Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 67]

“Dalam hati kecil manusia yang sedang berada dalam tampuk kekuasaan sudah barang tentu akan terselip perasaan resah. Mereka sadar kekusaan itu pada suatu ketika akan ditanggalkan, secara terpaksa atau pun tidak dengan beragam sebab dan alasan.” Kebo Kenongo perlahan bangkit, “Hanya penguasa yang iklaslah yang tidak merasakan resah akan hilangnya tahta. Awal keberangkatannya pun bukan karena mengejar kekuasaan dan megahnnya dunia. Tetapi semuanya karena niat ikhlas Allah semata. Hingga orang demikian tidak akan pernah bermegah-megah selama rakyatnya masih dalam
garis kemiskinan, terkadang rela melepas segala yang dimiliki…”

“Kayaknya tidak ada pemimpin yang demikian pada jaman kini?”

“Jarang menemukan pemimpin seperti halnya Khalifah Umar bin Khatab, beliau
sangat bersahaja…..”

“Benar kiranya, Ki Donoboyo?”

“Bukankah alasan sesungguhnya Raden Patah pun sedang dalam keadaan resah, Ki Ageng?”

“Saya kurang tahu serta tidak mau tahu dalam hal ini, Ki Chantulo.”

“Tidak mengapa. Itu hanyalah dugaan saya. Akibat dari keresahan akan tergulingnya dari tampuk kekuasaan, mereka berusaha untuk menyeret guru kita Syekh Siti Jenar ke pengadilan?”

“Ah, rasanya itu keliru!”

“Dimanakah letak kelirunya, Ki Ageng?”

“Tuduhan itu. Kabar itu pun belum saya yakini kebenarannya, bukankah kita semua tahu? Guru kita sedikit pun tidak memiliki keinginan untuk memasuki gemerlapnya dunia. Bukankah kemewahan dan kemegahan hanya akan menjadi pengganggu bagi kekhusuaan kita.”

“Saya juga meyakini demikian, Ki Ageng.” tatap Ki Donoboyo,  “Rasanya Guru kita tidak pantas dituduh selaku otak pemberontak atau yang mencuptakan segala kekacauan di negeri Demak Bintoro, apalagi berencana menggulingkan Raden Patah.”

“Ya, karena kita tahu siapa Syekh Siti Jenar guru kita? Seandainya mereka tidak mengenal beliau?”

“Itulah yang akan menyebabkan fitnah,”

Bersambung……