Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 20]

“Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun seakan-akan hilang dari kelopak matanya.

“Itulah manunggaling kawula wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya berada di luar.”

“Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan apa?”

“Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang pohon.

Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya.

“Harus selalukah mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?”
“Maksud batin disini bukanlah ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan. Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai ma’rifat.”

“Termasuk hakikat dan thariqatnya?”

“Benar, karena kanuragan masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional, semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.”

“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya,
karena segala hal dalam dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.”

“Ki Ageng Pengging, jangan melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup, meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan
kebutuhannya.”

“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….”

“Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

“Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat. “Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.”

“Andika mendapat tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa sakit yang di derita Loro Gempol.

“Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki diturunkan pada
saya?”

“Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup menjalaninya.”

“Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung diturunkan pada saya?”

“Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi petunjuk.”

“Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang � turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.”

“Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.”

“Benarkah itu, Syekh?”

“Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman padepokan.

Bersambung………