Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [bag 74]

“Kepura-puraan?” Ki Chantulo mengayunkan langkah pelan mengiringi.

“Kebanyakan manusia lebih menyukai kebohongan ketimbang kejujuran…”

“Bukankah tidak berharap untuk dibohongi?”

“Tidak, tetapi disukai.” mematung di tepi jalan. “Lihat! Penunggang kuda menuju kemari…”

“Mungkinkah utusan Demak untuk menangkap kita?”

“Rasanya saya mengenal dia?”

“Dari Majapahit?”

“Bekas abdi….dia prajurit…”

“Ki Ageng,” turun dari punggung kuda seraya merunduk mengacungkan sembah.

“Bangkitlah Joyo Dento! Aku bukan lagi pejabat Majapahit,” tangannya yang lembut menarik bahu.

“Maafkan saya, Ki Ageng. Meskipun bukan  lagi pejabat Majapahit tetapi saya masih menaruh hormat pada Ki Ageng selaku junjunan saya.” dengan nafas berat.

“Sudahlah,” tatapnya tersenyum lembut. “Ada apa gerangan menyambangi saya?”

“Tiada lain yang mengundang saya kemari adalah rasa cemas dan kekhawatiran.”

“Khawatir?”

“Ya, meskipun saya tahu Ki Ageng tidak lagi memiliki minat untuk menjadi penguasa. Tetapi kekhawatiran ini terdorong dengan pertalian Ki Ageng dengan kerabat Majapahit. Itu pun berdasarkan perbincangan yang berkembang dikalang pejabat dan rakyat Demak sekarang….”

“Apa?”

“Saya mendengar kabar Syekh Siti Jenar akan ditangkap. Demak telah mengirim para Wali yang berilmu tinggi ditambah lagi para perwira andalan, untuk disered dalam peradilan dengan tuduhan mengajarkan ajaran sesat dan makar. Saya tidak percaya akan semua tuduhan itu. Saya berlari kesini karena kekhawatiran saya terhadap Ki Ageng.”

“Saya memaklumi akan kekhawatiran andika. Tentu Syekh Siti Jenar dianggap tidak berdiri sendiri, kalau bukan karena antek Kebo Kenongo. Yakinlah seperti yang andika katakan itu hanya tuduhan….”

“Yang menjadi kekhawatiran Ki Ageng pun ikut disered…”

“Saya kira tidak hanya saya.” melirik ke arah Ki Chantulo dan Ki Donoboyo. “Juga…para murid Syekh Siti Jenar….”

“Untuk itulah saya berdiri disini!”

“Mengapa?”

“Tidak lain saya harus mencegahnya meskipun berkalang tanah…andai perlu pasukan akan dipersiapkan!”

“Saya sangat menghargai kesetiaan andika,” Kebo Kenongo memeluk bahu Joyo Dento. “Tidaklah mengharapkan andika sebagai tumbal penyelamat….bukan berarti meremehkan. Tetapi sadarilah bahwa manusia itu telah memiliki jalan hidup masing-masing. Jalan itu tiada lain hanya untuk memenuhi taqdir kesempurnaan menyatu dengan-Nya. Maka caranya tentu beragam, tiada lain memenuhi hikmah yang semestinya bisa diambil sebagai sebuah pelajaran.”

“Saya tidak paham dengan itu semua. Izinkanlah taqdir saya disini…”

“Tidak!” melepas pelukannya. “Andika berada dalam taqdir lain….”

“Maksud Ki Ageng?”

Bersambung…..