Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 75]

“Andai saya telah mengambil jalan kesempurnaan itu. Temuilah taqdirmu di Tingkir…”

“Sekarang saya harus menemui Ki Ageng Tingkir?”

“Bukan, cermatilah perkataan saya tadi. Sekarang kembalilah ke tempat andika berada.”

Sejenak Joyo Dento mencoba mengunyah setiap perkataan Kebo Kenongo, meskipun tidak semuanya bisa dicerna. Setidaknya dirinya telah mendapat pencerahan, walau masih perlu untuk diterjemahkan.

“Bangkitlah! Kembali pada takdir andika…”

“Baiklah, andai itu keputusan Ki Ageng.” setelah berpamitan Joyo Dento dengan berat hati kembali berada di atas punggung kuda, untuk kembali. Pikirannya menggasing dengan cepat berusaha menafsirkan setiap perkataan yang masih melekat ditelinganya. Kuda yang ditungganginya membawa segunduk daging dengan pengembaraan yang jauh. Melepas pikiran, hingga tak merasakan pelana, juga tali kekang dalam genggamannya.

“Ki Ageng,” Ki Chantulo memecah keheningan. “Tidaklah keliru dugaan saya masih banyak orang yang menaruh hormat dan kesetiaan. Dilain pihak penguasa pun masih memperhitungan keberadaan Ki Ageng.”

“Hehmmm…” Kebo Kenongo menghela nafas dalam-dalam.

“Benar, Ki Ageng. Seandainya keberadaan Ki Ageng bukan sesuatu yang diperhitungkan tentu pembumihangusan terhadap kita tidak akan pernah terjadi. Keberadaan Ki Ageng membuat takut tergusurnya Raden Patah dari tahta, Syekh Siti Jenar mencemaskan fatwa Dewan Wali yang takut kehilangan pengaruh dan pengikut.”

“Bukankah itu hanyalah dugaan Ki Donoboyo yang berlebihan?”

“Meskipun ini berupa dugaan, saya rasa tidak terlalu meleset.”

“Untuk apa kita menduga-duga? Bisakah kita mencapai ilmu manunggaling kawula gusti  seandainya batin kita masih terusik dengan perputaran pikiran yang cemas, berprasangka, bukankah lelaku demikian itu menggunakan tenaga dan mempekerjakan batin serta pikiran untuk menggasing. Tidakah sayang seandainya pikiran dan batin ini kita satukan dalam kekhusuan untuk mencapai kemanunggalan dengan-Nya?”

Mulut Ki Donoboyo terkatup rapat. Pikirannya tergusur serta larut dalam setiap kata yang baru saja menembus gendang telinganya. Tidak hanya dirinya juga Ki Chantulo ikut hanyut menyambut serta berusaha mengolah agar bisa segera dicerna.

Bersambung……