Sabtu, 10 September 2011

> Agama Saya Islam Anarkis

Maksud saya bukanlah tindakan anarkis seperti yang dilakukan umat Islam versi ngamuk di jalan raya dan pusat-pusat keramaian. Main serbu, main lempar batu, main teriak Allahu Akbar sambil melempar granat. Sama sekali bukan itu. Tapi adalah semacam sikap, semacam metode berpikir anarkis terhadap pemaknaan akan Islam.

Titik tolak saya adalah perlawanan terhadap tradisi Islam.
Lalu kenapa melawan?

Sejauh yang saya pahami, tradisi Islam yang terbentuk di sepanjang sejarah adalah tafsir berkelanjutan atas Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Itulah dua sumber otoritas dalam ajaran Islam. Tapi yang namanya sumber, adalah bagai mata air nilai-nilai kearifan, nilai-nilai religiusitas, dan nilai-nilai moral Universal. Itulah Islam secara hakikat. Ada nilai-nilai penghambaan kepada Tuhan, ada nilai-nilai kemanusiaan dan ada nilai-nilai sosial (tolong menolong, saling mengasihi, saling berlaku adil dan kepedulian sosial). Saya memahami nilai-nilai inilah simpul dari spirit ajaran Islam.

Tetapi penubuhan nilai-nilai itu dalam prakteknya, bukanlah nilai-nilai itu sendiri. Tapi adalah semacam contoh-contoh penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Bila nilai-nilai itu hendak dibumikan, hendak dilendingkan dalam keseharian umat Islam, maka nilai-nilai itu akan beradaptasi dengan kondisi historis zamannya. Sesuai dengan budaya dimana nilai-nilai itu hendak diterapkan. Ada semacam proses pribumisasi nilai-nilai Islam.

Dan model penerapan nilai-nilai dalam sejarah Islam itulah yang saya sebut sebagai tradisi Islam. Sebuah ekspresi keagamaan yang dipeluk dan diyakini secara bersama-sama di suatu zaman. Dan itu sudah suatu konsekwensi. Tapi masalahnya muncul bila tradisi itu tidak bergerak seiring perubahan zaman. Akibatnya, di zaman tertentu tradisi Islam itu belum tentu relevan lagi dengan kondisi zaman sesudahnya.

Sebagai contoh, meniru mentah-mentah segala kebiasaan Nabi di zamannya, seperti naik onta, berbuka dengan korma, berdakwah secara gerilya secara fisik dari suatu daerah ke daerah lainnya, dan seterusnya, bagi saya adalah suatu kemerosotan akan pemknaan terhadap nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena dalam pandangan saya, sejatinya Islam bukanlah bergerak mundur ke zaman lampau. Tapi tetap mengikuti arah perkembangan situasi dan kondisi zaman.

Ibaratnya, nilai-nilai Islam itu bagaikan air dalam gelas. Air adalah nilai-nilai Islam dan gelas dalah wadah penubuhan nilai-nilainya. Air akan selalu mengikuti bentuk wadahnya. Dengan kata lain, nilai-nilai Islam (air) juga akan selalu mengikuti budaya zamannya (gelas).

Nah, ketika tradisi lampau itu ditarik-tarik ke zaman sekarang, maka disitulah terjadinya benturan dalam praktek ajaran Islam dengan kondisi zamannya. Sehingga sehubungan dengan ini ada pandangan yang menilai bahwa Islam tidak kondusif untuk pembangunan. Islam tidak kondusif untuk kemajuan. Inilah efek dari pemahaman yang jumud akan Islam itu sendiri. Atas praktek Islam seperti inilah saya melakukan kaji ulang. Mengkritisi tradisi. Bagi diri saya sendiri.

Lalu dimana letak anarkismenya?

Ini adalah menyangkut metode pemahaman akan nilai-nilai Islam. Sejauh yang saya pahami, setiap ulama dan para cendikiawan membangun semacam kerangka berpikir dalam memahami Islam. Misalnya ada metode dalam memahami Alquran (metode tafsir), ada metode dalam merumuskan hukum-hukum Islam (kaidah usul Fiqh), ada metode penafsiran atas Tauhid (Limu Kalam/Teologi) dan seterusnya.

Saya berpandangan bahwa metode itu lahir adalah sebagai reaksi spontan akan kebutuhan di zamannya masing-masing. Tentu saja perumusan akan metode itu sesuai dengan berbagai pengaruh yang melingkupi para penggagasnya, misalnya kondisi pendidikan, ekonomi, sosial dan budayanya. Dengan penalaran ini, saya berpendapat, sebuah metode bukanlah harga mati untuk sepanjang masa.

Ibarat kamera hitam putih, apa pun yang dipotretnya akan tetap menghasilkan gambar yang juga hitam putih. Bagaimana pun tingginya harapan akan foto berwarna, dengan menyorot objek apapun, namun hasilnya tetap saja berupa gambar hitam putih. Lebih kurang begitulah kondisi sebuah metode pemahaman akan Islam.

Kamera ibaratnya adalah metode, dan gambar itu ibaratnya adalah hasil (praktek) yang diharapkan. Jika metodenya masih metode pemahaman Islam Abad Pertengahan misalnya, nyaris sulilt akan relevan dengan hasil yang sesuai dengan kondisi zaman sekarang. Sebagai contoh sederhana saja, dulu di zaman Nabi umat Islam menentukan waktu sholat secara tradisional dengan melihat matahari dengan mata telanjang, atau dengan melihat bayang-bayang, maka sekarang tentu hal itu tidak relevan lagi. Karena sudah ada jam yang lebih efisien dan lebih akurat. Dan nilai-nilai efisiensi dan akurasi itu juga bagian dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Yaitu sebagai penerapan akan rasa syukur dengan nikmat kecerdasan (akal pikiran) dan kemauan akan kemajuan yang diberikan oleh Tuhan.

Karena itu, bagi saya pribadi, tidak ada cara lain untuk menafsirkan dan memaknai Islam yang lebih dinamis sesuai perubahan zaman selain merubah metode dalam memahami Islam. Merubah alat yang memproduksi pemhaman itu sendiri. Dengan kata lain, terus menerus merubah cara berpikir agar selalu relevan dengan kondisi kekinian.

Dalam hal ini saya meminjam epistemologinya Michael Polanyi, seorang pemikir Abad-20 asal Hungaria, yang menyatakan bahwa Kebenaran, selalu tidak tersibak dengan sempurna oleh pengetahuan manusia. Selalu saja ada sisi-sisi tak terungkap karena keterbatasan pengetahuan dan pemahaman manusia. Apalagi bila dihubungkan dengan pergerakan zaman yang selalu berkembang dengan cepat. Apa yang terpikirkan dan bagaimana cara berpikir manusia di zaman purba misalnya, akan menjadi tidak relevan lagi bila digunakan untuk menghadapai kondisi zaman sekarang. Begitulah seterusnya. Ada mata rantai estafet trial eror terus menerus pemahaman manusia akan Kebenaran.

Karena itulah, cara berpikir lurus monoton tidak akan kondisif untuk memahami segala sesuatu yang selalu bergerak dan berubah. Mau tidak mau, manusia sebagai subjek yang berpikir, pikirannya juga harus menari mengikuti irama zaman dimana pun dia berada. Di sinilah urgensinya metode anarkisme dalam berpikir. Yaitu tidak terpaku pada satu pola, tidak terpaku pada satu model penafsiran. Dan … lebih-lebih tidak terpaku pada tradisi, pada sejarah.

Meminjam pandangan Hassan Hanafi, seorang Pemikir Islam Kontemporer Mesir, umat Islam selalu berada dalam kondisi kekinian. Di belakangnya ada sejarah (tradisi Islam) dan di depannya ada visi (masa depan). Maka umat Islam tidak mungkin menempatkan dirinya pada kedua kutub ekstrem tersebut. Berpegang pada sejarah maka umat Islam akan buntu. Dan sebaliknya bila hanyut berharap pada visi yang terlalu jauh, umat Islam akan menjadi umat yang utopis. Umat yang selalu mabuk dalam imajinasi.

Karena itulah, tidak ada cara lain selain mengukuti irama zaman dimana umat Islam berada. Di sini dan kini. Dan berpikir dengan cara kini dan di sini. Untuk akhirnya juga bergerak seiring perubahan situasi dan kondisi. Meminjam istilah M. Iqbal, Pemikir Islam Pakistan, diam adalah berarti mudur ke belakang. Karena itulah cara berpikir model-model pemahaman, model-model penafsiran harus terus bergerak seperti membidikan senapan pada burung yang sedang terbang.

Lebih kurang itulah Islam anarkisme. Sebuah pemahaman akan Islam yang tidak mau dikurung oleh sutau model penafsiran. Apalagi oleh tradisi Islam yang sudah jumud dan beku. Pemahaman Islam yang ingin selalu bergerak menari mengikuti perkembangan zaman.