggalih manungsa punika beda-beda, wonten ingkang sanget karsa, wonten ingkang amung sawatawis, trekadangan asring wonten priya ingkang muda tama, tegesipun priya ingkang taksih katabetan lare, tuwin busuk tumandukipun amung kangge memainan, nalar ingkang makaten punika, mboten kenging dinugi, amung gumantung wonten seneng lan keparingipun priya piyambak, wondene menggah patrap salebitipun sanggama wau, priya kedah mawas ulat lirining wanita punapa dene saliranipun piyambak, yen sampun kapanduking panggalih : lega, carem, tuwin marem sesaminipun upami tiyang nenedha, karaos sampun tuwuk, duk wau sang wanita amudhar prasa, priya anyarengana sami wedalipun, dene manawi panggalihing priya taksih kapanduking raos cuwa, utawi gela, jalaran saking (78) kirang lega, punika pamudar ing prasa priya sampun anyarengi, nanging menggah leksananing patrap ingkang mekaten wau, priya asring kapanduk ing raos kadi kalayu pamudharing prasa punika dipun gantosa ing pamaretipun. Dene anggenipun kesesa wau awit kadereng wiyosipun Hyang Kamajaya, punika tinulaka dening japa mantra, kados ing nngadhap punika :<br />
<br />
Kedah manggen wonten gajeging gela, sampun kadamel lega, prasaning rahsa badeh rasa kawudhara, ing riku wujuding wisaya, sang pasta purusa kedah kakendelaken rumiyin dumunung wonten sajawi, utawi salebeting wiwara punika gumantung wonten seneng lan pinareng ing kalih-kalihipun, sarehning sang wanita duk wau wus saweg kaleson sayah denira panca kara, priya darbeya sedya jangkah tindak utami tetulung dumateng mengsah, paring usada mrih (79) waluya kasrakat ing salira denya ketiban gada, punika usadanipun kedah tinuju ing prana (ati), dene lelantaran tumandukipun wau kalayan angagema sarana kados ing ngandhap punika :<br />
<br />
Dingin tembung manuhara, manis sedheping wicara, lelewa solahing angga, lan kedap liringing netya, tuwin den biyantono, ing solah ukeling pasta, agugah kerining prahsa, kedah sareh tindakira, datan kena daya-daya, bok manawa pinarengna, usada saged tumama, tumanduk marang ing prana (ati), suka giranging driya, sumarambah ing sarira, nirmala temah waluya, ngadeg malih kasarangnya, tandangira lir raksasa, kadi arsa amemangsa, kang priya tanggap prayitna, ing solah datan prabeda, kedah nuju ing prasa, kadi duk wau bebuka, klawan priya engeta, wewadine sang wanita, darbe aji suksmayana, (80) dumunung thelenging baga, yeka kang krasa, anyendol pucuking pasta, lamun harsa mungkasana, kono kerep den godan, ing adate datan lama, raksasa nulya palastra.makaten ing salajengipun ngantos kaping pinten rambahan, dene manawi dampun kraos marem ing panggalih, yen wanita amudar prasa, priya kedah nyarengana sami wedalipun, mbok manawi inggih punika ingkang binasakaken priya widagda nuju prasa, tuwin undagi ing asmaragama, wondene enggal lan danguning wanci nalika prang bratayuda wau, punika boten kenging dinugi, muhung gumantung wonten seneng lan peparengipun piyambak-piyambak.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Elo, boten nyana, yen dangu-dangu kisanak lucu, kok sampuna kula sumerep rumiyin wiwitaning rembag, bab asmaragama sarta ing ngandhap sampun mawi anyebutaken yen (81) wanita amudar prasa, priya kedah tanggap anyarenggana, kula meh pangling boten sumerep pisan-pisan seg, kula wastani sampeyan wau anyariyosaken serat wiwaha, perangipun Prabu Nuwatakawaca, dene teka mawi anyebutaken lir buta mangsa daging satra darbe aji sukmanyana.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Sampun klentu panampi, tembung makaten wau gagasaning manah kula piyambak, dene kok pejah gesangipun boten prabeda sami dumunung wonten ing lak-lakan.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Leres kisanak, boten aprabeda sami dumunung wonten ing cetak, kaot ngandhap kaliyan nginggil, kula sampun midangetaken cariyos gagasan sampeyan bab asmaragama kasebut ing inggil wau saking pamanggihing manah kula inggih sampun ajeng sanget, kados-kados (82) panguja kalenganing wanita samanten wau inggih sampun anyekapi katandha saking saliranipun sampun kapanduk ing marlupa, kados saupami kasengkakaken malih langkung saking punika anggenipun panca barkah, bok manawi lajeng kataman rubeda sesirikaning busana temah akarya roganing hangga. Ananging kula mangke ngengetaken, duk wau pratelan rumeksaning pawestri sampeyan sampun nyebutaken, suraosing serat Paniti Sastra nyebutaken awit saking pangandikanipun Maha Prabu Widayaka (Ajisaka), sadaya pakareman tuwin ing atasing asmaragama satunggal janma pawestri sesaminipun kaliyan priya wolu, punapa malih pangandikanipun Wara Dewi Drupadi, boten wonten wanodya tuwuk ing kakung, wasana tumraping asmaragama wau daya kekuwataning wanita kenging binsakaken mung sapele, teka boten pisan pisan tumimbang kekuwataning (83) priya, duk wau nalika saweg sapisan warninipun sang wanita kados sampun kapanduking raos lega, carem, utawi marem, katandha saking marlupaning sarira, dene ingkang rambah kaping kalih purunipun tumindak malih jalaran saking kapeksa, kataman usada saking panembranganing priya, sarehning rumaos dunungipun wanita punika kawenang kapurba lan kawisesa dening pangwasaning priya, mangka ing laksananipun bebasan tumindak kaliyan tanpa banda, saestunipun sang wanita datan lena tan ketang kataman rubeda, inggih lajeng lumaksana, suwawi kisanak kagaliha geseh sulayaning suraos, ingkang makaten wau kados pundi katrangipun?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Inggih leres kisanak wonten sulayanipun, ananging teka leres kemawon, punapa gunanipun pinarsudi yen boten makatena. Menggah tetukulaning manah panggagas kula ingkang (84) samanten wau, tetimbanganing utawi pipiridan mendhet saking kekiyasaning suraos, wonten wicaraning sujanma wanita ingkang sampun yayah ing priya, inggih punika pawestri ingkang sampun yayah sinanggama ing kakung, kacariyos menggah carem tuwin marem leganing manah sarta sakecaning raos yen nuju anglampahi sinanggama ing kakung, punika boten awit saking gora lan antering pasta tuwin danguning wanci namung kumedah sageda kaprenah alelawanan akaliyan priya ingkang undagi ing asmaragama, sarta waskita anuju prasa.<br />
<br />
Karana yen punuju kaprenah sinanggamadening priya ingkang cubluk, mangka gora antaraning pasta tambah danguning – wanci, punika lajeng kapanduk ing raos boten sakeca, wewijanganipun makaten : gora antaraning pasta andamel sebab, antaraning pasta temahan damel sakit tumrap dhateng raosing baga, danguning wanci damel raos pegel (65) tuwin kanyel, tumraping manah, dene yen kaprenah lelawanan kaliyan priya ingkang cubluk mangka nuju alit lan celaking pasta tambah enggaling wanci, punika lajeng kapanduk ing raos congah, cela, cuwa, gela, kemba, ewa menggah wicaraning janma wanita ingkang makaten wau, kangge minangka saksi lajeng katimbang malih, kadosta : gora antaraning pasta tuwin danguning wanci sesaminipun, upami kadi sujanma buktii, kekathahen ngantos keladuking taker, saestunipun inggih badhe kapanduk ing raos sakit tumraping saliranipun, upami kadi sujanma nendra ngantos kelanturing wanci, saestunipun inggih badhe kapanduk lesu, lungkrah, lesah, tumraping saliranipun, dene yen alit celaking pasta enggaling wanci sesaminipun, kadi sujanma ambukti utawi nendra kirang saking taker, saestunipun (86) inggih lajeng kapanduk ing raos congah, cela, cuwa, gela, kemba, mbok manawi raosing wanita ing atasing bab asmaragama wau inggih boten aprabeda.”<br />
<br />
Yen tan menggah bebakunipun ingkang prelu patrap tuwin solah ing asmaragama, ing atasing priya kedah santosa, pamenggah wiyosing Hyang Kamajaya, tuwin kedaha widagda lan waskita, nuju prasaning wanita. Wondening empan lan mapanipun makaten : ingkang rumiyin tumrap dhateng bedanipun piyambak, kedah nyerahaken saniskara tuwin angadem-adema angkara dhatenging driya, pikantukipun boten adamel kaget ing para jawata wekasan katarima, saged kuwawa menggah kasesaning wiyosing Sanghyang Kamajaya, temahan badhe saged kadugen ing sakarsa-karsanira. Ingkang kaping kalih : kedah nggegasah tuwin (87) nyenyongah dhateng angkara serenging driya, lajeng cumepak dunung enggen kahyanganing Sang Hyang Kamajaya, utawi Hyang Asmara, sayekti datan lama wiyosira amudar prasa.”<br />
<br />
Juru Patanya :<br />
<br />
“Mangke ta kisanak, anggen sampeyan ngiyas bakunipun ingkang prelu bab asmaragama, tumraping priya kedah nyarehaken saniskara, lan gegasah dhateng hawa angkaraning wanita makaten wau wewatonipun mendet saking punapa?.”<br />
<br />
Sang Murwenggita :<br />
<br />
“Menggah tetukulaning panggagas, ingkang makaten wau inggih medet saking murad maksuding cariyos kula, bab asmaragama kasebut ing inggil wau, dene yen sampeyan kirang pitados kenging kanyatakaken, saupami wonten sujanma priya nyanggama sanget harda kaserenging driya ing tindak tanduk kaliyan daya-daya, ing adatipun asring boten saged lama wiyosing (88) kama amudhar prasa. Dene kasok wangsulipun yen wanita sinanggama pinuju boten rena wus sepen nir harda serenging driya, kinten-kinten sandyan kinrubuta dening priya lan sepinten danguning wanci, mbok manawi amung dadosaken raganing baga tan saged amudar prasa.<br />
<br />
Wondene ingkang kasebut saking pangandikanipun Maha Prabu Widayaka tuwin Wara Drupadi wau, saking kinten-kintening manah kula mbok manawi tembung dedamelanipun pra sujanma, saking karsanipun pamacakipun tembung wau amung kinarya pasemon, ngerang-ngerang tumrap dhateng para sujanma ingkang cubluk ing manah tuwin cekak cupeting pambudi, pikajenganipun supados amarsudiya dhateng saolah kridaning aji asmara (utawi jampi yasaning Batara), awit menggah musthikaning rahsa mulya jenaking Hyang Kamajaya, ingkang piningit dumunung satelenging baga punika, tangeh sanget yen kenginga (89) tinarik saking bodho bundu budening manah, kajawi amung gumantung wonten wasisi lan undagining priya, kanti katariman wahyaning mangsa kala saged binuka saking pranawaning rahsa kang sampurna, dene pumurihing para sujanma, pamarsudining kawruh ingkang makaten wau, awit aji asmara punika kangge sarana lelantaran anggenipun badhe nyumerepi dhateng asal wijinira manungsa sejati, karana ingkang kasebut tembung paribasan makaten : sinten manungsa ingkang boten uninga dhateng sejati asal wijilira, sayektine inggih datan uninga dhateng sejati paraning sedya, kacariyos ing tembe inggih badhe kirang sampurna ing kamuksanira, pae ingkang sampun angudaneni ing purwa madya wasananing sarira, wekasan sirna uwas sumelanging driya, tetep jumeneng manungsa jati kang sampurna.@@@<br />
<br />
bersambung PUPUH VII – XVIIKandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-32424786459442450422013-06-16T00:12:00.001+07:002013-06-16T00:12:32.148+07:00Doa Mendapatkan Jodoh secara CepatMendapatkan jodoh, terlebih orang yang kita sukai itu susah-susah gampang. Karena selain faktor usaha yang gigih, takdir dari Allah jugalah yang menentukan.<br />
Berikut ini ada doa untuk meminta jodoh kepada Allah yang insyaallah manjur. Meskipun doanya memaksa dan sangat berharap dikabulin dengan berbagai cara.<br />
Ya Allah,<br />
<br />
Kalau dia memang jodohku,<br />
Dekatkanlah..<br />
Tapi kalau dia bukan jodohku,<br />
Jodohkanlah..<br />
Jika dia tidak berjodoh denganku,<br />
Maka jadikanlah kami jodoh..<br />
<br />
Kalau dia bukan jodohku,<br />
Jangan sampai dia dapat jodoh yang lain<br />
Selain aku…<br />
<br />
Kalau dia tidak bisa dijodohkan denganku,<br />
Jangan sampai dia dapat jodoh yang lain..<br />
Biarkan dia tidak berjodoh sama seperti diriku..<br />
<br />
Dan saat dia tidak memiliki jodoh,<br />
Jodohkanlah kami kembali…<br />
<br />
Kalau dia jodoh orang lain,<br />
Putuskanlah!<br />
Jodohkan dengan diriku..<br />
<br />
Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain,<br />
Biar orang itu ketemu jodoh dengan yang lain dan kemudian<br />
Jodohkanlah ia denganku..<br />
Amin..wakakakakaka...Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-38341928677047404672013-06-15T19:56:00.001+07:002013-06-15T20:31:52.403+07:00SAYA TIDAK BUTUH SUBSIDI BBMSaya Tidak Butuh Subsidi BBM<br />
<br />
Berita tentang kenaikan harga BBM ini heboh sekali tiap hari. Orang sampai ribut ribut, demo di sana-sini. Yang paling menarik buat saya adalah “menguping” suara TV. Dari intonasinya, saya kira sedang baca puisi. Nggak taunya pak Presiden sedang pidato soal BBM. Ada apa sih ini semua jadi melankolis? Ada yang sedih, ada yang marah karena BBM naik.<br />
<br />
Sudah naik atau belum, naik berapa persen saya tidak tahu.<br />
<br />
Tentu saja saya tidak concern dengan kenaikan harga BBM. Karena saya memang nggak beli BBM. Mobil aja nggak punya, bagaimana mau beli BBM?<br />
<br />
Memang begitulah orang miskin. Tidak terkena dampak langsung terhadap harga BBM. Yang punya problem utama soal kenaikan harga BBM ini, hanya orang kaya. Yang mampu beli mobil.<br />
<br />
Kenaikan harga-harga yang katanya otomatis jadi naik karena kenaikan harga BBM, kurang lebih benar. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab. Kalau beras, garam, singkong, bawang putih, bawang merah, gandum,susu, daging, buah, kita impor, nggak bisa produksi sendiri, terang aja harga sudah tinggi. Apalagi jika dollar naik. Naik pula semua harga. Karena semua beli pake dollar.<br />
<br />
Sudah gitu, orang miskin, yang sehari-hari sudah susah hidupnya, ditakut-takuti, dipanas-panasi untuk ribut-ribut menolak kenaikan BBM. Jadi deh ribut beneran. Padahal harga bensin seliter juga nggak tau dia. Wong nggak pernah beli bensin kok..<br />
<br />
Jadi, perbaiki saja swasembada pangan. Itu IPB sama Kementan kalau nggak bisa kerja, dioutsource ke swasta saja lah.. ke yayasan Penabur, yayasan Regina Pacis, yayasan Pelita Harapan. Yang terbukti mencetak orang-orang yang kerjanya benar-benar kerja serius.<br />
<br />
Bagi saya, dan kawan-kawan saya sesama orang miskin, yang kita perlukan hanya harga makanan yang murah kayak harga makanan di Eropa sana. Yang GDP nya sekitar $42,900 tapi harga daging dan berbagai bahan pangan lain lebih murah daripada di Indonesia, yang GDP nya hanya $5,100.<br />
Artinya, orang Eropa yang pendapatan per kapita nya 8,4 kali lebih tinggi dari orang Indonesia, harga makanannya lebih rendah dari harga makanan di Indonesia. Dimana, Kementan menjadi lembaga utama yang membuat harga pangan ini jadi sedemikian tingginya.<br />
<br />
Lalu, dengan seenak udelnya, kader PKS bilang, negara tidak dirugikan. Sudah inflasi begini, sudah BBM harus naik begini, masih bilang negara tidak dirugikan. Sebentar lagi bunga bank dinaikkan. Ekonomi melambat, pada nggak bisa pinjam ke bank buat usaha karena bunga bank naik. GDP rendah harga lebih tinggi dari Eropa, masih bilang negara tidak dirugikan. Gemblung tenan.<br />
<br />
Jangan mau dibohongi . Kenaikan BBM itu merugikan orang yang punya mobil doang. Bukan merugikan kita yang nggak beli bensin.<br />
<br />
Sebelum saya tulis mengenai orang miskin butuhnya jaminan kesehatan, jaminan pendidikan dan jaminan perumahan selain jaminan harga makanan rendah, saya tunda dulu. Saya mau masak bubur buat keluarga. Beras campur kerikil seliternya sudah Rp.6.000. Kalau nggak dibuat bubur, duit saya nggak cukup sampai akhir bulan.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-91470834631960944972013-06-15T18:52:00.001+07:002013-06-15T18:52:13.197+07:00SERAT SABDA JATI PURWA MAHUGENASERAT SABDA JATI PURWA MAHUGENA<br />
<br />
Anggitanipun Kanjeng Pangeran Pakubuwono V<br />
<br />
<br />
Dhandhanggula<br />
<br />
<br />
– 01 –<br />
<br />
Sowaningsun kabeh putu mami,<br />
Amung nyandi kersaning Pangeran,<br />
Paring susuluh jatine,<br />
Mudhune ponang Wahyu,<br />
Lenga Tala yekti anganti,<br />
Sarampunge ing karya kadangira iku,<br />
Rakanta Sidikwiruna,<br />
Ingkang nuju ngestreni putranta kaki,<br />
Kang ana Surabaia.<br />
<br />
– 02 –<br />
<br />
Wruhanira kadangira mangkin,<br />
Gendrasari jejuluke uga,<br />
Sri Makutha Anom angger,<br />
Bakal nggenti keprabon,<br />
Eyangira Sri Kilisuci,<br />
Marma anggentur tapa napakke sireku,<br />
Mudhune kang Lenga Tala,<br />
Nora ana maneh kang wajib nampani,<br />
Kajaba putuningwang<br />
<br />
– 03 –<br />
<br />
Pan wus dadi dham-idhaman mami,<br />
Nora ana kang kuwat nampa,<br />
Wahyu Lenga Tala kiye,<br />
Kajaba dharahingsun,<br />
Ingkang padha wenang ngakoni,<br />
Pancer Dharah ping Lima iku nyatanipun,<br />
Kudu asma Sumartono,<br />
Lamun nora darbe asma iku kaki,<br />
Tuna panganggep ira.<br />
<br />
– 04 –<br />
<br />
Tiwas ngaku nanging tanpa kardi,<br />
Awit Dharah iku tegesira,<br />
Ora mung turun,<br />
Benerekang mbudi arahipun,<br />
Arah iku dununging budi,<br />
Dadi yen ngaku,<br />
Dharah nanging tanpa dunung,<br />
Sayekti tanpa guna,<br />
Nora bisa dadi tatalining urip,<br />
Wit urupe tan ana.<br />
<br />
– 05 –<br />
<br />
Lamun nora murub dudu urip,<br />
Sasat barang sen-isening jagad,<br />
Nadyan barleyan wujude,<br />
Sayekti nora murub,<br />
Malah bisa amemetengi,<br />
Marang lakuning gesang kang rumangsa ngaku,<br />
Benjang yen wus kundurira,<br />
Yen arahe nora padha den ngerteni,<br />
Nora bisa sampurna.<br />
<br />
– 06 –<br />
<br />
Sumartana, asma iku kaki,<br />
Sejatine sangkan paranira,<br />
Sumbering kodrat yektine,<br />
Wiji papadhang iku,<br />
Kang ambuka para linuwih,<br />
Ya Eyang-Eyangira tuk sumbering dunung,<br />
Yen sira klalen padhang uripira iki,<br />
Weruh lakuning Gesang.<br />
<br />
– 07 –<br />
<br />
Mungguh asma manungsa sajati,<br />
Dunung marang sangkan paranira,<br />
Tegese padhang lakune,<br />
Yektine nyandhi dhawuh,<br />
Kabeh sabda paringing Gusti,<br />
Iku pan tegese darma wiradating laku,<br />
Yen tan dunung marang sabda,<br />
Jeneng cidra ngaku rumangsa manungsa sejati,<br />
Dharahing Paku Buwana.<br />
<br />
– 08 –<br />
<br />
Wus tetela manungsa puniki,<br />
Gesangira sing karsaning suksma,<br />
Nora bisa urip dhewe,<br />
Uripe nyandhi dhawuh,<br />
Wit tan ana bisa pribadi,<br />
Marma jeneng ngawula karsaning Hyang Agung,<br />
Budine tansah meminta,<br />
Yen rumangsa mengku pati urip,<br />
Iku tan weruh tata.<br />
<br />
– 09 –<br />
<br />
Pratandhane dunung marang Gusti,<br />
Nora teges amung bisa kandha,<br />
Kang datan ana maknane,<br />
Makna tegese awujud,<br />
Wujud mengku tekading urip,<br />
Ya prasetyaning manah ya bebudenipun,<br />
Yen tekade nunjang palang,<br />
Ora ana piyandele marang Gusti,<br />
Hilang sipating janma.<br />
<br />
– 10 –<br />
<br />
Kabeh bae putuningsun sami,<br />
Kaya ngapa leganing tyasingwang,<br />
Dene wus samekta kabeh,<br />
Wawakiling Hyang Agung,<br />
Sabdaningsun mung kari siji,<br />
Samengko arep apa, apa-apa sampun,<br />
Apa maneh yen wis apa,<br />
Apa nora bisa apa-apa uwis,<br />
Mesthine ora papa.<br />
<br />
– 11 –<br />
<br />
Teges apa, ingsun pasrah yekti,<br />
Adat waton weting paugeran,<br />
Wis atul ing pakartine,<br />
Urip pananing kalbu,<br />
Temah Aji Pramana Jati,<br />
Samesthi ora papa, iku nyatanipun,<br />
Datan mikoleh pakarya,<br />
Mung sapala mring sapanira Hyang Widdhi,<br />
Jumbuh sinapa-sapa.<br />
<br />Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-9896031309313291392013-06-13T03:05:00.001+07:002013-06-13T03:05:01.394+07:00Wejangan UripWEJANGAN SYEKH AMONGRAGA KEPADA NIKEN TAMBANGRARAS (MANUNGGALING KAWULO KELAWAN GUSTI DALAM SERAT CENTHINI)<br />
<br />
Ini adalah bagian dari Serat Centhini yang membahas tentang tahap-tahap perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yaitu sebuah kondisi spiritual saat seseorang mengalami “penyatuan” dengan Dzat-NYA atau manunggaling kawulo kelawan Gusti. Serat Centhini, kita tahu, adalah babon serat-serat Jawa yang terdiri dari 12 jilid dan bila dikumpulkan mencapai 6000 halaman lebih. Semoga pembaca mendapatkan secuil manfaat dari terjemahan ini. Rahayu..<br />
<br />
Syekh Amongraga memberikan wejangan kepada istrinya yang bernama bernama Niken Tambangraras selama 40 hari/malam, baik yang berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana cara manusia mendapatkan makrifat kepada Tuhan Dzat Yang Maha Besar, maupun yang berkenaan dengan kehidupan keluarga. Berikut bait-bait yang kamu dikutip dari Serat Centhini yang menggambarkan tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia :<br />
1. Yen nuli / winisik basa sempurna / sareng miarsa Ki Bayi / senggruk-senggruk anangis / tangis cumeplong ing kalbu / manah padang nerawang / ngraos tuwuk tanpa bukti / pangaraose wus ana sangisor aras.<br />
“Kemudia ia membisikkan kata-kata sempurna, ketika itu didengar oleh Ki Bayi dia mulai menangis tersedu-sedu, tetapi ia sekaligus ia merasakan suatu kepuasan batin yang besar. Batinnya menjadi terang-benderang, ia merasa kenyang tanpa menyantap sesuatu, ia merasa seolah-olah terangkat ke hadapan tahta Tuhan.”<br />
2. Ambalik sami sekala / kramane mring Amongragi / mehmeh kaya ngabekti / saking tan nyipa kakalih / mung mangsud guru yekti / Ki Bayi aris turipun / rayi dalem kalihnya / sumangga ing kersa sami / ingkang mugi wontenan sih wulang tuan.<br />
“Pada saat yang sama sikapnya terhadap Amongraga berubah sama sekali, ia hampir berbakti kepadanya, karena sekarang ia hanya memikirkan satu-satunya ini, aku mendapatkan seorang guru sejati, kemudian dengan suara lembut Ki Bayi berkata, semoga anda berkenan, agar juga kedua adik anda menerima rahmat ajaran anda.”<br />
3. Inggih kang basa punika / Mongraga umatur aris / gih putranta sekalihan / sampun kaula wejangi / ing ratri kala wingi / kalihewus sami suhud / matur alkamdu lilah / kaula dados wuragil / sakelangkung panrima kula satitah.<br />
“Yakni kata-kata yang tadi anda sampaikan, Amongraga mejawab, kedua putra Bapak sudah saya berikan ajaran itu tadi malam, keduanya sudah maklum akan kebenaran. Syukur kepada Tuhan, kalau demikian akulah yang bungsu, kata Ki Bayi, saya puas sekalai dengan urutan ini.”<br />
4. Amongraga pan wus wikan / ing dalem papanceneki / Ki Bayi lan putranira / Jayengwesti / beda ganjaraneki / Ki Bayi ganjaranipura / sih kamulyan ing donya / kang putra ganjaraneki / pan cacalon ganjaran mulyeng akerat.<br />
“Amongraga tahu, apa yang ditujukan kepada Ki Bayi dan apa yang dituakan kepada kedua putranya, Jayengwesti dan Jayengraga. Ganjaran disediakan kemuliaan dunia ini, bagi kedua anaknya kemuliaan di akhirat.”<br />
5. Kewawa ngelmi makripat / de Ki Bayi panurteki / kahidayat ngelmu sarak / Sarengat utameng urip / Mongraga matur aris / paduka ingkang akasud / tepakur maring Allah / lan tangat kala ning wengi / lawan ngagengena salat perlu kala.<br />
“Kedua anak itu mampu menerima ngelmu makrifat, sedangkan kepada Ki Bayi Panurta diberi tuntunan ngelmu sarak (agama menurut hukum), sehingga ia hidup dengan utama. Kemudian Amongraga berkata dengan lirih, tekunlah dalam menjalankan dan lakukanlah olah bakti malam hari, junjunglah sholat yang diwajibkan pada saat-saat tertentu.”<br />
6. Ywa pegat adarus mulang / ing kitan Kur’an amerdi / ing janma pekir kasihan / Ki Bayi nor raga ajrih / ing wulang Amongragi.<br />
“Daraskanlah (membaca) ayat-ayat Al-Qur’an, rajinlah dalam mengajarkan Kitab Suci. Berilah sedekah kepada orang-orang miskin. Ki Bayi merendahkan diri ketika ia menerima ajaran Amongraga.”<br />
7. Mongraga denya kasud / sunad wabin nem rekangatipun / tigang salam sawus ing bakda anuli / tangat kiparat tawajuh / kalih salam bakda manggon.<br />
“Guna mencapai keadaan ekstasis Amongraga melakukan sholat sunat wabin dengan enam rekaat dan tiga salam (pujian), sesudah itu olah kifarat tawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan dua salam, sesudah itu duduk tidak bergerak.”<br />
8. Amapanaken junun / pasang wirid isbandiahipun / satariah jalalah barjah amupid / pratingkahe timpuh wiung / tyas napas kenceng tan dompo.<br />
“Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan, ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya, ia duduk bersimpuh (kakinya terlekuk ke belakang), hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan.”<br />
9. Nulya cul dikiripun / lapal la wujuda ilalahu / kang pinusti dat wajibulwujudi / winih napi isbatipun / pinatut tyas wusa anggatok.<br />
“Kemudian ia mengawali dikirnya dengan kata-kata, la wujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah), Dat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiaannya, dasar penyangkalan dan pengakuan dan dengan itulah hatinya diselaraskan.<br />
10. Angguyer kepala nut / ubed ing napi lan isbatipun / derah ing lam kang akir wit puserneki / tinarik ngeri minduwur / lapal ilaha angengo.<br />
“Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyangkal dan mengakui, pada lingkaran lam terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah kepalanya bergerak.”<br />
11. Nganan pundak kang luhut / angleresi lapal ila mengguh / penjajahe kang driya mring napi gaib / ilalah isbat gaibu / ing susu kiwa kang ngisor.<br />
“Ke kanan ke atas ke arah bahunya, pada saat ia berkata ila inderanya memasuki penyangkalan tersembunyi, ilalah ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya.”<br />
12. Nakirahe wus brukut / lapal la ilaha ilalahu / winot seket kalimah senapas nenggih / senapas malih motipun / ilalah tri atus manggon.<br />
“Demikianlah nakirah menjadi paripurna, kata-kata la ilalahu dirasakannya 50 kali dalam suatu pernapasan, kemudian 300 kali ilalah pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar.”<br />
13. Anulya lapal hu hu / senapas ladang winotan sewu / pemancade tyas lepas lantaran dikir / kewala mung wrananipun / muni wus tan ana raos.<br />
“Lalu hu, hu, 1000 kali dalam satu pernapasan panjang, demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantara dikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tak ada arti lagi.”<br />
14. Wus wenang sedayeku / nadyan a a e e i i u u / sepadane sadengah-dengan kang uni / unine puniku suwung / sami lawan orong-orong.<br />
“Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ee, ii atau uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara seekor orong-orong (yang tiba-tiba diam seketika).”<br />
15. Ing sanalika ngriku / coplok ing satu lan rimbagipun / dewe-dewe badan budine tan tunggil / nis mikrad suhul panakul / badan lir gelodog.<br />
“Pada saat yang sama bata-bata dan bentuk terlepas, artinya badan dan budi masing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mi’raj, terlebur dalam Dat Ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”<br />
16. Tinilar lagya kalbu / yekti ning napi puniku suwung / komplang nyenyed jaman ing mutelak haib / wus tan ana darat laut / padang peteng wus kawios.<br />
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya merupakan ketiadaan sejati, kosong sepi. Tiada ada lagi daratan maupun laut, terang dan gelap tiada lagi.”<br />
17. Pan amung ingkang mojud / wahya jatmika jro ning gaibu / pan ing kono suhule dinera mupid / tan pae-pinae jumbuh / nora siji nora roro.<br />
“Yang ada hanya indah itulah yang meliputi yang batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan yang sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi.”<br />
18. Wus tarki tanajul / mudun sing wahya jatmika ngriku / aningali tan lawan netranireki / Dat ing Hyang Kang Maha Luhur / patang prekara ing kono.<br />
“Sesudah tarakki menyusullah tanazzul, ia turun dari alam lahir dan atin (wahya jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dat Yang Maha Luhur, di sana terdapat empat hal.”<br />
19. Sipat jalal gaibu / jamal kamal kahar gaibipun / wusna mijil saking gaib denyaa mupid / wiwit beda jinisipun / Gusti lan kawula reko.<br />
“Sifat jalal yang gaib, keindahan, kesempurnaan dan kekuasaan (jamal, kamal dan kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”<br />
20. Dat ing gusti puniku / jalal kamal jamal kahar nengguh / sipat ing kawula pan akadiati / wahdat wakidiatipun / alam arwah adsam mengko.<br />
“Adapun hahekat Gusti itu ialah jalal, kamal, jamal adapun sifat-sifat kawula itu ialah ahadiyya, wahda, wahadiyya, alam arwah, alam ajsam.”<br />
21. Misal insan kamilu / beda ning gusti lan kauleku / yekti beda ingriku lawan ingriki / kejaba kang wus linuhung / pramateng kawroh kang wus wroh.<br />
“Alam misal dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati.”<br />
22. Sawusira aluhut / lir antiga tumiba ing watu / pan kumeprah tyasira lagyat tan sipi / tumitah ing jamanipun / aral ing kula katonton.<br />
“Sesudah ektasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketika kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).”<br />
23. Luaran denya suhul / angaringaken senapas landung / mot saklimah La ilaha ilalahi / mulya andodonga sukur.<br />
“Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernafas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.”<br />
24. Yen wus munggah budimulya / Sang Hyang Mahamulya lan mulya ning budi / abeda nora neda / pan wus jumbuh sembah lawan puji / puji amuji ing dawakira / iya dewe nora dewe / tanpa dewe pupus.<br />
“Bila budi sudah naik ke tempat yang mulia, maka dalam keadaan mulia itu Yang Mahamulia dan budi berbeda dan tidak berbeda. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan pujian terhadap dirinya. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan diri sendiri. Tiada lagi dirinya, hanya itulah yang dapat dikatakan.”<br />
25. Bakda dikir anuli / adonga sukur Hyang Agung / sawusira dodonga / asujud sumungkem siti / takrub asru tepekurira nelangsa.<br />
“Sesudah dikir ia memanjatkan doa syukur kepada Yang Agung, sesudah itu ia bersujud, merebahkan diri ke tanah, dan mendekati Tuhan dengan merasakan kerendahannya.”<br />
26. Rumasa kinarya titah / beda ning kawula gusti / lir lebu kelawan mega / bantala lawan wiati.<br />
“Ia menyadari bahwa dia hanya buah ciptaan dan bahwa antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa.”<br />
Dari beberapa bait (pada dalam bhs Jawa) yang ada dalam Serat Centhini ini, dapat memberikan suatu gambaran bahwa Tuhan dan manusia tidak sama, karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun manusia bisa mencontoh sifat-sifat Tuhan dan mengingatnya dengan memperbanyak dikir sehingga dapat mengalami kondisi ekstasis, yakni kemanunggalan dengan Dzat Mutlak Tuhan.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-10478236150574409432012-10-09T01:52:00.003+07:002012-10-09T01:52:54.141+07:00> SANGUNING AGESANGKINANTHI
Kanthi awas lawan emut / santosa sabar ing budi / makatên wêwulangira / para lêluhur ing nguni / yèku sanguning ngagêsang / nèng donya murih basuki //
Lire awas têrangipun / sabarang tindaking urip / aswa tilar ing wêweka / wajib titi ngati-ati / jêr donya akèh penginan / kang karya sangsarèng dhiri //
Awit ing kalimrahipun / ngagêsang lamun ningali / ing wêwarnan kang sarwendah / miwah mawi amêmelik / kauntungan langkung kathah / tyasira gampang kapengid //
Ing satêmah lalu limut / saking melik gendhong lali / wong dêdulu: ngabotohan / makatên upaminèki / saèstu melik kalintang / wrin pamênang anglangkungi //
Jêr saêjam bisa ontung / mênang têlung puluh ringgit / tur sinambi jêjagongan / ngrungokke gôngsa ngêrangin / tibaning gong kabênêran / nêbak bangku angrabasi //
Bingahe kalangkung-langkung / lir jawah têkaning dhuwit / kang mulat dahat kapranan / têmah milu anênêmpil / yèn mênang pan dadi tuman / yèn kalah mrih wangsuling dhit //
Kang makatên wujudipun / wong tilar waspada yêkti / mung kang mênang kang katingal / kang kalah datan tiniti / gene tan wrin kawirangan / nêmbung utang kèh sujanmi //
Yêkti kathah yèn winuwus / bêbaya ingkang pinanggih / wit saking karêm kasukan / wong sugih pan dadi miskin / priyayi kecalan pangkat / wênèh ana nglalu mati //
Wontên malih tunggilipun / wong karêm utang kapati / dupèh gampang linampahan / mung muwus kèwês kawijil / nyêngka nganggo têtanggungan / mêsthi lamun dèn sukani //
Wêwekane tan dinulu / anakan nêkuk nikêli / mung melik tampaning arta / krasa-krasa yèn tinagih / pinêksa bayar cicilan / mawi ngancam murih miris //
Ketang saking ajrihipun / wusana ngupaya budi / utang-utang maring liyan / karya wangsuling panicil / mangke saya kasangsaya / nandhang utang andharindhil //
Sigêg ganti kang winuwus / mênggah bab emut puniki / lire emut mring lêlakyan / nênggih utamining urip / sumingkir maring maksiyat / yèku panggawe tan yukti //
Jêr ngagêsang yèn kongsi wus / paracidra anindaki / utang ngêmplang ambêbedhang / ambêk siya ing sêsami / colong jupuk èstu têmah / sinirik sakèh sujanmi //
Dadya apês badanipun / uripe sinônggarunggi / nambut karya tan tinampan / saya ayun angêngêmpit / candhak kulak bêbakulan / layanane nora sudi //
Yèn kalêrês sami kumpul / jroning pasamuan yêkti / kang cêlak tumuli kesah / sumêlang bok diarani / ginêbyah uyah wong ala / katôndha katon nyakêti //
Marmane sami dèn emut / marang ing panggawe bêcik / anêtêpi tatakrama / mrih sinihan ing sasami / èstu agêng dayanira / sugih mitra mitadosi //
Kêni pininta pitulung / bok ing têmbe angalami / lêlakon kang ewuhaya / anaa kang amadhangi / pêpêtênging manah susah / mrih lêjar lir wingi uni //
Wondene ingkang kasêbut / santosa kukuh ing kapti / tan kagiwang ing panggodha / mung mungkul ngèsthi sawiji / kanthi têmên-tinêmênan / mrih katêkan kang kinapti //
Makatên ing lampahipun / panggayuh marang kamuktin / têtêp budi datan owah / mungkur ing rèh ngujèng kapti / abêbungah tanpa wayah / byung-ubyungan pakardi //
Balik malah amilaur / nèng ngomah marsudi budi / kasampurnaning pakaryan / apa ingkang dèn tindaki / insya Allah katurutan / katêkan ingkang kinapti //
Mangke sabar kang winuwus / kathah ingkang amastani / tindak ingkang ngulêr kambang / ngalêmêr lir kurang bukti / cinacad tindak tan yogya / makatên klintu sayêkti //
Wondene pikajêngipun / tindak kang sabar puniki / lire mawi ngarah-arah / aywa nganti mindho kardi / marma katon datan rikat / saking tindak ngati-ati //
Yèn ambabar èstu punjul / kang saya lêga ing galih / kang mulat sami karênan / saking ing pakirtyan awig / satêmah kondhang warata / aindêngi sanagari //
Yêkti wontên bedanipun / tindak sabar lawan rindhik / tumrap tindak ingkang sabar / talatèn kalawan titi / datan darbe wêgah sayah / linambaran budi êning //
Tindak kang rindhik puniku / kakehan klêthêk yèn wiwit / nadyan garap barang gampang / dangune kapati-pati / ing wusana lêrês lêpat / tarlèn nyuwun pangaksami.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-65409654769070653182012-10-03T00:19:00.001+07:002012-10-03T00:19:38.490+07:00> ANA KIDUNG RUMEKSA ING WENGI Di sini adalah alih aksara naskah lontar Ana Kidung, milik Kristel van der Korst, Loosdrecht.
DANDANGGULA
1. /1a/ Ana kidung, angrasa dina wngi, tan gu / rahayu, aduh ing alara, / luput ing balahi kabéh, ji / m sétan datan purun, pana /1b/ luhan datan awani, aduh i / ng panggawé ala, gni wong alu / put, gni atemahan tirta, / maling anah, tan ana wani ri ka /2a/ mi, guna dudu pan sirna.
2. Sakeh / i lara pan samya ambali, / sawoh i kemat, si puru / n olas, kawelas asih padu /2b/ luné, sakéh i braja luput, ka / di kapuk tibaniréki, sakéh / ing bisa tawar, sawok roda / tatap, kaya’ agung lemah sih, /3a/ sok ing landak, gwa ri mong lemah mi / ring, pekik i puwaning marak. /
3. Pagulingané warak sakang / lwir, kadya ngambah, i segara sat, /3b/ kowasa ngambah pucuké, apan sa / rira ayu, ngingidran sako / héh i widadari, rinak / ing para malaékat, sakatah /4a/ ing rasul, dadya ta sarira tunggal, / nétra Adam, uteku bagi / nda Esis, pngucapé nabi / Musa.
4. Sumsumku Patimah /4b/ kang lénuwih, nabi Yakup, pamya / saningwang, nabi Yusup cahya / ngku mangké, nabi Dawut / swarangku, mwang Suléman kasaktén ma /5a/ mi’, nabi (I)brahim i nyawa, Idri / s i rambut, baginda (A)li ku / litingwang, Abu Bakar, getih / daging marsinggih, balungkuk baginda /5b/ Usman.
5. Siji-sawiji mulana da / di, ta marencah, dadi (i)sini / ng jagat, kang sami ring jasat / reké, sakéh rencana (a)gung, nora wani ma /6a/ rek ing kami, sakéh ingkang rencana, / lan isining wanéku, jim kala / wan blis lanat, nora wani, / saking takdir Alah luwih, brerka /6b/ t nabi rasululah.
6. Sing angidung ana / kidung iki, dénya gati, la / nggeng ma’muliya, aywa miril mu’mi / nin reké, slamet lan rahayu, /7a/ noranana wani marek ing kami, sa / nwéh ikang rencana, pada a / njarit-jerit iku, brakat na / bi Adam mwah, nabi rarul /7b/ Mustapa kang lénuwih, brakat la’ila / ha ilalah.
7. Kuluhu’ gni u / balak-ubalik, séta / n mara, sétan matya, blis /8a/ lanat suminggah reké, sakéh / é kang arungu, kang anurat / kang animpeni, dadi raha / yuning jasat, kinarya sasa /8b/ bur, winacahakening to / ya, kinarya (a)dus, wong / lara tuwak iki, kiner / ya adus wong édan. /9a/
8. Lamun ana wong édan dhurpari, puwa / sanen, sadina sawangya, / i derna jingga lengé, lamun si / ra angluruk, musuhira datan /9b/ wani, lamun sira aprang, wate / k ingkang skul, skurlé tigang pu / lukan, musuhira, rare / p norana wani, rahayu /10a/ kang aprang.
9. Lamun ana wong kabanda / iki, mwang kadenda, lan wong / kabratan ing utang, yu / gya asembahyang reké, wayah /10b/ é tngeh dalu, ping sawola / s winaca aris, ucu / l ikang kabanda, malih kang / binanda iku, agelis si /11a/ ra linuwaran, wong utang / sinahuran déra Yang Widi / , wong agring nulih waras, (éh éh éh éh éh /11b/
10. Sumsumku Patimah kang lénuwih, / kang minangka, rahayuni jasa / t, panguluning rasul ta reké, / sakéhé kang tumuwuh, salira /12a/ né tunggal lan nabi, atéku ya Mu / hammat, pangulun i rasu / l, pinayungan Adam / sowara, samaptané, /12b/ sakatah i pra nabi, mapan / salirané tunggal. /
11. Pupuyun tutugeng /13a/ nong(?) tutub langit, angin barat, / gumlang ing tawang, cinancang ta ké / tang reké, angrajak gunung siyu, / jala sutra ilu mama’, mi /13b/ wah sawéh i braja, mangadang i / suh, anulak panggawé ala, / rara rungga, gumingsir pada a / glis, awor sakéh i wi /14a/ ksa.
12. Alungguh ring luhur kursi, kang atunggu, / sinurak ing tawang, pangalebur lara kabéh, / kusuk-kusuk i luhur, iku ing lang / -lang i langit, miwa sakéh ing braja, ma /14b/ ngadang i musuh, atunggul (l)atri lan syang, ki / na wdi, blis lanat suminggah sami, nora wani kang karencana.
13. Pan / punika i budiniréki, wali Arab, /15a/ sasang kadi mula, kirun sukung tangan reké, / wanak karuntang atunggu, suku kiwa nga / gem gada wesi, anulak rara ru / ngga, satru lawan musuh, pan tineggah /15b/ déni yang, ider-ider, kaluhu’ balan / ubalik, sing ala satruning Alah. /
14. Gunung siyu sanggup palutur iki, sagara / asat, panuruh satruh driyané, mama /16a/ nikan teguh timbul, wawalyan kasakti / yan i nabi, lut senjata lanang, / tantu Mekah iku, betdil tulup / pancar upas, pada putung, jempar i /16b/ nora nginganin, pélor ambal iki Da / hlan.
15. Gunung siyu makapager mami’, / katon murub, sing tumingal / ilang, miwah sang utamé reké, sa /17a/ kwéh i lara lebur, tantu mamah ing awa / k mami’, miwah sakwéh i bra / ja, magadang i musuh, ya ing rah / mat ma’mulya, rahmat jati, /17b/ jumneng basa jasmani, ya rahmat ma’mulya.
16. Abner sang rasu bani, kang adulu, awla / s sadaya, lulut asih sarat kabéh / , mapan nabi ptang puluh, amayungang rahi /18a/ hina wngi, damar nabi wokasan, sapda / nabi Dawut, aptak baginda / Amsyah, sing arungu, ajeri / t-jerit samya wdi, linuruk /18b/ samya sirna.
17. Lamun tan bisa amba sai / ki, ginawyé, dadi simat puni / ka, tguh tibul paparabé, ya / n ginawa alurung, musuhira ta /19a/ n awani, luput panggawé ala, gni wong / ngaluput, musuhira tan uni / nga, pan sinipen, rinaksa / i Yang Widi, teguhé tan pata /19b/ ndingan.
18. Satru musuh kundhur pada wdi, / apawangan, wruh Bétalmukedas / bolak-balik panggawéné, amba / lik kinowang kundhur, rara rungga pada /20a/ gumingsir, kang agring nulih waras, wong / gni luput, nora wani umareka, / saking rahmat, rahayu pakra / tinéki, rahmat patulung Alah. /20b/
19. Sing angidung ana kidung dina wngi, sapa / wruha, reké araningwang, dun disu / n maksi raré, dépun raré / ku, samurti lan ki sabrangti, ngalih a /21a/ ran ping tiga, arta driya téngsun, du / k ingsun angalih aran, yang arta / ti, araningsun tuwa i / ki, sapa wruh araningwang.
20. Sapangu /21b/ wruh kembang tampus siréki, awruh / ingaran, yang arta drarya, tuga / l pancar i samané, sing sapa / wruh puniku, sasat teguh Pager /22a/ Wesi, rinaksa wong sajagat, kang a / kidung iku, lan aluput ing durjan / wngi, tanawani wong cidra (rusak) /22b/
21. Du ana kidung iki, sabran wa (rusak) / nn awani wong cidra, yadyan bisa / tawar bahé, sing amaca arungu, / kang anurat kang animpeni, no /23a/ ra wani kang rencana, sawngi luput, / yan binakta alulunga, ri margané, / sing kapapak pada asih, dadya / n ana wong gila.
22. Milané tan /23b/ kna sanding, gagéndhongan, miwah wawa / rakan, Alah angadangena reké, / krana ta aja wruh, yan awruh pu / nika wdi, saki sagara wétan, /24a/ Alah angadang iku, jujuluk syang tu / gal, tunggal jati, dumeteng / sang yang artati, aran pkur jati / nya.
23. Apaparab soma hari, /24b/ ilaheni, arané duk agesang, wu / s mati kaya arané, duk langgi / h anéng gunung, apaparab wasi / séng jati, ngalih aran ping tiga, /25a/ duk anom matéku, adam jati do / dolan, ing urunan, ngalih aran sri jati, niscaya ake / ning rawa.
24. Segara agung mako /25b/ bumi iki, lagi iku, ni wong sa / buwana, pada asih mawoh kabéh, / sing bisa ngakgé kampuh, ko / wasa ngangambah bumi, singandari bulan, /26a/ pada asih maréngsun, yadin manusya / asih sira, Sang Yang Tunggal, para / ndéné kawolas asih, atma / ni rama ring yang.
25. Sakatahé panem /26b/ bahan puji, kaatura, kang angra / ksa jagat, kang asih i mu’min / kabéh, atuduh marga luhung, kang / adumi i dumi dasih, kang murah a /27a/ néng dunya, nora kang luput, sami sinung / an baksana, tkéng éwan, miwa / h ruma beténg jro bumi, sami sinunga / n baksana.
26. Kang akraya utusan /27b/ kang lénuwih, i sakwéhé, jim lan / manusya, ngangangken kasih reké, no / rananana kadi iku, kasih / ané sakéh i pra nabi, pan /28a/ mulané akerya, dadi ratu iku, da / di swarga lan nraka, tan liyan / saking, sihira mri dutadi, ki / nerya kanyata’an.
27. Sadéréng /28b/ é bumi langit iki, dur puniku, pan / wus ana, lan kayu’ ana reké, a / nginur kang rumuhun, saki takdir A / lah luwih, duk Alah anandika, ma /29a/ ring nur lan kayu’ puniku, lah nur a / sujut dasi (rusak) pada sujut, pi / ng lima asujut iki, iku mu / lané ana salat.
28. Mulané ana /29b/ salatiréki, lima waktu, nur mula / né ika, asujut ping lima re / ké, karané kayu’ puniki, / Sajaratulmuntaha iki, empang /30a/ ipun lilima, anging ta kayu’ puni / ku, norana mawipatra, sajati / né, nur mulané rumuhun, iku kang / dadi panutan.
29. Saking kasaka /30b/ ’ Alah luwih, akeryanen, kakasih / i yang, minangka didi kabéh / gumilang-gilang asruh, anéng u / sul kalam mri rincing, awarna /31a/ kadi lintang, kendil aranipun, / cinantél déning aras, tumé / tésan, tétés dadi roh / ing nabi, ika mulané ana jagat. /31b/
30. Ing aranan yayahiréki, rohira reké, baginda Ada / m, tunggal iku pinakané, ba / ginda Adam ika, ingaranan /32a/ yayahing jisim, mulané ana ba / dan, nyawané kang rumuhun, nur / bwat ring rasullah.
31. Sahira saki / ng Adam siréki, ginentis sira, ing /32b/ rarahinira, kang ingaran awa reké, / mijil saking suta jalu, inga / ranan baginda Sis, nurbwat anéng / Adam, lami-lami tumurun, prapta /33a/ siréng apdhulah.
32. Tamat. né luhu’. nhung / sa’ (motif bunga-bungaan dengan aksara ditulis di tengah-tengah) hat dawa pukuhul laku yamilat, / wala yumilat, wali yumila / lat masahulahata, wa’ / ngahul sukal (motif bunga-bungaan) /34a/ né raja Ubesi, aran jaya. / bismilahirahmanirahim, / raja Ubesi, bapa’nya aji / namanya Besi, mendadi kentar /34b/ tiping batu ponku asal besi, si / di luwar besi, di dalem besi, / Alah besi Muhammat besi, bla / kangku besi, yén sira mangan /35a/ awak sarirangku besi, saheng ko / sing burungan, kapir jenengi / ra, yén ingsun mangan sira, haram jnengisun, aja sira /35b/ mangan kulitku satampaking apalu, / aja sira mangan dagingku, satampaking kaki, aja sira ma / ngan getihku satampaking /36a/ gurinda, galih aran pamor purasa / ni, maléla waja pada lemes / sakéh i wesi kuning, pada / lemes satampaking apalu /36b/ paron, brakat la’hilaha’hilalah, /37a/ Alah uma dowa tulak bilahi, / rubuh-rabah sandi babah, u / ru umbalah pandhu balah, ku / luhu’ sungsang-sungsang jim sétan /37b/ katulah, raja kanon, raja ku / ning, abulah ramatulah, / Majapahit buta bisu gni / pandhu bala, blis dara sétan mati, /38a/ janma marajan mati, sing jahil satru / ning Alah, kutda brakat do / wa tulak bilahi, brakat la’hi / laha’ilalah brakat Muha /38a/ mmatda rasululah. léyot latét / sang awet, Alah sang Alah sira / jayakrasa, jneng aku Jayakarsa, mapan aku gaduh sangurung-urung Jayakarsa, /39a/ nyarek acacek kaka’ amaté, / woda putih kalala musna i / lang, ayu mneng ratu burung, / sidi mandi mantra sangurung-urung burung /39b/ . mhal mati datu mur kawula / déwa ngéndéng dowé / datu mas panji mapan aku / gaduh sangurung-urung. /40a/ Alah uma dowa tulak bilahi, ru / buh-rabah, rendhib kabalah, uru / umbalah, pak dhurbalah, raja ka / kén raja kuning, raja bumi raja /40a/ langit, raja lahat, majapahit / panulak bilahi. (/41a dan /41b/ kosong) né senjerit tawu se / hér. ugik-ugik-ugik. uwak uwak uwak uwak /42b/ ugik ugik ugik ugik , / ugik ugik ugi / k, uwak uwak uwa / k uwak uwak uwak.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-57971088777588335212012-10-03T00:02:00.009+07:002012-10-03T00:02:50.829+07:00> TRI PRAKARA, SATRUNING NGAURIPTri prakara, satruning ngaurip. Yèn pinêkak: wèh utama. Yèn inguja: wèh sangsara.
MEGATRUH
Pêgat-pegat wuwuse pandhita sêpuh / mring sagunging para cantrik / kang samya andhèr nèng ngayun / nyadhang wulange sang rêsi / munggèng sanggar kacariyos //
Pan mangkana purwaning wasitanipun / sira kabèh para cantrik / rungokna wêwulang ingsun / môngka sangune ngaurip / aywa na kang kaparojol //
Tri prakara satruning manungsa iku / kang dadi godhaning urip / setan lawan donyanipun / miwah daginge pribadi / katrinya tan wèh krahayon //
Marmanipun sira kabèh pra manguyu / kudu awas kudu eling / ywa sira nganti kalulut / mring katri kang môngka wèri / wèrining wong mèt krahayon //
Lamun ana kang klulut mring katri iku / tangèh ingaran utami / malah kosokbali tuhu / aran manungsa sapalih / mokal eling mring Hyang Manon //
Mungguh jèntrèhe katri prakara iku / sun udhare saka swiji / setan iki artinipun / kang tansah ngojok-ojoki / murih nglampahana awon //
Nadyan janma yèn nganggo watêk puniku / yakti tan siwah lan iblis / mung tansah mèlèt mêmulut / dimèn katut kanthil-kanthil / kalulut maring piawon //
Wus mangkono watêke iblis puniku / tansah ngarah-arah arih / mawèh gunêm manis arum / lir tètèsing madu gêndhis / kang ingarah tan karaos //
Yaktinipun gunême kang manis iku / môngka tèdhèng aling-aling / tandukkên paekanipun / ywa nganti cêtha katawis / dènnya nglèlèti piawon //
De trangipun watêke iblis puniku / sêngit mring janma utami / dadya kathah krenahipun / nandukkên guna lan dhêsthi / nanging sranane tan mêlok //
Adhuh-adhuh sira cantrik lan manguyu / dipun awas dipun eling / mring solah kridhaning mungsuh / kang padha alaku sandi / masang jirêt kang tan katon //
Singgahana kabèh gunêm manis iku / solahbawane katawis / kang ngarah ala puniku / lèjêm liringing pangèksi / wum mêlok yèn arsa goroh //
Kang kadwinya sangkalaning urip iku / donya brana rajapèni / rêtna adi myang jumêrut / cinêkak gampanging uni / kabèh kang sorote mompyor //
Dayanipun soroting donya puniku / nyulapi tranging pangèksi / lèngkète ngluwihi pulut / nutup netra kanan kering / nyumpêt karna ngrisak batos //
Kathah janma dadya ewah miwah gêmblung / mung kalulut rajapèni / datan jêjêg imanipun / lali kang wus dadi wajib / nêrak anggêring Hyang Manon //
Wus bênêre manungsa wajib anggayuh / rajabrana rajapèni / nanging aywa nganti limut / mung melik bôndha kang adi / wani nrajang mring wêwaton //
Kang kacêtha minôngka upaminipun / punggawa abdi nagari / priyayi apangkat luhur / nômpa bêsêl rupa picis / sing janma kang sugih yêktos //
Wigatine nyaosi bêsêl puniku / kinacèka ing sasami / yèn lêpat aywa ingukum / wasana priyayi melik / nômpa picis mlêbu kanthong //
Adhuh-adhuh kabèh para cantrik ingsun / aywa sira wani-wani / nglakoni tindak kang dudu / nêrak anggêring nagari / mung ngudi isining kanthong //
Iku têtêp janma tan wruh saru siku / mung kalulut êmas picis / lali marang wajibibun / nrajang sumpahe pribadi / mung melik intên mancorong //
Katrinipun satruning ngaurip iku / yèku daginge pribadi / myang kabèh karêmanipun / kang kaprah ingaranan mim / iku singkirana yêktos //
Luwih kathah cacahing êmim puniku / minum mangan lawan main / madat kaping caturipun / kang luwih gêdhe satunggil / yèku kang ingaran madon //
Kang sun rêmbug mung kang aran madon iku / iki karêmaning daging / kang lwih gêdhe dosanipun / kang nêrak prakara iki / klêbu janma kang lwih asor //
Datan pae lan sato kang asor tuhu / marma sira para cantrik / cêgahên ardaning kayun / kang kapengin ulah rêsmi / mung nuruti budi asor //
Pêrangana kêkarêpan kang tan urus / yèku karêmaning daging / kang tansah murih mêmirut / nutup karna myang pangèksi / anjarag nglampahi awon //
Lamun sira bangkit nyandhêt hawa napsu / iku utamèng dumadi / aran unggul juritipun / mêrangi kurdaning iblis / iku manungsa kinaot //
Marmanipun kabèh cantrik lan manguyu / udharên budinirèki / jèrèngên tawangna gupuh / munggèng pêpadhang sajati / ing kono apa kang katon //
Lamun ana kang sisip gêdhe salugut / enggal jumputên pribadi / cêmplungna ing gêni murub / dimèn sirna êntèk ênting / kari bêcike kang mêlok //
Mung samono gaduging wêwulang ingsun / adhuh sira para cantrik / cathêtên munggèng kêkulung / minôngka jimat paripih / ywa nganti lali ngrêraos //
Wêwêlingku sira kabèh pra manguyu / candhêtên ardaning ati / elinga mring katri iku / setan donya lawan daging / katrinya tan wèh krahayon //
Tan paedah sira cêgah mangan turu / salaminya anyênyirik / nanging nguja hawa napsu / nuruti karêping daging / têtêp ingaran wong asor //
Para cantrik sandika ing aturipun / dhawuh andika kapundhi / nêdya nglampahi pituduh / andikane kyai rêsi / sang rêsi nulya makuwon //
Para cantrik kinèn samya nyuwun rêmbug / yèn wontên pêtênging budi / kênèng sambekalanipun / kang dadya araling urip / puwara gya samya bodhol //
Pramila kadhapur wicantênipun pandhita mulang para cantrik, supados botên katingal nyolok mripat. Gubahanipun: ajar ing wukir Lawu.
Anggitanipun R.S. Karta WardayaKandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-74800376526955233002012-09-19T20:30:00.002+07:002012-09-19T20:30:31.099+07:00> Beginilah Cara Mengembalikan Ke Jalan Yang Benar<br />
Jika anda bertemu seorang anak yang sedang tersesat di jalan, apakah yang akan anda lakukan?<br />
<br />
1. Bertanya: Rumahmu dimana nak?<br />
<br />
2. Mengantarkannya pulang ke rumahnya.<br />
<br />
Ini adalah prosedur yang paling standard dan wajar. Baik mengantarkannya sendiri, maupun berkoordinasi dengan polisi atau pihak-pihak lain, untuk memulangkan anak tersebut. Apapun langkah yang anda lakukan, bertujuan mengembalikan anak itu kepada keluarganya. Komunitasnya.<br />
<br />
Bagaimana jika malah anda bawa ke rumah anda? Ini akan menambah ketersesatan anak tersebut.<br />
<br />
Bagaimana jika anak itu tidak mau ikut ke rumah anda? Apakah anda pukuli? Tindakan ini justru melanggar hukum pidana. Penculikan dan Penganiayaan.<br />
<br />
Demikian juga dengan orang-orang yang anda anggap sesat. Bagaimana anda mengembalikan mereka dari kesesatan? Apakah dengan memulangkan ke rumah anda? Kepada kepercayaan anda? Apakah anda pukuli jika orang ini tidak mau ikut ke rumah anda? Anda bakar rumah ibadahnya? Anda bakar rumahnya? Anda jarah harta bendanya?<br />
<br />
Jadi, siapa sebenarnya yang sesat?Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-32277297651273518032012-09-13T00:08:00.002+07:002012-09-13T00:08:48.525+07:00> WUKU LAN KELAHIRANTiap-tiap wuku mempunyai watak sendiri-sendiri. Watak wuku dapat dipergunakan untuk mengetahui dasar watak bayi lahir :<br />
1. Sinta..dewanya sangyang Yamadipati = wataknya seperti raja dan pendita, banyak kemauan, keras, cepat bahagia, bakat kaya harta benda. Memanggul tunggul = mudah mendapatkan kesenangan hidup. Kaki belakang direndam dalam air = perintahnya panas didepan dingin belakang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang susah, dan orang minggat.<br />
Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya didepan = memperlihatkan simbul kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : Berada di pertengahan umur. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau seharga 21 keteng dimasak pindang, membelinya tidak menawar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Tolak bilahi. Candranya : Endra = gemar bertapa brata, angkuh, suka kepada kepanditan. Ketika kala wuku berada ditimu laut, selama 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
2. Landep.dewanya sangyang Mahadewa = bagus rupanya, terang hatinya, gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air = perintahnya keras didepan dingin dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendajakan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya : Atatkembang = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi kesayangan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir.<br />
<br />
Bahayannya : korobohan pohon. Tangkalnya : Selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus. Lauknya daging rusa dicacah lalu dibakar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Surating raditya = tajam ingatannya, dapat mengerjakan segala pekerjaan, dapat menggrirangkan hati orang lain.<br />
<br />
3. Wukir.dewanya sangyang Mahayekti = besar hatinya, menghendaki lebih dari sesama. Tunggalnya : didepan = akhirnya hidup senang. Menghadapi air di jembung besar = baik budi pekertinya. Pohonnya : Nagasari = bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh majikannya. Burungnya : Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat mengerjakan segala pekerjaan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : dianiaya.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi uli, beras sepritah dikukus, daging ayam ayam putih dimasak pakai santan dan sayur lima macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya rajukna. Candranya : Gunung artinya jika didekati sulit dan berbahaya jika dilihat dari jauh menyedapkan pemandangan. Ketika kolo wuku berada ditenggara, dalam 7 hari tidak boleh mendatangi tempat kolo.<br />
<br />
4. Kurantil.dewanya sangyang Langsur = pemarah. Memanggul tunggal = akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam jimbung besar disebelah kiri = serong hatinya. Pohonnya : Ingas = tak dapat untuk berlindung, karena panas. Burungnya : Salinditan = tangkas. Gedungnya terbalik didepan = murah hati. Bahayanya : jatuh memanjat.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam lereng dipecal. Selawatnya 7 keteng. Doanya : rajukna dan pina. Candranya : Woh-wohan = tak tentu rejekinya.Ketika kolo wuku berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan tak boleh menggali tanah.<br />
<br />
5. Tolu.dapat menyenangkan hati orang lain, kalau marah berbahaya, tak dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya terdapat dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya = sangat indah rupanya, tajam roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian, selamat hatinya. Burungnya : Branjangan = riang tangan, cepat bekerjanya. Gedungnya didepan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya = ditanduk atau disiung.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dimasak dengan santan. Selawatnya 3 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Wangkawa = angkuh, tidak tetap, suka bohong.Ketika kolo wuku berada dibarat-laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
6. Gumbreg.dewanya sangyang cakra = keras budinya, segala yang dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kakai sebelah yang didepan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas dibelakang. Pohonnya : beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya tinggi. Burungnya : ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya dikirikan = penyayang, jika marah taka sayang kepada harta bendanya.<br />
Bahayanya : tenggelam atau kejatuhan dalam. Tangkalnya : selametan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam berumbun yang masih muda dan daun-daun 9 macam. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Rajukna. Candranya : Geter nekger ing wijati = hening pikirannya, perkataannya nyata redhoan.Ketika “kala wuku” berada di Selatan menghadap utara, dalam 7 hari tidak boleh memandang wajah kala.<br />
<br />
7. Warigalit, dewanya sangyang asmara = bagus rupanya,senang asmara, cemburuan, hatinya mudah tersentuh, Pohonnya : sulastri = bagus rupanya, banyak yang cinta. Burungnya : kepodong – cemburuan, tak suka berkumpul dengan orang banyak. Bahayanya : tersangkut suatu perkara.<br />
<br />
Tangkalnya : selametan nasi urap beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau ranjapan (pembelian bersama-sama), dimasak getjok. Selawatnya 8 keteng. Doanya : tolak bilahi. Candranya : kaju kemladean ngajak sempal = dimana-mana dapat tumbuh. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala<br />
<br />
8. Warigagung, dewanya sanghyang mahajekti = berat tanggungannya, berkeinginan. Tunggulnya : dibelakang – rejekinya dibelakang hari. Pohonnya : cemara = rame bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati. Burungnya : betet = keras kemauannya, pandai mencari kehidupan. Gedungnya dua buah dibelakang dan didepan = ichlasnya hanya setengah. Bahayanya : dimarahi temannya.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi uduk bers sepitrah dikukus, lauknya daging bebek dimasak gurih dan daun-daunan 5 macam. Selawatnya 5 keteng. Doanya : rasul. Candranya : Ketug lindu = menepati perkataannya, jika marah menakutkan, tidak mau menerima takdir. Ketika “kala wuku” berada di utara menghadap ke selatan, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.<br />
<br />
9. Julungwangi, dewanya sanghyang sambu = tinggi perasaannya, tidak boleh disamai. Mengahadap air dijembung = pradah ikhlasan, akan tetapi harus diperlihatkan harum = dicintai oleh orang banyak. Burungnya kutilang = banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang, dicintai para pembesar.<br />
<br />
Bahayanya : diterkam harimau. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam brumbun dan uang suwang (+/- 81 ½ sen). Selawatnya : kucing. Doanya Tolak bilahi. Candranya : kasturi arum angambar = segala kehendaknya belum terjadi telah tersiar banyak yang cinta.<br />
<br />
10 Sungsang, dewanya sanghyang gana = pemaranh, gelap hati. Air dijebung didepannya +/- pradah, ikhlasan, harus diperlihatkan pemberiannya, banyak rejekinya. Pohonnya : tanganan = tak suka menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya : nori = pemboros, jauh kebahagiaannya, murka. Gedungnya terbalik dibelakang = ikhlasan dengan tidak pakai perhitungan.<br />
<br />
Bahayanya : kena besi. Tangkalnya : selamatan nasi megana dan tumpeng betas 2 pitrah, daun-daunan 9 macam dicampur dalam tumpeng. Selawatnya 10 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : sekar wora-wari bang = besar amarahnya, tetapi mudah dicegah. Ketika “kala wuku” berada di timur dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.<br />
<br />
11. Galungan, dewanya sangyang Komajaya = teguh hatinya, dapat melegakan hati orang susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor =suka bersedekah, pengasih, namun sedikit rejekinya. Pohonnya : Tanganan = ringan tangan, keras budinya, gampang suka pada kepunyaan orang lain. Burungnya : Bido = besar nafsunya, murka.<br />
Bahayanya : berselisih.Penangkalnya : selamatan nasi beras sepitrah dikukus, lauknya daging kambing. Doanya : Selamat pina. Candranya : peksi wonten ing luhur = jika mencari hasil dengan menundukkan kepala, sebab gora-goda. Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
12.Kuningan, dewanya sangyang Indra = melebihi sesama, tinggi derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = rupanya sangat indah, sangat puaka, tinggi budinya dan teliti, menghindari keramaian, selamat hatinya. Burungnya : Urang-urangan = cepat bekerjanya, lekas marah, pemalu.<br />
<br />
Gedungnya dibelakang, jendelanya tertutup = hemat. Bahayanya = diamuk..Penangkalnya : selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau membelinya beramai-ramai, digoreng. Selawatnya 11 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Garojogan = rame bicaranya, banyak bohong.Ketika kolo wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala<br />
<br />
13. Langkir, dewanya sangyang Kala menggigit bahunya sendiri = besar nafsunya, tidak sayang kepada badannya sendiri, yang melihat takut, buruk adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka, banyak larangan. Pohonnya : Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh didekati orang,<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknyadaging kambing dan ikan dimasak pakai santan, sayuran secukupnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Slametpina. Candranya : Redi gumaludug = bicaranya menakutkan, tetapi tidak mengapa.Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
14. Mandasia,dewanya sangyang Brama, kuat budinya, pemaran, tak mau memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan. Pohonnya : Asam = kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara. Burungnya : Platukbawang = kuat budinya, cepat pekerjaannya, tidak sabaran. Gedungnya terguling didepan = hemat dan banyak rejekinya. Bahayanya : Kena api dan dijahili orang.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi merah beras sepitrah dikukus, sayur bayam merah, daging ayam merah dipindang dan bunga setaman yang merah. Selawatnya uang baru 40 keteng. Doanya : Slamat. Candranya : Watu item munggeng papreman lan wreksa gung lebet tancepnya = sabar, tetapi jika marah kejam.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
15. Djulungpujut, dewanya sangyang guretno, = suka kepada keramaian, tersiar baik, mempunyai kedudukan yang lumayan. Menghendaki bukit = besar kemaunnya, tak suka diatasi, menghendaki memerintah. Pohonnya : Rembuknya = indah warnanya, tidak berbau, dimana-mana jadi kunjungan orang.<br />
<br />
Burung : Prijohan = besar kemauannya, halus budinya. Bahayanya : diteluhPenangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, daging ayam merah dipanggang, daun- daunan 9 macam. Selawatnya 30 keteng. Doanya : Balasrewu dan Kunut. Candranya : Palwa ing samodra = kesana-kemari mencari nafkah, rejekinya tidak kurang.Ketika kolo wuku, berada di utara dan selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
16. Pahang, dewanya sangyang tantra = perkataannya melebihi sesama, tidak sabaran menepati janji. Jembungnya disebelah kiri dibelakangnya = suka jalan serong. Memanggul senjata tajam = waspada, kasar perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonya : Kendayaan = jadi pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cocak = gelatak bicaranya. Gedung telentang = boros.<br />
<br />
Bahayanya : dianiaya.Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah, lauknya daging ayam dimasak sansan, daun-daunan 11 macem. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Rasul.Candranya : Pulo katinggal saking tebih = tersiar semua tingkah lakunya, lahirnya suci, batinnya kotor, angkuh, selalu susah.Ketika kolo wuku berada di Barat-Laut dalam 7 hari tak boleh mengunjungi tempat kala.<br />
<br />
17. Kuruwelut, dewanya sanhyang wisnu : tajam ciptanya, tinggi dan selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul : cakra = tajam hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan besar kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah, akhirnya menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan yang remeh. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, puaka tak dapat dipermudah.<br />
<br />
Bahayanya : kena racun daun. Tangkalnya : selamatan bermacam-macam sayuran, jajan pasar, sekar boreh, tindihnya uang lama sebaranDoanya : tawil. Candranya : tirta wening = sedikit bicaranya, suci hatinya, diturut perintahnya, jadi tempat pengungsian. Ketika “kala wuku” berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangitempat kala.<br />
<br />
18. Mrakeh, dewanya sangsyang surenggana = tawakal hatinya, agak ingatan, berkesanggupan, berani kepada kesulitan. Tunggulnya membalik = lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak berguna. Tak mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya. Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian. Bahayanya : tenggelam.<br />
<br />
Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam mulus dimasak dengan santan dan bermacam-macam ketan. Selawatnya 100 keteng.Doanya : tolak bilahi. Candranya : pandam ageng amerapit = tawakal, mempunyai hati kasihan kepada orang miskin. Ketika “kala wuku” berada di utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
19. Tambir, dewanya sanghyang siwa = lahir dan batinnya terkadang berlainan. Pohonnya : Upas = bukan tempat perlindungan, tajam perkataannya. Burungnya : prenjak = tahu petunjuk gaib, suka membuat perkabaran yang mengherankan, . Gedongnya ditengah = tinggi percaya dirinya Bahayanya : terkena pasangan. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah diliwet, lauknya daging bebek dan ayam dipindang, kuah merah dan putih dan ketimun 25 buah.<br />
<br />
Selawatnya : pisau baja dan jarum satu. Doanya : slamet dina. Candranya : idune lir upas ratjun = dihargai semua perkataannya. Ketika “kala wuku” berada di barat daya, dalam 7 hari tidak boleh mengunjungi tempat kala.<br />
<br />
20. Madangkungan, dewanya sanghyang basuki : ahli bicara, tawakal, tetap hatinya. Pohonnya : plasa = hanya jadi perhiasan hutan, tidak ada gunanya. Burungnya : pelug = suka tinggal di air, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya, tawakal, hemat. Bahayanya : dibunuh pada waktu malam. Tangkalnya<br />
<br />
Selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam kuning (wiring kuning) dan berumbun, digoreng, jenang merah pada waktu hari kelahirannya. Selawatnya : 5 keteng. Doanya : ngumur. Candranya : umajang kang tetabuhan = menepati perkataan, dan dapat menyenangkan hati orang lain. Ketika “kaa wuku” berada di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala<br />
<br />
21. Maktal, dewanya sanghyang sakri = lurus hatinya, baik pekerjaannya. Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah lembut tutur katanya, dicintai oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = liar dan tinggi budinya, banyak tanda-tandanya akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat sunyi. Gedungnya ditumpangi tunggal = kaya benda dan dihormati. Bahayanya = bertikai.<br />
<br />
Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam dan bebek dimasak 2 macam, dipindang dan dimasak dengan santan, niatnya : ngrasul. Selawatnya 4 keteng. Doanya : rasul. Candranya : lesus awor lan pancawara = lebar pemandangannya, dalam pikirannya. Ketika “kala wuku” berada di timur laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala<br />
<br />
22. Wuje, dewanya betara kuwera = menggirangkan hati orang lain, perkataannya lurus dan mengherankan, singkat hati, tetapi sebentar baik. Memasang keris terhunus disebelah kaki = waspada dan tajam hatinya. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya, kuat dan tetap hatinya. Burungnya : gogik = cemburuan, tak suka kepada keramaian. Gedungnya terlentang didepan = pengasih.<br />
<br />
Bahayanya : diteluh. Tangkalnya : selamatan jajan pasar secukupnya dan bermacam-macam ketan seharga sataksawe (+/- 10 sen). Yang dibeli dahulu madu untuk selanunggal rum arum = peteng hati, sukar dijalani, suka kepada bau harum, besar kehendaknya. Ketika “kala wuku “ berada di barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
23. Manahil, dewanya sangyang Citragatra = menjunjung diri sendiri, dapat berkumpul ditempat ramai, bakat angkuh, selalu bersedia-sedia untuk membela diri. Air dijembung dibelakangnya = Arum perintahnya, akan tetapi tak mempunyai pangkat. Memangku tombak terhunus = waspada dan tajam hatinya.<br />
<br />
Pohonnya : Tageron = sedikit faedahnya, liat hatinya. Burungnya : Sepahan = liar budinya, tajam pikirannya. Bahayannya : terkena senjata tajam.Penangkalnya : selamatan nasi liwet beras sepitrah, lauknya daging ayam dan ikan, sayuran secukupnya, sambal gepeng. Selawatnya 8 keteng. Doanya : Selamat tolak bilahi. Candranya : Trenggana abra ing wijit = sabar segala kemauannya, tak suka menganggur, banyak kemauannya.Ketika kala wuku berapa di Tenggara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
24. Prangbakat, dewanya sangyang Bisma = pemarah, tangkas, pemalu, memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi pemimpin orang, lurus pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya. Kakinya kanan direndam dalam air jembung = perintahnya dingin didepan panas dibelakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, tetap pikiranya.<br />
<br />
Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya. Bahayanya : memanjat atu karena tingkahnya sendiri. Tangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah, lauknya daging sapi, dimasak bumbu manis, sayuran secukupnya. Selawatnya : pacul. Doanya : aelamat pina. Candranya : wesi trate pulasani = keras hatinya, cepat kerjanya, pemberi, jujur, belas kasihan. Ketika “kala wuku” berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan menggali tanah. <br />
<br />
25. Bala, dewanya batari Durga = suka berbuat huru-hara,membuat berita, jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak ada yang ditakuti, pandai sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya, lemah lembut perintahnya dan dihormati.<br />
<br />
Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar, tinggi budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat yang sunyi. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah dilahir. Bahayanya : diteluh dan kena upas.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, sayur 7 macam, panggang ayam hitam. Selawatnya 40 keteng. Doanya : Rajukna : Udan salah mangsa = rejekinya dari jual beli.Ketika kala wuku berada di Barat-Laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
26. Wugu, dewanya sangyang Singajala = banyak akal, lekas mengerti, baik budinya. Pohonya : Wuni sedang berbuah = siapa yang melihat bagaikan mengidam, akan tetapi jika telah makan, sering mencela, banyak rejekinya. Burungnya : Podang = cemburuan, tidak suka berkumpul. Gedungnya tertutup dibelakang = hemat dan pendia. Bahayanya : digigit ular dan disia-sia.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus dan bermacam-macam ketan, jajan pasar, lauknya daging bebek putih sejodoh dimasak dengan santan. Selawatnya 10 keteng. Doanya: Selamat. Candranya : awang-uwung = baik budinya.Ketika kala wuku berada di sebelah Selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
27. Wayang, dewanya batari Sri = banyak rejekinya, pradah, bakti, teliti, dingin perintahnya dicintai oleh orang banyak. Jembung berisi air didepan dan duduk disitu = sejuk hatinya, sabar, rela hati, akan tetapi harus diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus = perintahnya mudah didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai oleh orang banyak<br />
<br />
Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya, berbakat angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi. Bahayanya : kenah tulah dan difitnah.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, daging kambing kendit dimasak macam-macam ketan, ayam dimasak sesukanya, sayuran secukupnya. Selawatnya 40 keteng. Doanya : selamat. Candranya : damar murub, bumi langit = selamat, banyak ilmunya.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh naik.<br />
<br />
28. Kulawu, dewanya sangyang Sadana = kuat budinya, besar harapannya. Duduk dijembung berisi air ditepi kolam = sejuk hatinya, dingin perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat dibelakang, kurang pandai. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar harapannya, kuat budinya.<br />
<br />
Burungnya : Nori, boros, murka. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : terkena bisa. Penangkalnya : selamatannasi golong beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam dan bebek yang berwarna merah, ikan dan daging burung, dimasak sekehendahnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Kabula. Candranya : Bun tumetes ing sendang = ketika kecil miskin, akhirnya besar kebahagiannya, banyak rejekinya.Ketika kala wuku berada di Utara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
29. Dukut, dewanya sangyang Sakri = keras hatinya. Menghadapi keris terhunus = waspada, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya berhasrat dipunyainya. Pohonnya : Pandan wangi = kiri tempatnya, dengki, tak boleh didekati. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan tinggi budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi.<br />
<br />
Membelakangi gedungnya = hemat dan pendiam. Bahayanya : dimedan perang.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya panggang ayam putih mulus dan ayam brumbun. Selawatnya satakswawe. Doanya : Slamet. Candranya : tunggul asri sesengkeraning nata = bagus rupanya, penakut.Ketika kala wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.<br />
<br />
30. Watugunung, dewanya sangyang Antaboga dan batari Nagagini. Antaboga = senang tinggal alam untuk bertapa. Nagagini = gemar kepada asamara. Menghendaki janji = suka bertapa ditempat yang sunyi, jika menjadi pendita, mendapat kehormatan, gemar bersemedi, sering bersedih hati. Pohonnya : Wijayakusuma = rupawan, tinggi budinya, tidak suka pada keramaian, terlihat angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburuan. Bilahinya : teraniaya.<br />
<br />
Penangkalnya : selamatan beras sepitrah dikukus, lauknya daging binatang yang diburu, binatang berliang, burung, semuanya yang halal, dimasak bermacam-macam jenang, daun-daunan 7 macam. Selawatnya 9 keteng. Doanya : Mubarak. Candranya : Lintang wulan keraianan = terang hatinya, tetapi tidak bercahaya.Ketika kala wuku berapa di timur, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-88061595742940118412012-09-11T09:59:00.003+07:002012-09-11T09:59:30.839+07:00> RESEP PENGOBATAN HERBAL DHANDHANGGULORESEP HELBAL KLINIK DHANDHANGGULO<br />
<br />
DIABET<br />
<br />
Bahan Ramuan :<br />
21 lembar Daun Dandanggula.<br />
3 buah Jagung dan kulitnya.<br />
3 buah Wortel.<br />
3 lembar Daun Dewa.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.<br />
- Dibuat 1 kali dala 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Pagi jam 9<br />
Sore menjelang Maghrib.<br />
Malam menjelang tidur.<br />
Apabila :<br />
a. Mengalami Diare (mencret) diharuskan minum air hangat di tambah dengan gula tapi jangan langsung tidur minimal 1 jam.<br />
b. Mengalami luka diharuskan makam tape singkong secukupnya 1 hari 2 kali dan ditempel ke bagian yang luka.<br />
Kalau menanak nasi ditambahkan 2 lembar daun pandan dan nasi ditaruh diwakul banbu serta ditutup dengan daun pisang.<br />
c. Bila sudah terkena suntika insulin :<br />
10 daun dandanggulo.<br />
3 buah jagung.<br />
3 empu temu lawak.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 hari 2 kali pada waktu istirahat Siang dan Malam.<br />
Konsumsi tambahan :<br />
1. buah pepaya.<br />
2. buah anggur hitam.<br />
3. pisang kepok.<br />
DIABET KOMPLIKASI<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
21 lembar daun dandanggulo.<br />
17 lembar daun cocor bebek.<br />
3 lembar daun dewa.<br />
12 biji kapulogo.<br />
3 buah sawo mentah.<br />
3 siung bawang putih lanang.<br />
1 genggam jenggot jagung.<br />
1 biji temu lawak sebesar telur ayam.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
jam 7 pagi setelah sarapan.<br />
jam 5 sore.<br />
malam menjelang tidur.<br />
DARAH TINGGI<br />
Bahan Ramuan : <br />
<br />
<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
11 pohon meniran.<br />
3 buah sawo mentah.<br />
7 lembar daun jambu klutuk / isi.<br />
1 dompol temu lawak.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus denga 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari sesudah makan.<br />
GATAL-GATAL / HERPES<br />
Bahan Ramuan :<br />
17 buah bunga kenanga.<br />
7 lembar daun cocor bebek.<br />
1 butir belerang sebesar biji jagung.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus / diulek.<br />
- Tambahkan ½ gelas agua kemudian disaring.<br />
- Tambahkan pula 2 sendok madu, tunggu 5 menit baru diminum.<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari, sebelum tidur.<br />
ASAM URAT / KOLESTEROL<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
11 pohon meniran.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.Aturan Minum :<br />
Sewaktu meminum tambahkan 2 sendok madu.<br />
Diminum 3 kali sehari.<br />
KEGEMUKAN / OBESITAS<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
1 genggam teh.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum menjelang tidur.<br />
Pantangan :<br />
Kurangi minum es.<br />
V E R T I G O<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
7 pohon meniran.<br />
3 butir bawang putih lanang.<br />
5 biji cengkeh.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
1 dompol kencur.<br />
3 buah sawo mentah.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari.<br />
POLIP / ALERGI DEBU<br />
Bahan Ramuan :<br />
7 lembar dau selada<br />
3 pupus daun kates / pepaya gantung.<br />
Cara Meracik :<br />
Daun selada dibiarkan mentah.<br />
Pupus daun katen gantung direbus sampai lunak.<br />
Dikonsumsi pagi, sore dan malam selama 1 minggu.<br />
S T R U K<br />
Bahan Ramuan :<br />
3 ikat akar alang-alang.<br />
7 lembar daun apukat.<br />
7 lembar daun sirih temu rose.<br />
7 lembar daun jambu klutuk / isi.<br />
3 buah sawo mentah.<br />
3 dompol kencur.<br />
3 pohon meniran.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum pagi, siang dang malam.<br />
Tambahan :<br />
7 daun selada mentah dikonsumsi setiap makan.<br />
MAAG / ASAM LAMBUNG<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-lang.<br />
1 sendok adas.<br />
1 dompol temu lawak.<br />
1 dompol kunir.<br />
1 gula aren.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum setiap jam 4 sore dan jam 4 pagi (waktu subuh).<br />
1 minggu 3 kali.<br />
Untuk pengonsumsi alkohol tinggi :<br />
3 buah pisang kapok merah.<br />
1 botol 7-UP 3 kali sehari selama 1 minggu.<br />
Pantangan :<br />
Selama proses pengobatan dilarang makan bakso.<br />
Kurangi minum paitan.<br />
Tambahan :<br />
Biasakan mengkonsumsi rambak kulit kambing<br />
MAAG AKUT<br />
Bahan Ramuan :<br />
- Singkong.<br />
- Garam secukupnya.<br />
- Madu secukupnya.<br />
Cara Meracik :<br />
Singkong dibakar, lalu setelah masak dibelah, lalu taburi garam dan madu secukupnya, lalu tutup kembali dan setelah itu di panggang. Dan setelah dirasa sudah meresap lalu diangkat dan siap untuk dimakan.<br />
A M B I E N<br />
Bahan Ramuan :<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
7 lembar daun sirih.<br />
1 batang lidah buaya diambil dalamnya saja.<br />
2 sendok madu.<br />
Cara Meracik :<br />
- Digerus dan setelah itu disaring lalu ditambahkan air hangat.<br />
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturam Minum :<br />
Diminum pada malam hari 1 kali sehari.<br />
D I P T E R I<br />
Bahan Ramuan :<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
3 lembar daun sirih temu rose.<br />
Cara Meracik :<br />
- Digerus lalu Tambahkan ½ gelas air aqua.<br />
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
- Sebelum diminum tambahkan 2 sendok madu.<br />
- Diminum 2 kali sehari.<br />
MATA MIN<br />
Bahan Ramuan :<br />
5 buah wortel.<br />
1 buah apel manalagi.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
1 buah jeruk nipis diperas.<br />
Cara Meracik :<br />
Dibuat jus.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 hari 2 kali<br />
1 minggu 3 kali<br />
GONDOK DAN AMANDEL<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 biji jahe.<br />
2 sendok madu.<br />
1 butir garam sebesar jagung.<br />
Cara Meracik :<br />
- Digerus / diulek.<br />
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari.<br />
Tambahan :<br />
Untuk penyakit amandel tambahkan 1 biji kunir.<br />
E N C O K<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
1 genggam kumis kucing.<br />
1 buah temu lawak sebesar telur.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadika 1 liter,<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum sebelum tidur, 2 kali sehari.<br />
R H E M A T I K<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
1 dompol jahe.<br />
1 dompol kencur.<br />
1 genggam kumis kucing.<br />
1 genggam keci beling.<br />
1 empu temu lawak.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari<br />
- jam 9 pagi, dan jam 9 malam.<br />
INFEKSI PARU-PARU / SESAK NAPAS<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
12 biji kapulogo.<br />
1 empu kunir putih.<br />
1 bungkil suket teki (empole).<br />
2 sendok adas – untuk badan yang kekar / 1 sedok adas untuk badan yang kurus.<br />
12 daun cocor bebek.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
Aturan Minum :<br />
- pagi setelah bangun tidur.<br />
- sore menjelang maghrib.<br />
- malam sebelum tidur .<br />
Untuk Penanganan Darurat :<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
1 batang lidah buaya.<br />
Cara Meracik :<br />
Di jus dengan air mentah (aqua).<br />
Bila kambuh (kumat), segera ambil air hangat dan garam lalu celupkan handuk kedalam air tersebut lalu tempelkan pada punggung penderita.<br />
T H Y P U S<br />
A. Versi Mentahan :<br />
Bahan Ramuan :<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
7 lembar daun selada.<br />
1 batang lidah buaya diambil tengahnya.<br />
2 sendok madu.<br />
Cara Meracik :<br />
- Digerus lalu tambahkan 1 gelas aqua lalu disaring.<br />
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum sehari 2 kali.<br />
B. Versi Godokan (direbus) :<br />
Bahan Ramuan :<br />
17 lembar daun cocor bebek.<br />
1 batang lidah buaya dengan kulitnya.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
5 lembar daun sirih temu rose.<br />
2 gula aren (dimasukkan 15 menit sebelum jamu diangkat).<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Pagi jam 9, sore jam 3 dan malam jam 9 sesudah makan.<br />
C. Versi Hewan :<br />
Bahan Ramuan :<br />
5 ekor cacing tanah keluarkan tanahnya.<br />
7 lembar daun cocok bebek.<br />
3 lembar daun sirih.<br />
½ buah jeruk nipis.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
Cara Meracik :<br />
Digerus lalu tambahkan air hangat agak panas 1 gelas lalu disaring, dan sebelum diminum tambahkan 1 sendok madu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 kali 1Minggu.<br />
Tambahan :<br />
Bila susah buang air besar makan pisang.<br />
S T E P<br />
A. Versi Godokan (direbus) :<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
1 buah temu ireng sebesar 2 jari yang masih muda.<br />
2 gula aren (dimasukkan 15 menit sebelum jamu diangkat).<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 1 liter air dijadikan ½ liter.<br />
- Dibuat 4 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari, pagi seduah makan dan malam sebelum tidur.<br />
B. Versi Buah :<br />
Bahan Ramuan dan Cara Meracik :<br />
1 buah kelapa hijau yang masih muda di kupas (dibuka) atasnya lalu masukan 2 sendok madu dan perasan kunir yang masih muda. Tunggu 15 menit baru diminum.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum selagi masih hangat.<br />
Larangan :<br />
Selama dalam penanganan pengobatan si anak dilarang makan HONGKUE.<br />
C. Penanganan STEP waktu darurat<br />
Lepaskan semua pakaian dan tidurkan dilantai lalu siram dengan air dingin.<br />
D. Penanganan Dengan Pijat<br />
Pijat telapak kaki bagian tengah dengan minyak tawon atau minyak angina selama 10 menit.<br />
E P I L E P S I<br />
Terapi dengan air dingin dan air hangat :<br />
- siapkan 1 ember air hangat maksimal 15 liter.<br />
- siapkan 1 ember air dingin (es).<br />
Cara :<br />
- Dibuat mandi yang hangat dulu baru kemudian yang dingin – jangan sampai ada tengangnya.<br />
- Di lakukan diwaktu pagi, sedangkan pada waktu sore pada jam 3.<br />
HERNIA + GINJAL + PROSTAT<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
3 buah lobak.<br />
5 lembar daun puring.<br />
15 biji kapulogo.<br />
1 buah temu lawak sebesar telur.<br />
1 genggam daun kumis kucing.<br />
1 genggam daun keci beling / pecut kuda.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kalai dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 hari 2 kali.<br />
HERNIA PLUS TAMBAH STAMINA PRIA<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
1 genggam daun kumis kucing.<br />
1 genggam daun keci beling.<br />
1 buah lobak.<br />
1 sendok adas.<br />
2 sendok pulo waras.<br />
3 buah empu temu lawak.<br />
3 buah empu kunir.<br />
3 butir telur ½ matang (diminum sebelum minum jamu).<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Auran Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari.<br />
KEPUTIHAN<br />
Bahan Ramuan :<br />
3 biji bunga mawar merah.<br />
21 biji bunga kenanga hijau.<br />
12 biji bunga melati.<br />
Cara Mecarik :<br />
- Direbus dengan 1½ liter air dijadikan ½ liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
- Yang paling bagus diminum setelah “MENSTRUASI”.<br />
- Diminum 2 kali sehari, pada waktu istirahat siang dan malam menjelang tidur.<br />
Penanganan Darurat :<br />
Diminum 1 minggu 3 kali pada saat menjelang tidur.<br />
KANKER PAYUDARA<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 genggam benalu teh.<br />
13 biji bunga kenanga hijau.<br />
11 biji bunga melati yang belum mekar.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter, direbus mengunakan kemaron.<br />
Aturan Minum :<br />
- Pagi jam 9, sore menjelang maghrib dan malam menjelang tidur.<br />
- Sebelum diminum tambahkan 2 sendok madu pada saat pagi dan malam.<br />
TBC / PARU-PARU<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
1 buah empu kunir putih.<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
1 sendok jinten ireng.<br />
1 genggam krorot jangkrik.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
Aturan Minum :<br />
Pagi jam 9, sore jam 3 dan malam menjelang tidur.<br />
Untuk Bobok/di oleskan :<br />
1 sendok minyak wijen.<br />
1 sendok minyak tawon.<br />
1 sendok perasan jahe.<br />
Larangan :<br />
Jangan makan ikan laut dan makanan yang mengandung santan.<br />
PARU-PARU BOCOR<br />
A. Versi Godokan (direbus) :<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
3 buah empu kunir putih.<br />
2 buah empu kunir.<br />
12 biji mrica bolong.<br />
21 lembar daun cocor bebek.<br />
5 biji bunga suko warna kuning / merah 7 biji.<br />
9 buah bawang putih lanang.<br />
- Kayu manis secukupnya.<br />
- Gula batu sebesar telur dimasukan 10 menit sebelum jamu di angkat.<br />
Cara Meracik :<br />
Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum sebelum tidur.<br />
B. Versi Mentahan :<br />
Bahan Ramuan :<br />
14 lembar daun cocor bebek.<br />
½ batang lidah buaya.<br />
½ bonggel pisang kepok sebesar telur angsa.<br />
4 sendok madu.<br />
Cara Meracik :<br />
Digerus dan tambahkan 1 gelas air aqua lalu disaring.<br />
Aturan Minum :<br />
1 hari 2 kali.<br />
KELENJAR GETAH BENING<br />
Versi I<br />
Bahan Ramuan :<br />
7 batang tapak dara beserta bunganya.<br />
44 lembar daun sirih temu rose.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 2 liter (harus memakai kendil).<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
1 hari 2 kali.<br />
Versi II<br />
Bahan Ramuan :<br />
3 genggam benalu teh.<br />
3 buah empu kunir putih.<br />
1 sendok adas.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
Cara Meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dala 1 bulan.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 kali sehari.<br />
K I S T A<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 genggam benalu teh.<br />
5 biji Bunga Kenangan Hijau.<br />
1 dompol kunir muda.<br />
1 dompol kencur.<br />
3 buah Jambe muda.<br />
5 lembar daun sirih temu rose.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari, pagi jam 9 dan malam menjelang tidur.<br />
STRUK + JANTUNG + DIABET + SEMBELIT TAPI DIARE + <br />
BENGKAK + SUSAH TIDUR.<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
17 lembar daun sirih temurose.<br />
12 buah jambu klutuk.<br />
7 lembar daur apukat.<br />
5 buah sawo mentah.<br />
½ sendok mrica.<br />
1 dompol kencur.<br />
1 dompol jahe.<br />
7 biji cengkeh.<br />
7 buah bawang putih lanang.<br />
7 buah bawang merah.<br />
1 dompol kunir.<br />
1 dompol temu lawak.<br />
1 akar lamtoro dan daunnya.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari, pagi, siang dan malam menjelang tidur.<br />
MENGATASI THYPUS DI SERTAI<br />
KEBOCORAN GAS TRITIS<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 mangkok kerang kukur.<br />
1 dompol kunir di iris tipis-tipis.<br />
Cara meracik :<br />
- Masukkan kedalam rantang yang tertutup lalu dikasih air sebanyak ½ liter, kemudian dikukus dan setelah masak diambil lendirnya yang menempel didinding rantang lalu campurkan dengan air aqua dan selanjutnya tambahkan 2 sendok madu, lalu diamkan selama 10 menit baru dapat diminum.<br />
- Dibuat 3 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 kali sehari.<br />
JANTUNG LEMAH<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 iklat akar alang-alang.<br />
5 buah bawang putih lanang.<br />
3 buah bawang merah.<br />
1 dompol kunir.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1½ liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari.<br />
PENGASAMAN<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 iklat akar alang-alang.<br />
1 kunir putih.<br />
3 pohon meniran.<br />
2 genggam jambul jagung.<br />
1 dompol kencur.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari.<br />
PENGASAMAN KELENJAR<br />
Bahan Ramuan :<br />
4 iklat akar alang-alang.<br />
2 buah daun sirih.<br />
7 batang tapak dara.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari.<br />
HEPATITIS<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 ikat akar alang-alang.<br />
1 genggam kumis kucing.<br />
15 biji kapulogo.<br />
2 empu temu lawak.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
5 lembar daun dewa.<br />
12 lembar daun cocor bebek.<br />
2 genggam jambul jagung.<br />
1 sendok adas.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan ½ liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 1 kali sehari.<br />
Pantangan :<br />
- Dilarang minum telur mentah.<br />
- Hindari makan kacang goreng.<br />
- Hindari makan marning (jagung goreng).<br />
PENGASAMAN URAT SYARAF<br />
KARENA REPRODUKSI ASAM LAMBUNG TINGGI<br />
Bahan Ramuan :<br />
3 iklat akar alang-alang.<br />
12 lembar daun sirih temu rose.<br />
2 dompol kencur.<br />
1 batang kayu manis.<br />
2 buah lobak.<br />
3 buah sawo mentah.<br />
3 lembar daun sawo muda.<br />
2 dompol kunir.<br />
1 dompol temu lawak.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari.<br />
SUSAH KENCING<br />
(Kencing dengan alat bantu Cut Teter)<br />
Bahan Ramuan :<br />
3 genggam kumis kucing.<br />
1 genggam keci beling.<br />
1 genggam jambul jagung.<br />
2 dompol temu lawak.<br />
3 lembar daun dewa.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Sebaiknya diminum pada saat hendak istirahat 1 kali sehari.<br />
MATI SEPAROH<br />
Bahan Ramuan :<br />
2 iklat akar alang-alang.<br />
11 pohon meniran.<br />
21 lembar daun sirih temu rose.<br />
1 sendok pulo waras.<br />
12 biji mrica.<br />
1 dompol kencur.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 3 liter air dijadikan 1 liter.<br />
- Dibuat 1 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 2 kali sehari.<br />
PARU-PARU LUKA KARENA BAKTERI<br />
Bahan Ramuan :<br />
1 ikat akar alang-alang.<br />
1 genggam kerokot jangkrik.<br />
1 empu kunir putih.<br />
1 sendok adas.<br />
2 biji kembang suko.<br />
17 lembar daun cocor bebek.<br />
Cara meracik :<br />
- Direbus dengan 4 liter air dijadikan 2 liter.<br />
- Dibuat 2 kali dalam 1 Minggu.<br />
Aturan Minum :<br />
Diminum 3 kali sehari.<br />
CATATAN :<br />
DALAM MEMBUAT RAMUAN INI AGAR HASILNYA MAKSIMAL DISARAN DALAM MEREBUS RAMUAN HERBAL INI SEMUANNYA MENGGUNAKAN KENDIL/DANDANG YANG TERBUAT DARI BAHAN TANAH LIAT DAN DILARANG MENGGUNAKAN TEMPAT YANG TERBUAT DARI BAHAN LOGAM MISALNYA : ALUMINIUM, SENG, DLL.<br />
UNTUK RAMUAN HERBAL YANG ADA BENALU TEH, TEMPAT UNTUK MEREBUS DIMOHON JANGAN DIGUNAKAN UNTUK MEREBUS RAMUAN HERBAL LAINNYA (KHUSUS).Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-55960135044410016202012-09-11T09:47:00.002+07:002012-09-11T09:48:45.696+07:00> SERAT SURYANGALAM<br />
Dalam naskah Serat Suryangalam dikisahkan bahwa Sultan Suryangalam di keraton Aripullah yaitu negeri yang bernama Adilullah, diceritakan bahwa Prabu Riri Jagad dari Ngatasangin membentuk badan yudikatif dengan menerapkan hukum Allah yang berdasarkan keadilan, kejujuran dan kebenaran, yang kewanangannya dilimpahkan kepada jaksa untuk menangani perkara-perkara hukum berdasarkan hukum dan syariat Islam sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.<br />
<br />
Dalam Serat Suryangalam terdapat aturan atau Unang-undang yang mengatur mengenai lembaga peradilan dengan menyebutkan aturan perkara di pengadilan, tugas, syarat wewenang dan larangan-larang bagi jaksa dan hakim, prosedur peradilan dan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa. Antara lain syarat-syarat sebagai saksi (waria tidak boleh menjadi saksi, bukan saudara dan saksi-saksi yang ragu dan lain-lain) bahkan dalam aturan atau Undang-undang disebutkan bahwa saksi dan penuntut yang berdusta dikenai sanksi. Tidak hannya itu pihak-pihak yang terkait dengan perkara (penggugat, tergugat, terdakwa dan saksi apabila tidak hadir diperadilan tanpa alas an yang jelas (membangkang) dikenai sanksi berupa denda uang.<br />
<br />
Sebuah perkara dapat diproses dipengadilan apabila telah memenuhi 30 ketentuan. Antara lain adanya saksi yang memenuhi syarat, adanya bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, adanya unsure yang merugikan orang lain, semisal merusak, mencuri, membunuh ataupun melukai orang lain, sengketa jual-beli yang memiliki bukti tertulis serta saksi dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya dipersilahkan kepada sutrisna budaya Jawa untuk membaca naskah Serat Suryangalam dibawah ini :<br />
<br />
@@@<br />
<br />
SERAT SURYANGALAM<br />
<br />
/1/ : Bismillahirrahmanirrakhim:<br />
<br />
Punika Sultan Suryangalam. angêndika marang jêksané wong kêkalih, manawa ana wong apadu, dèn tarka angambil maésaa méndaa kapala, sapia, utawa panarkané dèndol pisan, ujaré kang narka, utawa ujaré kang dèn tarka, boya ngambil manira ménda manira dhéwé. manira wandé. yèn têka ing pamicaran sira kalahna paduné. yèn ora utara lan sawêwêngkoné lan sakiwa têngêné ora manjing pan ukum Allah , sira kalahna adêgan, yèn si utara lan sawêwêngkoné sakiwa têngêné sira aji ngêna ing agama, iya iku wêwêkas ingsun maring sira, lan sira jumênêng jaksa aja kaburu dhêmên, aja kaburu gêthing, lan aja mélik-mélik ing donya. lan sira angrasaa lara lan pati, iya iku wêwêkas ingsun marang sira poma-poma.<br />
<br />
Punika ana jalma mati tinaton mangka dêndhané sakêthi limang lêksa, dèn prapata kang kanggonan, anyakêthi, sajawining prapat alimang lêksa , lêt lêlurung angalih lêksa limangèwu, lêt sawah lêt kêbon angalihwêlaséwu sawêwêngkoné patingginé lêt alas, kêni pangara sak patangéwu, wontên déné yèn sidhêm pêpati, iku kajaba tigang / 2/ dintên, kalêbêting sidhêm, dêndhané tigang yuta, sanadyan ing umaha ing alasa, ing tapêl watêsa ginarayangan ing karta basa.<br />
<br />
Punika katampaning sidhêm pagarayangan tan kawruhan kang duwé bumi kari bêbalung kawruhan déning wong liyan tujah wêlah wong désa iku anglimang lêksa wong sijiné, anané sidhêm pramanêm. dhêndhané anyakêthi wong sijiné lamona wêwarah agêndhongan atitir apisaid kadêdêg ngêmban patra pralaya, anglikur rajuna cakrapati, ina pralayah, aprang payahan nilat karaa mutung pasangan anambung watang bubukên pacaprakopa tan juk mawacana apacarêksi, adiyu rêksa, surya candra, miruda wêcana, ati risak saupaya, ing sabda maéca pramana. Pisèrèn pisaid, sêrêgané, pangasiné tarkané saksiné, tuturé, kêndêlé, kawalé, sêsandhané.<br />
<br />
Punika kang kalampahing Mataram liré undhang-undhang. wontên wong mêtêng kanggénan tanapi ingkang angruntuhakên dêndhané limang lêksa sarta dinêdêg déning palampah. Jênêngé triyogya sêksi tiga wêlas kênya liring sastra bumi, duka wardaya candragêni mayauning lara, trisona, wida mêsthi wartigna, sawah artanya nyuda sabumi, prara kang/ 3/ toya, têgêsé kang rêradin manisapé lan ujar damar kang bêcik anawang karya wantah, lwirna anatoni utawa dènsuduki maling dadi lan cina bukti lari. Têgêsé ana wong ngaku sinuduk maling, agêndhongana titir kadêdêg déné bumi désa salah sajroning dêdêgan titir kadêdêg déning bumi désa. ujaré anuduk maling tandhané kêmalingan cina bukti lari kasaidan, déning bumi désa iku loké kêni maling, têkèk mati déning uloné, atitir dhingin dadi maling.<br />
<br />
Yèn ana wong katumbakan sabêt sapaning wong liyan têtkala ing wêngi tanpa cina tanpa bukti. maling dudu maling rabiné tan wênang pinaradhah. Yèn ana gugaté jumênêng anggaskara arané linampahakên ulat liring, cècèl kulit bêlah daging nugêlakên otot dêndhané nugêlakên bau balung saluhur sêdaya. Yèn mati kasukana pangilèn ing wong.<br />
<br />
Yèn ana wong anumbak maling tatkala ing wêngi sajroning élok. ana titir kadêdêg déning bumi désa salêbêté sinuduk maling kari-kari kang anumbak maling atitir, anênitik panitiké sarta bumi désa lariné, malêbêt ing wismanipun. nuntên titir dhingin. iku kalah cina bukti pramana, iku rupané / 4/ maling, ginarayangan lungguhing durjana, ana wong gawa gunting narajang barêng liwat palêgungan iya durjana dudu durjana déning ora manjing kisas pandhita apangulu amantria ana kang wruh kala pamêté duwèké wong iku lah durjana uga manjing kisas ginarayangan karoné kang narka lan kang dèntarka êndi kang bisa ujar roro, iku têgêsé abangun wêcana anuda wêcana, kalahna paduné, dènrowangi dènasaput pamalingipun, ginarayangan karta basa. Iya dyan mantria pandhitaa yèn watêk saba pasar, titané anggaskaroné êndi kang akèh cacadé kalahna paduné wong ngayawara arané, lir kirang pangrasa tan wênang rinasan paduné ing pradatané, winastan aprang paya. anyalawadi, têgêsé winangkara abot prabéyané aprang paya, tan wiyosi karta, anyalawadi owah ujaré wênang kalahna paduné, tan pangucap muwah banjar ing abanjar kang alèh maling ginanjar, kang darbé wong mêmaling dhinêndhaa.<br />
<br />
Ana wong liwat ing banjar, tatkalaning wêngi sinapa sapisan pindho jangkêping têlu yèn ora sumaur, iya padha kalawan maling. Yèn ana wong manpêling lawang pagêr liwa-/ 5/ t mangsané pinandhakakên maling.<br />
<br />
Punika andhih – andhihan têrka kandhih déning patra kadhih déning sêksi kandhih déning bukti, bukti kandhih déning pramana, pramana kandhih déning ububaya, ubaya kandhih déning utara, utara kandhih déning nyata. Punika tatrapaning dhêndha utara. Traping dêndha dhatêng mantri bupati lêlurah bêbêkêl patinggi kang darbé mélik kang dènsidhêm salokané anayarêsmi. abau sawiwi akirang wisa tatrapan dhêndha nistha raja utama. Bupati ubal mantri, ubal lêlurah bêbêkêl pikukuh ing désa. kang pramana ing dhustha sami lêlurahé punika lakuning sastra.<br />
<br />
Gêrah Bismilah,<br />
<br />
Punika wontên ratu ing Atasangin, jumênêng ing adil Allah , bisikané ratu Sang Prabu ing Suryangalam, Sultaningarip, ratu puniku nyaritakakên pêpakêming aksara, kang rinêksa déné sang prabu padhangé aksara, déné padu sèwu limangatus. pêpitu pêpakêmé pamêgat padu satus patang puluh papat. Ratu iku nyata yèn amadhangi ing balané dadi wêdhar budiné mantêb ubayané ing piyambêkira, tan gingsir pangandikané sanadyan kulit dagingé. Yèn ala angalapana tangan ki-/ 6/ wa ala dursila kang têngên trapêna. tangan têngên dursila, kang kiwa tanrapêna, kang dènlinggihi adilolah bêlaka ora amicara èlaning nagara muwah rusaking nagara. tan kéni bêcika dhéwé. wiyosé dèn jumênêng adilolah anrapi sabênêré ingadilalah.<br />
<br />
Punika prabaning jaksa, yèn sampun nyata sampun nyata aksara tigang prakara, iku kang ingaran jêksa kang ana sadurungé ngucap. ikilah aksaran déwan, yèn kabênêr pangangsiné kang apadu karoné tanapi yèn ora padhang nggoné apadu wong pêdhotên poking ilaté. Jajênêng yèn tan kangdi pratula. Supitên wêsi abang cangkêmé pinêrung kupingé karo panglakuné yèn ora bênêr dènya anglakoni anênulisi tugêlên tangané karo colokên matané karo yèn ora tinrap paukumé binuwang têka nêgara winatêsakên, yèn Sang Prabu angéman ing balané. yèn gênêp sêtaun Sang Ratu wênang animbalana malih déné ora anglakokakên saujaring pêpakêm. angowahi sabdaning pangéran. kang tinimbalakên ing Rosululah Salalahu Ngalaihi Wasalam.<br />
<br />
/7/ Wiyosé jumênêng kang kalih prakara, agama dirgama kang tinurunakên ing pabuka bumi kalih prakara, pangrasaku. yèn tan bênêr anrapakên saujaré sastra. mangka lélérongana laré ina ing pasar. yèn ana kang mêmadhani padu pradatané tan bênêr sapangucap mangka trapné saajining jaksa, wiyosé jêksa iku. sira ing mantra patih, maliwaraning patang prakara, pangulu jaksa, pêpatih pêpancugal sawujudé déné sami alêsukoma dèn wruhi nayakané jalma, sira iku paliwaraning pangucap-pangucap iku paliwaraning paningal tingali kumaka wéhné pati iku magawéyané ngurip, urip iku panggawéné sukma, sukma iku tan pituduhan. iku kawruhana têgêsé suara iku. ulihné kang duwé rupa. landhêsé kêna ing goné sêpi lan mê-/ 8/ nêng dèn prasipta parérénan, kang wangsit punika isi jagat, kang dèncaritakakên déning titi jagat, lungguhé tri rasa upaya kang tan kêna pinisah tinunggal . têgêsé tri têtêlu rasa sawiji pênêré dadi nênêm. dhingin paréntah, pindho ukumalah kang dèngawé pangilon. dirgama ing ukumalahi kang dèn gawé pangilon. ikilah tugêlé rasa tri rasa upaya paréntah padu pradata. iku ora kêna winor pan awasêna dènawas. aja tinggal karêpé sastra aja gagah pangawasé dwaséna lungguhé.<br />
<br />
Yèn kalêbu sanga prakara, paréntah kang aduwé gêgadhangan. yèn kalêbu ing dasa wiguna padu pradata kang duwé gêgadhangan punika sira ing paréntah kalêbêt gunturani lagu tur guntur bèna kang lumrahi nagara kalêbêt kasêrat paréntahing ratu. asalin ratu asalin paréntah wilaga paksi wong sabrang kang ajawa. pangucapé iku tan wênang padu pradatané kaya kang dènarani êmaliku, kawruhana lan basa êmal.<br />
<br />
Punika / 9/ têgêsé ing êmal patang prakara kang sinérênakên maring sang prabu tigang prakara. rinasanan ing pradata, banyu bumi, uwong, langit. Mulané banyu dènarani êmal, déning alah anduwékakên bumi arané dènarani êmal. Déning Alah angêrsakakên nanêm biji manusa karané dèn arani êmal. déning Alah tangala angêrsakakên anyatakakên manusa kabèh. langit karané dènarani êmal. déning alah anyatakakên srêngéngé, lan lintang lan sasirina lan wêngi.<br />
<br />
Têgêsé êmal kang kumêré bab kumarining. marang kirna kang rupa brimamas lungguhé tigang prakara. iku wruhana dèn awas. punika têgêsé si sapa anêkakakên ing ukum Alah , sing barang pakartiné ora wênang tinut pakartiné, kaping kalih sing sapa abênakakên paréntah kêrta, tan wênang minuswa padu pradatané bêkta kalahna adêgan. Punika sira ning pangukaya wakarya, buwawahan tuwawa witana tan witana têgêsé kirya-wikarya têgêsé iku paduné upahakên. / 10/ wus opahé tuwawan juwawa iku paduné wong anênitik, witana tan witana paduné wong adola pakuwis picisé angrasa durung picisé.<br />
<br />
Utawi sarat kang wajib kisas iku roro, sawiji arêp ana kang dènpatèni iku mupakat, tangan padha tangan, lan kiwa pada kiwa, lan kaping pindho iku arêpa anggota kang dèntatoni, mupakat pada waras, mangka ora dèn tugêl tangané kang têngên sêbab anatoni tangan kiwa, lan ora tinugêl tangan waras sêbab natoné tangan jèmpè utawi sakèhé anggota kang tinugêl saking adon-adon kaya sikut lan pagêlangané iku kisas ukumé, lan liyané iku mangka ora na kisas.<br />
<br />
Punika sira ing padu pradata sinabêt tilari. satmata pramana êlos. ikralé dhéwé kang tanpa sêksi. iku sira kawruhana dadi jumênêng êmbanani sosot. kang minangka sêsocané jagat. iku sang ratu tan duwé kêkalih kang minangka êmbanan. pangulu jêksa pêpatih rêrangkêpé nagara. kang angrêksa praja. panyarikan paliwaraké bayan wong tindak ajingêmban. Wong arégol kang wicaksana, amriha kartaning praja, muwah dustha sarana iku inguwohakên tandha kabayan kajinêman. wong régol kang wicaksana, lungguhé jalma kang artakakên nagara. iku kang prara kang karta jênêngé padha wicaksana.<br />
<br />
Punika pituturé Sang Ratu Ngatasangin, bisikané Prabuné Jêksa Wirapêksa, Patrakèlasa, Jêksa Pramana, Jêksa Miraya. têgêsé Wirapêksa amirantining wong apadu angiloni kang akèh rurubané. têgêsé Jaksa Pratakilasa kang tu-/ 11/ ngggal sêsolahne bawane lan kang apadu. têgêsé Jaksa Pramana kang anglakokakên saujaré sastrané ora angurangi ora angluwihi. têgêsé Jêksa Amijaya kang owahi donya kang bênêr saujaré sastrané kang apatut lan ukum Allah.<br />
<br />
Punika sêsukêré nêgara kang rumêksa kathahé patang prakara sing sapa angrusak sesamané tapa karma dhêndhané yèn ana duwé ilang dèn têmpuh putung. basané ing umbul-umbul. lêlurah bêbêkêl yèn arusak sêsamané tan pakrama dhêndhané kamaya wong siji. Yèn ana duwèning wong kang ilang têmpuhna triguna. Yèning pati kang wasaya dhêndhané sanagara, bupati kalungakên sangang taun sangking prajané.<br />
<br />
Punika sabênêré wong rêbut sabêt watês ki padha tuwuh padu padha kakitarêbut banyu rata, tarêbut sêsaba kang silêm kita rawal, rêbut sabalané kari ki pramana karêbut sabalané kang kodén rinasan déning jaksané. Maniking jaksa kitukawayang paliwara kipantês ki-/ 12/ nêmbalan wêwalêr pinakra kêna ing pagarayangan. ing kutha ranampa sinalisik papaté lan sastra iku mêksah narka kang rinusak sêsandhan paréntah. kêna ing pramana, karang kirna pagêr antara tinajuk kramanya dèn kêmêt pariksané ing désa sapanglangkoné uga kramanya agama iku angalahakên sakaliré prakara, padu pradata, agama iku kalah déning nyomana, atiné bomana iku pramana.<br />
<br />
Yèn karang kirna kalahing gama, déning nyata pramana aranya têgêsé nyata pramana iku kang nandur kang ngalahakên ing purusa kèh déning nyata, déning jagat dadi pêtêng pagarayangan sangang prakara iku taksih tarka.<br />
<br />
Jênêngé kang aran tarka déné ulaté nyata pramana, nyatané tarka déning pramané kang anarka karané kang tinarka ora nyata déning tarkané ora pramana. nyatané tarka déning pramanané iku kawruhana dèn awas, lungguhing tarka kang manjing lan kang ora.<br />
<br />
Punika ênggoné ngawaskên sadasa prakara / 13/ sêpisan pisêsêrêné, kaping saidé, kaping tiga sarêgané, kaping sêkawan pangangsiné, kaping gangsal tarkané, kaping nêm sasiné, kaping pitu tuturé, kaping wolu kêndêlé, kaping sanga kawalé, kaping sadasa sasandhané, ika dèn agêmêt pariksanika. titénana dèn agêmêt, karêpé sastranira aja tinggal karêping sastra. luguné tarka iku yèn têrus sêksiné kawalé sêsandhané. tuturé tarkané yèna sawala saênggoné kalih pisaidé, tanda dadia satêrkané, têgêsé sêrêgané lan pisaidé sawala kalih sêksining tandha diyasa tarkané saliring padi pradata, atanapia sawala, sapadu pradatané sayogya trapné ing dhêndha, asunga pakantuk sapangarsa.<br />
<br />
Punika têgêsé apacabakah, ana ta wong wadon sawiji arané nora aniti tarkani tarna kalawan ing sona, kang narka wong sêkawan. panarkané barêng sadina papat iku, dènya ta wong papat iku tarkané béda-béda tan dadia manarkané patènana kang narka iku, yèn ora pinatèn dinêndha trapna.<br />
<br />
Punika karané wong parèntah kalih prakara, kang rumiyin parè-/14/ ntah kapindho pêparèntah. têgêsé parèntah purusa lungguhé tigang prakara déning dhingin ratu, kaping kalih papatih, kaping tiga mungsuh iku angrusak êmal. walat sajênêngé yugya trapné dhêndha dasanara. puniku kawruhana wong pêparéntah aja kaburu sêngit aja kaburu ing dhêmên.<br />
<br />
Punika pamêgat padu pradata tigang dasa prakara kang katindak tiga kang wêning angrusak amal. Kalih prakara dhingin ratu angandika lèh mungsuh lan pêpatih ing mal karusakakên angalahakên amêcah bumi angalih araning uwong anglaraa lungguhé yèn saparéntah ya mur amékana, tinarka durjana angambat wong kangadu dadi durjana. Pangambaté boya dadi kalih kudhang ciri. anuwuhi sastrané, sajabané titi ping tiga anambuk pugung. Têgêsé amêpang mêrang nyata, dorané dhéwé, sing sakawan putung pamatangé artiné sajroning nirêgol malayu tinggal gusti utawa mungsiliyan, gangsal prakara kalêbêt tinarka prana artiné wong arêp mêmatèni damaré mungsuhé, wolung prakara kalêbêti mangsa damar inatarik artiné jênêngé dènlungguhakên ing tuturé, sangang prakarané kalêbêting /15/ bêkawêrona artiné pangucapé ora mêtu têka gustiné, mêtu têka wong agung liyan, sadasa prakara kalêbêt inapralaga artiné ana dêdalan anyêkêlan tur ta kang duwé bumi ora gèndhong ora titir, kalih wêlas prakara maring ayunaning tarka. tiga wêlas prakara kalêbêting tosan nukma pramona artiné wong mênang paduné pramana antuk piyagêm, pamênang yèn wus katapan, déné karasané kang mênang ora ana rupané, malah kang watang ora wênang. balèkêna maring kang katên wênang sungana sarèngat tan wênang katura Sang Prabu Yogya tubaséna dadanan tratêg muwah dados, patbêlas prakara kalêbêting sêksi rumêmbé artiné sêksi amung sawiji tinakènan kang wêruh wong nênêm, limalas prakara kalêbêt angêmban patra artiné ora titi pocapané, kaping nêmbêlas prakara kalêbêt anglikur raja, artiné angungsèkakên pangucapé maring wong agung, kaping pitulas prakara kalêbêt cakrapati artiné angkuhing utang-utangan wong prasanak ing wong.ping wolulas prakara kalêbêting /16/ ina pralaya artiné sêsandhan wong mati. sangalas prakara kalêbêta prang paya artiné gingsir ubayané, kalih dasa prakara kalêbêta mutung rakitan wêwarah, kalih likur prakara kalêbêt anambung watang bubukên artiné sawusé angiring patang wêwiyosan datan miyosi, pat likur prakara kalêbêting paca prakomah artiné daksura pangucapé solahé, salawé prakara kalêbêt anukma wêcana artiné asring anyarong jêksa, nêmlikur prakara artiné kalêbêting panca rêsi artiné manca lilima rêksi wêwolu ora nyata tulisé wulan rupané, pitulikur prakara kalêbêting suryacandra miruda wêcana artiné srangéngé lan bulan iku padha tulisé sarupané agingsir iku pangucapé, sangalikur prakara kalêbêting trirasa upaya artiné sajroning padu apring wêwèhing jaksa /17/ tigang dasa prakara kalêbêting sêbda maécaprana artiné agoroh panyéradi pangucapé déwé, sakathahé padu pradata yèn kalêbêt tigang dasa prakara kalahna paduné.<br />
<br />
Punika pamêgat padu pradata wolung prakara kang dhingin kalêbêting gupita abêkmana pramana artiné wong siji dèngawé kawal ora dènwêtokakên déné kang duwé sêsandhangan, kaping kalih kalêbêt tiban prakopa anukma lampah tanjuhing wisa artiné sêksiné sêsandhan sampun kalakon déné panglampah jênêngé kang arêrasan. Tan aduwé pocapan sêksi sakawal sêsandhan iku jaksa anêluhi kang padu êndi kang pêlingé kalahan paduné, kaping tiga kalêbêt wilutorah artiné saksiné kawalé sêsandhané ora kaya ujaré kang duwé sêsandhan, kaping pat kalêbêt tibaning gêsêngé aji pangucapé kang dadi apus, kang dèniloni nupatani wêruh kang dènilona kalahna paduné kaping lima kalêbêta ngadhang tarka dènilona kalahna paduné, kaping lima kalêbêta ngadhang tarka artiné tarkané kaya kombang sataman, dèn jajahi kaping nêm kalêbêt angala gaman daya /18/ artiné ana sêsandhan wong ora pramana kalahan apaduné, kaping pitu anyalawadi artiné analèni layang ubênga anduwé layang kalahné paduné, kaping wolu kalêbêta ga pita sabda pralaya artiné wong said anêrêg ing naid sarta anêrêg kang duwé êmal sarta kang duwé dhawa nanging kaloka baradhan déné dudu kawruhé dhawa kalahna paduné.<br />
<br />
Punika pamêgat padu limang prakara, kang dhingin pratélané ping kalih pinêgating tutur, kaping titigating sasi, kaping pat pinêgating kawal, kaping lima pinêgating paliwara, ginarayangan limang prakara, kang dhingin trataping, kalih titi, kaping tiga karta, kaping sakawan dupara, kaping lima sengara, têgêsé titi padhang laku satidak, têgêsé karta pinajangan tarka, têgêsé dopara goroh, têgêsé sênggraha wong corah.<br />
<br />
Punika prakara wong katitipan, têgêsé duwèking wong kang ora katêmpuhan kang kalêbêt apaca sadaran lirnya kagunturan gunung, kanêban kobongan kalajoki mungsuh paréntahing ratu.<br />
<br />
Punika gêgêdhêging nagara kang winarna ka-/19/ bèh dhustha iku têka gêthinging nagara. sing adudu iku gêgêthingi sato alas krami iku gêgêthingi sarira warêké iku gêgêthinging banyu, tingkah iku gêgêthinging manuk kabèh, iku kawruhana dènawas, pan sêsukêring nagara. Iku waspada kêna, pariksanira dèn astiti aja sira mêliking donya. angrasa ala pati ora wondéné pinanggih.<br />
<br />
Punika saloka patang prakara, kariyin miruda wêcana angrêksa sêbda pranglaya, artiné saksi iya kawalé sêsandhané. yèn ana mêngkono ing karoné sapocapané tanpa dadia kalih prakarané dhêndha matanggal sapisan kapurnaman. Sêpi boya warané pisaidé sêrêgané tarkané tan wênang dinawan tarkané. Kaping tigang prakarané angêmu wadi têgêsé kawal sêsandhané muwuhi pangucaping saksi anupêtakêning jaksa jêjênêngé panglaku. Patang prakara ana damar padhang bulan, aluhan déning lintang-lintang artiné wong kang narka lan kang dèn tarka asanggup olèh tulising bumi muwah tulisé kawalé. yèn têka kawalé ora dèn têmokakên, muwah dènsingidakên, punika kalah paduné lan antuk sapangara-/20/ hé dhêndha dêlêm.<br />
<br />
Punika tatrapan ing pradata, saliring tarka yèn sisipan nêrkané asunga pakantuk sapangarané dhêndha dalêm. Yèn si manjing satarkané kalah kang dèn tarkané dhêndha pangêlua trapêna, punika sêksi kang wênang pinétung prakara dèn sami maspadakêna kang angrasani adil. Kang kariyin sami awarasan aprayayi kangalusur samaté jakêtib modin. Drasa sulêksana patrikarêkah kang wicêksana durni malêm. Bênêmantri kalari déning ing ratu sawarniné kang kanggo, duwé kêkasih jêksa jugêm, pandhita ginuroh déning ratu supaya kêning agêlarakên ujar kang abêcik, sapocapané tan gingsir pamaséké déning dahwé, sugih kang wandé takén duwéné iku kawruhana aja sira uwong ukumé padha sêksi.<br />
<br />
Punika anggèné angulati bukti saliring bukti kang aran rupané bukti, kang tan ana wujudé pangucapé ingkang narka lan kang dèn tarka. Iya iku bukti kang marupa, têgêsé ing gonangin anonpucuking ring nyataning angin, iku godhong kayu artiné anggon pucuking patêmoning rêrasan, artiné dora lêksana bana iya ujaré déwé.<br />
<br />
Punika wêlat upaya tigang prakara kang dhingi-/ 21/ n rêbut bumi nyarok watês angambil gêgamané kudhi kêrisé kalih prakara wêlat upaya, karang bukti artiné, gawa wong akéh, kagêndhongan katitiran katon tinaton padha jayanya sayogya kalahna déning pacaptrapna ing dhêndha nisjaraja utama, lulurah, bêbêkêl kaliwon, wong jaja, punika nasmakilah dasa prakara anyalawadi artiné sajak kèndêla yèn sawalan tuturé, akaryadési artiné asanggup wêruh ora waspada, anirpaksai artiné wêruh ariku sanggup ora wêruh, aninyuktiyarané artiné pêtêng sapangarahé, angadhawa artiné ana ora dèn cacêb dékêning umahé toya martah artiné sajroning tinarka anyingidakên bawasabda artiné sêksiné dèn wor ujar dhêmit mang itung rahartiné sêksiné sakawalé sêsandhané ora kaya mangucapé kalih kang duwé sêksi, rékapan daya artiné katêmbu agugunêman lan sêsandhané, angèla pandaya artiné gawé sêsandhan wong ora karuwan lumahé, abakah artiné kêndé-/ 22/ lé sêksiné ora nana tuturé, ana sêksi anirat sêksi artiné ing kèndêlé ana sêksiné ing tuturé, ana sêksi anut watêsana artiné amaténi layang sastrané utawa anyuwèk layang. anyalawadi artiné anyalini la yang panêrêg, utawa anyingidakên layang. akarya dristhi artiné sajroning sinawung oléh layang utawa adêdan pagêr muwah popol, anglêga praléna artiné kalang-alangan, ora warta maring kang duwé siti, toya pralaya artiné tan mêroni saubayaning tulisé dhéwé.<br />
<br />
Punika ujaré kutharagama alambang dadi ugêr-ugêring nagara, iya iku pangulu paliwaraning ratu, jaksa paliwaraning pangulu, pêpatih paliwaraning jaksa dadi patang prakara, ratu pangulu jêksa papatih dén sami tunggal budi. saujaré dèn sami, ulah sukmana sami ulah rasa dèn sami angonangin, silané ing nayaga traning manusya, sila iku pagawèhné pangucap, pangucap iku panggawèané ati , ati iku panggawèané ngurip, urip iku kang / 23/ tanpa tuduhan.<br />
<br />
Yèn arêp pawas ulatan ênggoné sêpêtkên, ênggoné nawung yèn wus tatas suwarané, ulihana kang ngadu wèswara, rupa iku ulihna kang aduwé rupa, lan wuninga agratané manusya, ala lan kang bêcik, yèn kang agama lan kang arigama, analinga déné pinalajêngakên, déné trangé sêkar tunggal sêkawan wité têgêsé kêna gawasa paningal sakêdhap, laku satindak manungsa ênggon pangucap sakêdhap, ikulah karêpé gusti rumêksa ing gêgamané lan rumêksa ing agama Islamé, rumêksa ing balané lan nrumêksa kuthané, dadi jumênêng ratu pangulu jêksa papatih ing nagara, déné lirsida dugapawané, gêlap tanpa udan sêgara ngawang-ngawang ana murub jroning toya têgêsé awas tunggalê tinêmbus akathaha agama lan dirgama Islam, wiyosé ngadu para wicaksananing pawèrangan tan kèwuhaning papané.<br />
<br />
Punika Sang Ratu ing Suryangalam kang adil Allah jumênêng pangulu jêksa pêpatih, karoné jumnêng déning jênêngé pangulu, kang jumênêng jaksa pêpatih, mantri sê-/ 24/ salokané banyu kinum, bumi kapêndhêm srêngéngé pinégti, têgêsé kang tapa kanga ora tapa, iku kêkalih dhingin tapa wajib, karané punapa déné kang agung kang sipat jalma lan wong aji sing ing tapa. Kang aran kuwawajib kêkalih kang aran tapa sunat iku kêkalih têgêsé tapa wajib iku kang dhingin jumênêng ing mesjid kang tilawat kuran, salat limang waktu, ingatawa pangêngên parané, kaping kalih tapa kémayah arané kaya anêmbayangakên mayid lan nulati sandhang lan pangan, têgêsé apa sunat kêkalih dhingin sunat, abngalé sunat muakad ora kêna tininggal padha kalawan pêrluné têgêsé sunat muakad iku kaya palagrahakan salat ariyaya lan salat rakangat lan witir lan susur sadurungé wudu têgêsé sunat dêsasa, kaya wêwacané sujud rukuk lan liyané muaghad iku angkati sirah yugya pakin pamubada, kang jumênêng pangulu papatih utawa sané manusya sêdaya, yèn ora anut pawartané Nabi Muhamad Salalahu alaihi wasal-/ 25/am.<br />
<br />
Yèn pangabêkti liyan yèn ngawikanana sunat parlu lan ora anglakoni rukuning iman, lan dèn wruha bayaning urip, lan bayaning salat, lan dèn bêkti ing Allah Tangala, yèn ora kang anglakoni sahadat maka ora Islam, déning jinarah artané lan wênang pinatèn, déning sang ratu adil.<br />
<br />
Punika pangandikané kang jumênêngratu kang jumênêng pangulu jêksa papatih kangadilalim. Iku dadi pêtênging nagara, ingkang dilat alim, iku pinanjingakên ing swarga luwih saking luhuré, angingkang jaja adilalim, dinakoning gunung mirap iya iku gunung antaraning swarga lan naraka, mulané ana ingkono sangu sêmajing swarga, mulané ana ing gunung bahrap déné dosané wong atuwné.<br />
<br />
Punika kang gérah ing adilalim pinanjingakên ing naraka jahanam ing dhasaring naraka kaping pitu pisan kang dhingin gunung ing api ing gunung aktul ing antarané swarga lan naraka karané suwarga katingalan, naraka katingalan, saking gunung irap iku lawasé ana judah. Kang ana ing gunung mihrap iku amung sadina ing akhérat, yèn wus / 26/ sadina pinanjingakên ing swarga.<br />
<br />
Punika sang ratu mila sangêt pituturé ing balané sêdaya, balané sami pinênging apadu wicara sami angestokakên asarèngating iman sami kinonangan dal ing Nabi Muhkhamad Salalahu ngalaihi wasalam, yèn tan ripé mubadir, uripé sami lan pêjah, minanjingakên naraka, yèn wong gêlêm pangabêktiné, yèn tan angawikané nasunatan pêrlu lan dèn kacakup tingalah tangala, yèn ora anglakoni sahadat, ora sêlam wêning jinarah artané lan déning pinatèn, déning sang ratu adil.<br />
<br />
Punika pangandikané kang jumênêng ratu kang jumênêng pangulu, kang jêksa pêpatih kangadilalim, ingkang dadi pêtênging ing swarga luwih luhuré kang jaga ngadilalim tinakoning gunung ikram iya iku antaraning swarga lan naraka, yèn wus ana ingkono majing swarga, karané ana ingkono déné wong atuwané, punika kang parèntah ngadilalim pinajingakên ing naraka aja anoming dhasaré kaping pisan, utawi gunung rip, iku gunung ukuli antaraning swarga lan naraka / 27/ déning swarga katingalan kang anèng naraka tingalan, saking gunung ngarip iku lawasé anajudahi, kang ana ing gunung ngarip musadina ing akérat yèn wus olèh sadina pinajingakêning swarga.<br />
<br />
Punika sang ratu milané asangêt pituturé ing balané sadaya, balané sami nênggi apadu wicara, sami angèstokakên asarèyating iman sami kinon angandêl uruting bêcik utung ala saking Allah tangala, aja jinah aja jurjana, aja analangsa alampahi siya-siya, sami amilang-milanga agama lan dirgama têgêsé drigama agawé isthiyaré mapan kabéh iku saking Allah tangala, swarga naraka wus pinasthi tan kêna owahana, lan padha ngandêla pangandikaning alah salalahu ngalaihi wasalam, animbalakên pangandikaning Allah tangala aja sirik, aja èsak, aja sêkêl, aja lia, aja samar, aja pangling, aja tanduki. Anarimaa saparèntahing Allah Tangala iya iku panglêburan wujud kang anyar, lan mangana kang halal lan nukumé, lan anyandhang- /28/ a kang suci kang halal lan ukum. Anginum banyu kang wêning lan lumaku ing dêdalan khérat sarta lan ukum iya saking toya kang wêning. Apatut lan ukum, bêbanyu mustakmal arané. Ukumé suci balaka ora cêkakakên lan aja ana wong apadu iku kharam ujaré ukum Allah.<br />
<br />
Maka pangandikané Sang Ratu ing Suryangalam, maring jaksanira sêdaya. jêksané kêkalih kang adil, kang wicaksana ing agama Islam. Pangandikané Sultan Ngarip ing Suryangalam. dhawuh dhatêng jêksa nira. Yèn ana wong padu wicara maring sira, wruhna alané lan bêciké donya têkèng akhérat, Yèn ora gêlêm sira awêri, sira wruhna kalah lan mênangé lara pakénaké Sang Ratu Adil. Karoné padha sira wêlasana. Sawusé sira wêlasi tutur rèna kang adil. Kang mulih maring kang duwé wêlasan. Séwu sasuku ulihné maring kang duwé.<br />
<br />
Yèn ana wong padu ora mêtu patang pasêban, kalahna paduné dhêndhané triguna. Yènana wong kamalingan utawa wong kabégalan kasayaban utawa wong kélang-élangan, ora pisaid inng jaksa aja sira rasani.<br />
<br />
/29/ Yèn amêksa sarira kalahna paduné lan aja pilih papan. Poma-poma dèn asil. Yèn ana wong anakokakên anênahanên pêksaguna. Yèn ana wong sinuduk ing maling aja sira dhêndha sakaroné karané ngapa iku ora duwé dosa sasawujudé. Lan ing dalêma jalal sangêtoné ing Allah Tangala. Yèn ana wong mêmaling kalêbu kisas, kisasana tugêlên tangané têngên. Yèn kongsi gênêp pindho tugêlên kang tangané kiwa. Yèn gênêp ping têlu tugêlên sukuné têngên. Yèn gênêping pat tugêlên sukuné kiwa. Ikilah ujaré ukum, bèn wong lanang bêcik wong wadon tugêlên tangané ukumé maling. Sanajan ingaran ana maling mati angambil donya sasandhanag uripé wong malaku ing wêngi yèna upêti kang ora agawa obor. Sanadyan pangulu sanadyan mantria, prayia umumé maling lan trapêna parèntahira.<br />
<br />
Yèn ana wong apadu pêpunèn sariringané jênêngan pisaidé. Déné urang paréntahing agama Islam. Lamung ana wong sinuduk ing maling tanapi karèpotan. Ora pisaid, dhêndhané sadasa guna. Yèn kang saikadêdêg pêpuné /30/ apisaidé wulan, ajiné séwu sasuku ukumé kisas. Wong liwating lêlurung banjar ing abanjar têtkala ing wêngi mati oboré sarating jasira dhêndhané, wujudé maling sangêt dosané ing Allah Tangala lan aja sira pilih kasih, aja sira paé-paé. Sira padhakêna anaké dhêwê, Iya ta alané durjana sira pêndhêtkêna, lan kang murang parèntah ing agama Islam.<br />
<br />
Wong liwat lêlurung ing banjar tatkala ing wéngi, mati oboré, saraté kang dadi obor dèn rarasan dèn karungu maring liyané, omahé maling ora yèna parané. Yèn tinumbak ora nana paran ujaré tata nagara ujaré ukum Allah. Anyaurara ngawikaning abi wong nérat wêwalêring Sang Ratu Adil. Yèn ana rarasan kang ala kalahna, sarta dhêndhané, dosa pati pinatèn. dosa lara-linaran, dosa dhêndha-dinêndha, dosa wirang piningakên.<br />
<br />
Punika patut lanturing ukum Allah. Duk padu séwu satus patang putuh papat. Kuthara kalih wêlas, kapupus déning salokatara sèwu satu-/31/s patang puluh papat. Pamêgatipun wolung prakara punika kang rinaosan apus jawa.<br />
<br />
Punika salokatara kathahé padu kawandasa papat tê gêsé salokatara, pararêkêna kang apadu kalihé, ala bêciké mangkéné alané mangkana kanandhapé kang kaloka ala iku. Punika kangaran padu sadaya parêntah kang tumandang sakuthahé kagonan. Durjana saparatikahé wêruh polahé durjana. Sasorèkah sapadu ilon lan durjana mati ora kailén. Kabanda ora aléh, walat tatu ora aléh tamba jampi.<br />
<br />
Punika padu tigang prakara paduné wong adol tuku, kirya-wikirya arané paduné wong titip. Lan kang katitipan tuwawa tan tuwawa arané. Paduné wong angupahakên lan kang angalap upah witana tan witana arané.<br />
<br />
Punika aran padu tigang prakara nistha maosaorasa, pariwêksa angambuk pugung. Punika nistha maongsa nagarabèi baé sajabaning lawang, lan dya mangsa araga garaboing pala- /32/ taran maongsa-ongsa akêdhah pagêr lumbung ana wong babusuk isiné umahé. Pakantuk pasumêngêr wolungèwu, pariwasa amêt duwèni wong tan patrama angambuk pugung angrusak duwèking wong utawi ana amêmalingi tetangga.<br />
<br />
Punika sastha-kustha pitung prakara maling utama, maling rêtna, maling jawita, maling wong wadon. Mamaling-maling laras wong lanang marani wong wadon. Maling têbunan durung olèh-olèh wis kalêbu wêwêngkoning. Maling arêp angiling-ilingi duwèning wong. Maling timpuh wong kamasan.<br />
<br />
Punika padu limang prakara èstri cala sabêt purusa. Sagrawiruta, sagra widhana, sanda candhala. Punika lirnya èstri cadhala pada palapina lapadha wong wadon. Sêbda candhala pisuh-pinisuhan. padha wadon sêbda purusa wong lanang tukar lan wong wadon sigra wêcana wong lanang aja jawat wong wadon.<br />
<br />
Punika padu pitung prakara, angênidiyah awisadaa èka warna raja wisuna, apala dara jinah wara. Wong kasudukanyadah. Punika artinya angênidah angobong umah. Awisadaa upasé /33/ uwong ékawarna wong nêluh utangé mêlik. Raja wisuna angakèn nakoni ujaré gustiné. Pala daraniyah wong marugul puniku dèn jinah nuli dinténi pisan. Wong ambuk pukung puniku pagarayanganing patang prakara. Sarta kandhih déning patra. Patra kandhih déning sêksi. Sêksi kandhih déning patra. kandhih déning pramana. Pramana kandhih déning ngubaya. Ngubaya kandhih déning purusa.<br />
<br />
Punika lirnya ing tarka ujaré ngaran têtulisan. Sing wêruh tigang prakara ngênêkséni lan kasinêksén. Sarta nênakoni bukti manut kang aran nyomana mêktokakên. Kang dènaran pramana alawas ubaya têtulisan. Sarta karon purusa pangandikaning pagarayangan kawan prakara. Sabda sawarsa, kaligana tawa Ratu lèna kanama lèna asalin watu. Punika liring sêksi pramana sakpapralèna sakumbah punika kalirnya saksi pramana sêksi kang kèndêl. Saksi pralèna saksi wong mati. Dadi adhapya, saksi kumbah sêksi sudrah tan dadiya.<br />
<br />
Punika saksi tan wênang tinakèn patang prakara sirna wêcana, sirna pramana, sirna niscaya, sirna miarsa, sirna saha wong wuta, sirna pamirsa wong tuli.<br />
<br />
Punika pagarayanganing ngastha corah kalih prakara. Ana maling dudu maling iya maling. Punika lirnya ana maling dudu maling ya dyan gawa agunting pangkikis, yèn ora bêdhah pagêr dudu maling iya kêmaling. Ya dyan pandhita amalêbu ngumah ing wong dalu-dalu maling uga. Utawa ana pagêr kêdhah, punika pagarayang patang prakara. Aku wolung sêksi anyuda sêksi, anyau rêksa, abahu sabda, apa sêksi.<br />
<br />
Punika liré akutha sêksi wonga sêksi, sanak tan dadia andhapya, anguta sêksi. Ana sêksi kudu sêksi wong durjana dadi andhapya abau sêbda, sêksiné dèn warahi dadi kandhapya, bau rêksa, asêksi anak para saksiné muni tan tinakon, aprang saksiné dèn êbang-êbang dadi adhapya.<br />
<br />
Punika pagarayangan malih patang /35/ prakara pakandhih déning dirgama, kandhih déning dèwagama, dèwagama kandhih déning toyagama, toyagama kandhih déning purusa.<br />
<br />
Punika têgêsé jugulmudha, ora duwé ujar roro. Sanajan prayayi aduwé ujar roro ora dadi saksi .<br />
<br />
Punika têgêsé atas karta basa sajan pandhitaa yèn saba pasar ora dadi sêksi. tarkané dèn angési.<br />
<br />
Punika têgêsé rajaniti, titènana saprajané dadi andhapya.<br />
<br />
Punika têgêsé titi swara, titènana pangucapé kang ala lan kang bêcik. Kang<br />
<br />
aran lan kang dèn aran, iya iku têgêsé tidhar salokika.<br />
<br />
Punika têgêsé sarudèntha, titènana sarupan, pangucap ing karoné.<br />
<br />
Punika kang akèh dorané dadi kandhapé.<br />
<br />
Punika têgêsé caya-murcaya, ana wong ngapadu wus ing tutur ing pajêgan,<br />
<br />
wong kêpatén sajroning apadu maka adhapya, kang upata ika.<br />
<br />
Punika têgêsé kuthara manawa akèh arané manawa bêcik manawa ala. Awang-uwung angalap-alap kang ujar-ujaring malih tatana- /36/ na.<br />
<br />
Punika lirnya angawang-ngawang, angujar-ujari tut bajar tang kauningan kang dèn ujari sakathahé amiarsa padha olih pakanthuk mangkéné pakanthukipun angalap-ngalap, angujar-ijari maring tata anêng mangkéné ugi tatrapané muwahing ngalimahé salawang. Kalaning yèn atus sêkar cina bêkti têbasané yèna malayu têbasané kalih wêlas.<br />
<br />
Punang arusak sagul istri tan payun kadhêndhaa kang rusak utamané kariyin kalih duman. Kang sadumané dipakantuk, punika rinusak ana punang dalih dinalih tan pikantuk padaliyé. Kawalikêna sêsapa ngarah olah trapna in dhêndha sapadalihé, muwah angaku-aku. Saliré kang dèn aku apadu tan payun ngilènana, ayuga lèpèk ing palakarta.<br />
<br />
Yèn apadua sung apa mutung yèn wênang katigarsa pangarahnya. Tur kadhêndha muwah ing palakarta. Aguwa ana kala luwiyan. Kanistha raja utama, tikahi saujalma wong rasa dadia jatiné warah arigama. Arigama kandhèh déning ngadigama, dirgama kang sakuthara, manawa dirgama saking suwara kang ngapit ing nara. Anyumana ngarané nyumana nyamanalah déning ngubaya mangkéné kang linampahakên sang darma patih.<br />
<br />
Punika wong mangandêlakên piutang, kang pinangandêlakên margi /37/ tumawa wikan, utawa ilang, kang mangandêlakên anagurona, jumênêng aprada nagarané. Muwah ana tarka, muwah ana palamarta.<br />
<br />
Punika lirnya titah toya dènya nganya rasi ing tarka. Kirnané nangurapi kang mami, paramartakoné kang ala lan kang bêcik, uripé kang sêdaya ngabêcik mamaya kang sêdaya ala. Karasak akarya krama ing lumampah tigang prakara.<br />
<br />
Punika lirnya tikah ing ngarêsihi karta kang dawa déning uripakên kang mati paramarta. Yèn pati gajah, wong wadon yogya sirahana.<br />
<br />
Punika kakramanya, asaloka mantri pasawanga tripa piyan. Tur ana dukanya ora miyad tumaa muni kang wuni tan asring tun lisring asipaté.<br />
<br />
Punika lirnya pawatak ring padhêt tuna iku ora nana warêgé kayu. Ranaduk kara tuna wiyad, ngasaara iku ora nana wareging banyu. Malamung nita wuyat lana pandhita iku warêg dé-/38/ ning kawruh, sri tut miwoya miyad wong wadon ora nana warêgé ing wong lanang.<br />
<br />
Diyat iku atas rong wêrna, kang dhingin mugalalah, kaping pindho mukasapah, mangka diyat mugalalah iku satus unto, dèn pêrtêlu kang awal unto têlung puluh, pada ngumuring taun, lan kapindho unto wadon, têlung puluh pangumur patang taun, lan kaping têlu unto patang puluh pada mêtêng sakabéhé. Utawi diyat mukasapah iku, unto satus dèn paro lima, kang wal unto rong puluh, pada wadon lan kapindho unto rong puluh pada ngumur rong taun, lan kaping têlu, unto wadon rong puluh pada ngumur pasuson, lan kaping pat unto rong puluh pada ngumur adi wêtêngan, lan kaping lima, unto sapuluh pada dadi pasuson kabéh, mangka lamun ora nana unto, mangka ingalih maring ngèwu dinar, mungguh wong ahli sloka, pada uga diyat mugalalah, utawi makasapah.<br />
<br />
Ana saloka maning surak kramana sik amisuda. Kasanthi kanarnala. Nka nèna gêtaruné nyuda murti wisunaa. Punika têgêse suraté wani ngalah, ora na tagané saking ora wani sikara parisuda. Ora na duwé kang olèh kamulé ni ora buktiné. Yèn tha ora mulating wawarané anagéng karana budi. Langgêng pangabêktiné tinikah tinisuda anggé wong laranganèng Pangèran.<br />
<br />
Punika saloka malih mati nyamrakramana suwara wisira turuté. Punika gami ya bramana turuté kramana, déné anusun aburawistha. Turuté rawi iku déning kalih sana déning iwak. Lan thulané wulang mangsa déning nyuda kagèl ragu. Kusuma bramara turuté kusuma iku ingisêp ning bramara.<br />
<br />
Ana saloka tigang prakara, sakar gasa dargawi darga, têgêsé sang dargama maéning désa ing muyé nana patigi dargama têgêsé ,alèni gé rara liku. Yèna patikah anglamamakakên widargama kawan prakara man alani yèn Sang Jumênêng kalahan ping tiga jêksa kaping pat mantri.<br />
<br />
Punika lirnya tan dadia sêksi pi- /39/ tung prakara kariyin. Ping kalih dhêmék ping tiga wisa, kaping pat kang rupa roro rupa nêpsu arakayayan. Kaping tuna tuagung. Punika têgêsé réna wong wadon, dhêmèt raré ciri, rupa karoron kêdhi nyinyima wisa dèna sudra kawarnaa wong kalang. Kasêkthi utang tata agung kalih sasandan warah ratu agung.<br />
<br />
Punika pracèkané maréné iku karané ora dadi saksi. Dhêmèt raré ciri ora dadi sêksi yèn jan kasatmata. Punika liring ratu akirim surat, yèn wawèran salokané akacadra sisan tri tuna kasudra catur padha praya sadyagung ran. Naubêd pindho sanak, tuwa ubêd ping tiga ri iku. Ubêd ping lima maring bapa, ubêd ping nêma ring guru, ubêd ping pitu ana déné liring wèwèran ananggapi taduké. Ing karo patang kawarna kang rupa dêdagêl pêpucuk.<br />
<br />
Ana déné karo pêksi jiyènsi anyènyaongi. Katur ing pandhita gung, pandhita lêlima dhatêng katitik kadu kêpéngén titimbalan, kanduk dêdagêl sapa têman sarta lan salam. Yèn kang muni surat, yèn luguh ing basa kang muni surat.<br />
<br />
Saprayogyané kang muni surat, basa kang limang prakara dhingin basa, cêpèmanira, pêkêni- /40/ ra basasiki maning yidika pakanira. Basa atopan kakang corètipun nidhi basa nukak. Kawula nika, kasaka tiba kawula dika. Pakapira punika lirnya nurat lêlêburan lan jumênêng luguh ing papradi kamang kêliré lêlêbaran punika lêluwangan paèradika kangasan sarta sirah têgêsipun.<br />
<br />
Punika têgêsé nyata lan saloka rupa tidarsa, ana kang anya r ta satmataloki, kabukti tidharsa, wêwêngkon kang nyata nyumana. Satmata loki cina. Punika èsthi corah wolung prakara kang dhingin tigang prakara. Ki sapran Ki Sakti Kara ita, Ki Mnanga mas picis.<br />
<br />
Ana sawah lan nyara-nyara rabi ki warahné bègal, ing dalan arêp matèni ing umah. Punika saloka tigang prakara, kang anaa déning dalan bapa payon caya. Punika têgêsé kuthara jugul darana lan bab wong têmên dhasarya, punika têgêsé kuthara lan dunya kang linampahakên sadarma papatih kalih wêlas. Sarudita saruning pangucapé, saramarcaya tambang rawatrawat sadosané alungguh anya-/41/ lawandi, titigêmi nastiti, kuthara manawa kathah arané, manawa kapa-kapa wong suduk prayoga tidhar sasaganda rupa anggas karta basa luput prayoga basané, caya murcaya cahyané bêcik parupané pangucapé, kathah wêning tingalé lan kang bêcik. Têgêsé salokatara, têgêsé kuthara titi mangsa tênggak sirah.<br />
<br />
Punika kuthara munawaraja akèh arané manawa ala manawa bêcik. Ika arané, punika uring saksi karya dasih tan patut ujaré sêksi dadi kandhapya. Lêpas kayayi angulati sêksi malaku sinêksèn, wiruwa urah angaduhakên ujaring sêksi, anglayapa trahan ulasahakên ujar malaku sinêksèn, tan abaya angêmban saksi. Angadhang sêksi akundhang cina, anglironi cina, agalih cina, watang ananggal tan patra. Gêgadang angamukti anêbus cina watang dadi adhapya. Kang anêbus durung sêksi mula tinakon, astra patra nadah sawang katitula winarahakêna nguwadrastha angruh nguwarah winarahakên, amaluguhakên sêksi ing pa-/42/ riksa angrawuhi pocapan dènya takakèn lan nutur wit dèn tingali dèntakeni anêksèni ing sir sapocapané kang dènsêksèni yugya andhapên ujaré sapocapané tan dadiya.<br />
<br />
Yèn ana wong ngutang kamalingan tan wênang anagiha dhatêng anak putuné utang tukun utang pasêksén dhêndha kunarah ingsun patra tigang prakara kang yogya. Andhapêna ing wong sasirah têgês triwara saksi bumi.<br />
<br />
Punika yugya minangka sêksi ingkang agêng ing kangarahané kalih kang mitugu ingkang gêlar maka darma ing kawal karya sabrama sakriya ika wèsa ingkang tuhu ing karya kunang minaka tan dadia pangasi sangang prakara.<br />
<br />
Punika lirnya ingkang ngumpat padhanya ingkang doyan liyak ingkang wanita sawala ingkang ngatukar ika aranya dosa, ingkang dosa dustha ingkang wong dama.<br />
<br />
Punika traping dhêndha saloka kasukartaning sarira sangang prakara. Musthi kang tikus sarad ula macan culika kênthêl rupa ulêr gêni karêming panadhang war, wardulintah.<br />
<br />
Punika saloka patang puluh prakara. Punika minaka sukartaning nagara titir sani surating ngampuhan. Sing agama karang ginugung gajah adaka durga brama saloka kamalih. Utama èsa sing akogama duka ratan wruhing baya.<br />
<br />
/43/ Punika salokané sidhêm pramanêm sadhêkêt acula étan darbèya têkèk mati nguloné. Punika salokané èstri sagrahan daka angalsur saritan aribaya. Salokané tidhar saloki kasimagama ngapas patra.<br />
<br />
Punika salokané kadunung saloré kang dumunung manawara. Salokané gana tan wruh ing baya, salokané anyêkêl gajah adaka anguwang sari. Salokané uni ning nulitana patut panolèhipun. Salokané wong arêbut bumi. Gana ing tata tan wruh ing baya. Salokané acacaya gana sunguté prana, salokané sigra wècana bara-bara kadi bara tan aribaya salokané wong tanpa krama, sing alodra moangsa tan dribaya. Salokané èstri cadhela linuding lara, salokané ngacala wani ula /44/ mungup ilang kari buntuté. Salokané èstri sanggra atidharsa astri candhala kêdhalêm apalan daraném. Salokané tidarsakan patukan parutuan ana kang ngana tan wruh ing ala salokané sagra ing damasa tan wruh ing sukarta.<br />
<br />
Ana salokané malih tidhêm winêm angrusak sagul tan ligana. Salokané ngata lêmbu gara angrusak pradata tan wruh ngupaya. Salokané sagrahita alalambar padhang bulan asuluh salokané utama maèsa wong ngatatu, simasa tarka ngapusana. Salokané kang kobongan inglang darbèna kang dumunung gana ina léka tan wruh ing laksana.<br />
<br />
Salokané singa kang dènparo asula kên bukti tidhêm ing karya. Saloka ngadhang caya, sumaos mangulati masa, saloka bêkêl lêmbu, angusarira, salokané nyara-nyara lêmbu kang angrusa karta, salokané mimisuh tan krama. Salokané ngarsara dula amari dèn salokané mamatèni singa kang dèn patenana, singa mangsa angawus singa tan wruh ing baya. /45/ salokané anêlap sapi, singa mangsa wirodra masa, salokané nyolong wedhus wirodra basa galak amangsa-mangsa.<br />
<br />
Punika caritanira Sultan Adilulah kang uga dirangulah piyambêk. Déné tan arsa ing sabda, ing angawasakên asilira piyambêk lan tan kêna wong dathêng dalêm déné bala sêsukèrè lan balanira kabéh. Gêntha ginantung ing daganira winalêsan saking parang kilan. Wontên déné Sang Prabu apêputra satugil langkung marmi nira dhatêng kang putra. Kang putra pêpadhatên agili anaking jajawi pjah, mangka kang jajawi mala jêng dhatêng panakulan. Anêrad walêsan gêntha, mangka kang gêntha muni, Sang Prabu miyos paningilan angandika dhatêng kang kêmit. Wong kêmit matur putra paduka aji. Apêpandhêtên angliling anak jajawi pêjah. Mangka winoting padhati anak ing jajawi. Mangka putra ginulingakên ing marga binêrêg padhati, anaké jajawi malêbêsati ngaurip. Kang kandhêg jajawi ngadhangi.<br />
<br />
Punika pratikahé Sang Prabu ayuna jaakên alané. Yèn ing salat Sang Prabu aja saré ing wêngi awêwara, /46/ ing bala kabèh. Sêdhêkaha apem sawêlas tangkêp wong sijiné sanagara pisan. Sang Prabu aja pêgat prihatin angligiha, anarêpiya, suku sumawa, sasari cakra, landèn agèli suwara ing bala, arané rusaking bala rusaking nagara. Déné Sang Prabu karané jumênêng Prabu Mada Raja Sasar Yalapa. Raradéné Nabi Isah amadhangi anglimputi déning Sang Prabu ngadah wicaranya, déné mantêp pangubayanya, kang kiwa dursila, kang têngên anrapêna, têngên dursila, kang kiwa anrapêna, déné Sang Prabu awi sukci.<br />
<br />
Ana saloka kocaping kuthara, karané Sang Prabu ajênêngakên mantri wong sugih aja, wong kasiyan aja, wong mara dèsa aja, wong ngaram aja, mantri sugih anglampahakên dhéwé. Mantri miskin arêrusak dèsa, mantri wong ngaram aja dadi sangaring nagara. Yèn jênêngé wong akèh kawruh ngisik wong kang lêpas kawruhé kang wruhing gama arigama, aja wong susis. Karané wong susis lan satruning wong sanagara minangka yayah rèna nira wong sanagara wong kana luhur budiné. Kadi tanya nayakit amutarka /47/ mulih tarka kang mungsuhi, kadi ta wong asamar asamur. Dèwa gama kang angmungsuhi.<br />
<br />
Yèn Sang Prabu ajênêngakên mualin kang faésat. Wawacané kang akèh alip fa kang abênêr ukumé. Kan tanarsa ing alêmbana gènira Sang Prabu ajênêng Wakèd. Aja sah saking paligihané dèn kaparêksa rina sawênginé. Dèn sapangayun lan Sang Prabu, lan aja micara iya dudu lan aja amicara ècaning nagara lan aja widèyan amara sèba, gering nagarané kang dadi kartaning nagarané.<br />
<br />
Punika kawruh ana Sang Darma Patih, yèn sira akarya panglampah, kang wruh ing subasita kang atikah pamacarané, kawruhana tingkah anrapakên, waosing padu giringên maring pakartan. Aja malêbu ing umah, ing jawining lawang, aja mêtu pagêr aja dik sura, aja nandèring pangucapé wong èstri aja doh wicara wiwitan lan wêkasan. Wong giniring dhatêng karta apa gunêman. Yèn langkung saking kang kalahing tarka, andhapên sawicarané tur kadhêndha wong ajarahing wong ya dyana mêmalinga angliwat jaya utanga, lokika atidharsaa. Yèn tuna giring panglampah dalêm sirna tan nana kara-kara.<br />
<br />
/48/ Ana wong utang titir tinagih déné kang matungakên tanpa mauripun kang darbé angidhêti. Yèn tan ana giring maning panglampah Sang Prabu. Yèn dadi winata,utang sira darbé kemulih sakawit, lan kadhêndhaa ing nawasèsa arané, bagalampah ana saloka kocap ing kuthara.<br />
<br />
Ana Ratu angandika dhatêng Sang Darma Patih, takon wong adol wêsi wontên pukulun nakoda mara dèsa. Rawuh abêkta dagangan wêsi. Iya patih tukunen ing undang dakoda. Tinakon déning Sang Darma Patih, sira duwé dagangan wêsi, Sang Ratu ngandika sira nakoda adol wêsi. Aturing nakoda inggih pukulun pangaos kawan yuta, iya ngong kang tuku wêsinira kabèh. Nuntêna angandika dhateng balané kabèh. Kinon angusunga angandika Sang Prabu dhatêng nakoda iya sira ingsun paringi arta, makèka wêngin aturé nakoda. Inggih patih, sampuna wêjang dhatêng marêksa Sang Prabu, aturé nakoda, Pati Kaji anêndha ing yatrané wêsi. Angandika Sang Prabu wêsinira nakoda sirna tan ana kari dèn pangan ing ra- /49/ yap, durjana sira dol maring wong. apa ujaring adil undangên Jaksa Patra ing Ong durjana, ing undang jêksa rawuh, angandika Sang Prabu liring Ong Jaksa dèn doli wêsi. Déné nakoda, manké sira tan ana kari, mangké apaparèntah ira, aturé Jaksa, Sira indakên tuku rèna kanda ika, Ki Jêksa déné punapa panakathah tunggalé. Inggih Ki Jêksa matur dhatêng Sang Prabu, sarka lan Jaksa lan karêping Jaksané. Nakoda apangarané kagiring sira padha kulaa ring punika, lan pakanira ora gawa tutur, inggih kyai boka bêring darga. Katur tulung manira sêgara katunon jeng manira kaladèn, Sang Prabu amiarsa, bab sira nakoda ora nana sang gara katunon, kayuné nakoda ing jaksa, manira bab angucap Kyai Jaksa pukulun kawan paduné sang nata ika marganya aja napi nalaryan wong agung utang dèna gé kalawan krama. Adang usi lêlêrêyan dadia utanga utang mulih kadêndha asapangarahé.<br />
<br />
Ana wong apadu wong kêka-/50/ lih kang satunggal akèk katutur sarta béya adhé durung ana pranatané jêksa, yèn gya kalah wong sagugup puniki aranya, wong anêlang tara.<br />
<br />
Ana wong kêkalih padu dhatêng tarka. Sami bakta tutur sami sarta bèya gadhé déréng katata déning jaksa. Sayoyga kadhêndhaa sapa asisih. Kagyatang lang nguti kudrané. Yèn wus katrap kalih kang kêpêna malih ana pêksi kutul mencok angucap lawan Ki Kèlasa. Ana wraksaa luhur ujaré Sang Kèlasa padha wruh ing dhuwur, kang Kèlasa angucapa ya Sang Kutul, anulisi Kutul mibêr mèncoking luhur. Sang Kèlasa lagi ngiling-ilingi wité lawan oyodé lawan pangé lawan godhongé, nuntên dhatêng ing luhur. Anuntên pêpanggih lan si kutul. Angucapi kutul kang kèlasa ora sira karihin nuntên Kai Luhur kariyin ika. Yèn si mêngkono lan manira bênêr yèn kalah isun ngawula maring sira, ujaré Sang Kèlasa iya payo. Anulisa mami kê-/51 /krarèk dhatêng Sang Prabu, dhatêng mangarsané Sang Ratu Kitiran Putih. Anilisira napaki Kèlasa lan kang kutul ana gawé nira mring ingsun angucapipun kutul adhêndha lêlêrêsan Patik Kaji. Kang miraos pangucap Sang Ratu Kitiran Putih. Kang cira wicara apa, apaturé Sang Kutul kariyin baa rèrèn saandhapé Kajêng Agêng aluhur. Inggih sami arêbut wruhing luhur kariyin kalih pun Kèlasa, Pati Kaji dhatêng kari Sang Kèlasa, mêksih anantona yondé, tauripun Kèlasa, pun Kèlasa kang wruh ing luhur kariyin. Andikanira Sang Ratu Kangjêng Agêng luhur lahkita rebut kariyin nuntên Sang Kutul mibêr karihin. rawuhing luhur nulya matungsang Kèlasa meksih aligih, aturipun Kuntul. sampun patik kaji wruh karihin kadi lêrês Sang Prabu iya Sang Kuntul pira kèhé oyodé kang katon dènira pira godhongé, pira êpangé, mnêng sang kutul sira Sang Kèlasa pira kèhé oyodé, pira gêdhéné, pira luhuré, pir êpangé, pira kèhé go-/52/ dhongé. Matur Sang Kèlasa, inggih pukulun kèhé oyodé gangsal, gêngé sapaningal, ujaré tan kêna tiningal pangé sakawan, godhongé wolung lêmbar, pajingèling lêrêsan, angandika Sang Prabu kalah sira Sang Kutul, lêrês Sang Kèlasa, asasnijan wruh wohing titi raja iku.<br />
<br />
Ana wong apadu katata déné karta, sampun katata sami karya tutur, Sami mantuk, kang sasisih pitakon dhatêng Jaksa, rawuhing pamicaran, ing apa bèn kang boya dhatêng Jaksa kalah padunira iku mangka dèn padala. Inggih Ki Jêksa, manira pakanira kalahakên manira boya tarima atriwali.<br />
<br />
Dhatêng pêkênira, mungsuh manira trawali, dhatêng pakanira tanya kang ing ngigil andhap kang andhap, iku Jêksa bêbaya ingkang kalusura lan kadhêndhaa satus. Ingkang apadu miliha wacana maya sang kara ika aranya, lan putungêna dhustha maya wêcana arané ujaré saloka, among jagat abawa tên durjana têka wuluné salaba, pangucapé sakêcap, isi upas, ujaré /53/ corah tan kamdêl Ki Jêksa.<br />
<br />
Yèn ana wong apadu aja dèn dadékakên karihin micarané dèn muningakên kalah kalawan mênangé. Poma dèn atiti ing ajêksa, yèn wong pradata mênang padha kalawan kalah. Kang kalah padha kalawan mati. Dèn kadi Ki Undagi aja kaliu ing papadhangané. Dèna bênêr lan dèn têgéng kiyangkahrané èngiling-èlingi sira. Dèn èling sawicaraning sastra. Dèn wikananga déning Sang Darma Patih. Iki lampahing jari rasan ning wawarah mapan sira gurit anrapna kang abnêr kadir data ing alapan. Kadi srêngéngé wau medal tan kerup. Déné anrapaken sarasaning sastra titi pradataning bukti. Wong lakika wong iki pramana ing agama . Ing adhii goma agama aranya. Pingil yakin sastra adigama aranya katrapan dèwagama aranya. Cor katina diarani karya tuku bukti /54/ arané. Kamasra lokita arané kèlangan. Yèn sisip ki ngaraos sing karya apan maraos, sing karya aja rausi. Yèn kasêrêngêna angraosi, temahe lali ing wicarané pasuranya, tan sayogya angraosi karya kadirgama aranya, ngawijil saking kuthara déning arigama déné tanawas katrepna adirgama samounya tumrap satodané. Mijil saking mawirat dhêndhané tiranya, aranya, ngadigama karané kalah déning nyumana abuna tan kakén limang taun, karané nyumana kalah déning pramana, déning ki bukti abêcik pramanané ala buktiné ika sakiwak dak taun, ika kangaran pramana kalah déning ubaya, iya lawas buktiné angingka ubayan sawidak taun, utawa saturun ingkang kalah ing pramana. Déné ubaya agama kalah déning adiagama. Déné akrawak cakrapêna adigama, sampun atus trapna, karanya ngadigama kalah déning ubaya, déning ubaya jumênêng, karané ubaya kalah déning utara déning kari bêbuya / 55/ kariburik sêksèn ngajêng èsah ing karané. Ubaya kalah déning utara, utara kalah déning patra. Iya kasêksèn anisrah angitan muningèng wadi. Patra kalah déning purusa, iya ana patrané angita ana sêksiné ora buktiné.<br />
<br />
Ana patrané, iya iku kang aran tripurusa sêksi kandhih déning bukti, bukti kandhih déning lukita, lukita kandhih déning bukti. Déréng kajabêl layang tan antuk buktiné ing ana ariku kathahing bukti. Dènin lokita titingarani wulan, mangsa taun masa dina. Rêsiking alas alangan yèn tan antuki kalawan sirah kalawan têgêk mangsa sangkala. Yèn tan wontên kanda dosa déning sastra. Yèn tan boya miyos layang upah-upahé tan bênêr jênêngé lan layangé muni titi sing arahakên mangkéné kramané ngapiutang liré agama wicara. Aja abêkti paca prakosa. Owah sabdané owah silané, owah umahnya, owah tuturnya /56/ mangkéné kangaran paca prakosa bèdané bèda rarasanya. Amêt gisiring pamicara, arasana arané kang astri linyok ujarnya. Susmawacan aranya, ingkang asring amêt wicara udarat maka ing Jaksa kangaran pacarêsi kang tan payun kaya. baurêksa angulati sabên liyan, adriyurêksa asring ana rupa micara ning jaksa. Trisabda asring ing nyangaken pamicaran dhatêng karta. Dhêndha pangarané awadi dhêndha makuta. Musuh dhêndha rupa susumawaryasaruwisa. Saru amadal pasilan I karta angabil gêdhé déning pun padha upaya arana kang agé wica yaa, sarta angakudu wêning wong amêdalakên duwé ujaré, wong séjé.<br />
<br />
Tridasthi arané kang èsahakên anak rabining wong ing arana iwat, dhusta marupa sadu aranya. Asêpata dhatêng karta, anginggora bukti sampun asrah tuturakên malah aparas awarna santri. Mokalng pamicara kabéh kêkalihna kang kaya ika, déning sang darma patih ulatana durjanané raré ciliwinong wong déning bapa katilar déning ibu, lan durjanané /57/ wong èstri durjanané Jêksa durjanané ing raré iku winong déning bapa raré anangis ana wong liwat ujaré bapa. Lan mênênga biyangi ratêka. Durjanané wong èstri mêdal saking umah. Anganggé wêwangi kangas déning wong lanang liyan. Durjanané jaksa ana wong apadu kangamêgat iya padu angambil wêlasan. Ika wong tan wêning dadi saksi ratu pandhita sudra pasu. Wong linyok wong I triwala ala kawulaning wong têtubasan ing wong karèk ing pandhita tan dadiya sêksi déning tarayun anusahakên déning wong.<br />
<br />
Apakarané ratu andiya sêksi déning amêngku wèsésa apa karané wali jatan dadiya sêksi déné aburu ajujuk. Apakarané wong èstri tan dadia sêksi. Déné tikahe wong wadon apakarané wong ing wong tan dadi sêksi déning wong ing wong.<br />
<br />
Apakarané wong sudra tan dadi saksi déning sudra karané won linyokakêna dèn cêkêl ujaré. Angira rasané padha goroh, padha pasupadha èstri, kayudya dadi saksi. kang è- /58/s tri resik sulêksanané. Kaya walijapa dhawa walijatan dadiya saksi. déné kathah sami satmata ingkang saksi tan wênang linakon. Wong kêdhi wong binimalad, ki dêdhilanya panuju radhok lan dalih kang tan dadi saksi yadyan satmata angawata tan dadiya.<br />
<br />
Wong kang wênang dadi saksi déné wêwarah tusing wong apênêd. Wong kang kulidé sawong èstri wong ing gamané. Punika yogya minaka jaksi, ujaré wêwarah ing isiné sang darma ya tikah saksi sawiyos prakara. Saksi tugal yèn saksi roro mati têtiga piliyèn kang umate wong agung.<br />
<br />
Mangkèné ana sêksi ana parêbatan, saksi wong kalih wong têtiga, mangkana ajênêngakên. Punika warnanipun saksi pramana, saksi satmata, saksi watata, kang aran saksi pramana, kaidina déning ratu, karané wêlasan Jaksa halal, déning kang dèn arani ratu, dèn jiyad madêp Sang Prabu kocaping kothara dèn abênêr lan wiraosi sastra, ora tanjuki nagarané, dadia ngilangakên kalutuh- /59/ ing nagara. saking pariksaning Jaksa amadhangakên kang adol atuku kang utang. Dadi Sang Prabu tan kêna angandika déné sampun darbé timbalan lagésudran.<br />
<br />
Ana wong apadu para kêna ing pacoran, punika kamungsuh manira anganggé wisayané ali-ali. Kapariksa nyata ali-ali dèn anggé. Mangka kinawonakên kang anggé wisaya. Amadhanga tangkêp malih, yèn wis pêpék gadhé bèyané alapana ali-aliné kang dadi wisaya.<br />
<br />
Ana wong apadu rawuhing dèwagama, kang asisih boya ayuna si lulup, kalahena panidhih isthiarané. Kang sasisih têka asilulup kalahêna paduné sadiupaya arané.<br />
<br />
Ana wong apadu amêpék rêwang patakênan, ujaré karta kalahakên kang kakêrêngan mara bok parakarsa ababot. Para popoyana, si ora amitra kalahakên anêrang larangêna kang dèn iling, boya sami kalahêna amutung krama arané, utawa bali dêdalan kalahna pamutung pasangana arané. Ika kalah ing sêksi déné ubaya karané kalah ing saksi déning ubaya dé-/ 60/ ning anêlêsakên sawirasaning wawaran.<br />
<br />
Ana kang kocaping kothara ana pêksi mibêr angêmbara tan ana uning ing warnine pêksi, kènging laré gigol. Sawiji mangké katingalan ing akathah laré sawiji iya iku rupané uninga ing warnaning pêksi kang angêmbara ika déné nyata ing rupané lan tibané.<br />
<br />
Ana wong apadu adol atuku kang sumêbut kumaricing. Tanpa saksi padolé patukuné mangka aparêbatan ujar rêgané kang atuku. Ujaré kang atuku sampun payu sèwu, ujaré kang adol payu rongèwu. Kaparakêna I patara yèn dawêg sèwu alahna kang adol déning kasatmata arané.<br />
<br />
Yèn dawêg rongèwu kalahna kang atuku, Kasama ita arané. Yèn ujaré sêjamèk murah kang sèwu larang kang rongèwu kapadha upaya arané. Têka dhatêngêna dèwagama dadi akarya kalih lan tapa sêksi.<br />
<br />
Ana wong apadu kang sêsisih agawa saksi. kang gawa sêksi kalahna paduné, salokané abau wêcana marang sang kara ita. Ana saloka kocaping ko-/61/ thara ana paksi angambara abur aluhur tanagané kaya nyambêr radèn kajrih.<br />
<br />
Ana wong sanagara yèna ngukuli nagara nuli mati. Kêcaping wong sanagara kala gila-gilah mangké awakila katon kabèh mêtêrta ning upaya.<br />
<br />
Salokané ira tan wruhing masa ambatal pulawacana. Mangkana sang darma pêpatih, kang tan wênang cinatur ing tutur ananing watang. Yèn lan bèyan wadon, dasa ujaring watêng tan kacatura.<br />
<br />
Kang cinatur ing tutur ana dosa kang si pakartiné saksi, pakartining saksi griyaning saksi ujaré tutur uninga, apa amara arsa, dèn bakali winatang tan kènging aja tura déné watang yèn ambili pangucap. Pamatubaking awênang, watang ubulinga patang saksi yèn jumnêng ubul-ubuling mênang rabi.<br />
<br />
Karana watang tan jinantur manawa bubukên. Tapan ubahé mungsuh manawa dhadèk tuna panumbuk mring mungsuh. Saksi karané bênêr jinantur pangipalikpik angauyudawacana manawa duwé maling kawasa mungsuh ing ayudawadé ilang yèn têngêné kambil déning maling.<br />
<br />
Punika têgêsé /62/ tidharsa, atawa wong nêmu, tan ana uninga pangambilé katuduhan wong adus, kari gagawané ana olèhé adus kapanggih déné kari gêgawané ika. Yugya katêmpuhna sakawit, kaya ana wong pêjah ing ambil gagawane wong liyan dèn sêksèkakên sampun kambil tan antuk karipa sêksiné déné tan muni ngapangambile kang mangkana katêmpa ana samulyané kang pêjah.<br />
<br />
Ana wong kapadu ngandarbéné along kari ing lêlurung kêpanggih déning wong liyan tanpa sêksi pangandêlé lan kang mangkana ika katêmpahana sakawit, kadi karyaning wong kamarga ning padu nyata kadalanan yugya kalêmpahêna sakawit. Ana wong pêjaha tatu dèn paranig sanaké kang wruh.<br />
<br />
Ana kang kapapêksa wiji liwat sêndhangé kang pêjah, kang mangkana ika katêmpahna sakawit kang kapapag ika, kamarga baya arané. Sagêd kêna ing padu sèda kêkarang maya arané. Kang anêmu uninga pangambilé kabêktan kala badrané.<br />
<br />
Ana wong rêrasan wadon ing wong, mangka minggat kang mangkana ika katêmpuhna /63/ sakawit kawacipta arané.<br />
<br />
Lamun ana wong kêmalingan, wêwadhahé mal kang kêmalingan kêpanggih ing lawangé wong liyan, yogya katêmpuhna sakawit salokané katiban tai abuh arané.<br />
<br />
Dyan malih lokika, ana wong kêmalingan, wadhahé kapanggih ing omah ing wong, iku yogya angilènana samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha 25000, salokané kapanca anggadhuh tai abuh.<br />
<br />
Ana wong kakêrêngan sudukan salah sawiji ing dalu kang mangkana ika katêmpahna kang mati kayogya baya arané punika jênêng tidharsa. Yèn sisip pangarahé angakéni pagiring kalih wêlasan lirka tidharsakakên.<br />
<br />
Ana wong maring umah ing wong kang darbé driya sêpi anuli kècalan darbék katêmpahna sakawit.<br />
<br />
Ana wong mara ngumah tan kasatmata antara rulimigat ika kamaruruh kawan dasa dina. Yèn tan karuruh katêmpahna sakawit, anglir katidharsa.<br />
<br />
Ana wong pêjah akuda amaosa asaliring kang wruh ika kapusan satus patang puluh dhèpa watêné sangkalé, kalêbêting cêkal, aruruhêna patang puluh dina. Yèn tan karuruh anganalina sakawit, ana wong alinggih angob garinggingên dèn têpa kang anêpaksa mimalajêng. Milih kang anyandhak manawa aduwé wong sanak /64/ waspada turaga cangkacandhak. Wong malayu ika mangkana wong katidharsa. Yèn tan duwé sêksi andhapena wicarané, lire lukita.<br />
<br />
Ana wong kêmalingan wêwadhah kêtêmu umah ing wong liyan, mangkana ika katêmpahna samulyané duwé kang ilang muliya mutung kadhêndhaa, angandhêg tali-tali wong linyokan arané.<br />
<br />
Ana wong minggat gêgawané kapanggih ing liyané, têka ing pamicaran angulihna amutung sarta kadhêndhaa kidang malayu kari sikilé arané, jênêng lokika.<br />
<br />
Ana wong pêjah gêgawané kêpanggih wong liyan, utawi dhuwungé, kang mangkana ika kacina loki kaarané. Angilènana mutung samulyané kang pêjah, kadhêndhaa karaga têka arané.<br />
<br />
Ana wong aburu maling, ana wong sajabaning babahan utawi lawang ingkang kêmalingan tan kapanggih saksi cina, kadhêndhaa kang kêmalingan duwéné mulia mutung. Yèn ora kalang amangka babah kèwala, asungapa takut kagata sangara arané.<br />
<br />
Ana wong parêbutan angaku /65/ duwéne kang sawiji kêcapé tan matra siyanu dudu lanang ingsun. Awirang ingsun utawa kamalingan utawa kacurigan salah sawiji jênêngé lokita. angilènana amutung lan kadhêndhaa, karagas askara arané.<br />
<br />
Ana wong dura cara sadipa jinahé anuli, kang dura cara migat têmpahna kang aduwé cara. Amutung kadhêndhaa kawéca upaya arané, déné bisa agawé ujar.<br />
<br />
Ana wong kèlang-èlangan anaa sanggup pangrurun, anjaluk upah-upah anuli dèn wèhi ulahé dèn tampaning wus ana dèn ulihakên upah-upah ika sapanalih sapa biyung saliring sapana, opah-opah ika mulia mutung duwé kang ilang mulia sakawit lan kadhêndhaa loki katidharsa arané. Kadi paksi kalêbêting kalatan kawasa mudura.<br />
<br />
Ana wong liwat umahing wong liya dalu ling sèna tuku maèsaa. Kuda, lêmbua, mèndaa. Kang dèn parani kapadungan yèn têkané tanpa cina, angulihna amutung, lokika arané maling sodanama arané.<br />
<br />
Ana /66/ wong kasayaban kampuh, katêmu dèn anggo déning wong liya, dhatêng pamicaran mantuk kamuting lokika arané samulyané kang ilang, lan kadhêndhaa anganggé tai abuh arané.<br />
<br />
Ana wong mati alas, ana wong kapapag amaring jaksa kêrisé yèna lêbêting gêtih jênêngé lokika. Yèn têka ing pamicaran angilènana amutung supaya pêjah, kadhêndhaa 45000 matêp angadas arané.<br />
<br />
Ana wong ngamèk kayu, ana wong mati sandingé utawa kuda, utawa maèsaa, salire kang pêjah ing sandhinge kono yèn dhatêng ing pamicaran angilènana mutung sang mutung kapêjah angadêging pangagasana arané, lan kadhêndhaa 24000.<br />
<br />
Lamun ana wong liwat ing omahing wong dalu, sajaké atuku maèsaa, utawa kapala, utawa sapia, utawa mèndaa, kang dèntêkani iku kêmalingan, yèn têkoné saha cina, angulihna amutung samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha 24000, iku lokika arané, salokané maling sapana maya Lamun ana wong têtukaran kataton salah siji, utawa mati, kadêndha 14000, oléhé pikantuk kang atatu 80000 lamun ora mati. Lamun mati, angulihna samulyaning kang mati, lamun wong lanang lan wong wadon pada uga arané.<br />
<br />
Punika undhang-undhang dalêm, yén ana pêpati ing sajroning kutha cinêkêl satus kawandasa jêngkal, kèh ingkang kalêbu ing jêngkal kadhendha.<br />
<br />
Lamun ana wong kasayaban kêtêmu dènênggo déning wong liyan, yugya katêmpuhana samulyaning kang ilang, iku lokika arané salokané wong anganggo tai abuh arané.<br />
<br />
Ana wong kakêrêngan wus napih têka /67/ saloka curigan, utawa kamalingan. Yèn si acina angilonana pamutung samulya kang ilang, sawusé agadhé amaruruhna patang puluh dina.<br />
<br />
Utawi aran maling kabunan, iku maling têtanduran sampun kaundhuh saliré têtanduran ana ing gubug sacina, utawa pakoléhé kang anduwé 24000 sarta kadhêndha 4000.<br />
<br />
Ana wong maling têtanduran sampun kaundhuh saliré tataduran, ana gubug sacina pangambilé yèn langkung aji sèwu putungêna, yèn kirang aji sèwu pakolihé kang anandur arané maling saji.<br />
<br />
Ana wong apadu tinarkaa mêndhêt maèsa, mèdaa, kapala, kang dèn tarka angundang saksi dhingin malaku sinêksènan, yèn têka ing pamicaran kalahna paduné. lamun ana wong asunga bali ing lawang, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga, salokané wong anyuksma warsa arané.<br />
<br />
Ana wong atitip ing omahé wong liyan, tan sukané kang duwé omah, ana duwéké kang duwé omah iku ilang, katêmpuhna marang kang atitip.<br />
<br />
Ana wong apadu kakalih dèn tarka angambil maèsa, kapala, sapia, sarta dènwadé pisan. Panarkané kang aduwé ujaré kang dèntarka angaku yèn adol ménda manira dhéwé. Yèn tarka ing pamicaran ora utara padu dhawa wêngkoné lan sakiwa têngêné, kalahna pêpaduné iya iku /68/ wong mati ujaré dhéwé, arané déné ora dumunung saujaré dhéwé, anyalawadi arané wênang kalahna sapêpaduné.<br />
<br />
Lamun ana wong asunga bali ing latar, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga.<br />
<br />
Maling arêp malingi têtanggané angulahna mutung wong adinginakên duwéné maling arêp parané mutung ana dhêndhané.<br />
<br />
Lamun ana wong malingi wong kang satunggal saomah, barang kang déncolongi yèn saha cina, mulya amutung sarta kadhêndha 45000.<br />
<br />
Ana maling wis malêbu ing omah, kabanda iku salokané maling pantara arané, sarta kadhêndha 24000, pakoléhé kang arêp kêmalingan 24000.<br />
<br />
Lamun ana wong wong atitip barang kang déntitipakên, mangka dén ambil marang kang déntitipi, iku kadhêndha 24000, salokané amalingi darbéné dhéwé arané.<br />
<br />
Ana wong atilar umaha turu ing tangga.<br />
<br />
Ana wong kêmalingan wêwadhahé katêmu kang dèn tilar ika. Angilèna mutung katiban tai abuh arané /69/ aruruhna kawandasa dina. Yèn tan ruruh asraha pikawan lan kadhêndhaa.<br />
<br />
Ana wong mêmanggih saliré kang pinanggih, yèn tan saka ping karta. Lami arêp ipun wadé, karuruh déné kang darbé, kang mangkana ika kadhêndhaa ngalihna mutung samulyané darbé kang ilang maling temu arané.<br />
<br />
Ana wong anyèndèkakên darbèk dèn arani ilang déné kang sinèndhékakên utang dèn wadé sacina kang mangkana ika. Kadhêndhaa darbék muliha mutung. Maling sadha arané.<br />
<br />
Ana wong kamasang tinakona gawé ali-ali dèn alap utawa dèn lironi, yèn si kacina ulihna mutung lan kadhêndhaa maling timpuh arané.<br />
<br />
Ana wong maling umah ing wong dalu, dèn sapa ora sumaur, dèn parani lunga bari sumaur. Kang mangkana ika kadhêndhaa singungana pakantuk maring kang darbé griya maling ganwah arané.<br />
<br />
Ana wong mamaling wus kalêbu ing umah, wus kabèda maling pamata arané. Kadhêndhaa pakantuk kang kamalingan.<br />
<br />
Ana wong èstri mêmara ing umah ing wong kalaning wêngi, kauningan déning lakiné. Yèn rabiné mêdhal yè- /70/ n dhatêng ing pamicaran kang duwé umah kalêbêt maling kara, arané kadhêndhaa 4000 awèya patuku wirang maring kang duwé umah lakining èstri kang awèya 2000.<br />
<br />
Ana wong mara ngumah ing wong agawa gêni mulih anyulêd umah sacina, dhêndhané awèya pakantuk maring kang aduwé umah kasulêd mantuk kamutung angamuk tugêl arané. Yèn nrumbaka ing têtanggané awèya pakantuk.<br />
<br />
Ana wong arêp mamaling umahing wong kang duwé umah arêp ki ajar kamalik padha déné kang aduwé banjar, mangka tinakon ujaré arêp panuduki, asunga pakantuk saha jining wong sakawit lan kadhêndhaa maling utama arané.<br />
<br />
Yèn arêp maling jaran utawa malinga raja wangagé saajiné maling pakatuké lan kadhêndhaa maling titaka wong uran arané, pokalé yèn kang ana ing banjar mangka pakolih têskarana arané.<br />
<br />
Ana wong aburu maling ing banjar ing wong anguwahan jaluk tulung ora ana anulungi, kang aburu maling kasuduk déning maling sacina paburuné saking pamicaran takênana aduwé banjara /71/ pakarané ora atêtulung, ujaré manira atuku boya miarsa katrapna dhêndha 24000 sakawit saajining pêjah, kagêt wilungu arané.<br />
<br />
Yèn si ujaré atangi manira kalêbêt kajrih, yèn manira mêdal kaya-kaya wiyarsanira kang mangkana iku putung ngêna samulyane kang pêjah. Tan ana dhêndha kagét kapênêten arané.<br />
<br />
Lamun ana wong dhêdhayoh kalaning bêngi têtanggané kêmalingan, iku katêmpuhana maring kang kêdhayohan, samulyaning kang ilang, sarta kadhêndha, salokané wong kalédho kriya.<br />
<br />
Ana wong adu wêcanan ana wong liyan tanpa utang dèngawé tan wawarah kang kagénan karèran. Pangèkanipun sacina. Yèn dhatêng ing pamicaran, sira ulihna mutung asunga pakantuk.<br />
<br />
Lamun ana wong bali ing dêdalan kalaning bêngi, kasatmatan déning kang duwé omah utawa liyané, mangka kêmalingan iku katêmpuhna, salokané wong anjuksma priyangga.<br />
<br />
/72/ Lamun ana wong asunga bali ing lawang, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga, salokané wong anyuksma warsa arané.<br />
<br />
Wong atitip ing omahé wong liyan, tan sukané kang duwé omah, ana duwéké kang duwé omah iku ilang, katêmpuhna marang kang atitip.<br />
<br />
Wong atitip, arupa bêbuntêlan atawa wêwadhahan ,alongana, duwé kang ilang ing jêro wêwadhah iku, tanjuknya têmpuhna kalêbu ing saloka ina sancaya sjana.<br />
<br />
Lamun ana wong asunga bali ing latar, kalaning bêngi, kang duwé omah kêmalingan, katêmpuhna tri-boga.<br />
<br />
Lamun amaténi wong liwat, tur nganiyaya, lan ora angalap arta, mangka pinatèn wong iku bakalé mati.<br />
<br />
Lamun kapindho amatèni wong liwat, sarta angalap artané ing sanisab utawi luwih, mangka pinatèn lan pinanjara saluhuring kayu, sawusi êdusi, lan sawusé dènulêsi, lan dènsalatakên.<br />
<br />
/73/ Lan kaping têlu lamun angalap wong iku, ing arta sanibat utawa luwih lan ora matèni, mangka tinugêl tangané lan sikilé, sangking dénpêncêng têgêsé, tangan têngên lan sikil kiwa.<br />
<br />
Lan kaping pat, lamun amêmêdéni wong iku, ing wong liwat, ana ing dêdalan ora angalap arta, lan ora mêmaténi ing awak-awakan mangka kinunjara belaka, têgêsé Ratu kang nginunjara.<br />
<br />
Lan lamun angucap wong iku ing wong liyan, maténana sira ingsun, lamun ora gêlêm sira, mangka sun paténi sira, kaol ésah ora nana kisas, lan ora nana diyat, lan lamun anêrêg wong iku, ing amaténi wong liyan, sangking duduké pati, mangka kari-kari amaténi mangka wong kang anêrêg iku dènkisas.<br />
<br />
Ana wong mati gêgawané kari ana ing omahé wong liyan, miwah kêrisé, iku lokika arané, angilénana amutung samulyaning pêjah sarta kadhêndha 25000, salokané iku karagas askara arané.<br />
<br />
Ana wong kamalingan liré yèn tanpa titi, tan dadia kalahna paduné salokané ing pêksa angagas pramanané aparêbat ing parta lirnya pangarah tan dadia ina wadaka angêdahakên basa. Sapura dukardi duwé ingoningan gagarangan putih, sinambuk tugu umahé ani bramani uninga yèn lakine sêpi. Asung dèn gawa sang garangan putih, ni bramani kèsah dhatêng kali. Anakira kari anèng badalan, tinuku déning garangan putih, maka ayun pinangan déning sang ula naga. Raré pinalayonan déning sang garangan putih. Udani ayun pinangan tutugané, nuli dèn karajan dèn saut gulu- /74/ né sang ula naga mati. Sang garangan putih tumutur maring lépén, cangkêmé muthah gêtih, Ni Bramani aningali dhatêng garangan putih cangkêmé mutah gêtih. Yatnaning nitra mani anak ingsun saira pangan dèn atêbih jabaran, mati garangan putih. Ni bramani malayu mulih anangis, asambat dèn tingali anaké mêksih ing bandulan. Ula naga anèng nakar mati, Ni Bramani asung uninga dhatêng ki pura karti, yèn garangané mati, Ki Pura ngêrti boya suka agiring paben, rinaosan déning karta. Ni Bramani katrap dhêndha, angilèni amutung saajiné garangan putih. Salokané anggaskara ina sabuta.<br />
<br />
Punika sêdaya parêbatan lan duyu wijaka kang dèn nraosi sadurungé ana sawusé ana sami matur Gusthi Madana Sraya. Sang wirasa gupna angrasani sadurungé ana anganakakèning ora pangrasaning sun, pangucapira iku. Kaya sang dhadhang karya angrasani sadurungé ana, ing orak kakéni tinari sêdaya karta basa angaturi salokatama wontên /75/ jênêng tan kawalasa, wong akathah angaulub saring waringin sakathahing pasar. Tiningalan patra kangana, kangana kayuné Patih Mandana Sra ya sira asung patidharan, anganakakên sakèhing ora yèn goning ra padha mangkono iku lawan sira wijaka angarakakên sakèhning ana, têgêsé parètah iki dora saking kawula saking gusti kabéh lawan sira karêpi jênêngé raja, apayung malaku binuru déné bandha wongan anging katutan sahdènya liring salokané wong tan katari déning gustiné têka dhimini matur ing gustiné jênêngé patularan sakaning bnêré mênanga gènira ngawula tuban raksaka.<br />
<br />
Ki Alon dèn piara ing wêngi angungsi udakarti giniring sabên rinaosan dèni karta kalah ki udakarti angilèna sangang ing kawula putungêna, salokané anawang karta supaksa andakaha singa ana alas.<br />
<br />
Ki Mali awas sinilih artané Ki Badigul oraa sêmayaa rong wulan, kèwala, yèn ana wulan roge pnaur manira adurakadi, adora sembaga kaligaa winada- /76/s kartané , déné ubaya kalah ubaya déné karta, kalah karta, déné ubaya dados karta janji ubaya, déning supabra saksi kalah déning supabra, supabra kalah déning saksi, déné cinatur paripaksa rinaosan, déning karta, ênggonya ngagas ngasilib èka basa tênga ing sagara, warah têngah dalu ing tanggal ping patbêlas. Sami alok mantri sadaya.<br />
<br />
Yèn ana wulan roro ing andhap lawaning luhur kalah paduné Ki Badigul, katrapan dhêndha ora mantuk kaputung, sinalokanistha amêt upingan, andaya pariena lali ubaya. Tidhem ing agas salokané anggas andaka, ana saloka malih awija patra aber dadi déning anidra, têgêsé raditya.<br />
<br />
Aja sira amada tutur, yèn ora nakarone têgêsé samurcaya.<br />
<br />
Aja sira arasani kalanira kaserengan, têgêsé asurya sewanya.<br />
<br />
Aja sira anibakaken pucuke ladingira, yèn durung gemet genira angrasakaken dèn kadi srêngéngé têngari bnêr tibané pucuké ladingira. Yèn maring papan, abêr dawa déné kawaja mantra adrawésna, têgêsé uninga /77/ kêna i pangalahé i tuturé déwé , sawiji-wiji, poma-poma.<br />
<br />
Punika kanyéthara aturika Pangèran Sènapati Jimbun, angitharakên saking pratikahnya pradata, kalih prakara, kapupus ing salokawara. Kèhing padu tigang dasa pêpitu. Pamêgatipun sadasa prakara, punika araning padu tingkahing durjana, codèkah kanggonan durjana, pratikah wêruh sapolahing durjana sabojanan tugal mangan lan durjana anakokrahing pèni olèh-olèhing ing durjana. Sakatraha wèha namaning durjana, codèkaha ngalingi durjana. Sacarèkah sapaduluran lan durjana.<br />
<br />
Punika astanada corah aranya.padu pitung prakara kang pantês pinatèn déning Sang Prabu, awisadah angupasi gêni daha nunoni akawarna wong anêlah. Wajawa karih wong angamuk paladara ing ayah wong amaragul raja wisuna adona-doni wong obong atulung kêlik.<br />
<br />
Punika kapadu limang prakara nistha maangsa-asa aloré, utama mangong sangangsa aro- /78/ béi atuwus-uwus arubahakên pagêr alèh susah saisiné ngupahé antuka pasumêngêr pariwangsa yèna mêkas pakrama angambuk pugung angapal-ngapal ing umah ing wong amêmisah kang duwé umah. Saisiné umahé alèna pasumêngêr, pariwasa yèn amêtan pakrama angamuk pugung angapal-ngapal ing umah ing wong amêmisuh kang duwé umah saisiné umah awèya pasumêngêr.<br />
<br />
Punika pagarayanganing padu kalih wêlas prakara, kang wontêning salokatara, tarka kandhèh déning patra, patra kandhèh déning saksi, sêksi kandhèh déning bukti, bukti kandhih déning satmata, satmata kandhih déning cina, cina kandhih déning nyomana, nyomana kandhih déning pramana, pramana kandhih déning ngubaya, ubaya kandhih déning purusa. Tarka ujaré kang aboh têgêsé patra têtulisan têgêsé ngadang wêruh kang dèn sudakakên.<br />
<br />
/79/ Têgêsé tétulisan métu saking kang dènarah, têgêsé satmata akathah kang wêruh, têgêsé nyumana metu saking kang dènarah, kabèh wêruh têgêsé pramana alawas têgêsé ubaya tetulisan lan karona, têgêsé purusa parèkah atêgêsé lèna, rasalin parèkahing ratu, têgêsé kaliganata asalin watu.<br />
<br />
Punika lungguhing saksi patang prakara, saksi utama wêruhing tigang prakara. Wangsa silan kardèn sinêsèkakên lan pinakaning sêksi, saksi pramana sêksi ing lyan kang andêl saksi pradina saksi wong mati, tanpa dadia sêksi sudra wong suara.<br />
<br />
Punika ing kastha corah kalih prakara, ana maling dudu maling iya maling. têgêsé nadyana gawa apangikis, yèn ana pagêr bawah. Mara dalu-dalu maling uga akutha paid abau said, abuta said têgêsé abahu said, asaksi lêbé modin tanapi utus saksi jurjana têgêsé abau sabda. Sêksi dèn wawarahi durjana.<br />
<br />
Punika lirnya angayawara agama kalahna déning adigama, kadhèh déning toyagama, toyagama kandhèh déning purusa.<br />
<br />
Punika têgêsé ju-/80/ gul mudha, ora ujar roro têgêsé karta basa karta déning jaré awaké satata bané ulatana, sapra yogyané basa kêna ing prayoga para kaandhapya. Wêwêkasing raja niti titènana prajané ulatana lan saprayoga, basa mangka ana minongka adhapya.<br />
<br />
Punika têgêsé raja kapa-kapa, ulatana papané, punika têgêsé sadi, titènana rupané pangucapé ing akèh tan ana pangucapé rowah warnané minaka andhapya, punika têgêsé kuthara, manawa akèh kang aran mara nawa, manawa ala, manawa bêcik ulatana, punika têgêsé titiswara, titènana pangucapé lan kang dènarah lan kang arah iya lurah ing pamiarsa lokika mamaduning prabasa.<br />
<br />
Têgêsé ing kuthara, tingalana kakêtêgé ing karoné êndi ingkang ala minaka adhapya. Punika têgêsé sara supatama kaana wong apadu têtuga sêrêgané béya gadhé pajêgan mangka upaha sajroning ngapadu minangka kaadhapya, têgêsé caya murcaya, mangka ana sajroning apadu kêpatèn minaka andhapya iya iku papêgataning /81/ ngalah têgêsé salokatara, ajarakên ala bêcik kang apadu iku, katona ala bêciké kangala dadi kadhapya wong dadi dalih adalih pajêganipun 10000.<br />
<br />
Yèn si corah pajêganipun 20000.<br />
<br />
Yèn sêpisan pajêganipun 14000.<br />
<br />
Yèn si kaonang-onang pajêganipun 20000.<br />
<br />
Yèn si kacorah kawastan déning dhêdhukun kèwala ora corah tumut dhêdhukun tétiga tuan, langkung tétiga pajêganipun 40000.<br />
<br />
Yèn si dhêdhukun kêkalih pajêganipun 3000.<br />
<br />
Yèn si dhêdhukun satugil, yèn kawasa kéndêl pajêganipun 5000000.<br />
<br />
Dhêdhukun boya kèndêl sami panarkané kang sakit pajêganipun 500000.<br />
<br />
Déné yèn sisip dhêndhane kang arani 1000.<br />
<br />
Yèn si corah-corah tan ana ujar ing dhukun kang arana tan wruhên wong lanang pajêganipun 40000.<br />
<br />
Yèn corah-corah kang gêring wong wadon pajêganipun 90000.<br />
<br />
Yèn wong lanang kang durung umur limalas taun pajêganipun 90000.<br />
<br />
Yèn si boya kaonang-onang déning dhêdhukun mung kang lara kang a-/82/rani, pajêganipun 150000. Punika wong lanang dinalih amêmatèni pajêganipun 50000.<br />
<br />
Yèn si wong wadon dinalih amêmatèni pajêganipun 350000.<br />
<br />
Yèn tinarka abègal pajêganipun 15000.<br />
<br />
Yèn tinarka jina pajêganipun 15000.<br />
<br />
Yèn si corah abêbègal mamaling ajinaa mamaténi wong iku tan antuk pakolih. Yèn ana wong utang dhêndhané déné kang apatang sirna patangé tanpa naura sakèhé utangé lèbar tanpa naura.<br />
<br />
Yèn ana wong tan patut lan maruné pjah, kasudukan kasabat punika sajèna-jéné kang mati surngêna sanaké kang mati.<br />
<br />
Yèn jêjaka anyêkêl parawan sakantukipun 14000 dhêndhané 230000.<br />
<br />
Yèn anyekel somahan sakantukipun 30000, dhêndhané 250000.<br />
<br />
Yèn èstri tindak sami èstri sakantukipun 10000, punika ingkang wêwêling Kanjêng Sultan dhatêng Kyai Angabèhi Diranaka, dawègira angraosi kang tigang prakara kariyin ujar ping kalihe wong, ping tiga duduga ping pat grahita.<br />
<br />
Yèn wontên têtiyang jina jajaka raréyan wulat mamradika, yèn sampun kadadèkêna kawula dalêm, kaot wadon katon têna ajining wong wadon, ajiné kawula dalêm. Yèn kabêngan sajroning kaji, ngumpak kaji têbusanipun 15000. Yèn parèk kirangkah têbusané.<br />
<br />
Punika kang parèntah panêmbahan kang sumaré pasragrahan. Yèn kawula dalêm bumi arabi ing kana-kana lananga, wadona, yèna ngirid, yèn si bêboyongan saking wètan, saking kilèn, urawi kukudan, kèsah alaki rabi ing kana-kana, mulia mradika akuwat kawula dalêm.<br />
<br />
Wontên wong malêbêting griyaning wong dalu-dalu tan wontên babahan kang mênga tan watên darbé kang ilang. Cinêkêlan ayuna papagih lanikènya sambaté kilok ika, atitir binêkta dhatêng pakêrtan kalah paduné Ki Dêrgul, katrapan dhêndha 88000, pakantuk 24000, salokané maling anglandhêpi sing ati ngandika, angoningina nga -/83/ du pucuk ing ri, Ki Corah anjaluk kêrisé Ki Bègal boya awèh. Anulisinuduk pinggiring dêdalan anuli-nulianuduki patiné Ki Jukara patiné Ki Sawah. Anuli matèni Ki Agas dèn urugi sukêt anuli ing pasar anyolong dadot lan Ki Kutil anuli amêt dodoté Ki Sayab. Dumunung ing umahé Ki Saèka, angucap lan Ki Sakara ika, Ki Saprana angumpêtakên, Ki Corah, Ki Kutil, Ki Sayab anatuki katur dhatêng Gusti Patih Mandana Sraya rinaosan déning karta. Sira corah tiniban raja dhêndha 88000, sakathahé ing ambil amutung déning wong têtiga tiniban dhêndha 44000. Sinalolakani corah ing karang baya durga karaha mêt mangsa.<br />
<br />
Kisahé kaki sakara hita, Ki Saprana salokané sagralêm tridhusdêm, amrih bègal jro dalêm si corah anyalok-loké bonèki tingar, patèni ing alas ing dêdalan. Yèn wêngi sarta atitir anêbêlah kêboné /84/ tigêmpol ajalukartiné ki mêrkênèng anendhal kêrisé Ki Bapang gnidyan , angupasi Ki Awi Saayah arampog umahé Ki Garadhah dosané dèn arani bisa gêlah anuduk maring Ki Astaka rabinè arani cari dosanipun dèn arani, ana ragyana.<br />
<br />
Ana Mandala aran Ki Danara rabiné, arani srapi dosanipun dèn arani, ana grana. Déning Ki Tata anuli anaké Ki Garadhah angadéning sawahé Ki Dosa, dèn arani bumine anuli angaras-aras rabiné Ki Makathah. Kalakana ing umah, anuli malajêng saking karta. Ki Lalaki kadhêndha. 88000. asunga makantuk ing muliya mugung. 44000. Andaka adurga tan wruh ing boya ara Ki Walat amala Ki Sikara. Anulis dèn pirang papayoné gané wruwruhé ana saking sinakara.<br />
<br />
Punika Sang Bramana sêkti, si karga coba pangrasani mara karta ing. Mêdhang Kawulan dumunung dhukuhe kiwipawikêna / 85/ kiwi sawicina aduwé anak, arani duka lani asih Sang Bramana angikahé arani tilam kêdah rupané sinimêna ning gêlung, Ki Bramana angliwat sanaké wisawigna, arani duka, panigalih sisimêna ning gêlung, wisawigna kèlangan anaké kekalih Sang Bramana ing niring bingmalan, rinaosan déning kêrta, atur ring Bramana sêkti. Punapa parètah Patih Turtabasa, matur dhatêng Patih Mandana Sraya, pakarya catur mariksa marang Sang Bramana sêkti, yan wiku wigna amêndhêm bêkèl /86/ apatih Mandana Sraya, apatih Karta Basa tana kênaa Ki Wigna swaraning ngapa ika. Kayuning iku wigêna, swaraning banyak, Kyai Pamirèka mula Rêkyana Patih Mandana Sraya angulam, bramana sêkti ana swarané ika, bramana sêkti angucap ujara pamirsa kula swaraning naga. Yata pinarêgsa, dèn pariksa nyata yèn naga déning mantri sêdaya. Rêkyana Patih Mandana Sraya angucap naga banyak-banyak. Pangawasaning Sang Gusti Patih mulih dadi banyak malih. Kyai Patih Karta Basa angucap Bramana sakti kakraping parèkah /87/ dadi pakalahipun bramana cinekelan ing alapan pangagèné déning para nayaka sadaya, kapanggih ing gêlung. sanaké wikuwigna Ni Duda, lan Ni Asih, lan Ni Tilam rabiné Bramana sêkti. Dadi pikantuk wikuwigna. Kinawi Brama sakti, wikuwigna, duka swasih kari Tilam.<br />
<br />
Ing atas Gusti yumana, ora na pêgaté kapranan ing dhusta, sang nana babahan kang menga, banon tan ana gigrig, lung-lungan tan ana kang pugêl sira Gusti yumana. Asuwara ing rabiné sadaya miwah para sêlir ora na kaliwatan sadaya, sami kinuwoning têtamanan. Kèdéran ing sasêkaran, Ki nyumana ala wêdgal uga lan agal. Biyumana asuwara, yèn ana wong mêdal sun kèn-kèn sira lambang salumat, malebet ing dalêming anak, amarani manisam nikèn rèni. Para rabi nira yumana, ni manisan lan ingon rêsmi, agunêm lambang salukathara jama réné sakathah ing kusuma, sami sinambura tan kalugahanatal. Ni manisa Ni rêsmi angèlokakên, lambang saluka lêngbêt dalêm. Sira yumana amépét /88/ wong kapêndhêt sira lambang salukat kaya winarna kampuhé lambang salukat, lambang salukat binasta, dinadisa Ni Rêsmi winêdalakên saking dalêm katuring Patih Mandana Sraya, rinaosaning kêrta, katrap ing parèntah, lambang salukat. Sinalokan nyumana maning rasa Ni Rêsmi, ni lambang salukat tênung ing tilari sira mangunadi.<br />
<br />
Ika taki galugalan Ki Pandugalan kapapag pasanakané aran Ki Warna dèn kanthi astane dèn ajak mantuk dhatêng griyane. Ki Galuga rabiné têtiga, Ni Sari, Ni Pasar, Ni Rêsmi lagi sêpi marig pasar.<br />
<br />
Ki Galuga angucap, adhiwarna, balikana rabiya amaraganga amarugula, gawanên maring umah ingsun. Sun rèwangi boya pati inggih kakahané dhasih.<br />
<br />
Pakanira Ki Warna, sami kayunipun Ni Rêsmi manthuk tinuk buri, Ni Pasar malayu, poyan dhatêng Ki Galuga, mesem Ki Galuga, déné dèn ora poyani yèn rabiné dèn parugul déning Ki Warna. Salakiné déréng uning /89/ ngadhagé Ni Rêsmi, Ki Susur amidhangêt gupuh agadang kariyin. Ki Galuga kantun Ki Warna kapapag ing lawang déning Ki Susur puguh dèn suduki warna dhatêng Ki Susur kapisanan, katiwalan déning Ki Galuga, sanak pjah. Ki Galuga amangnas Ki Susur pjah yèning Ki Galuga, Ni Rêsmi aningali dèn pjah. Sanaké pjah anuntên suduk salira Ni Rêsmi, Ki Galuga rinakul. Ki Galuga wruh Ni Rêsmi pjah Ki Susur pêjah, Ki Warna pjah, Ni Pasar, Ni Sari agendhongan atitir, kêranana wong aja tandang. Ni Pasar, Ni Sari malajêng patèng Gusti apagih, panda graya.<br />
<br />
Yèn wong sakawan pjah, têka Ki Galuga rinaosan déning karta wong manungkulan kang abêkti wêndhasa dèsa pisan. Sawantuningwong. Ni Pasar, Ni Sari kadalêm ing aranan wênang galu asinusur ing sari pinasar ing rêsmi, sinalokan andakara ra mulih malih maring pandongan.<br />
<br />
I kara Ki Anggas katitipan duwéné Ki Warah, dèn tuluk duwéné Ki Warah. Déné sampun sora dèn kon anginep, dalu Ki Warah kasudukan Ki Anggas a-/90/ gêndhongan titir, linari déning wong kathah tan antuk maring katur dhatêng parèntah Patih Mandana Sraya, rinaosan déning karta nayaka sadaya. Ki Anggas katrapan dhêndha. 80000. Ati lèna saajining wong. 10000. Ingaran anggaswaran.<br />
<br />
Ana wong ana kitha, wong ing wong adodosan, têka sina kitha, boya uninga kang sing akitha, anuli singu kêrta, déning Gustine. Jêjnêngé gagayu arana balawuran, adirbaya jalukên artané kang angutakakên anangina piwangana nauraken ing umah ira, atanapi angandêlêna ing pasamayané, kari-kari dèn tebus, nora sasi panêbusé, déning kalebeting suka.<br />
<br />
Ana wong gadhé wênang dèn anggé kang kumarêbut kumaricing. Yèn si rusak suda panêbusé, yèn kimiyang ginawèkakên, mangka ing anggé tan parisukané, ilang artané tur kêna dhêndha. 150000. Jêjênêngé sampèkanthuk pradananya .<br />
<br />
/91/ Yèn ana wong agitik saluhuring, yèn ana lêbêting gitik kasukakakêna limang lêksa, yèn bêlah daging tugêl otot, rêmêk balung pakantuk têlung kêthi pitung lêksa.<br />
<br />
Yèn ana wong atukar, tinulung dèning wong akèh kang atukar angunus kêris, kang têtulung kalongkaning, uliha patiba jampi, sawêtaraning kalongkaning lan dêndha 24000.<br />
<br />
Yèn ana wong atukar, tinulung dèning wong akèh kang atukar angunus kêris, kang têtulung kalongkaning, uliha patiba jampi, sawêtaraning kalongkaning lan dêndha 24000.<br />
<br />
Lamun ana wong atukar, arêbut dêdalan, miwah arêbut watu, kayu, pala gumantung ing alas, sami bangsané atawa tatu patiba jampi dhêndha 40000.<br />
<br />
Lamun ana mukul wong wadon kalawan mukul kang èntèng, utawa anabok, wadon asangêt ngadat anêkakakên sangking tatu, mang ijtihadé hakim.<br />
<br />
Ana wong akêna mêmisuh èstri liyan utawi asunga sasalin, tan sukaning lakine kêna dhêndha. 44000. Pakanthuk. 20000. Jênêngé akarya bau dastra.<br />
<br />
/92/ Lamun ana mukul wong wadon kalawan mukul kang èntèng, utawa anabok, mangko ta’zire wong iku 10000, lan lamun pamukulê wong lanang ing wong wadon asangêt ngadat anêkakakên sangking tatu, mangka ta’zire wong iku ijtihadé hakim.<br />
<br />
Lamun ana wong wadon cinêkêl ing wong lanang liyan, kang pada karêpé kadhêndha 7000, dêndhané kang lanang 8000, iku wong wadon wêwujang, yèn sampun jinah sangking sijiné kang lanang mangka nuli matur ing gustiné, yèn saha cina olèh tuku wirang 7000, sarta kadhêndha 24000, salokané sênggraha purusa arané.<br />
<br />
Lamun ana amarani wong èstri dènundang, nuli dèncêkêl, wudar gêlungé tuwin kêmbêné salokané iku caya sanggraha arané, awèha pakolèh 8000.<br />
<br />
Lamun ana wong lanang anyêkel wong wadon ing sêndhang, kliru dèn nyana rabiné, iku sênggraha arané, oléhé 4000, dêndhané 8000, yèn wêwujang pakolèhé 2000, dêndhané 4000.<br />
<br />
Lamun ana wong wadon liwat, dèn balang ing gagang, utawa kêmbang sapapadané, utawa dènsabêt ing jêjarik iku sênggraha arané, pakolèhé kang binalang 1000, dhêndhané 4000.<br />
<br />
/93/ Lamun ana wong rêrasan lan rabining wong, aning nggon kang sêpi, iku sênggraha arané, pakolèhé laki 4000 sarta dhêndha 8000.<br />
<br />
Lamun ana wong wadon anganggo kêmbang, runtuh sinapa déning wong lanang nuli dén ênggo, mangka kawêruhan kang lanang, anuli anuduk iku ora nana ing kara-kara 4000 sarta dêndha 4000, salokané iku kêkêmbangan baja arané, utawa sanding alungguh iku sênggraha arané.<br />
<br />
Ana wong wadon liwat, ana wong lanang ing sandingi, iku kalêbu sênggraha arané dêndhané 8000.<br />
<br />
Ana wong wadon liwat sandingé wong lanang, mangka angucap wong lanang mau, aku mambu wangi-wangi iku kêna ing sênggraha, salokané angambung baja arané, iku ana dhêndha 7000.<br />
<br />
Ana wong wadon liwat dèn rangkul dèning wong lanang nyata pangrangkulé, iku pakolèhé 7000 sarta dhêndha 7000, salokané mampang-mumpung arané.<br />
<br />
Ana wong angundhang-ngundhang, laksana rawuh anuli dèn cêkêl salokané mampang-mumpung arané, pakolèhé 25000.<br />
<br />
Ana wong amêmisuh ngajar pakaranganing wong. 24000. Ana katukana sakèhe kang amiarsa, kalêbêting awang-awang tan wruhi subasita.<br />
<br />
Ana wong ananaton ing ambèning wong singadèn tontona sêpi kang darbé pati, wênang trapna ing raja, dhêndha. 24000. Kalêbêtingina dhasti.<br />
<br />
/94/ Lamun ana wong anggawa gêni anyulut omah yèn saha cina mulya amutung sarta kadhêndha 27000, salokané iku wong angamuk tugêl arané.<br />
<br />
Punika yèn ana wong cacab-cacaban ujar ing pasêban, ing wong akèh ana ing pasêban sinapih kang kêna dinêndha tinanggung yugya kramannya 40000.<br />
<br />
Punika yèn ana wong têtukaran ing pasêban, utawa anibaning sabda saru, yèn kawula dhêndhané 4000, yèn wong bêcik dhêndhané 8000, kang kasisih yèn anantoni dhêndhané 10000, lan awéh patiba jampi suda karané tatuné.<br />
<br />
Yèn ana wong atukar, kongsi aparani sangking rosane manjing ing lawang,kongsi angrubuhakên pagêr, amêrang-mêrang têtanduran, utawa pêtêtan mangka kadhêndha 4000, lan sira awéha pasumêngêr.<br />
<br />
Punika yèn ana wong angruntuhakên sarta gêgamannya, dèning amarani yèn mandêg jabaning pagêr dhêndhané 24000, wong sawiji yèn manjing ing lawang bali mêtu ing latar, dhêndhané 40000, wong sawijiné, yèn ana wong ambêdah pagêr kalêboning omah dhêndhané 5000, wong sawijiné, lan saliring darbéné kang ngili muliyo sadaya, gunamantuka triwiguna, lan asunga pasumenger, wong lanang 8000, wong wadon somahan dhêndhané 5000, yèn randa 4000, yèn pêrawan 2000, yèn raré sapihan 2000, yèn raré pasuson 1000.<br />
<br />
/ 95/ Lamun ana wong wadon maring griyaning wong, kalaning bêngi konangan déning kang lanang mêtu omahé sarta asêksi, kadhêndha kang duwé omah 12000, salokané maling kara arané.<br />
<br />
Yèn awus awas ing datna mingsuh Rêkyana Patih adarbé, amênga-mêngan kodhok ijo nanging cantri sukuné winiyosakên saking dalêmé Gusti apatih. Alah tanggapana si kodhok ijo, alah sang kungkang linyok aparah ira maring ingsun, dèra patèni tiragawa, ginawa Ki Kintêl pidhadha, kayune Rêkyana Patih ingantukaken rabiné Ki Arya Seba, sanga sinaloka narya suba awona tan wruh ing basa, ngungkang tanpa pathané.<br />
<br />
Sira soma radité kapetenganingara-ingara, Mêdhang Kawulan mulih saking Majapahit, kawêngèni têgala wus angrèrèni pigir pasisir, agunêm kalih sanaké adalan si mongmong lugêdhah êmas pinêndhêm ing kêndhal kara wong abacoka kadhi pinêt ing ngaturakên Sang Prabu.<br />
<br />
Ana déné bauwarna adhi ginawa mulih dhatêng Mêdhang, sadalan lampahé ana /96/ gadhangan têka ing umah kasamuting siyang rabiné Ki Soma sanaké Ki Radité têkèng griyané bauwarna dinum pinatiga, saduman kinalaraakên Ki Soma ratinakon déné Ki Anggara.<br />
<br />
Yèn alèh êmas sawong-wong gêdhah kari ing kêndhal garadhana, niagara aduwé babaudan, arani kalêksana èstrine arani pramana. Ni Anggara awadé kampuh, maring griyané Ki Lêksana, Ni Pramana awarah maring Ki Lêksana.<br />
<br />
Yèn Ki Soma alèh êmas dinèkèn ing dhêndha karawang, dupi wêngi pinarahan déning Ki Lêksana pinêt ènjing Ki Radité maring pagigir, tiningalan êmase ilang rèntên mamahé Ki Radité. Endhal garawang tinêgor ginawa mulih ing aturaken dhatêng Rêkyana Patih. Pinen angraosakên êmas ical ing kêndhal garawang, rinaosan déning parana akasa daya, Rêkyana Patih sakêdhap mênêng, Ki Patih angucap semaradité lênga iki tigawanên mulih. besuk rina-rinaos /97/ nangi sampun suwara angambil damar inupuk ing alun-alun, sira radité mantuk saking pasowan, alah dhatêng rabiné.<br />
<br />
Yèn sinungan pratandha dènira apatih buratarum, sira asminingrat ginadah déning Nini Anggara sinungakên dhatêng Ki Lêksana. Ucapên Rêkyana Patih, sampuna suwara.<br />
<br />
Yèn ana anganggè ya burat dalêm, kang kinona nyêkêla wong alun-alun, inguworakên têtêg wuning miwah bèn agè. Sami gita sadalêm kitha, miwah sajawining kutha sami atandang, sampun rinakitan. Déné wong kaparêk Si Lêksana kacêkêl, binak dhatêng pasuwan rinaosan para mantri sêdaya. Tinakènan sira nganggé burat dalêm, awarah olihé tubasing pasar. Tinakonan rabiné Ki Lêksana, aran pramana. Boya tumbas lisah dalêm, lisah jawi boya ana wandé kaya mangkéné gandané, Ni Anggara dhatêng griya manira, awadé kampuh, manira lagi asêpi tinakênan Ki Lêksana boya angkéh réh ira Gusti apati-/98/h kalih patik saka basa, Ki Lêksana dadi durjanané jinarahan Ki Lêksana, Ni Anggara dinalêmakên déning Sang Prabu Si Raradité pinakaliyan, sarabiné durjana prasakang amawidosa kadhêndha 80000, 4000. Ingaranan somaradité anggara kasih.<br />
<br />
Yèn Lêksana apramana, sinalokan andaka sarati durjana tilam. Sira dangu kèrangan alêksira waton wijaya putuné Ki Bujaga. Sira dangu kèrangan anglamar papêtêngan rabiné Ki Sajaya, araniwigêna, saleki Ki Aryasupêna, samaktu payu dèn tigali êmas. Raja kaputrèn tinigalan wong dalêm, Ni Esih lawan Ni Raras, dadi patiba sampir. Sira satama saraké nasiwigêna atari yèn awéh yèn ora angucap.<br />
<br />
Ana karêp ira sira tama angrusak wawêtêngan, pinasthi sira ingilangakên sira anangu kèrangan. Sampun winarah yèn tanpa wèh sira sutama, giniring sabên déné Ki Bujaga, katur dhatêng Rêkyana Patih rinaosan déning para naya- /99/ ka sadaya. Rèhing kartakakên dadosa piawon ingsun sinalakên Ki Bujaga.<br />
<br />
Ana rawèh tan wruh ing baya dalêm wulan aksarané, katrapan dhêndha, 80000. 4000. Sira supaya sinalokaliyan. 40000. Patiba sampir dados gendhong winawir suka mawigêna, kasèsèh ing laras wagan wijaya ujaga dangu kèrangan, sinalokan andaka angara sari kaingaran dhorané panguntawang.<br />
<br />
Sira wisuna ayuna dêrêgawa, anilih dèn èman wong dalêmé wiarya rudiga arani praya. Lawani aku tinakèn déné Ki Wisuna, anambuk irkanè Ki Sudra Pralaya, sapangêlé, alihna baksa paha, sakathi ing manglêksa, katur yèn anduwé gawé, Ki Wisuna, Ni Praya, Ni Aku. Mantuk dhatêng griyané angucap dora ulangné anilih noraa déné pan ana kang duwé nguwong. Ki Udapraya anagih maring arudipa kakang baya rumasa yèna utang, dhatêng pakanira arta sakêthi li-/100/ mang lêksa boya angaku pined kudane saking gedhongan.<br />
<br />
Ki Arya Rudita anagih dhatêng Ki Wisuna, boya angaku anuli matur dhatêng Kyai Patih sampuna kakênan anggiring mamaring Ki Udapraya, Ni Praya, Ni Aku. Winiyosakêning ngarsanira Rêkyana Patih. Ni Praya, Ni Aku tinakonan déning para niyaka angakèn kinêkèn dhatêng Ki Wisuna.<br />
<br />
Ki Wisuna boya angaku, yèn akèkênan boya anigih uwong pinaripih tinakêna. Yèn aduwé gawé êstu, yèn anilih kèkênan dhatêng Ki Aryarudiga, Ki Wisuna dados pikawonipun rèhing karta katrapan dhêndha. 40000. Angulihna pugung.<br />
<br />
Ni Udapraya katrapan dhêndha. 40000. Angulihna pugung, paring tiarya rudita ingaranan. Angadonira raja wisuna. Ni Aku, Ni Paya sinalokan andaka asari aculika ing pêpadhang Rêkyana Patih anggaskara, maturé Rêkyana Patih Mandana Sraya, kadospundi salokanipun winastan saloka agama tugak mati kalingan. Ron urip déné putuné karêpé punika urip déning ratu /101/ winasaa sêmbada amiarsa pakêrta ing Mêdhang Kamulan, bênêr tuwané Ni Wêrgul, matur dhatêng Rêkyana Patih Mandana Sraya. Déné pabéhé sang kidang, angidêki anaké Sang Pragul pêjah. Rinaosan déning para nayaka sadaya, ujaré sang kidang manira baksa boya mariksa.<br />
<br />
Anaké kang wêrgul yèn pêjah, déné agendhonga atitir, karané manira bêksa puniki. Kang wijal anêmbang gamêlan. Ala ajur kiwijilin ring pabên. Ujaré wiwijal inggih manira anembang gamêlan, Ki Manyura angigêl wimanyura giniring pabên ujaré Ki Manyura, inggih karané manira ngigêl, kiwaraa anêmbang gamêlan.<br />
<br />
Ki Wara aginiring patèn, ujaré wicara akarané sun nêmbang saruni kidang kalungan sakidhak agawa umah. Ing bakang kiniring patèn, ujaré kidang karanipun lunga sakida ujaré kikuna. warané panira lunga sakidak boya ki andaman, déné kira kathah sami dèn anggawa, wawarih, kirêmatha iji /102/ ring patèn. Mêpèk sato sêmbawa sadaya, rinaosan déning nayaka sêdaya.<br />
<br />
Ki Wêrgul saking pangarahipun tan antuk sarehing karta déné boya udhangakên gèndhongan atitir, sakèhé sato sêmbada katrapan dhêndha. 40000. Salokané ina paksa agaskara rêsminé parêbatan.<br />
<br />
Punika Sang Kamala Jati, ing Nusakambangan amiarsa Nagara Mêdhang Kamulan. Agêlarakên aksara, sira Patih Mandana Sraya, sasosra ing jagat, manahé Sang Ratu Jayakomala, yata dhatêng ing Mêdhang Kamulan ayuna pagih kalih Patih Mandana Sraya, yata kèsah king nagarané. Ucapên rêtna widuré ing Nuswakambangan sami kayunipun apagih ing marga sami agunêm nulya malêbêting Mêdhang Kamulan. Pinarêk déning para mantri sadaya, saandhaping mandira, ucapên Sang Ratu Jawa, rêtna widuré malêbêtan para rapad amiyak wong asêba sinapa déné Sang Prabu. Punapi sor karya pakanira, paring nagara manira, maka ngucapa raja, kumala, miwah rêtna widuré amiyosakên cacangkrimaning aksa- /103/ ra.<br />
<br />
Punika namané dudu anamining prabura sêmbada, wigting dura sêmbada sahara ngawang, gêlap tanpa udan. Gêni murub sajroning banyu, sêkar tunggal wit tiga warna, iku cangkrimaningsun. udharên dènira yèn katuka isuna nêdha parentah ira. Maka rinaosaken déning patih Mandana Sraya, kalih Patih Karta Basa, cacangkrimanika têgêsé Sang Jaya Wécala, miwah retna widura, têgêsé duduga nama manira, karêpe Sang Prabu sadurungé ngawédal pangucapé dora adoh, sang karana maning ngaluhur, têgêsé Sang Prabu lawan pangucapé agungakên kagungané sagara ngawang-awang.<br />
<br />
Sang Prabu gêlap tan udan pangandikané Sang Prabu api murub jroning banyu, kudhup wruhgal kawulaning ratu, pinasti kang winawikan, kang pinadha padha kang kinasiyan ingakên.<br />
<br />
Kang owah tan widuré sira raja komala, sapangucapé buwar, déning Rakyanapatih Mandana Sraya. Ayun kèsah wong kakalih tinarajang tinalêman Sang Ratu Nuswakambangan sampu kabêkta, sira Rêkyanapatih Kêrtabasa matur dhatêng Rêkyanapatih Mandana Sraya. /104/ kados saloka lawan pan suku sêngkaan kulumangsang wohan mulaning nganucuk manuk punika. Salokané dadia kawi gawé ala ajing manukun angiring manduhakên ulah saking adados pria jurang, mangada-ada, aja malaku amapanyung binuru déning pandhan wangi.<br />
<br />
Sira Ki Carub katunon, sira Ki Banyu kiwisuwan Ki Lulur sami agunêman déné patiné Ki Wulikan anaké Ki Kalubuh pjah kabranan pigiring margi sami agendhongan kitir wanèh uwang udhang arik dinêdêg déning wong kathah.<br />
<br />
Ana kawiyosipun sami mantuk lan ana rinasan tan matur déning wong agung kapa wiwih déné anrima maèsa déning wong agung sadaya. Karaosan déning karta, katrapan dhêndha 40000. 40000. Sami èstri nira kabèh ing balen patining mênêng mulat kapining. Kinawi déning para nayaka matur Rêkyanapatih kalu dèn kalunyêhan murub kaduda kiwisuyan kadus aluluran patiné wulukan mulating mênêng kapinêng.<br />
<br />
Punika paduné Ki Tunggakwarè lan Ki Juraganalun adi- /105/ kimban bandhané mariki tugak aji sawidak sasur limang kêthi limang lêksa, têka iki uga swararêngkap malingan saisiné umahé, têlas wêkas têka titipané katut, Ki Tugakwarèng agendhong atitir undhang arit.<br />
<br />
Yèn kamalingan Ki Tugakwarèng aduwé ank wadon arani Esih lawan Ni Sari. Linamar déné Ki Yungan, anakéni baya. Ki Alun kêkadhang nuli watêng umahé Ki Tuga lèrèng winarah. Yèn kamalingan telasa isine umahé, Ki Aluna malampah titipane norana kari telas, sami matur dhatêng Gusti apatih rinaosan déning para karta niyaga sadaya. Pabèné pitunggak lawan Ki Alun, pinaripih agêndhongan undhang aritaning kamalingan. Pinaripih malih angakên yèna duwé anak sampun linamar rèhing kagati Ki Uga lèrèng katrapan raja dhêndha. 40000. 4000. malingasih inilaran dèn kaya simpên. Ginawa déning kartaniyaka, sadaya, nêngêr gagakwarèng kasèsèh ing alun bayaning alungwang sari.<br />
<br />
Ki Udang ing arana mêmêdining anakénira / 106/ mulih anangis nora kinon déning ni rondho katur déné Rêkyanapatih, rinaosan déning para nayaka sêdaya. Tinakoni Ni Randha. Déné tan sukané déné anaké mulih angangis, Ki Udhang tinakênan amêpat, pinaripih Ki Undhangakên amung mangkéné, ujaré Ki Undhang. Mangka bocah ing kudak silihe biyangané réhing karta Ki Undhang karapan dhêndha. 40000. Pakalih. 2000. Ingaranan bara-bara tan bara, oléh lara amrénéni.<br />
<br />
Patih Mandana Sraya agunêm kalih Patih Kêrtabasa agunêm soring mandira pêpèk mantri sadaya, kang rinaosan cacangkrimané aksara sapauninga ing mahadan. Pinasthi kawulaning ratu namaning cacakriman prayoginé duduga, sêmbada gêlap tanpa udan, sagara ngawang, gêni murub ing papadhang, ujaring kawi, ayru tan wruhing subasita mamamulung mara sacondrasa, dèn awas kang alêlawan surupé. Minaka walêsanira sang durjana udhanging ra jaksaning praja, ing Mêdhang tinumpuk yèn ana wêwalêring kêrta katrap ing raja dhêndha.<br />
<br />
Punika Kuthara manawa /107/ kang antuk Kyai Sènapati Jibun. Punika lwiring parakarta, sawi kuramanawa tikah ingkang yogya, kawikan ana déning Sang apatih déning anglarani. Yèn angluputêna ing bênêr, abênêrna ingkang luput. Kênaa ing ngupatané bêthara, kalêbua kawan dêrba manga, sèwu taun tanpa mentas. Alokanana papan nêraka, punika wêkasing bathara tambuh.<br />
<br />
Punika lwiring ngasta yusta, walung praka lirnya byaklah, isakah codèkah, akana matènana, codèkah ngênini, kaliga yogya pamatèni, arêpa urip pawèyan dhêndha, kinotama. 40000. Sabojakaawèh panganing maling, pratikah asami ralan maling. Astanadahawèh êgoning maling, krawana tugu abahu rêksa ing maling, kang nêptaha ngumpatakên maling. Sacarakah atuk sadulur lan maling, kalima utama dhêndha. 4000. Kartah aweh wot sangkara ilah adona malingi tikah dhêndhanè. 12000. Sapaduluran lan maling dhêndha. 24000. Kadalanan maling padhalan wowot aweh babahan dhêndha. 24000. Angileni malih du- /108/ wéné kang ilang, amugung, sapangandan maling sakolihè mèlu dhêndha galêsa amangan lan maling sakuthu dhêndha. 24000. Samara ika lan maling anuduhakên maling dhêndha. 12000.<br />
<br />
Punika astacorah wawalu kathahipun kartan maling lumêkas malih. Pratikah sami pralan maling, nista jawah sakaning maling, krawah ngomah arêksa maling. Jaka Makah amacuk lan maling, kabèh iku yogya patènana, anak rabiné yogya pajingèna ing dalêm. Kara ikah amanah Sang Prabu yèn arêp têbasên utangè na walungé wuwong sijiné wong wadon nèm èwu , raré patang èwu.<br />
<br />
Punika linging sastra, nista jawah sakaning maling, dhêndha. 10000. Angilèni duwé ilang sakawit. Pratikah sami kralan maling dhêndha 1000. Apakah-apacuk lang maling. 10000.<br />
<br />
Punika tata agènidah, anudoning awisadah angupasi, bodé karah angamuka parawanah anêluh, awèh raja wisuna Sang Prabu amupangèstri larangan, rupa ranu arangkat yèn putungêna tan dosaa yèning rêp lupute kêna ing dhêndha.<br />
<br />
Punika acorah i- /109/ tikahing maling, dhusta anayab abèlaa maling ngutil adhudhut alêlér, ingitir, ajupuk, angêmbat andika lirnya, anayab majing jro ngomah wênang patènana, saha cina tinali-tali, dhêndha yata dunungan 8000. Angêmbat pagêr. 2000. Pakantuk trap ingkang nêbak, angêntasi kang kinêbating sampiran dhêndha. 4000. Pakantuk kaputung adhudhut kang déning witing dèn pikul, dhêndha. 1000. Pakantuk. 4000. Ajupuking balé, dhêndha rinolasan, anglêlèr kang dèn salahakên sinawêlasan lan regané kang dèn alap. Iku amutung angutil pakêyanira wong dhêndha.8000.8000. sèn wong wadona ngutil dhêndha. 4000. Abapang anêndhal kêrisé kalapan dhêndha winor pinatèn. yèn kawali tali maring gusti, dhêndha. 8000. Kêris muliya wugung. Yèna nganitip pasumêngêr. 4000. Rêgané masa. 4000. Muliya mutung, anyolong kuda dalêm kadhêndha. 2000. Pangajiné kuda. 10000. Yèn kuda kukurungan pangajiné. Yèn kuda wadon. 4000. Anyalong sapi 6000. Ajining sapi. 3000. Amutung anyalong maèsaa arêgi limang kuda /110/ amutung.<br />
<br />
Ana wong ngautang urêdtaya akèh anaké. Satugal saking wong atuwané mati, ana kang anglakoni darma aji, wnang anêbasa utang wong atuwané tan wênang anugoni anaké.<br />
<br />
Ana wong utang pradata tan wruh anaké yèna utang, saking wong atuwané wong anaurana utangé wong atuwané.<br />
<br />
Anata ya tanpa utang ing alap abdining pradana, wong aku wawnang angawusana utangnya tenaknya mekuwaara.<br />
<br />
Ana wong atuwa piyambêk ing pradana sampuna kawaya ing sadasa wêrsa. Wênang uwusnya utangnya. Ana prahara bituwanan panaktaya duwé abdipun paraniman anak lanang tunggal wênangakên kêna wong atuwané, yèn wadon anak taya ma I wong atuwa jaluk tribaganên maring anak èstri rong duman maring Sang Prabu saduman mangkana linging sastra.<br />
<br />
Punika tingkahing pradana aduwé wong kang manèku maliring anak, diwaja kartah anunggoni pinangan gêrajahu, kawula awèh anêbusi, sawisé kawula déning pikratah kawula paweweh trikalah kawula kêna anêbusi. Pèk makah kawula kalilir- /111/ ran, dhêndha kandasa, kawula déné dosané.<br />
<br />
Punika pramananing ngautang, saksi patra likita tulisakên bukti sinandhang ping wadon, pakantukipun. Yèn lanang sapakantuk kang lanang, ana bapa anêdhakakên ing anaknya, dewalakuna, wnêng pramana, iku bapanya, wnêng maruwata.<br />
<br />
Ana èstri lunga saking bapa, saking paran malaki taya awêkasan didol taya lakinya, wnang bapa anêbus.<br />
<br />
Ana wong adhêdhakakên kawulané winalat taya, déné kang matêdhakakên anaura utang maring kang sinandhan, utangnya, kan manandhakakên ulung. Migating pasandan kang manandhakakên asunga utang dhatêng kang sinandhanan sautangé anaura.<br />
<br />
Ana wong mangandêlakên tan lungané kawula, drêsasana Patabawah ngaranya wnêng katempuhana.<br />
<br />
Ana wong angandêlakên sauraning utang drêsana pratibuh aranya. Wênang anaurana.<br />
<br />
Yèn mati kangandêlakên tan têtagih anaknya, tan tumus ing anak rabinya. Ana wong angandêlakên aboting panauré sawalanya angandalakên akona nyêkêla, kang ingandêlakên /112/ yèn ora têka kang ingandêlakên anaurana sautangnya.<br />
<br />
Ana ta wong utang lan wong ngapiutang, awastan panagih awêkasan managih taya liwat saking pitung taun wênang saurana. Wêrdi saka awit sasauré iku kapranan têgêsé kapêrmanan.<br />
<br />
Ana sêksi jumênêng yèn tan ana sêksi, yèn tan manah linatan wênang managihnya, kadasa wasa aranya.<br />
<br />
Ana wong utang èstrinya autang piyambek, binukti lan lakinya tanpa nak taya awekasan mati rabinya, wnêng lakinya anaurana utanging rabi. Punika têgêsé pancacandrané.<br />
<br />
Ana darbéning wong atitip wong apatang manahé dhakakên yèn kalêbuwa, pancasadarana, êndika têgêsé pancasadarané, kaparana déning munguh karaja baya, agening baya, kacorah baya. Iku karané tan managih déning kang adarbé.<br />
<br />
Ana wong utang boya managih lami panagihé awêkasana mêt bumi mangalap èstri, mangalap anak tanpa suka amalat, tan suka kang autang tan ana anaura u- /113/ tangé ora sinaur déning amalat, panauré saking wênalat ulihna.<br />
<br />
Ana wong autang baya kang apiutang angala duwéne kang utang kêbo, asapia, mèndaa, winalat ana wèh kangautang wneg mangalap ika.<br />
<br />
Yèn sami ajinanya, yène sereginya amusuh ana ingkang mautang. Yèn tan pasung saking luwihnya salah satunggal tan awang sulèna kadhêndhaa. 8000.<br />
<br />
Uwus panagihé lapên kang ingalap ika.<br />
<br />
Ana duwéning wong liyan, binukti déning wong liyan anggêring sandhingnya, jumnêng tan inapêksa taya, mangka inganti pitung taun lawasnya tan kinapaksa taya ika mangkana yogya managiha darbénya malih.<br />
<br />
Ana wong kojahakên kojah mugung ilangé mal, iku kaya pangucapé, iya satuhuné pagêri kurubuhêna bênêraken wong iku atas lawangé wong lanang wawanéh, maka iya iku kojah arané, anuduhaken buran tandha kojah padu kang nyata maka uwusma /114/ kaya ukum Allah, kaya mangkana ukumé Burhan, mal kang ghaib maka tinêmu sapar gèné iku utawa sapratèlan maka ingukumakên ukumé burhan, titinukil saking kitab Rohkhullah, kawikanana dènira satuhuné los iku, kaya ujaré wong lanang, atasatumuné, iya iku amatèni ing sadulur ingsun, sabab ngalamaté iya iku maka lumaku Ki Duda ngi iku maring supata, lamon ora gêlêm supata, maka ora wênang rinungu ing atasé iku lan kaya mêngkono ukumé burhan lan kojah utawi burhan iku. Arêp ana têtèla ing dalêm pratikahé maka ora wênang tinarima ing atasé iya iku lan kaya mangkana ukumé kojah, nukil saking kitab Bayad Fakawi.<br />
<br />
Bismilahirahmanirakhim <br />
<br />
Allahumma rukughu, risikughu, wa ismaghu, ngalaèka wa barkatu wa rahmatu, birahmatika yamarkhamarakhimin.<br />
<br />
Punika /115/ donga sakêthi.<br />
<br />
Allahuma rukughu, risikughu wa ijra ilaya jabana ila. donga salêksa.<br />
<br />
Punika pèling napsu luamah, iku palawangané lambé, dunungé usus, têtunggangané gajah, têngêrané malaèkat papat.<br />
<br />
Napsu amarah, palawangané karna, dunungé paru, têtunggangané aksa, têngêrané gêni roka.<br />
<br />
Napsu supiyah palawangané nètra, dunungé ati têngêrané mandhala giri, têtunggané naga.<br />
<br />
Napsu mutmainah palawangané grana, dunungé jêjantung, têngêrané pêthak têtunggane wêruh tan marah.<br />
<br />
Titi kala tamat gèné anurat, dintên Kêmis Pon tanggal ping sanga, sasi Sêla tahun Èhé wukuné Kuruwêlut, titi angkaning. 1612. Titi. Tamat.Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8845009981463032124.post-42811514257290119632012-09-10T22:57:00.001+07:002012-09-10T22:57:00.207+07:00> TAFSIR TAFSIR MIMPI DALAM TA’BIRANING IMPENTA’BIRANING IMPEN<br />
<br />
Ontvangen van het kantoor voor de<br />
Volkslektuur te Batavia,<br />
Januari 1938<br />
<br />
Di Terjemahkan oleh: Pangeran Karyonagoro<br />
<br />
Dalam masyarakat Jawa terdapat kebudayaan yang unik yaitu kebiasaan dalam menangkap atau menafsirkan tanda-tanda (samita) yang ada disekitarnya. Tanda tersebut berupa mimpi yang merupakan media informasi yang berisi simbol-simbol yang dimaknai sebagai pertanda mengenai masa depan. Hal tersebut juga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa mempunyai kecerdasan dalam menafsirkan mimpi .<br />
<br />
Tafsiran mimpi dengan bermacam-macam simbol<br />
<br />
Simbol Tuhan.<br />
<br />
Tuhan yaitu yang menciptakan alam semesta beserta isinya, yang menghidupkan dan mematikan semua yang ada. Pengertian simbol Tuhan seperti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini :<br />
<br />
“Gusti Allah punika inggih dadosaken manusa, saking manining (pedjoeh) bapa biyung ngantos dumugi pejahipun”<br />
<br />
Tuhan itu yang menciptakan manusia, dari air mani ayah dan ibu hingga datangnya kematian.<br />
<br />
“Dene upami wonten tiyang ngimpi ningali Gusti Allah punika remen-remening manah tinimbang karemenan wonten ing alam donya punika, alamatipun badhe minggah kabingahan lan wilujeng.”<br />
<br />
Apabila orang bermimpi bertemu Tuhan, itu menyenangkan hati dari pada kesukaan yang ada di dunia, itu artinya akan mendapat kebahagiaan dan keselamatan.<br />
<br />
“Menawi ngimpi sumerep Gusti Allah maringi bandha utawi sandhangan, punika alamatipun badhe minggah kasisahan.”<br />
<br />
Jika bermimpi melihat Tuhan memberikan benda atau pakaian, itu artinya akan mendapatkan kesulitan.<br />
<br />
Simbol Malaikat.<br />
<br />
“Malaekat punika titahing Gusti Allah ingkang sanes kados tingkahipun manusa, inggih punika nggadhahi badan ingkang alus sanget kados angin (hawa), nanging nganggo roh (jiwa), lan piyambakipun boten dhahar, ngunjuk lan sanesipun ingkang kados lelampahipun manusa.”<br />
<br />
Malaikat itu salah satu utusan Tuhan yang berbeda dengan prilaku manusia, yaitu memiliki badan yang sangat halus sekali seperti angin, namun menggunakan roh (nyawa), dan tidak makan, minum dan lainnya seperti yang dilakukan manusia.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang sumerep Malaekat ingkang sae-sae, punika alamatipun badhe mulya wonten alam donya ngantos dumuginipun pejahipun.”<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat Malaikat yang baik-baik, itu artinya akan mendapatkan kemulia didunia hingga datangnya ajal.<br />
<br />
“Menawi ngimpi sumurep Malaekat wonten ing kampung ngriku, punika alamatipun kampung ngriku badhe pinaringan subur lan boten wonten penyakit.”<br />
<br />
Jika bermimpi melihat ada Malaikat yang berada di kampung tersebut, itu artinya kampung tersebut akan mendapatkan kesuburan tanahnya dan tidak ada penyakit.<br />
<br />
“Menawi ngimpi sumerep Malaekat ing kuburan, punika alamatipun badhe wonten penyakit ngantos pejahipun.”<br />
<br />
Jika bermimpi melihat Malaikat berada di kuburan (makam) itu artinya akan ada penyakit hingga meninggal.<br />
<br />
Simbol Nabi dan Rasul.<br />
<br />
“Rasul punika salah satunggaling manusa ingkang kautus dening Gusti Allah.”<br />
<br />
Rasul itu salah satu manusia yang diutus oleh Tuhan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep Nabi ingkang pejah utawi sakit, punika alamatipun badhe minggah kasisahan.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang bermimpi melihat Nabi yang meninggal atau sakit, itu artinya akan mendapat kesulitan.<br />
<br />
“Menawi ngimpi dipun paringi punapa-punapa kadosta: sandhangan, pedhang lan sanesipun punika alamatipun inggih sae sanget.<br />
<br />
Apabila bermimpi diberikan barang-barang seperti pakaian, pedang dan lain-lain, itu artinya baik sekali.<br />
<br />
Simbol Surga.<br />
<br />
“Suwarga punika satunggaling panggenan ingkang jembar sanget panggenanipun ing sanginggiling langit. Sadaya wonten ing ngriku sarwa edi lan nggumuni, amargi salebeting suwarga punika kathah barang-barang ingkang dereng nate ningali nalika ing ngalam donya lan sanes-sanesipun. Suwarga punika dados nedahaken kabingahan.”<br />
<br />
Surga itu salah satu tempat yang luas sekali, tempatnya di atas langgit. Semua ada di situ dan mengherankan, karena di dalamnya itu terdapat barang-barang yang yang belum pernah kita lihat didunia dan lain-lainnya. Surga itu merupakan suatu tempat yang menyenangkan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi mlebet suwarga tegesipun ing panggenan ngriku sarwa edi, boten kados ing bumi punika alamatipun pinaringan kabingahan inggih punika sadaya lelampahan dipun trima lan punapa ingkang dipun seja lan ingkang dipun ajeng-ajeng.<br />
<br />
Orang yang bermimpi masuk kedalam surga artinya satu tempat yang semuanya serba indah tidak seperti di bumi itu artinya akan mendapat kebahagian yaitu semua perbuatan diterima dan apa saja yang diharapkan.<br />
<br />
“Upami ngimpi sumerep wowohan suwarga lajeng metik punika alamatipun manawi wicanten punapa kemawon dipun turut jalaran wowohan suwarga punika alamatipun wicanten sae.”<br />
<br />
Apabila bermimpi melihan buah-buahan surga lalu memetiknya itu artinya apabila berbicara apa saja akan akan didengar atau diturut, karena buah-buahan surga itu berarti ucapan yang baik.<br />
<br />
“Upami ngimpi medal suwarga punika badhe manggih kasangsaran, inggih punika lalampahipun rumiyin boten duraka lajeng sapunika duraka.”<br />
<br />
Apabila orang bermimpi keluar dari surga itu artinya akan mendapatkan kesengsaraan yaitu dahulu selalu berbuat baik tapi sekarang selalu mengumbar angkara.<br />
<br />
Simbol Neraka.<br />
<br />
“Neraka punika satunggaling panggenan ingkang jembar sanget kados suwarga, nanging salebeting naraka punika sadaya sarwa latu. Neraka punika dados nedahaken kasangsaran sanget inggih punika awoning lelampahanipun tiyang ingkang ngimpi.”<br />
<br />
Neraka itu salah satu tempat yang sangat luas sejali seperti surga, namun di dalamnya neraka tersebut penuh dengan api. Neraka itu menandakan kesengsaraan yaitu jeleknya perbutatan orang yang bermimpi.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi mlebet neraka ngantos nangis gembar-gembor punika alamatipun manggih kasangsaran ingkang sanget inggih punika lelampahanipun sadaya awon tur duraka.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi masuk ke dalam neraka lalu mengangis sekerasnya itu berarti akan mengalami kesengsaraan yang sangat berat yaitu perbuatannya itu semua buruk dan durhaka.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi mlebet neraka nanging boten kraos benter babar pisan punika alamatipun badhe manggih kasisahan sanget inggih pangupajiwanipun pinaringan kangelan tur pejah.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi masuk ke dalam neraka namun tidak terasa panas sama sekali itu artinya akan mendapatkan kesengsaraan yang berat yaitu pekerjaannya atau dimana ia berkerja akan mendapatkan kesulitan yang berat.<br />
<br />
Simbol Langit.<br />
<br />
Langit merupakan tempat yang luas dan terletak di atas bumi, simbol alam ini dimaknai dan diaplikasikan ke dalam mimpi. Pengertian simbol langit seperti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini :<br />
<br />
“Langit punika satunggaling titahan ingkang inggil sanget, punika dados nedahaken dhateng pangkat kaluhuran.”<br />
<br />
Langit itu salah satu ciptaan yang sangat tinggi, itu berarti menandakan datangnya pangkat keluhuran.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi piyambakipun wonten ing langit boten sarana minggah, punika alamatipun ingkang dipun seja punika katemahan lan dipun trima, sami ugi ingkang dipun seja punika pangkat utawi sanes. Upami wonten tiyang ngimpi kados makaten inggih kedhah sukur dhateng Gusti ingkang maringi gesang, amargi badhe pinaringan ingkang dipun ajeng-ajeng”.<br />
<br />
Jika seseorang bermimpi dirinya berada di langit, itu artinya yang diharapkan akan tercapai, sama jika yang diharapkan itu adalah pangkat atau bukan. Jika ada seseorang yang bermimpi seperti itu, harus bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan, karena akan mendapat yang diharapkan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi minggah langit ngangge andha utawi sanesipun, punika alamatipun tiyang punika badhe angsal pangkat pendamelan lan sanesipun tur tiyang punika bade dipun kondangaken dening tiyang ngriku, lan badhe pinaringan gampil ngupados yatra lan sapanunggilanipun.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi naik langit memakai tangga atau yang lainnya, itu berarti orang tersebut akan naik pangkat pekerjaan dan sejenenisnya, juga orang tersebut akan diperkenalkan dengan orang di situ, dan akan mendapat uang dan sejenisnya.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang piyambakipun wonten langit lajeng dhawah dhateng bumi, punika alamatipun awon sanget, inggih punika upami tiyang punika nyambut damel inggih dipun lepas utawi pangkatipun dipun andapaken, terkadang tiyang sugih dados mlarat, terkadang bingah dados sisah sanget makaten ugi sapiturutipun nandang sisah.”<br />
<br />
Siapa yang bermimpi dirinya berada di langit lalu jatuh ke bumi, itu berarti sangat buruk, yaitu apabila orang tersebut bekerja akan dipecat atau pangkatnya akan diturunkan, malah terkadang orang kaya menjadi miskin, terkadang senang menjadi susah sekali, begitu pula selanjutnya menderita.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyangipun ngimpi badhe minggah langit boten saged dumugi lan ngraos radi kangelan, payah lan kuwatos, punika alamatipun radi sisah, inggih punika sadaya perkawis ingkang dipun seja lan dipun ajeng-ajeng boten saged temahan lan boten saged dipun trima, sami ugi ingkang dipun ajeng-ajeng pangkat utawi perkawis ingkang unggul makaten ugi salajengipun.<br />
<br />
Siapa yang bermimpi akan naik ke langit namun tidak sampai kelangit atau terasa sulit, payah dan khawatir itu artinya akan sulit, semua masalah mengenai yang diharapkan tidak akan terjadi atau terkabul, sama jika yang diharapkan adalah pangkat atau perkara yang tinggi dan begitu pula selanjutnya.<br />
<br />
Simbol Matahari.<br />
<br />
Matahari merupakan ciptaan Tuhan yang sanggup menyinari dunia dengan sinarnya, semua yang berada di dunia akan terkena sinarnya. Sinar Matahari juga dimaknai sebagai penerang karena sifat dari sinar matahari yaitu menyinari dunia. Matahari mempunyai sifat panas, penuh energi, dan pemberi sarana hidup. Berikut simbol Matahari seperti yang terdapat dalam kutipan dibawah ini :<br />
<br />
“Surya punika satunggaling titah ingkang ageng sanget tur madhangi wonten ing sadayanipun tiyang wonten ing bumi.”<br />
<br />
Matahari itu salah satu ciptaan yang sangat besar dan menyinari semua orang yang berada di bumi.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi nyepeng surya, punika alamatipun badhe angsal pendamelan.”<br />
<br />
Siapa yang bermimpi memegang matahari, itu artinya akan mendapat pekerjaan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi surya medal saking griyanipun, punika alamatipun manawi ingkang ngimpi punika legan (boten gadhah bojo) punika badhe mbojo tiyang ingkang sae manahipun lan rupinipun, sami ugi ingkang jaler utawi ingkang estri. Dene menawi ingkang ngimpi punika sampun gadhah bojo punika alamatipun badhe dados ratu utawi kepala utawi pangkat inggil”.<br />
<br />
Siapa orang yang bermimpi matahari keluar dari rumahnya, itu berarti apabila orang yang bermimpi tersebut belum berumahtangga, itu berarti akan diberikan jodoh yang baik hatinya dan rupanya, sama saja baik laki-laki atau perempuan. Apabila yang bermimpi itu sudah berumahtangga, itu berarti akan menjadi raja, atau atasan atau pangkat yang tinggi.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngipi surya dipun kepung (ketutupan) mega punika alamatipun sisah banget inggih punika tiyang ingkang ngimpi kekasihipun badhe sakit sanget.”<br />
<br />
Siapa orang yang bermimpi mataharinya tertutupi awan, itu berarti akan susah sekali yaitu orang yang bermimpi itu, kekasihnya akan sangat sakit.<br />
<br />
Simbol Bulan.<br />
<br />
Bulan merupakan ciptaan Tuhan yang sangat indah ketika malam hari tiba, menyinari dunia dan membuat orang yang melihatnya akan bahagia karena keindahannya. Simbol bulan juga diambil menjadi simbol dalam mimpi, berikut simbol bulan dalam mimpi :<br />
<br />
“Rembulan punika satunggaling titah ingkang sae tur edi jalaran saged madhangi tiyang ingkang wonten ing bumi, nanging padhangipun boten benter kados surya, punika dados nedahaken dhateng bojo estri utawi lare ingkang sae”.<br />
<br />
Bulai itu salah satu ciptaan Tuhan yang baik dan bagus karena bisa menerangi orang yang ada di bumi, namun cahayanya tidak seterang seperti matahari, itu berarti memberikan akan beristri atau anak yang baik.<br />
<br />
“Sinten tiyang ngimpi nyepeng rembulan punika alamatipun badhe angsal bojo ingkang ayu sanget utawi pinaringan lare ingkang sampurna”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi memegang bulan itu artinya akan punya istri yang sangat cantik atau akan diberikan anak yang sempurna.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep rembulan punika surem utawi grahana utami pandhangipun manglih peteng dhedhet punika alamatipun sakwangsulipun ta’biranipun nginggil inggih punika badhe angsal bojo radi awon lan badhe pinaringan lare ingkang boten sae rupinipun utawi watakipun”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat bulan itu redup atau gerhana atau cahayanya kedap-kedip itu artinya sebaliknya dari tafsir diatas, yaitu akan mendapatkan pasangan yang kurang baik dan akan mendapatkan anak yang tidak baik rupanya atau sifatnya.<br />
<br />
“Upami wonten tiyang ngimpi sumerep rembulan dipun pangku lan dipun bekta riwa-riwi punika alamatipun inggih badhe pinaringan lare ingkang sampurna tur ngabekti sanget dhateng piyambakipun ngantos dumugi ajalipun”.<br />
<br />
Apabila ada orang yang melihat bulan itu dipangku dan dibawa kesana-kemari, itu artinya akan mendapatkan anak yang sempurna juga berbakti sekali kepada orang yang bermimpi hingga datangnya ajal.<br />
<br />
Simbol Bintang.<br />
<br />
Bintang merupakan ciptaan Tuhan yang sangat indah ketika malam hari tiba, menyinari dunia dan membuat orang yang melihatnya akan bahagia karena keindahannya, berikut simbol artinya dalam mimpi :<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep lintang temrolap-temrolap punika alamatipun badhe angsal pangkat tur tiyang punika dados unggul-unggulipun tiyang ing ngriku”.<br />
<br />
Orang bermimpi melihat bintang berkelap-kelip itu artinya akan mendapat pangkat dan orang tersebut menjadi unggulan orang-orang disitu.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi kathah lintang punika alamatipun badhe pinaringan ngereh tiyang ing ngriku lan badhe dados kepala lan sanesipun”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat banyak bintang, itu artinya akan memerintah orang di tempat tersebut dan akan menjadi atasan dan lain-lainnya.<br />
<br />
“Upami ngimpi nyepeng lintang punika alamatipun badhe pinaringan lare ingkang sae tur mulya pangkatipun”.<br />
<br />
Apabila bermimpi memegang bintang itu artinya akan mendapatk anak yang baik dan mulia pangkatnya.<br />
<br />
Simbol Cahaya dan Suara.<br />
<br />
Macam-macam benda merupakan benda-benda yang tidak dimasukkan ke dalam simbol lain. Dalam simbol-macam benda ini tidak terdapat uraian mengenai pengertian benda, namun berikut pengertian macam-macam benda yang bermakna baik :<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang ngimpi sumerep cahya ingkang padhang, punika alamatipun kasaenan, inggih punika badhe nglampahi agami ingkang leres tur anggenipun nglampahi leres sanget”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat cahaya yang terang, itu berarti kebaikan, menjalani agama dengan benar.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi mirengaken utawi ngadhahi tabuhan, kadosta gamelan, suling, lan sanesipun alamatipun badhe manggih kasisahan lantaran saking mireng kabar, tur manahipun inggih mongsang-mangsing”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi mendengarkan bebunyian seperti gamelan, suling, dll, itu firasatnya berarti akan mendapatkan kesusahan karena mendengar kabar lalu hatinya akan kesana-kemari (bimbang).<br />
<br />
Simbol Awan.<br />
<br />
Awan merupakan ciptaan Tuhan yang letaknya di atas bumi. Simbol awan juga dianggap sebagai pertanda akan hujan dan membuat teduhnya dunia, berikut pegertian simbol awan dalam mimpi :<br />
<br />
“Mega punika satunggaling barang ingkang edi lan asri lan mitulungi, dados punika alamatipun nedahaken dhateng kabingahan”.<br />
<br />
Awan itu salah satu barang yang baik dan asri dan menolong, jadi arinya memberikan datangny kebahagiaan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep malaekat ingkang ngiring mega utawi numpak mega, punika alamatipun badhe pinaringan unggul, pangkat, temahan ingkang dipun sedya, lan sanesipun”.<br />
<br />
Apabila ada orang yang melihat Malaikat bersama awan atau menaiki awan, itu artinya akan mendapatkan keunggul, pangkat serta sesuatu yang diharapkan dll.<br />
<br />
“Dene menawi mega punika abrit lan sanesipun, punika alamatipun kasisahan”.<br />
<br />
Apabila awan itu berwarna merah dal lain-lain, itu artinga akan mendapatkan kesulitan.<br />
<br />
Simbol Hujan.<br />
<br />
“Jawah punika satunggaling barang ingkang dipun remeni manusa, inggih punika tiyang ingkang ahli tetanen lan nenanem, jalaran upami boten wonten mesti tanemanipun boten tukul, jawah punika dados nedahaken pitulung utawi kawelasan.”<br />
<br />
Hujan adalah salah satu barang yang sangat disukai manusia, yaitu bagi orang yang bercocok tanam, karena apabila tidak ada hujan maka tanamannya tidak akan tumbuh, hujan itu menunjukkan pertolongan atau kasih sayang.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep jawah, nanging dumawahipun ing griya piyambak utawi sekampung kemawon, punika alamatipun bade sakit utawi kasangsaran ingkang sanget.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat hujan, namun turunnya hanya di rumah sendiri atau satu kampung saja, itu berarti akan sakit atau menderita.<br />
<br />
“Dene upami anggenipun jawah punika sumarambah, punika alamatipun bade pinairangan pitulungan pitulungan lan jembar rejekinipun.”<br />
<br />
Apabila turunnya hujan itu menyebar, itu artinya akan mendapat pertolongan dan banyak rejekinya.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang ngimpi sumerep jawah sanesipun toya, inggih punika jawah susu, madu, lisa wangi, yatra lan sanesipun, punika alamatipun bade pinaringan kabegjan, untung, kasaenan, pangkat, rejeki jembar lan upami dagangan inggih pinaringan bade katah bathi.”<br />
<br />
Apabila orang yang bermimpi melihat hujan selain air, yaitu hujan susu, madu, minyak, mentega, minyak wangi, uang dan lainnya, itu berarti akan mendapatkan keuntungan, kebaikan, pangkat, rejeki yang banyak, dan apabila berdagang akan mendapat keuntungan banyak.<br />
<br />
Simbol Petir.<br />
<br />
“Bledheg punika satunggaling titahan ingkang ngajrih-ngajrihi dhateng tiyang, upami lare mireng lajeng mladjeng singidan ing ladon utawi jerit-jerit jalaran saking ajrihipun kuwatos dipun samber bledheg punika. Nanging sanajana wonten bledheg lan gludhug punika asring mbingahaken dhateng tiyang tetanen, jalaran badhe pinaringan jawah.”<br />
<br />
Petir adalah salah satu ciptaan yang menakutkan orang, apabila anak kecil mendengar lalu bersembunyi di bawah meja atau menjerit-jerit karena begitu takutnya akan disambar petir. Namun apabila ada petir dan kilat itu kadang menyenangkan kepada orang yang bercocok tanam, karena akan mendapat hujan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ingkang sumerep bledheg salebetipun jawah, punika alamatipun upami tiyang ingkang ngimpi sakit lajeng pinaringan saras.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihar petir ketika hujan, itu artinya orang bermimpi akan jatuh sakit lalu akan mendapatkan kesembuhan.<br />
<br />
“Dene upami ngimpi bledheg boten wonten jawah inggih manggih kasisahan.”<br />
<br />
Apabila orang yang bermimpi ada petir namun tak ada hujan yaitu akan akan mendapatkan kesulitan.<br />
<br />
Simbol Pelangi.<br />
<br />
“Kuwung punika ayang-ayangipun toya ingkang kenging soroting suya jalaran upami badhe jawah punika lajeng wonten ulur-ulur dhateng seganten utawi lepen prelunipun badhe mendhet toya dados kados pompa.”<br />
<br />
Pelangi adalah bayang-bayangan air yeng terkena sinarnya matahari, sebab apabila akan turun hujan lalu garis-garis warna menuju laut atau sungai seakan mengambil air seperti ibarat pompa.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep kuwung tur warninipun ijem, punika alamatipun bade wilujeng.”<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat pelangi dan warnanya hijau, itu artinya akan mendapat keselamatan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep kuwung tur warninipun jene, punika alamatipun bade pinaringan sakit utawi kasisahan.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang bermimpi melihat pelangi dan berwarna kuning, itu artinya akan mendapat sakit atau kasusahan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang sumerep kuwung tur warninipun abrit, punika alamatipun bade manggih kasisahan.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang bermimpi melihat pelangi dan warnanya merah, itu berarti akan mendapatkan kesusahan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang sumerep kuwung tur warninipun biyasa inggih punika warna-warni, punika alamatipun saderekipun bade omah-omah.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang bermimpi melihat pelangi dan warnyan itu biasa, yaitu warna-warni itu artinya saudaranya akan menikah (berumah tangga).<br />
<br />
Simbol Awan.<br />
<br />
“Mega punika satunggaling barang ingkang edi lan asri lan mitulungi, dados punika alamatipun nedhahaken dhateng kebingahan.”<br />
<br />
Awan adalah salah satu barang yang indah dan asri serta menolong, jadi artinya menunjukkan akan datangnya suatu kebahagiaan.<br />
<br />
“Dene mnawi mega punika abrit lan sanesipun, punika alamatipun kasisahan.”<br />
<br />
Apabila awan itu berwarna merah dan lain-lain, itu artinya akan mendapatkan kesulitan/kesusahan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep malaekat ingkang ngiring mega utawi numpak mega, punika alamatipun bade pinaringan unggul, pangkat, temahan ingkang dipun seja lan sanesipun.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang melihat malaikat mengarak awan atau menaiki awan, itu artinya akan mendapatkan kemenangan/keunggulan, pangkat serta apa yang diharapkan terkabul dan lain-lain.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang sumerep mega abrit kacampuran barat, mbat-mabit lan sanesipun, punika alamatipun manggih kasangsaran.”<br />
<br />
Apabila ada orang yang bermimpi melihat awan berwarna merah bercampur dengan angin, kesana-kemari dan lain-lainnya, itu artinya akan mendapat kesengsaraan.<br />
<br />
Simbol Angin.<br />
<br />
Angin juga terdapat sebagai bagian dari bumi, karena angin itu selalu mengisi ruang yang terdapat di bumi. Simbol angin juga diambil menjadi simbol dalam mimpi, berikut pengertiannya dalam mimpi :<br />
<br />
“Angin punika warna-warni, angin silir-silir, lajeng barat, angin lesus, hara-hara lan sanesipun. Dene ingkang alit punika ndadosaken remening manusa lan tetaneman, dene manawi angin ingkang ageng punika ndadosaken siahing manusa lan tetaneman”.<br />
<br />
Angin itu beraneka ragam, angin sepoi-sepaoi, lalu besar, anging topan dll. Angin yang kecil itu menyenangkan bagi manusia dan tanaman, jika yang bear itu dapat menyebabkan kesusahan bagi manusia dan tanaman.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep angin silir-silir, punika alamatipun kabingahan tur sarasipun badan”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat angin sepoi-sepoi, itu artinya akan mendapatkan kebahagian dan kesehatan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep ageng barat lan mobat-mabit punika alamatipun badhe kasisahan”.<br />
<br />
Jika ada orang bermimpi melihat angin besar dan kesana-kemari (angin ribut) itu artinya akan mendapatkan kesulitan.<br />
<br />
Simbol Api.<br />
<br />
“Latu punika salah satunggaling wataning barang ingkang benter sanget, sadaya tiyang upami mgemek mesti sakit tur ajrih sanget, punika dados nedahaken kasisahan tur kasangsaran.”<br />
<br />
Api itu salah satu barang yang sangat panas sekali, semua orang apabila memegang akan merasakan sakit sekali dan sangat takut, karena itu menunjukkan kesusahan dan kesengsaraan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep latu muruh wonten ing tanah ingkang cengkar tegesipun boten wonten tanemanipun, punika alamatipun badhe wonten tiyang ingkang duraka mamanggen ing tanah ngriku”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi melihat api menyala di dalam tanah yang gersang artinya tidak ada tanamannya, itu artinya akan ada orang yang yang durhaka yang bertempat tinggal di tempat tersebut.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep latu minggah manginggil dhateng langit, punika alamatipun tiyang ingkang ngimpi tur tiyang ngriku sadaya sami duraka”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat api naik hingga ke langit, itu firasatnya adalah orang yang bermimpi dan orang di tempat tersebut semua pada durhaka.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nedha latu, punika alamatipun badhe pinaringan rejeki sakedhik, nanging sisahipun angeng sanget tur terkadhang pinaringan sakit”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memakan api, itu firasatnya adalah akan mendapat sedikit rejeki, namun akan mendapat kesusahan yang besar dan terkadang akan mendapatkan sakit.<br />
<br />
Simbol Air Panas.<br />
<br />
“Toya anget punika asalipun tuking toya medal saking sela-selaning kawahipun radi utawi medal saking sela-selaning gamping kawahipun redi utawi medal saking sela-selaning gamping ingkang wonten salebeting redi.”<br />
<br />
Air panas yang asalnya dari mata air yang keluar dari celah kawah atau keluar dari celah lereng kawahnya gunung yang berada di dalam gunung.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ingkang ngimpi siram ing toya benter punika alamatipun badhe manggih kesaenan, ngupados pangupajiwanipun gampil lan sanesipun”.<br />
<br />
Siapapun orang yang bermimpi mandi di air panas, itu mempunyai firasat akan mendapatkan kebaikan, dalam mencari rizki akan mendapatkan kemudahan dll.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi siram ing toya benter, nanging kraos benter, punika alamatipun badhe dipun sakiti manusa nanging boten temahan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi mandi di air pana, namun terasa panas, itu mempunyai firasat akan disakiti orang tetapi tidak terjadi.<br />
<br />
Simbol Sungai.<br />
<br />
Sungai dianggap sebagai pembawa air yang melewati daratan. Air juga dianggap sebagai pembawa kehidupan dan rejeki, berikut pegertian simbol sungai dalam mimpi :<br />
<br />
“Lepen punika satunggiling tanah ingkang mbingahi lan nyusahi dateng manusa”.<br />
<br />
Sungai itu salah satu tanah yang dapat menyenangkan dan menyusahkan bagi manusia.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi ngombe toyanipun lepen ingkang bening, punika alamatipun badhe angsal kabingahan, badhe pinaringan rejeki”.<br />
<br />
Siapa-siapa yang bermimpi minum airnya sungai yang jernih, itu artinya akan mendapatkan kebahagiaan atau mendapatkan rejeki.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi ngobe toyonipun lepen ingkang buthek, punika alamatipun badhe minggah kasisahan, badhe pinaringan sakit lan ngupados pangupajiwa radi kangelan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi minum airnya sungai yang kotor, itu artinya akan mendapatkan kesulitan, mendapat sakit dan dalam mencari pekerjaan akan mendapat kesulitan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep lepen mili sanes toya, inggih punika mili latu, endhut, punika alamatipun badhe kasisahan sanget, terkadang sisah saking ratu utawi manusa”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat air di sungai namun airnya bukan air namun api, lumpur, itu firasatnya akan mendapat kesusahan/kesulitan, terkadang susah akibat perbuatannya Pemimpin atau manusia.<br />
<br />
Simbol Laut.<br />
<br />
“Seganten punika satunggaling ingkang jembar sanget, punika dados nedahaken pangkat, utawi kasugihan.”<br />
<br />
Laut itu salah satu tempat yang sangat luas, itu jadi menandakan pankat atau kekayaan.<br />
<br />
“Sinten-sintenb tiyang ngimpi sumerep seganten tur toyanipun bening sanget, punika alamatipun badhe angsal pangkat, pangupajiwanipun punika gampil”.<br />
<br />
Siapapun orang yang bermimpi melihat laut dan airnya sangat bening sekali, itu firasatnya akan mendapat kedudukan, serta dimudahkan dalam mencari rizki.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi lumampah ing toya seganten boten sarana tumpangan, punika alamatipun badhe angsal pangkat, pangupajiwanipun punika gampil”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi berjalan diatas air laut tanpa menggunakan alat bantu, itu firasatnya akan mendapat kedudukan, serta dimudahkan dalam mencari rizki.<br />
<br />
Simbol Gunung.<br />
<br />
Gunung merupakan bagian dari bumi yang tertinggi, gunung sering dianggap sebagai pembawa makna mengenai kesuksesan, berikut pengertian gunung dalam mimpi :<br />
<br />
“Redi punika satunggaling tanah ingkang inggil tur dados peranganipun bumi, punika dados nedahaken pangkat utawi kamulyan”.<br />
<br />
Gunung itu salah satu tanah yang tinggi dan menjadi bagian dari bumi. Itu menandakan pangkat atau kemulian.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ingkang ngimpi minggah ing redi tur anggenipun minggah punika gampil ngantos dumugi ing puncaking redi, punika alamatipun badhe angsal pangkat pendamelan utawi kamulyan”.<br />
<br />
Siapa yang bermimpi mendaki gunung dan mendakinya terasa mudah hingga kepuncaknya, itu arnya akan mendapatkan pangkat dalam pekerjaan atau kemuliaan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi minggah redi, nanging boten saged minggah, amargi kangelan, punika alamatipun badhe minggah pangkat nanging boten temahan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi mendaku gunung namun tidak sanggup karena kesulitan, itu artinya akan naik pangkat namun tidak terjadi.<br />
<br />
Simbol Tanah.<br />
<br />
“Bumi punika satunggaling panggenan ingkang sadaya manusa ngenggeni tur remen, malah-malah panggenan pangupajiwanipun, inggih punika nedahaken sawarnaning kabingahan.”<br />
<br />
Bumi adalah salah satu tempat yang semua manusia menempati dan disukai, juga sebagai tempat mencari pekerjaan, yaitu menunjukkan semua kesenangan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi sumerep tanah nanging pratela watesipun, punika alamatipun badhe pinaringan mbojo (tiyang estri) upami tanah punika kathah tanemanipun tur ijem-ijem, punika alamatipun tiyang estri punika ayu sanget tur sugih bandha.<br />
<br />
Siapapun orangnya yang bermimpi melihat tanah namun mengenali tempatnya, itu firasatnya akan mendapat jodoh, jika banyak tanamannya dan sangat hijau sekali, itu firasatnya perempuan tersebut sangat cantik dan kaya harta.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep tanah jembar tanemanipun inggih sae-sae tur edi lan ngremeni manah, punika alamatipun saweg nglampahi agama ingkang leres tur sampurna ngantos dumugining ajalipun”.<br />
<br />
Jika ada orang bermimpi melihat tanah yang luas sekali dan tanamannya bagus-bagus dan menyenangkan hati, itu firasatnya sedang menjalankan agama dengan baik dan sempurna hingga datangnya ajal.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep tanah jembar, nanging tanah punika dipun lempit kados klasa, punika alamatipun badhe pejah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat tanah luas, namun tanah tersebut dilipat seperti tikar, itu firasatnya akan meninggal dunia.<br />
<br />
Simbol Lumpur.<br />
<br />
“Endut punika sadaya manusa sengit, jalaran upami lumampah mesti damel regeding suku lan sandangan. Endut punika dados nedahaken kasisahan lan pancabaya.”<br />
<br />
Lumpur itu menunjukkan semua manusia tidak menyukai, karena seumpama berjalan pasti membuar kotornya kaki dan pakaian. Jadi lumpur itu menunjukkan kesusahan dan marabahaya.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi ngambah endhut, punika alamatipun badhe kesisahan”.<br />
<br />
Siapapun orangnya yang bermimpi berjalan meliwati lumpur, itu firasatnya akan mendapatkan kesusahan atau kesulitan.<br />
<br />
Simbol Debu dan Pasir.<br />
<br />
“Lebu punika inggih peranganipun bumi, jalaran sedaya manusa, tiyang punika upami memanggen inggih katah labunipun lan wedinipun. Lebu lan wedi inggih punika nedahaken kabegjaning manungsa.”<br />
<br />
Debu itu salah satu bagian dari bumi, karena semua manusia itu bertempat tinggal yang banyak debu dan pasirnya. Debu dan pasir itu menandakan keberuntungan manusia.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang nglampah ingkang kathah lebunipun lan wedhinipun, punika alamatipun badhe sugih”.<br />
<br />
Siapapun orangnya yang bermimpi berjalan yang banyak debu dan pasirnya, itu firasatnya akan kaya.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nedha lebu utawi wedhi, inggih punika badhe angsal pangupajiwa ingkang kathah tur eja lan manahipun pinaringan bingah kemawon”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memakan debu atau pasir, itu berarti akan mendapatkan rizki yang banyak atau pekerjaan yang baik dan hatinya akan selalu senang dan bahagia.<br />
<br />
Simbol Gempa.<br />
<br />
“Lindu punika satunggaling perkawis ingkang ngajrihi manusa jalaran saged ngojag-ojag griya, wit-witan, lan sedayanipun barang ingkang wonten ing bumi, dados lindu punika nedahaken kasisahan.”<br />
<br />
Gempa itu salah satu perkara yang menakutkan manusia karena bisa mengoyang-goyangkan rumah, pepohonan dan semua yang ada di bumi, jadi gempa itu menandakan kesusahan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi griyanipun kenging lindu, punika alamatipun badhe manggih kasisahan lan salebeting griya punika tiyangipun duraka”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi rumahnya terkena gempa, itu firasatnya akan mendapatkan kesulitan dan semua penghuni rumah itu durhaka.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi griyanipun kenging lindu ngantos rebah, punika alamatipun badhe pejah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi rumahnya terkena gempa sampai roboh, itu firasatnya akan meninggal dunia.<br />
<br />
Simbol Hutan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi salebeting wana kados limrahipun wana, punika alamatipun saweg nglampahi agama ingkang leres, tur pangupajiwanipun inggih jembar tur gampil.”<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi didalam hutan yang seperti layaknya hutan, itu artinya akan menjalani ajaran agama dengan benar, dan dalam mencari penghidupan akan luas dan sangat mudah.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi wonten ing wana nanging wonten ngriku ngombe lan nedha, punika alamatipun badhe manggih keremenan ingkang nikmat lan kabingahaning manah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi berada di hutan, namun didalam hutan tersebut minum dan makan, itu firasatnya akan mendapatkan kenikmatan dan kebahagian hati.<br />
<br />
Simbol Pohon Besar dan Kecil.<br />
<br />
“Sadaya wit-witan ingkang ageng punika alamatipun katah paedahipun kanggo manusa nanging ugi kangge urub-urubing latu, inggih punika kangge nedahaken tingkahipun manusa.”<br />
<br />
Semua pepohonan yang besar itu artinya banyak kegunaannya untuk manusia namun juga untu membuat menyalanya api, yaitu menandakan tingkah laku manusia.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ingkang ngimpi sumerep kajeng ingkang ageng sanget kados waringin utawi albisiya, punika alamatipun tiyang punika nglampahi agami ingkang boten leres”.<br />
<br />
Siapapun orangnya yang bermimpi melihat kayu yang besar seperti pohon beringin. Albisiya, itu firasatnya akan menjalani agama yang kurang benar.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep utawi nanem wit anggur lan delima, punika alamatipun badhe angsal bojo ingkang ayu tur sugih bandha”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat atau menanam pohon anggur dan delima, itu firasatnya akan mendapat jodoh yang cantik serta kaya harta.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nedha jeram Bali, punika alamatpun pinaringan lare jaler ingkang sae rupanipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi makan jeruk Bali, itu firasatnya akan dikaruniai anak laki-laki yang rupawan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nedha semangka ijem, punika alamatipun badhe wonten rejeki dhateng tur kabingahaning manah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi makan semangka hijau, itu firasatnya akan mendapatkan rezeki serta akan mendapatkan kebahagian hati.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep kajeng wewangen kados mawar, melathi, punika alamatipun badhe pinaringan lare ingkang sae rupinipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat bunga yang wangi seperti mawar, melati, itu firasatnya akan mendapatkan anak yang baik dan rupawan.<br />
<br />
Simbol Menikah.<br />
<br />
“Sadaya tiyang jaler estri wonten ing ngalan donya, punika mesthi remen mbojo, jalaran sampun dipun pesthi makaten, amargi supados saged manak kathah, pramila ngimpi kados makaten nedahaken kabingahan, upami jodo lan rukun”.<br />
<br />
Semua orang laki-laki maupun perempuan di dunia pasti senang menikah, karena memang begitu adanya, sebab supaya bisa berkembang biak, seandainya mimpi seperti itu menandakan akan kesenangan, jika berjodoh dan rukun.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi mbojo utawi dados penganten kaliyan tiyang estri ingkang sampun sumerep wastanipun utawi rupanipun, punika alamatipun badhe temahan angsal tiyang estri punika utawi badhe angsal kamulyan lan pangkat lan badhe angsal pangupajiwa ingkang jembar”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi menikah atau jadi pengantin bersama wanita yang sudah dikenal, itu firasatnya akan berjodoh dengan wanita tersebut atau akan mendapatkan kemulian dan kedudukan serta akan mendapat rizeki/pekerjaan yang luas.<br />
<br />
Simbol Hamil dan Melahirkan.<br />
<br />
“sadaya tiyang ingkang wonten ing ngalam donya upami ingkang tiyang estri pinaringan meteng lajeng manahipun bingah sanget, pramila meteng punika nedahaken tambahipun pangupajiwa.<br />
<br />
Semua orang yang berada di dunia ini, apa bila perempuan pasti menginginkan hamil, lalu hatinya akan senang sekali, jika demikian hamil itu berarti bertambahnya pekerjaan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep tiyang estri ingkang ayu sanget punika meteng, punika alamatipun badhe pinaringan pangupajiwa ingkang jembar”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat perempuan yang cantik sedang hamil, itu firasatnya akan mendapatkan rezeki/pekerjaan yang baik dan luas.<br />
<br />
Simbol Meninggal.<br />
<br />
“Sadaya tiyang wonten ing ngalam donya punika badhe mesthi pejah, amargi sampun kangge kosokwangsulipun, inggih punika wonten pejah wonten gesang, lan wonten tiyang jaler mesthi wonten tiyang estri, wonten sae lan wonten awon”.<br />
<br />
Semua orang di dunia ini pasti akan meninggal, karena sudah ada kebalikannya, yaitu ada meninggal ada hidup, ada laki-laki pasti ada perempuan, ada baik dan ada buruk.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi wonten salebeting kuburan, nanging boten pejah, punika alamatipun badhe manggih kasisahan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi ada di dalam kuburan, namun belum meninggal, itu berarti akan mendapatkan kesusahan.<br />
<br />
Simbol Minuman dan Susu.<br />
<br />
Yang dimaksud dengan minuman adalah minuman yang dapat membuat mabukk manusia, karena minuman itu dapat membuat hilangnya kendali atas akal sehat. Adapun susu adalah minuman yang dapat menyehatkan tubuh, berikut pengertian minuman dalam mimpi :<br />
<br />
“Omben-omben kados ciyu, brendhi, lan pundi-pundi ingkang ndadosaken mendemi. Toya susu punika sadaya ndadosaken sarasaning badan”.<br />
<br />
Minum-minuman itu seperti ciyu, brendi, dan lain-lain yang dapat menyebabkan mabuk. Air susu itu semua membuat sehatnya badan.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ingkang nedha arak, punika alamatipun nedha tetedhan ingkang duraka”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi meminum arak, itu sama halnya dengan memakan yang berdosa.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngombe susu lembu, punika alamatipun badhe minggah kabinggahan, inggih punika nglampahi agami leres, pinaringan pangupajiwa ingkang suci tur jembar”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi meminum susu sapi, itu artinya akan mendapatkan kebahagiaan, yaitu menjalani agama yang benar, mendapatkan pekerjaan yang baik dan luas.<br />
<br />
Simbol Hewan.<br />
<br />
Hewan itu ada beraneka ragam seperti hewan ternak, hewan buas, hewan yang berbisa dan sebagainya. Yang masuk ke dalam hewan yang berbisa adalah ular. Ular dapat menjadi simbol kebijakan, namun ular dalam hal mimpi biasanya adalah hal buruk karena menandakan musuh dan ular juga dapat bermakna mengenai pangkat, berikut pengertiannya dalam mimpi :<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep sawer, punika alamatipun nggadhahi satru, nanging nyamar”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat ular, itu berarti memiliki musuh namun menyamar.<br />
<br />
“Menawi ngimpi sumerep sawer ingkang ageng nanging piyambakipun boten ajrih, punika alamatipun badhe pinaringan kanikmatan utawi pangkat ingkang ageng”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat ular yang besar namun tidak takut, itu berarti akan mendapat kenikmatan atau pangkat yang besar.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi numpak gajah, punika alamatipun badhe dados nggadhahi pangkat tur tiyang ngriku sami ajrih dhateng piyambakipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi menaiki gajah, itu firasatnya akan menjadi orang yang memiliki pangkat dan derajat yang tinggi serta disegani orang banyak.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi numpak sima, punika alamatipun badhe angsal pangkat luhur tur saged ngawonaken dhateng mangsahipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi menaiki singa, itu firasatnya akan mendapatkan pangkat yang luhur serta bisa menundukkan musuhnya.<br />
<br />
“Menawi ngimpi sumerep kethek, punika alamatipun lelampahanipun tiyang punika awon sanget lan asring duraha dhateng Gusti Allah ingkang maringi gesang”.<br />
<br />
Jika ada orang bermimpi bertemu monyet, itu firasatnya sangat buruk sekali dan sering berbuat durhaka kepada Allah yang memberikan kehidupan.<br />
<br />
“Menawi ngimpi nyepeng utawi ngingu utawi nedha ulan (sanesipun ulam seganten) ingkang ageng sanget kados ulam kakap, bandeng, lan sanesipun badhe pinaringan untung, kamulyan lan anggenipun ngupados pangupajiwa manahipun ayem”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memegang atau memelihara atau makan ikan (bukan ikan laut) yang besar seperti kakap, bandeng, dll, itu firasatnya akan mendapatkan keuntungan, kemuliaan dan dalam mencari rezeki/pekerjaan/penghidupan hatinya damai.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep peksi gagak, punika alamatipun lelampahanipun awon sanget, lan badhe manggih kasisahan ingkang ngajrih-ngajrihi”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat burung gagak, itu firasatnya perbuatannya buruk sekali, dan akan menemui kesusahan yang sangat menakutkan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep peksi emprit, greja, lan sedayanipun peksi ingkang alit, punika alamatipun kuwatos dhateng kemawon dhateng prakawis lan pancabaya”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat burung emprit, gereja dan sejenis burung kecil lainnya, itu firasatnya selalu kuwatir (gamang) terhadap persoalan dan marabahaya.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nyepeng peksi gelathik utawi perkutut, punika alamatipun badhe pinaringan jaler ingkang njalari berkah lan untung lan gampil ngupados pangupajiwa”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memegang burung glatik atau perkutut, itu firasatnya akan diberi anak laki-laki yang membawa berkah dan beruntung serta mudah dalam mencari rezeki/pekerjaan/ penghidupan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi mburu kidang, punika alamatipun badhe angsal tiyang estri ingkang ayu sanget, nanging upami sampun gadhah bojo, punika alamatipun badhe pinaringan lare estri ingkang ayu sanget tur ngabekti sanget, nanging upami kidang punika boten sarana dipun buru, punika alamatipun badhe angsal bandha saking tiyang estri, jalaran tiyang estri punika sugih tur prigel”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memburu kijang, itu firasatnya akan mendapatkan perempuan yang sangat cantik, namun jika sudah berkeluarga, akan mendapatkan anak perempuan yang sangat cantik dan berbakti. Jika kijang itu tidak dengan sarana diburu, itu firasatnya akan mendapatkan kekayaan dari seorang perempuan, sebab perempuan tersebut kaya dan rajin.<br />
<br />
Simbol Hewan Ternak.<br />
<br />
“Rajakaya punika lembu, Jaran, mesa, menda, sedaya manusa remen sanget dateng rajakaya.”<br />
<br />
Hewan ternak itu sapi, kuda, kerbau, kambing, semua manusia senang sekali dengan hewan ternak.<br />
<br />
Simbol Hewan Buas.<br />
<br />
“Sedaya upami kepanggih sato galak, punika mesti ajrih jalaran ngajrih-ngajrihi rupinipun lan watakipun.”<br />
<br />
Semua manusia jika bertemu dengan hewan buas pasti takut karena menakutkan dari rupanya dan wataknya.<br />
<br />
Simbol Ikan.<br />
<br />
“Ulam punika warni kalih, inggih punika ulam seganten, inggih punika ingkang mboten toyanipun asin kados ulam lapen, lan sanes-sanesipun.”<br />
<br />
Ikan itu ada dua macam yaitu ikan laut dan ikan selain laut, yaitu selain air yang bukan asin seperti ikan sungai dan lain-lain.<br />
<br />
Simbol Kapal atau Perahu.<br />
<br />
Kapal merupakan alat transportasi yang dapat mengantarkan manusia dari suatu tempat ke suatu tempat yang lain yang berada di atas air, berikut pengertian simbol kapal dalam mimpi :<br />
<br />
“Baita punika satunggaling tumpangan ingkang ngremeni lan wilujengi tumrap manusa, nanging manawi ngambah ing toya punika nedahaken dados wilujeng”.<br />
<br />
Kapal/prahu itu salah satu kendaraan yang menyenangkan dan menyelamatkan untuk manusia, jika ingin melewati air, jadi dapat memberikan keselamatan.<br />
<br />
‘Sinten-sinten tiyang ngimpi numpak baita ing seganten, punika alamatipun badhe dados pangkat lan sanesipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi menaiki kapal/prahu di laut, maka akan mendapatkan pangkat dll.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi medal saking baita, punika alamatipun badhe manggih kabingahan namung sakedhap sanget”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi keluar dari kapal/prahu, itu artinya akan mendapatkan kebahagiaan namun hanya sebentar.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep baita (mathuk) dhateng tiyang ingkang ngimpi, punika alamatipun badhe manggih kabingahan sasampinipun sisah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat ada kapal yang mendatangi kepada orang yang bermimpi, itu firasatnya akan mendapatkan kebahagiaan setelah susah.<br />
<br />
Simbol Batu Bata.<br />
<br />
Batu bata merupakan perkakas yang digunakan manusia untuk membuat rumah. Batu bata pun diambil menjadi simbol dalam mimpi seperti terdapat dalam pengertian dibawah ini :<br />
<br />
“Banon punika satunggaling bekakas ingkang maedahi, inggih punika kangge dedamelan, kados tembok lan sanesipun”.<br />
<br />
Batu bata itu salah satu perkakas yang berguna yaitu untuk membuat pekerjaan seperti membuat tembok dan yang lainnya.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang ngimpi damel banon punika alamatipun badhe sugih yatra lan pinaringan sarasipun badan, jalaran banon punika nedahaken munpangating manusa”.<br />
<br />
Orang yang bermimpi membuat batu bata itu artinya akan kaya harta dan sehatnya badan, karena batu bata itu berguna bagi manusia.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi tembokipun runtuh satunggal banonipun, punika alamatipun ing salebeting ing griya punika badhe pejah”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi temboknya runtuh satu batu batanya, itu firasatnya penghuni rumah tersebut akan ada yang meninggal dunia.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi damel banon, sasampunipun lajeng dipun buceli, punika alamatipun ngupados pangupajiwa gampil, nanging boten saged kempal lan boten wonten buktinipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi membuat batu bata, lalu dihancurkan, itu firasatnya dalam mencari rezeki/pekerjaan/ penghidupan mudah sekali, namun tidak dapat terkumpul dan tidak ada buktinya.<br />
<br />
Simbol Rumah.<br />
<br />
“Griya punika satunggiling panggenan ingkang dipen remeni manusa, punika alamatipun dados nedahaken kabingahan lan karemenan”.<br />
<br />
Rumah itu salah satu tempat yang disenengi manusia, yaitu mempunyai firasat menunjukkan kesenangan dan kesukaan.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi sumerep griya sae lan jembar, nanging pratela ing panggenanipun, punika alamatipun badhe manggih kasugihan tur pangkat inggil lan pinaringan gampil ngupados pangupajiwanipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi melihat rumah yang bagus dan luas, atau kita telah mengenali tempat tersebut, itu firasatnya akan mendapatkan kekayaan serta kedudukan/pangkat yang tinggi dan diberi kelancaran dalam mendapatkan pizeki/pekerjaan/penghidupan.<br />
<br />
Simbol Tangga.<br />
<br />
Tangga merupakan alat yang digunakan manusia untuk menaiki sesuatu, demikian juga terdapat pergertian dalam mimpi yaitu :<br />
<br />
“Andha punika satunggaling bekakas ingkang pirantos kangge minggah manginggil, inggih punika dados nedahaken utawi agami leres”.<br />
<br />
Tangga itu salah satu perkakas yang digunakan untuk naik ke tempat yang lebih tinggi, itu artinya memberikan pangkat atau agama yang benar.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang minggah ngangge andha ngantos dumugi ing langit, punika alamatipun nglampahi agami ingkang leres ngantos dumugi pejahipun”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi naik menggunakan tangga ke langit, itu artinya akan menjalani agama yang baik hingga meninggal.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang ngimpi menek andha nanging kraos ajrih lan boten saged dumugi, punika alamatipun badhe pinaringan sugih boten temahan, utawi terkadang manggih kasisahan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi naik tangga namun terasa takut dan tak sampai, itu artinya akan kaya namun tak terjadi.<br />
<br />
Simbol Sudut Rumah.<br />
<br />
“Dene upami ngimpi pojokanipun griya punika alamatipun badhe pinaringan lare, ingkang kaprah punika lare estri”.<br />
<br />
Apabila bermimpi pojokan rumah itu firasatnya akan dikaruniai anak, biasanya adalah anak perempuan.<br />
<br />
“Upami anggenipun nambahi pojokanipun punika sae sanget tur kiyat, alamatipun lare estri punika inggih ayu sanget tur ngabekti sanget”.<br />
<br />
Apabila dalam menambahkan pojoksn rumah itu baik dan kuwat, itu furasatnya berarti anak perempuan itu cantik sekali dan sangat berbakti.<br />
<br />
Simbol Jembatan.<br />
<br />
“Kreteg punika satunggiling bekakas ingkang ndadosaken wilujeng tiyang ingkang lumampah, inggih punika nedahaken damel sae dhateng tiyang”.<br />
<br />
Jembatan itu salah satu alat yang membuat selamat bagi orang yang berjalan, yaitu menandakan perbuatan baik kepada orang.<br />
<br />
“Sinten-sinten tiyang mowot ing kreteg, punika alamatipun badhe manggih kabingahan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi berjalan diatas jembatan, itu firasatnya akan mendapatkan kebahagiaan.<br />
<br />
Simbol Pakaian.<br />
<br />
“Sedaya tiyang jaler estri punika remen sanget dhateng sandhangan, jalaran kangge pepaesipung tiyang gesang, inggih punika nedahaken lelampahan sae”.<br />
<br />
Semua laki-laki dan perempuan menyukai sekali pada pakaian, karena digunakan sebagai perhiasan manusia yang hidup, yaitu menandakan perbuatan yang baik.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi ngangge sandhangan kadamel saking kapuk, punika alamatipun inggih kabingahan”<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi menggunakan pakaian dari bahan kapuk, itu firasatnya akan mendapatkan kebahagiaan.<br />
<br />
Simbol Rias Wanita dan Uang.<br />
<br />
“Tiyang wonten ing ngalam donya punika mila katingal sae utawi ayu, punika lantaran ngangge sandhangan lan pepaes kados gelang, kalung lan sanesipun, punika nedahaken warni-warning tingkah sae”.<br />
<br />
Manusia yang ada di dunia ini ingin terlihat baik atau cantik, itu karena menggunakan pakaian dan perhiasan seperti gelang, kalung dll, itu menandakan beragamnya perbuatan yang baik.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi nyepeng mutyara, punika alamatipun badhe angsal bojo ingkang ayu sanget”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memegang mutiara, itu firasatnya akan mendapatkan jodoh wanita yang sangat cantik.<br />
<br />
“Menawi wonten tiyang ngimpi medal mutyara saking cangkemipun, punika alamatipun tiyang punika ahli mituturi perkawis kasaenan”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi mengeluarkan mutiara dari mulutnya, itu firasatnya pertanda orang tersebut ahli memberi nasehat tentang kebaikan.<br />
<br />
Simbol Senjata.<br />
<br />
Senjata digunakan manusia untuk membela diri dan sebagai simbol untuk pangkat dan kekuasaan, berikut pengertian senjata dalam mimpi :<br />
<br />
“Gaman punika satunggiling bekakas ingkang maedahi lan nulungi dhateng manusa…. dados nedahaken pangkat, kamulyan lan kamashuran”.<br />
<br />
Senjata itu salah satu alat yang berguna dan menolong manusia. Jadi menandakan pangkat, kemuliaan, dan kemashuran.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang ngimpi nyepeng tumbak, pedhang lan sanesipun punika alamatipun badhe pinaringan pangkat ingkang luhur”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi memegang tombak, pedang, dan lain-lain itu berarti akan mendapatkan pangkat yang luhur.<br />
<br />
“Manawi wonten tiyang ngimpi ndekek pedhang ing wrangkanipun, punika alamatipun badhe pinaringan lare jaler”.<br />
<br />
Jika ada yang bermimpi memasukkan pedang ke dalam tempatnya, itu berarti akan mendapat anak laki-laki.<br />
<br />
Simbol Lain-lain.<br />
<br />
Wadah dan Peralatan.<br />
<br />
“Wonten malih wadah ingkang kadamel saking beling, kados piring gelas lan sanesipun, punika alamatipun badhe bojo”.<br />
<br />
Ada lagi tempat yang terbuat dari kaca, seperti piring gelas dll, itu firasatnya akan mendapatkan jodoh.<br />
<br />
Pekerja.<br />
<br />
“Menawi ngimpi piyambakipun dados tukang tukar yatra, alamatipun piyambakipun nggadhahi ilmu ingkang munpangati”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi dirinya menjadi penukar uang, itu firasatnya akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.<br />
<br />
“Menawi ngimpi piyambakipun dados tukang batu, punika alamatipun sae sanget, inggih punika lelampahanipun ingkang duraha dipun mareni lan anggenipun nglampahi agami ingkang mantep sanget”.<br />
<br />
Jika ada orang yang bermimpi dirinya menjadi tukang batu, itu firasatnya baik sekali, yaitu perbuatannya yang durhaka telah di tinggalkan dan dalam menjalani agamanya sudah sangat mantab sekali.<br />
<br />
Kandjeng Pangeran Haryo Karyonagorohttp://www.blogger.com/profile/10944055500542666985noreply@blogger.com