Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 22]

“Bertahap?” gumam Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang tanpa melalui tahapan?”

“Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.”

“Hhhhhmmmmmm….” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula Gusti menurut Syekh?”

“Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.”

“Maksudnya?”

“Manunggaling sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?”

“Tentu saja gula manis, dan garam asin.”

“Berikan pula gula dan garam ini pada seratus orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Angeng Pengging.”

“Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski dikasihkan pada seribu orang.”

“Itulah yang dikatakan manunggaling sifat.”

“O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya.

***

“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan.

“Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?”

“Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri.

Bersambung…………