Senin, 12 September 2011

> Agama Islam gak Penting!

Secara legal formal KTP saya Islam. Secara garis keturunan, saya sudah Islam sejak saya dilahirkan. Dan secara sosial kemasyarakatan, saya juga dikenal sebagai orang Islam. Karena saya melakukan berbagai ritual ibadah dalam Islam. Dan secara pribadi saya juga mengimani Islam sebagai keyakinan saya. Tapi ..

Islam yang saya pahami bukan pada label, bukan pada nama-nama. Bukan pada segala asesoris. Bukan pada slogan. Singkatnya Islam dalam pemahaman saya tidak pada segala unsur fisik-ragawi.

Silahkan anda baca di depan saya Allahu Akbar, Subhanallah, Masya Allah, Nauzubillha, atau …. Satu truk ayat Alquran dan Hadis. Saya tidak peduli.

Kenapa?

Saya hanya peduli pada pribadi anda. Apakah anda bermoral atau tidak. Apakah anda menghargai saya atau tidak. Apakah anda etis atau tidak. Apakah anda jujur atau munafik. Apakah anda sok steril atau apa adanya. Apakah anda sok suci atau manusiawi.

Saya menghayati Keislaman sebagai pengamalan nilai-nilainya. Nilai-nilai spiritualitas Universal. Nilai-nilai moral Universal. Segala teori, dakwah, slogan, itu hanya budaya bagi saya. Sebagai aktivitas kebudayaan manusia. Satu tronton buku-buku tentang Islam, satu truk DVD ceramah agama dikumpulkan lalu ditempelkan ke telinga saya, semua itu bagi saya bukan Islam dalam maknanya yang hakiki. Semua itu adalah hasil budi daya manusia. Inventaris kekayaan intelektual kebudayaan di bidang agama.

Saya teringat ada hadis Nabi yang menyatakan (dalam bahasa saya sendiri), bahwa akhlak yang baik menggambarkan agama yang baik.

Pernyataan itu saya pahami bahwa hakikat keagamaan seseorang bukanlah pada segala embel-embel lahiriah. Tapi adalah pada akhlak kepribadian seseorang. Dan pada hadis lain Nabi juga menyatakan bahwa beliau diutus ke dunia adalah untuk mengubah akhlak manusia. Ini berarti akhlak kepribadian adalah sentral dalam misi ajarannya. Pusat dalam Keislaman. Dan semua ritualitas ibadah dan pranata sosial yang dibangunnya pada akhirnya adalah dalam rangka untuk menempa akhklak seorang Muslim. Apakah hasil dari segala ritual formal ibadah itu bisa membuatnya berlaku sabar, tenggang rasa, peduli, tolong menolong, kasih-mengasihi dan seterusnya dengan sesamanya.

Dan semua itulah yang akan dipersembahkannya pada Tuhan. Dan atas itulah ridho (restu) Tuhan turun pada dirinya. Hablum minan nas dan Hablum minallah. Berbuat baik pada manusia dan berbuat baik pada Tuhan. Kenapa berbuat baik pada manusia yang didahulukan?

Karena agama (Islam) adalah untuk manusia. Bukan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh agama. Jika manusia sudah bisa damai sejahtera bersama sesama manusia di bumi, maka sesungguhnya visi agama (Islam) pada hakikatnya sudah tercapai. Sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad oleh Tuhan.

Apa artinya sesorang muslim taat beribadah secara ritual-formal, berkoar-koar berdakwah, demi membela dan mencintai Islam (katanya), tapi dia berlaku sinis, kasar, dan mudah mengamuk pada orang lain. Bisakah Tuhan disogok dengan cara menjilat seperti itu? Dan bukankah itu sudah salah pasang? Bukankah jusru ridho Tuhan bertengger diatas fondasi berbuat baik dengan sesama manusia?

Nah, dengan memahami Keislaman seperti inilah saya menjadi tidak peduli dengan segala label dan sorak sorai Islam. Anda boleh mengaku tamatan Universitas Islam Planet Siratul Muntaha. Anda boleh mengaku dari Persatuan Islam Dunia Jagat Raya. Anda boleh mengaku Ustad terkenal di Planet Yupiter. Anda boleh mengaku hafal Alquran dan Hadis. Anda boleh mengaku disanjung dan dipuja sebagai Partai Islam, Pemimpin Islam, Ulama Islam dan segala Islam bla bla bla. Tapi jika moral kepribadian anda centang prenang saya tidak peduli.

Saya hanya peduli pada moral seseorang.
Siapapun dia. Apapun label agamanya. Bahkan tidak beragama sekalipun.
Sepanjang dia bermoral, itulah hakikat Islam dalam penghayatan saya.