Senin, 08 Juli 2013

SEJARAH RAMADHAN

Sejarah Ramadhan

Ramadan, bulan ke-9 kalender Islam, dan ibadah puasa selama 30 hari di pagi dan siang hari, memiliki akar dari budaya paganisme di India dan Timur Tengah. Kebiasaan puasa untuk menghormati bulan, yang dilakukan di berbagai ritual oleh bangsa Timur penyembah bulan. Ibn al-Nadim dan Shahrastani menyebut al-Jandrikinieh, sekte India yang mulai puasa saat bulan menghilang, dan mengakhiri puasa dengan perayaan besar saat bulan sabit muncul kembali. [1]

Sementara itu, praktik puasa untuk menyembah dewa bulan juga dilakukan dalam budaya timur tengah, dalam hal ini bangsa Sabean/Sabiin.  Bangsa ini merupakan bangsa pagan Timur Tengah, dikenal dalam dua kelompok, yakni Sabiin Mandaean, dan Sabiin Harranian. Kaum Mandaean hidup di Iraq di abad ke-2 SM. Sama seperti yang masih mereka lakukan sampai sekarang, mereka menyembah berbagai dewa. Dewa² mereka terbagi dalam empat kategori: “kehidupan pertama,” “kehidupan kedua,” “kehidupan ketiga” dan kehidupan keempat.” Dewa² kuno termasuk dalam kategori “kehidupan pertama.” Mereka memanggil dewa² yang lalu menciptakan dewa² “kehidupan kedua” dan seterusnya.

Kaum Harranian atau Sabiin dari kawasan Harran, menyembah Sin, dewa bulan, sebagai dewa utama, tapi mereka juga menyembah planet² dan berbagai dewa lainnya. Bangsa Sabiin berhubungan dengan Ahnaf/Hanif, kelompok orang² Arab yang diikuti Muhammad sebelum menjadi nabi. Ahnaf mencari pengetahuan dengan cara pergi ke Iraq utara, tempat tinggal masyarakat Mandaean. Mereka juga mengunjungi kota Harran di daerah al-Jazirah di Syria utara, dekat perbatasan antara Syria, Iraq, dan Asia Minor.

Di Mekah, kelompok Ahnaf/Hanif disebut sebagai kaum Sabiin karena kepercayaan yang mereka anut. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi, dia disebut sebagai orang Sabiin oleh masyarakat Mekah karena mereka melihat dia melakukan banyak ritual Sabiin, termasuk sholat lima waktu; melakukan gerakan² sembahyang yang sama dengan orang² Mandaean dan Harranian; dan juga berwudhu sebelum sembahyang. Di Qur’an, Muhammad menyebut orang² Sabiin sebagai “para ahli kitab,” sama seperti orang² Yahudi dan Kristen.

Ramadan adalah upacara pagan yang dilakukan oleh orang² Sabiin, baik Harrania maupun Mandaia. Dari tulisan Abu Zanad, penulis Arab dari Iraq yang hidup sekitar tahun 747 M, kita menyimpulkan setidaknya terdapat satu masyarakat Mandaean yang hidup di Iraq utara yang melakukan upacara Ramadan. [2]

Asal-usul Ramadan bermula dari Ritual Tahunan yang dilakukan di kota Harran.

Persamaan antara Ramadan Harran dan Ramadan Islam.

Meskipun puasa Ramadan sudah dilakukan sebelum jaman Islam oleh orang² pagan Jahiliyah, upcara ini awalnya diperkenalkan di Arabia oleh orang² Harranian. Kota Harran terletak di perbatasan antara Syria dan Iraq, sangat dekat ke Asia Minor, yang sekarang adalah Turki. Dewa utama mereka adalah dewa Bulan, dan sewaktu menyembah bulan, mereka berpuasa besar yang berlangsung selama 30 hari. Puasa ini dimulai di tanggal 8 Maret, dan biasanya selesai di tanggal 8 April. Sejarawan Arab, Ibn Hazm, menyatakan puasa ini sebagai puasa Ramadan. [3]

Ibn al-Nadim menulis dalam bukunya, al-Fahrisit, tentang berbagai sekte agama di Timur Tengah. Dia mengungkapkan, kaum Harrania berpuasa selama 30 hari untuk menyembah dewa Sin, yakni sang bulan. Al-Nadim menjelaskan tentang perayaan yang mereka selenggarakan dan korban² yang dipersembahkan pada sang bulan. [4] Sejarawan lain, Ibn Abi Zinah, juga menjelaskan tentang kaum Harranian, dan mengatakan bahwa mereka puasa selama 30 hari, mereka menghadap Yemen saat sholat lima kali sehari. [5] Kita juga tahu bahwa umat Muslim sholat lima kali sehari. Kaum Harranian puasa sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam, sama seperti yang dilakukan Muslim di bulan Ramadan. [6] Sejarawan lainnya, Ibn al-Juzi, menjelaskan kaum Harranian puasa di bulan ini. Dia berkata mereka mengakhiri puasa dengan memotong hewan kurban dan berzakat bagi kaum miskin. [7] Hal serupa juga dilakukan umat Muslim setelah selesai puasa.

Akar mithologi akan perayaan Harran bagi bulan dijelaskan dengan menghilangnya bulan setelah bergabung dengan kelompok bintang Pleiades, dalam kumpulan bintang Taurus yang muncul di minggu ketiga bulan Maret. Orang² tersebut sembahyang pada sang bulan, memohon agar bulan kembali muncul di kota Harran, tapi bulan menolak kembali. Hal inilah yang membuat mereka lalu berpuasa di bulan itu. Sang bulan tidak berjanji untuk kembali ke Harran, tapi berjanji untuk kembali ke Deyr Kadi, daerah keramat dekat salah satu pintu gerbang kota Harran. Maka setelah satu bulan, para penyembah dewa bulan Sin, pergi ke Deyr Kadi untuk merayakan kemunculan kembali sang bulan. [8] Menurut Ibn al-Nadim, kaum Harranian menyebut perayaan ini sebagai al-Fitri الفطر , yakni nama yang sama bagi perayaan umat Muslim setelah puasa Ramadan. [9] Selain puasa Ramadan, kaum Harranian juga bersholat lima kali sehari. Sebelum sholat, mereka melakukan wudhu. [10] Hal ini pula yang diserap Muhammad ke dalam Islam.

Kebiasaan puasa Ramadan menyebar dari kaum Harranian kepada masyarakat Arabia. Hal ini kemungkinan mulai terjadi setelah Nabonidus, raja Babylonia, menjajah Arabia utara di sekitar tahun 552 SM, sewaktu dia tinggal di kota Teima. Nabonidus berasal dari kota Harran. Dia adalah penyembah fanatik dewa bulan Sin, dan ibunya bahkan pendeta agama Sin. Nabonidus tak sepaham dengan para pendeta Babylonia yang menganggap dewa Marduk sebagai kepala para dewa Babylonia. Nabonidus bertekad menyebarkan kepercayaan bahwa Sin sang dewa bulan adalah kepala para dewa. Karena itulah dia menyuruh putranya mengurus Babylonia dan dia lalu hidup di Teima, Arabia Utara.

Di jaman pra-Islam, Ramadan menjadi ritual Arab pagan dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan, dengan tatacara upacara dan sifat yang sama seperti Ramadan Islam.

Ramadan dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan sebelum jaman Islam. Al-Masudi mengatakan bahwa nama Ramadan berasal dari panasnya udara di bulan tersebut. [11]

Di jaman pra-Islam, Jahiliyah, bangsa pagan Arab telah berpuasa dengan cara yang sama seperti Muslim berpuasa, seperti yang diperintahkan Muhammad. Cara Arab pagan puasa termasuk tidak menelan makanan, minuman, dan tidak melakukan hubungan sexual – sama seperti Islam. Mereka berpuasa dengan berdiam diri, tidak berbicara, baik dalam waktu sehari maupun seminggu, atau lebih lama lagi. [12] Qur’an menunjukkan puasa dengan cara yang sama di Sura 19, ketika Allah memerintahkan perawan Maria berkata dia berpuasa bagi tuhan, yang berarti dia tak bicara dengan siapapun. [13] Kebiasaan bangsa Arab yang bersikap diam saat puasa tampak jelas pengaruhnya dalam Qur’an. Tertulis bahwa Abu Bakr mendekati seorang wanita diantara umat pagan di Medina. Dia mendapatkan wanita itu sedang berpuasa, termasuk puasa bicara. [14] Puasa adalah hal yang serius bagi bangsa Arab, diperkuat dengan aturan resmi yang menetapkan hukuman bagi siapapun yang gagal puasa bicara. Ramadan dalam Islam merupakan kelanjutan dari puasa jenis ini.

Muhammad memasukkan berbagai ritual agama dari dua suku Medina yang mendukungnya menaklukkan bangsa Arab di bawah Islam. Salah satu ritual tersebut adalah Ramadan.

Tampaknya Ramadan dipraktekkan di berbagai kota di Arabia utara di mana Nabonidus, raja Harran dari Babylonia, berkuasa. Salah satu kota yang dikuasainya adalah Yathrib, yang kemudian berganti nama menjadi al-Medina. Muhammad memerintahkan puasa Ramadan, juga ritual sholat menghadap Mekah dan bukannya Yerusalem, setelah dia hijrah ke al-Medina, di mana suku² Arab disitu juga terbiasa sholat menghadap Mekah dan juga berpuasa Ramadan. [15] Muhammad menyesuaikan aturan Islamnya agar sesuai dengan ritual dan kebiasaan agama suku² Aws dan Khazraj, kedua suku Medina yang mendukung Muhammad mengobarkan perang melawan bangsa Arab. Salah satu upacara mereka adalah berkumpul untuk sembahyang di hari Jum’at. Muhammad menetapkan Jum’at sebagai hari Islam.

[1] Ibn Al Nadim, Al-Fahrisit, hal. 348
[2] Abdel Allah ibn Zakwan Abi al-Zanad. Lihat Ibn Qutaybah, op. cit.hal. 204; Dikutip oleh Sinasi Gunduz, The Knowledge of Life, Oxford University, 1994, hal. 25
[3] Ibn Hazm, I, hal. 34; dikutip oleh Sinasi Gunduz, hal. 167-168
[4] Ibn Al-Nadim, Al-Fahrisit, hal. 324-325
[5] Dikutip oleh Rushdi Ilia’n, Al Saebiun Harraniyen Wa Mandaeyn, Bagdad, 1976, hal. 33
[6] Dikutip dari sejarawan Arabia oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[7] Ibn Al Juzi , Talbis Iblis , dipersiapkan oleh M. Ali, Kher, hal. 84; Kutipan oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[8] Dodge, B., The Sabians of Harran, hal. 78
[9] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[10] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[11] Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 213
[12] Jawad Ali, al-Mufassal, vi, hal. 342
[13] al-Allusi, Ruh’ al-Maani 16; hal. 56 ; Tafsir al-Tabari, 16, hal. 56
[14] Qastallani Ahmad ibn Muhammed, Irshad al-Sari, 6: 175; Ibn Hagar, al-Isabah 4:315
[15] Al Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 295

Selasa, 02 Juli 2013

ANA KIDUNG ING ROSO

ANA KIDUNG ING ROSO

Ana Kidung ing Roso ditulis dengan menggunakan tembang Jawa, khususnya tembang Dangdanggula. Ana Kidung ini bermaksud menghilangkan semua kekuatan yang dapat merugikan manusia dan ketentremannya, seperti penyakit, cobaan dan lain sebagainya, khususnya rasa bilahi. Di sini adalah alih aksara naskah lontar Ana Kidung, milik Kristel van der Korst, Loosdrecht.

Alih bahasa: Pangeran Karyonagoro

DANDANGGULA

1. /1a/ Ana kidung, angrasa dina wngi, tan gu / rahayu, aduh ing alara, / luput ing balahi kabéh, ji / m sétan datan purun, pana /1b/ luhan datan awani, aduh i / ng panggawé ala, gni wong alu / put, gni atemahan tirta, / maling anah, tan ana wani ri ka /2a/ mi, guna dudu pan sirna.

2. Sakeh / i lara pan samya ambali, / sawoh i kemat, si puru / n olas, kawelas asih padu /2b/ luné, sakéh i braja luput, ka / di kapuk tibaniréki, sakéh / ing bisa tawar, sawok roda / tatap, kaya’ agung lemah sih, /3a/ sok ing landak, gwa ri mong lemah mi / ring, pekik i puwaning marak. /

3. Pagulingané warak sakang / lwir, kadya ngambah, i segara sat, /3b/ kowasa ngambah pucuké, apan sa / rira ayu, ngingidran sako / héh i widadari, rinak / ing para malaékat, sakatah /4a/ ing rasul, dadya ta sarira tunggal, / nétra Adam, uteku bagi / nda Esis, pngucapé nabi / Musa.

4. Sumsumku Patimah /4b/ kang lénuwih, nabi Yakup, pamya / saningwang, nabi Yusup cahya / ngku mangké, nabi Dawut / swarangku, mwang Suléman kasaktén ma /5a/ mi’, nabi (I)brahim i nyawa, Idri / s i rambut, baginda (A)li ku / litingwang, Abu Bakar, getih / daging marsinggih, balungkuk baginda /5b/ Usman.

5. Siji-sawiji mulana da / di, ta marencah, dadi (i)sini / ng jagat, kang sami ring jasat / reké, sakéh rencana (a)gung, nora wani ma /6a/ rek ing kami, sakéh ingkang rencana, / lan isining wanéku, jim kala / wan blis lanat, nora wani, / saking takdir Alah luwih, brerka /6b/ t nabi rasululah.

6. Sing angidung ana / kidung iki, dénya gati, la / nggeng ma’muliya, aywa miril mu’mi / nin reké, slamet lan rahayu, /7a/ noranana wani marek ing kami, sa / nwéh ikang rencana, pada a / njarit-jerit iku, brakat na / bi Adam mwah, nabi rarul /7b/ Mustapa kang lénuwih, brakat la’ila / ha ilalah.

7. Kuluhu’ gni u / balak-ubalik, séta / n mara, sétan matya, blis /8a/ lanat suminggah reké, sakéh / é kang arungu, kang anurat / kang animpeni, dadi raha / yuning jasat, kinarya sasa /8b/ bur, winacahakening to / ya, kinarya (a)dus, wong / lara tuwak iki, kiner / ya adus wong édan. /9a/

8. Lamun ana wong édan dhurpari, puwa / sanen, sadina sawangya, / i derna jingga lengé, lamun si / ra angluruk, musuhira datan /9b/ wani, lamun sira aprang, wate / k ingkang skul, skurlé tigang pu / lukan, musuhira, rare / p norana wani, rahayu /10a/ kang aprang.

9. Lamun ana wong kabanda / iki, mwang kadenda, lan wong / kabratan ing utang, yu / gya asembahyang reké, wayah /10b/ é tngeh dalu, ping sawola / s winaca aris, ucu / l ikang kabanda, malih kang / binanda iku, agelis si /11a/ ra linuwaran, wong utang / sinahuran déra Yang Widi / , wong agring nulih waras, (éh éh éh éh éh /11b/

10. Sumsumku Patimah kang lénuwih, / kang minangka, rahayuni jasa / t, panguluning rasul ta reké, / sakéhé kang tumuwuh, salira /12a/ né tunggal lan nabi, atéku ya Mu / hammat, pangulun i rasu / l, pinayungan Adam / sowara, samaptané, /12b/ sakatah i pra nabi, mapan / salirané tunggal. /

11. Pupuyun tutugeng /13a/ nong(?) tutub langit, angin barat, / gumlang ing tawang, cinancang ta ké / tang reké, angrajak gunung siyu, / jala sutra ilu mama’, mi /13b/ wah sawéh i braja, mangadang i / suh, anulak panggawé ala, / rara rungga, gumingsir pada a / glis, awor sakéh i wi /14a/ ksa.

12. Alungguh ring luhur kursi, kang atunggu, / sinurak ing tawang, pangalebur lara kabéh, / kusuk-kusuk i luhur, iku ing lang / -lang i langit, miwa sakéh ing braja, ma /14b/ ngadang i musuh, atunggul (l)atri lan syang, ki / na wdi, blis lanat suminggah sami, nora wani kang karencana.

13. Pan / punika i budiniréki, wali Arab, /15a/ sasang kadi mula, kirun sukung tangan reké, / wanak karuntang atunggu, suku kiwa nga / gem gada wesi, anulak rara ru / ngga, satru lawan musuh, pan tineggah /15b/ déni yang, ider-ider, kaluhu’ balan / ubalik, sing ala satruning Alah. /

14. Gunung siyu sanggup palutur iki, sagara / asat, panuruh satruh driyané, mama /16a/ nikan teguh timbul, wawalyan kasakti / yan i nabi, lut senjata lanang, / tantu Mekah iku, betdil tulup / pancar upas, pada putung, jempar i /16b/ nora nginganin, pélor ambal iki Da / hlan.

15. Gunung siyu makapager mami’, / katon murub, sing tumingal / ilang, miwah sang utamé reké, sa /17a/ kwéh i lara lebur, tantu mamah ing awa / k mami’, miwah sakwéh i bra / ja, magadang i musuh, ya ing rah / mat ma’mulya, rahmat jati, /17b/ jumneng basa jasmani, ya rahmat ma’mulya.

16. Abner sang rasu bani, kang adulu, awla / s sadaya, lulut asih sarat kabéh / , mapan nabi ptang puluh, amayungang rahi /18a/ hina wngi, damar nabi wokasan, sapda / nabi Dawut, aptak baginda / Amsyah, sing arungu, ajeri / t-jerit samya wdi, linuruk /18b/ samya sirna.

17. Lamun tan bisa amba sai / ki, ginawyé, dadi simat puni / ka, tguh tibul paparabé, ya / n ginawa alurung, musuhira ta /19a/ n awani, luput panggawé ala, gni wong / ngaluput, musuhira tan uni / nga, pan sinipen, rinaksa / i Yang Widi, teguhé tan pata /19b/ ndingan.

18. Satru musuh kundhur pada wdi, / apawangan, wruh Bétalmukedas / bolak-balik panggawéné, amba / lik kinowang kundhur, rara rungga pada /20a/ gumingsir, kang agring nulih waras, wong / gni luput, nora wani umareka, / saking rahmat, rahayu pakra / tinéki, rahmat patulung Alah. /20b/

19. Sing angidung ana kidung dina wngi, sapa / wruha, reké araningwang, dun disu / n maksi raré, dépun raré / ku, samurti lan ki sabrangti, ngalih a /21a/ ran ping tiga, arta driya téngsun, du / k ingsun angalih aran, yang arta / ti, araningsun tuwa i / ki, sapa wruh araningwang.

20. Sapangu /21b/ wruh kembang tampus siréki, awruh / ingaran, yang arta drarya, tuga / l pancar i samané, sing sapa / wruh puniku, sasat teguh Pager /22a/ Wesi, rinaksa wong sajagat, kang a / kidung iku, lan aluput ing durjan / wngi, tanawani wong cidra (rusak) /22b/

21. Du ana kidung iki, sabran wa (rusak) / nn awani wong cidra, yadyan bisa / tawar bahé, sing amaca arungu, / kang anurat kang animpeni, no /23a/ ra wani kang rencana, sawngi luput, / yan binakta alulunga, ri margané, / sing kapapak pada asih, dadya / n ana wong gila.

22. Milané tan /23b/ kna sanding, gagéndhongan, miwah wawa / rakan, Alah angadangena reké, / krana ta aja wruh, yan awruh pu / nika wdi, saki sagara wétan, /24a/ Alah angadang iku, jujuluk syang tu / gal, tunggal jati, dumeteng / sang yang artati, aran pkur jati / nya.

23. Apaparab soma hari, /24b/ ilaheni, arané duk agesang, wu / s mati kaya arané, duk langgi / h anéng gunung, apaparab wasi / séng jati, ngalih aran ping tiga, /25a/ duk anom matéku, adam jati do / dolan, ing urunan, ngalih aran sri jati, niscaya ake / ning rawa.

24. Segara agung mako /25b/ bumi iki, lagi iku, ni wong sa / buwana, pada asih mawoh kabéh, / sing bisa ngakgé kampuh, ko / wasa ngangambah bumi, singandari bulan, /26a/ pada asih maréngsun, yadin manusya / asih sira, Sang Yang Tunggal, para / ndéné kawolas asih, atma / ni rama ring yang.

25. Sakatahé panem /26b/ bahan puji, kaatura, kang angra / ksa jagat, kang asih i mu’min / kabéh, atuduh marga luhung, kang / adumi i dumi dasih, kang murah a /27a/ néng dunya, nora kang luput, sami sinung / an baksana, tkéng éwan, miwa / h ruma beténg jro bumi, sami sinunga / n baksana.

26. Kang akraya utusan /27b/ kang lénuwih, i sakwéhé, jim lan / manusya, ngangangken kasih reké, no / rananana kadi iku, kasih / ané sakéh i pra nabi, pan /28a/ mulané akerya, dadi ratu iku, da / di swarga lan nraka, tan liyan / saking, sihira mri dutadi, ki / nerya kanyata’an.

27. Sadéréng /28b/ é bumi langit iki, dur puniku, pan / wus ana, lan kayu’ ana reké, a / nginur kang rumuhun, saki takdir A / lah luwih, duk Alah anandika, ma /29a/ ring nur lan kayu’ puniku, lah nur a / sujut dasi (rusak) pada sujut, pi / ng lima asujut iki, iku mu / lané ana salat.

28. Mulané ana /29b/ salatiréki, lima waktu, nur mula / né ika, asujut ping lima re / ké, karané kayu’ puniki, / Sajaratulmuntaha iki, empang /30a/ ipun lilima, anging ta kayu’ puni / ku, norana mawipatra, sajati / né, nur mulané rumuhun, iku kang / dadi panutan.

29. Saking kasaka /30b/ ’ Alah luwih, akeryanen, kakasih / i yang, minangka didi kabéh / gumilang-gilang asruh, anéng u / sul kalam mri rincing, awarna /31a/ kadi lintang, kendil aranipun, / cinantél déning aras, tumé / tésan, tétés dadi roh / ing nabi, ika mulané ana jagat. /31b/

30. Ing aranan yayahiréki, rohira reké, baginda Ada / m, tunggal iku pinakané, ba / ginda Adam ika, ingaranan /32a/ yayahing jisim, mulané ana ba / dan, nyawané kang rumuhun, nur / bwat ring rasullah.

31. Sahira saki / ng Adam siréki, ginentis sira, ing /32b/ rarahinira, kang ingaran awa reké, / mijil saking suta jalu, inga / ranan baginda Sis, nurbwat anéng / Adam, lami-lami tumurun, prapta /33a/ siréng apdhulah.

32. Tamat. né luhu’. nhung / sa’ (motif bunga-bungaan dengan aksara ditulis di tengah-tengah)  hat dawa pukuhul laku yamilat, / wala yumilat, wali yumila / lat masahulahata, wa’ / ngahul sukal (motif bunga-bungaan) /34a/ né raja Ubesi, aran jaya. / bismilahirahmanirahim, / raja Ubesi, bapa’nya aji / namanya Besi, mendadi kentar /34b/ tiping batu ponku asal besi, si / di luwar besi, di dalem besi, / Alah besi Muhammat besi, bla / kangku besi, yén sira mangan /35a/ awak sarirangku besi, saheng ko / sing burungan, kapir jenengi / ra, yén ingsun mangan sira, haram jnengisun, aja sira /35b/ mangan kulitku satampaking apalu, / aja sira mangan dagingku, satampaking kaki, aja sira ma / ngan getihku satampaking /36a/ gurinda, galih aran pamor purasa / ni, maléla waja pada lemes / sakéh i wesi kuning, pada / lemes satampaking apalu /36b/ paron, brakat la’hilaha’hilalah, /37a/ Alah uma dowa tulak bilahi, / rubuh-rabah sandi babah, u / ru umbalah pandhu balah, ku / luhu’ sungsang-sungsang jim sétan /37b/ katulah, raja kanon, raja ku / ning, abulah ramatulah, / Majapahit buta bisu gni / pandhu bala, blis dara sétan mati, /38a/ janma marajan mati, sing jahil satru / ning Alah, kutda brakat do / wa tulak bilahi, brakat la’hi / laha’ilalah brakat Muha /38a/ mmatda rasululah. léyot latét / sang awet, Alah sang Alah sira / jayakrasa, jneng aku Jayakarsa, mapan aku gaduh sangurung-urung Jayakarsa, /39a/ nyarek acacek kaka’ amaté, / woda putih kalala musna i / lang, ayu mneng ratu burung, / sidi mandi mantra sangurung-urung burung /39b/ . mhal mati datu mur kawula / déwa ngéndéng dowé / datu mas panji mapan aku / gaduh sangurung-urung. /40a/ Alah uma dowa tulak bilahi, ru / buh-rabah, rendhib kabalah, uru / umbalah, pak dhurbalah, raja ka / kén raja kuning, raja bumi raja /40a/ langit, raja lahat, majapahit / panulak bilahi. (/41a dan /41b/ kosong) né senjerit tawu se / hér. ugik-ugik-ugik. uwak uwak uwak uwak /42b/ ugik ugik ugik ugik , / ugik ugik ugi / k, uwak uwak uwa / k uwak uwak uwak.


Senin, 01 Juli 2013

KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH

KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN SUNNI-SYIAH

Konflik Syiah dan Sunni merupakan konflik yang dilandasi motif kekuasaan, bukan motif agama. Persaingan tersebut diwakili oleh rezim keturunan (bani) Umayah dan keturunan (bani) Hasyim berebut kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Namun, dalam rangka melegitimasi dan meraih simpatik, kedua belah pihak menarik konflik politik ke dalam isu agama.



Dengan berbagai rekayasa, diciptakanlah isu-isu peyimpangan pandangan akidah. Kedua belah pihak menganggap keyakinan dan praktik kesyariatan para pendukung yang bersebrangan sebagai keyakinan keliru. Diciptakan isu-isu penyimpangan, seperti kerasulan Imam Ali, para pihak yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad, dan lain-lain.



Isu penting yang diangkat oleh kelompok Syiah terkait aliran Sunni adalah perihal legalitas kekuasaan para pendahulunya, seperti Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sebagian aliran Syiah menganggap bahwa kekuasaan yang diraih oleh ketiga khalifah tersebut ilegal, karena merebut hak wasiat yang seharusnya diterima oleh Imam Ali.



Kelompok Syiah merupakan kelompok Arab yang menjaid pendukung Imam Ali. Sedangkan, Sunni diindikasikan sebagai kelompok Arab yang mendukung Muawiyah dalam konflik kekuasaan. Ketika Imam Ali berkuasa, pusat kekuasaan dipindahkan ke Bashrah, yang sebelumnya berada di Madinah selama beberapa periode khalifah sebelumnya. Ketika Muawiyah berkuasa, setelah berhasil menggulingkan Hasan bin Ali, ibu kota pemerintahan dipindah ke Damaskus.



Pemindahan ibukota oleh Imam Ali ke Bashrah tidak lepas dari strategis kekuasaan. Basrah merupakan merupakan basis kekuatan Ali, karena sebelumnya dia menjadi gubernur di sana pada masa kekhalifahan Usman. Untuk membangun banteng kekuasaannya, Ali menjadikan Bashrah sebagai tempat menjalankan kekuasaan.



Pemindahan ibukota oleh Muawiyah ke Damaskus juga karena pertimbangan kekuasaan. Sebelumnya, pada masa Usman berkuasa, Muawiyah adalah gubernur Damaskus, yang kekuatannya telah cukup kuat tertanam di sana. Sehingga, ketika kekuasaan puncak (khalifah) ada di tangannya, Damaskus dijadikan sebagai benteng pertahanan kekuasaan.
Isu saling sudutkan antara para pengikut Ali dan Muawiyah tidak lagi pada tataran politik. Terdapat sebagian pengikut Sunni yang menghubungkan legalitas Syiah dengan orangtua Imam Ali, yaitu Abu Thalib. Dalam rangka menyudutkan kaum Syiah, dihembuskanlah isu bahwa Abu Thalib berada dalam kemusyrikannya, tidak menyatakan beriman kepada  kerasulan Muhammad. Diyakini oleh mereka bahwa perlindungan fisik yang diberikan Abu Thalib kepada Muhammad dari gangguan orang-orang Quraisy yang mengingkari kerasulannya lebih dikarenakan sisi kemanusiaan, bukan berhubungan dengan keimanannya.



Diangkatnya isu Abu Thalib sebagai orang yang tidak mengimani kerasulan Muhammad sekadar loncatan untuk membidik keberadaan kelompok Syiah yang berptaron kepada Ali. Target isu ini adalah bahwa bapak kelompok Syiah merupakan orang yang lahir dari orang yang tidak meyakini kebenaran kerasulan Muhammad. Melalui penalaran ini, kesimpulan yang mau diarahkannya adalahpenegasan secara tidak langsung bahwa Syiah berasal dari orang yang leluhurnya bukan orang beriman.



“Pertengkaran teologis” Sunni-Syiah merupakan efek domino dari konflik kekuasaan. Para “penggila kekuasaan” menyeret masyarakat untuk masuk ke dalam lingkup kepentingan politik. Pertengkaran Sunni-Syiah merupakan pertarungan hampir abadi yang terjadi sepanjang  sejarah umat Islam. Sampai saat ini, pertarungan bekas kekuasaan tersebut menjadi pemicu yang paling mudah meledakkan emosi masyarakat. Sentuhan-sentuhan kecil yang dibalut dengan isu penyeimpangan akidah sangat mudah membakar permusuhan.



Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah bukan didasari pada konflik kekuasaan, melainkan kekeliruan sebagian masyarakat dalam menerima informasi ajaran mengenai teologi. Selain itu, rezim masa lalu pun memberikan kontribusi dalam munculnyas konflik Sunni-Syiah.
Pada masa Orde Baru, Syiah dianggap sebagai agen revolusi yang berhasil menggulingkan para penguasa otoriter. Para penganut Syiah dianggap sebagai para pengekspor revolusi Iran dan revolusi lainnya yang didalangi kekuatan Syiah.



Sebagai bandingan, dalam sejarah kerajaan Islam di Jawa pernah terjadi penghukuman mati Syaikh Siti Jenar oleh kekuasaan Demak. Siti Jenar yang berhaluan Syiah, oleh kekuasaan Demak diisukan membawa dan menyebarkan ajaran sesat. Fakta yang sebenarnya adalah bahwa Syaikh Siti Jenar merupakan pemimpin gerakan bawah tanah para pengikut Syiah di Indonesia yang akan mendongkel kekuasaan Demak yang berhaluan Sunni. Alasan sosial yang paling mudah diterima oleh masyarakat untuk melegitimasi tindakan politik kekuasaan Demak ketika itu adalah diangkatnya isu bahwa Syaikh SIti Jenar menganut dan menyebarkan ajaran sesat, yaitu ajaran manunggaling gusti ing insun (Tuhan menyatu dalam diriku).

Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?

Gila! Gelar Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Akan Dicabut?

Larangan duduk ngangkang di Lhoksemawe yang dihimbau oleh Walikota Lhoksemawe Suaidi Yahya belum jadi Perda. Sifatnya baru himbauan. Tapi himbauan ini disertai dengan ditangkapnya 35 orang wanita yang dibonceng mengangkang. Apakah orang boleh ditangkap karena tidak mendengarkan himbauan mengenai cara duduk dari seorang Walikota?

Ini berlebihan.

Menurut Suadi, himbauan agar tidak mengangkang itu merupakan implementasi syariat Islam yang tercantum dalam qanun (peraturan daerah) anti-khalwat (mesum) yang berlaku di Aceh. Menurut dia, duduk dan berbusana sudah diatur dalam Islam. Suadi berpendapat perempuan dalam Islam harus sopan dan feminin. “Kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama,” katanya.

Bagaimana dengan Cut Nyak Dhien? Pahlawan Aceh ini, bukan hanya duduk ngangkang saat berkuda. Dia juga tidak berjilbab. Sebagai janda, tinggal di hutan bersama dengan banyak laki-laki yang bukan muhrimnya saat bergerilya. Kalau beliau hidup di jaman sekarang, tentu sudah kena hukum cambuk, karena malam-malam ada di hutan dengan para pria yang bukan muhrimnya. Cut Nyak Dhien sama sekali tidak mencerminkan “kearifan lokal” masyarakat Aceh versi saat ini.

Apakah kemudian gelar kepahlawanan Cut Nyak Dhien layak dicabut, karena beliau bukan wanita seperti dalam pendapat Suaidi Yahya: kalau duduk mengangkang itu seperti laki-laki, dilarang agama. Dan tidak sesuai dengan pasal-pasal perda yang dikenakan kepada perempuan Aceh?

Jawabannya ada pada masyarakat Aceh sendiri. Apakah masih mau mengakui Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan yang patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Namun, bangsa Indonesia, bangga memiliki pahlawan bangsa sekaliber Cut Nyak Dhien.

Walikota Lhoksemawe, Suaidi Yahya dan teman-teman wanitanya.

Kajian Karyongoro Dalam Paradigma Ajaran Tassawuf

Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini
adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia
kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan
karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed
Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern
men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini merupakan
kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad
pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama
(Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan,
sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan.
Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu
kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh
beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan
sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.

Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas
itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi
untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam
belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan
ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari
pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil
aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan
aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan
dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang
(ummatan wasathan).

Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga,
yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad
saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun
yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya
pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam
kehidupan spiritual.

Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam
beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu
jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini
paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual
tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi
pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam
tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd
ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.

Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap
penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras
terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad
sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan.
Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang
zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang
kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar
kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika
cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara
pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah
beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah
al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul
organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar
untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa
ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd
al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja,
termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.

Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep
spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah).
Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula
dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf
yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang
menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad
ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar
dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204).

Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat
yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas
lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu
muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w.
561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan
kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke
barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina
dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah
Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf 'Umar al-Suhrawardi,
yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini
ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.

Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap
lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar
al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad
ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir
al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan
tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia
Tenggara. Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat
yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15
direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran
spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat
Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.

Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini
berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat
Bektasyiyyah, yang dikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di
Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah
Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di
Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah
berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan
oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang
muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat
mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat
itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di
kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan
dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).

WALI ke 10 Syeikh Siti Jenar



Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenar, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.

Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.

Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.

Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.

Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.

Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).

Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.

Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)

Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.

Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.

Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.

Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun.

Minggu, 30 Juni 2013

Inilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUI

Inilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUI

MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Ketua VII MUI Bogor, Fahrudin Sukarno, mengancam akan melakukan aksi besar-besaran jika ajang ini tetap dilaksana. Mereka beralasan Miss World tidak sesuai dengan karakteristik budaya bangsa dan lebih cenderung menampilkan pornografi dan pornoaksi sehingga tak ada manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Dikutip dari metrotvnews.com (9/4),

Menarik sekali alasan MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Menunjukkan MUI dan ormas Islam Bogor tidak tahu menahu mengenai kegiatan kontestan Miss World lalu serta merta menuduhnya sebagai ajang pornografi dan pornoaksi.

Apa saja syarat agar dapat menjadi pemenang Miss World? Berikut ini adalah hal-hal yang harus dikuasai kontestan Miss World untuk memenangkan kontes tersebut. 1) Penguasaan memilih gaun, 2) Penguasaan memilih pakaian renang. 3)Pengetahuan dan penerapan diet. 4) Menata rambut, make up dan senyum. 5) Intelektual dan pengetahuan umum.

Poin 5, Intelektual dan pengetahuan umum adalah poin terberat. Untuk mempersiapkan diri menjadi pemenang Miss World, selain harus mampu berpidato di depan publik, kontestan harus menguasai pengetahuan mengenai:
Aborsi dan hak-hak reproduksi
Achievement
Usia dan manula
Pelanggaran hukum dan pelanggaran lalu lintas
Pacar, pacaran dan pernikahan
Karir dan pekerjaan
Pandangan mengenai bedah plastik
Pengetahuan mengenai negara dan pariwisata
Kasus-kasus hukum yang terjadi dan kasus pada Mahkamah Agung
Hukuman mati
Perceraian
Obat-obatan, alkohol dan rokok
Masalah-masalah ekonomi dan perekonomian
Pendidikan dan sekolah
Pemilihan umum, dan pengetahuan tentang partai politik
Kebijakan energi dan lingkungan
Hiburan, TV dan Bioskop
Etika, kecurangan dan pencurian
Euthanasia
Iman, agama dan spiritual
Keluarga, orang tua, menjadi orangtua, kehidupan anak-anak
Kehidupan wanita
Persoalan kesetaraan gender
Kebebasan berbicara
Pertemanan dan menjalin hubungan
Ibu negara dan wanita-wanita yang berkarir di dunia politik
Perjudian
Tujuan dan cita-cita
Kepemilikan senjata
Jaminan kesehatan
HIV/AIDS
Homosexual
Imigran gelap
Masalah-masalah kesehatan
Masalah-masalah moral
Penggunaan nuklir dan perang nuklir
Ketelanjangan
Internet
Poligami
Politik dan masalah-masalah politik dalam negeri
Politik internasional
Pandangan politik
Pornography
Presiden dan Presidensial
Press, media dan reporter
Ras dan diskriminasi
Kegagalan
Role Model
Sex dan hidup bersama
Olah raga
Sukses, dan bagaimana menjadi sukses
Undang Undang
Terorisme dan keamanan nasional
Pengalaman traveling
Kehamilan tanpa pernikahan
Wanita dan politik
Tokoh-tokoh politik
Tokoh-tokoh penting dunia
Sejarah nasional
Sejarah internasional
Kejahatan dan tindakan kriminal
Militer dan perang

Dari semua pengetahuan umum yang harus diketahui kontestan Miss World di atas, dimana letak pornografi dan pornoaksinya? Dimana letak tidak ada manfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya wanita? Saya rasa, para demonstran penolak Miss World ini, belum tentu bisa menguasai topik-topik yang harus dikuasai kontestan sebagai syarat memenangkan Miss World. Jadi, hanya wanita cantik dan cerdas saja yang bisa memenangkan kompetisi ini.

Secerdas-cerdasnya wanita, jika pria hanya fokus melihat dada dan bawah pusar wanita saja, tentu saja jadi porno pikirannya.

Solusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad Heryawan

Solusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad Heryawan

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menilai, kekerasan berujung perusakan pada saat penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, dan di Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya minggu lalu, tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang. (Kompas.com 7 Mei 2013).

Sungguh sebuah solusi cemerlang yang ditawarkan oleh Gubernur Jawa Barat. Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang.

Jika saya menggunakan solusi beliau untuk berbagai kasus kekerasan di tanah air, maka saya simpulkan:

Kekerasan terhadap jemaah Syiah tidak perlu terjadi jika ajaran Syiah hilang.

Kekerasan terhadap umat Kristen dan penutupan gereja tidak perlu terjadi jika ajaran Kristen hilang.

Kekerasan terhadap bhiksu Buddha tidak perlu terjadi jika ajaran Buddha hilang.

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tidak perlu terjadi jika Perempuan dan Anak hilang.

Ahmad Heryawan ini dari PKS ya?

Apakah Ahmad Fathanah Germo untuk PKS?


“Assalamualikum Akhi, kurma satu kardus sudah ana terima, dan 10 biji ana ambil untuk vitamin unta kita, sebagai kendaraan jihat, syukron.”

Kalimat di atas adalah sms dari Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq pasca diterimanya uang sebesar 1 miliar rupiah dari PT Indoguna Utama untuk diserahkan kepada LHI. 10 juta digunakan sendiri untuk membayar goyangan Maharani di hotel Le Meridien.

Di KPK, Maharani mengembalikan uang itu, karena dia tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek tersebut.

Setelah Maharani Suciono, muncul nama-nama baru. Ayu Azhari, Vitalia Shesya, Ayu Azhari dan Tri Kurnia Puspita. Semuanya memiliki kesamaan: mengembalikan uang dan berbagai hadiah yang telah diterimanya. Kemungkinan, para wanita ini memiliki kesamaan. Tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek.

Menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, dalam kurun waktu 5 tahun ada lebih dari 20 orang menerima uang dari rekening Fathanah yang tidak jelas peruntukannya.

Menanggapi hal itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq ikut berkomentar. Menurut dia, temuan PPATK merupakan urusan pribadi Fathanah dan tidak perlu dikaitkan dengan partainya. “Jangankan 20 (perempuan), ke 100 perempuan pun no problem. Itu urusan pribadi dan tanggung jawab pribadinya (Fathanah),” kata Mahfudz.

Mari kita baca lagi sms Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS. Urusan pribadi kah jika menggunakan uang partai dan penggunaannya dilaporkan kepada Presiden Partai?

Katakanlah anda punya hubungan dengan wanita, memanjakannya, memberinya hadiah uang, perhiasan mahal dan mobil, apakah anda menggunakan uang perusahaan dan melaporkannya kepada Presiden Direktur? Pakai uang perusahaan sekali saja untuk urusan goyang ranjang, anda bisa dipecat. Minimal, disuruh mengganti. Menggunakan uang perusahaan untuk 20 wanita, artinya wanita-wanita tersebut memang dibayar untuk kepentingan perusahaan.

Demikian juga dengan Partai. Menggunakan uang partai untuk wanita-wanita serta melaporkan penggunaan uangnya kepada Presiden Partai, artinya para wanita ini bukan wanita simpanannya Ahmad Fathanah pribadi. Namun memang wanita-wanita nya PKS.

Mengenai apa yang dikerjakan wanita-wanita ini dalam kurun waktu lima tahun untuk PKS, kita belum tahu. Mungkin saja guru mengaji. Mungkin saja….

Pancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada Khilafah

Pancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada Khilafah


68 tahun yang lalu, para pendiri negara Republik Indonesia, diantaranya Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Alexander Andries Maramis, Ahmad Subardjo, Ki Hadikusumo, Wahid Hasyim, Agus Salim and Abikusno merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam perumusan tersebut, disepakati untuk menolak usulan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika, merupakan pemersatu keberagaman di Indonesia. Karena Indonesia memang terdiri dari beragam suku, bahasa, budaya, bahkan agama. Berbagai agama impor, membaur dengan budaya lokal. Islam di Jawa berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Islam kejawen. Kristen di Jawa, berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Kristen kejawen.
.

Wetu Telu. Sumber: primadonalombok.blogspot.com

.

Kemerdekaan Indonesia, adalah hasil kerja sama bahu membahu semua pihak, semua etnis, semua suku, baik orang Jawa, orang Cina, orang Batak, Menado, Sunda, Bali, Padang, Makassar, secara bersama-sama mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 45 adalah konsep yang paling tepat untuk mewadahi keberagaman di Indonesia.

Namun, pihak muslim radikal hingga saat ini tetap mendesak pemerintah untuk mengganti Pancasila menjadi Syariah, dengan alasan: Perintah Tuhan.

Menerapkan syariah di negara yang plural ini, merupakan pemaksaan keberagaman menjadi keseragaman. Hal ini malah menciderai Islam sendiri sebagai rahmat bagi semua mahluk. Artinya, rahmat bagi masyarakat yang beragam. Bukan rahmat bagi masyarakat yang seragam. Menerapkan syariah di Indonesia menciderai ajaran islam yang menghormati kebebasan beragama dan menciptakan kedamaian global.

Mari kembali melihat pembentukan Negara Republik Indonesia. Lihatlah konsep Dasar Negara, semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Undang-Undang Dasar. Semua adalah bentukan manusia. Bentukan BPUPKI. Seluruh konsep negara-negara yang ada di dunia adalah bentukan manusia. Tidak pernah ada satu negara pun yang dibentuk oleh Tuhan.Tidak ada. Tidak negara republik, kerajaan, kesultanan, kekhalifahan, institusi politik, tidak satupun yang dibuat oleh Tuhan. Semua adalah buatan manusia.

Begitu juga Negara Islam. Tidak ada satu negara islam dimanapun sepanjang sejarah dibentuk oleh Tuhan. Semua negara Islam yang pernah ada di muka bumi ini dibentuk oleh manusia. Tuhan tidak membentuk negara. Hukum syariah yang diterapkan pun, merupakan produk interpretasi akal manusia semata.

Dengan sumber yang sama, hukum syariah yang satu tidak sama dengan hukum syariah yang lain. Hukum syariahnya Arab Saudi tidak sama dengan hukum syariahnya Taliban, tidak sama dengan hukum syariahnya Iran, tidak sama dengan hukum syariahnya Aceh. Artinya: penerapan hukum syariah merupakan produk manusia dan produk interpretasi akal manusia. Bukan produk Tuhan. Tuhan ada satu, tapi penerapan hukum syariah ada banyak versi. Artinya, penerapan hukum syariah adalah bentukan manusia.

Membentuk negara Islam, hanyalah meniru-niru negara Kristen jaman dahulu, tanpa mampu belajar dari sejarah, bahwa agama tidak bisa dijadikan dasar bernegara dan berbangsa.

Mempropaganda pembentukan negara Islam Indonesia adalah tindakan memanipulasi massa, untuk kepentingan ekonomi dan politik. Jauh dari semangat toleransi, dan damai Islam itu sendiri. Mari lihat berbagai contoh negara Islam di dunia. Tidak satupun yang benar-benar menjalankan damai Islam sebagai hukum negaranya. Tidak satupun yang mewadahi keberagaman. Yang ada hanyalah keseragaman. Sampai warna pakaianpun dipaksakan seragam satu negara. Tidak satupun yang mengangkat harkat hidup masyarakat miskinnya. Ujung-ujungnya hanya melindungi elit politik yang korupsi.

Bahkan Aceh pun, menduduki peringkat ke-2 propinsi terkorup se-Indonesia. Bandingkan dengan DKI yang menempati posisi pertama dengan jumlah penduduk 10 juta. Aceh berpenduduk 4 juta orang. Artinya, tingkat korupsi dibandingkan populasi penduduk, Aceh menempati Juara Pertama. Kemudian, lihatlah tingkat pendidikan. Aceh menempati Juara Pertama pencetak pelajar TIDAK LULUS ujian negara. Pembangunan Aceh pasca tsunami pun, secara gotong royong dibantu oleh luar negeri cq negara-negara non syariah. Artinya, penerapan hukum syariah tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Syariah digunakan sebagai kamuflase untuk melindungi keserakahan elit politiknya.

Indonesia tidak memerlukan negara Islam. Tidak memerlukan pembohongan publik oleh politisi-politisi serakah yang membungkus keserakahan dengan agama. Yang kita perlukan sudah kita miliki: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD45, yang mewadahi seluruh elemen masyarakat Indonesia yang beragam.

Mari kita tolak propaganda palsu orang-orang yang menjual Islam untuk tujuan kekayaan pribadi dan kelompok sendiri.

SERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVII

SERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVII

PUPUH XVIII

Juru Patanya :

“Suwawi kisanak, sami karaosaken, cecangkriman gegujenganing para ahli budi, ing tanah pedusunan tembung wicaranipun makaten ing jagad sakurebing langit, salumahing bantala inggih salebeting alam donya punika isi kathahipun manungsa, kacariyos amung kekalih awarni jalu lan wanita, yen makaten pawestri punika inggih boten aprabeda (190) sami tinitah jumeneng manungsa sajati, ananging sareng kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya ingkang sampun kasebut ing inggil wau, ingkang kadunungan dating Pangeran kang amaha suci amung jaler kemawon, punapa sababipun teka aprabeda.”

Sang Murwenggita :

“Leres kisanak, kula sadaya wau saweg tumrap dhateng sujanma priya kemawon, dene sampeyan bilih angraosaken dhateng sujanma wanita punika kacariyos boten aprabeda.”

Juru Patanya :

“Menggah cariyos sampeyan piyambak ing ngajeng wau wewejangan ingkang kaping nem, dipun wastani kayektening kahanan kang maha suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, awit dene pamejanganipun.”

(191) Sang Murwenggita :

“Sampun makaten kemawon kisanak, wicantenan sampeyan punika boten susah kalajengaken awit kula sampun mengretos ubetipun karsa sampeyan badhe amelehaken dhateng kula.”

Kontol punika kahananing Betal Mukadas.
Pringsilan, kahananing purba punika wonten wirayatipun guru manawi amedaraken rahsaning ngelmi pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, ing atasing amejang dhateng pawestri, wenang kiniyas makaten : ing nalika Pangeran kang maha suci karsa anata malige ana ing dalem Betal Mukadas, jumeneng wonten ing baganing Siti Hawa, punika ingkang wonten salebeting baga : (192) puruna, ingkang wonten antaraning puruna retna, inggih punika mani, salebeting mani : madi, salebeting madi : wadi, salebeting wadi : manikem, salebeting manikem : rahsa, selebeting rahsa : punika dating atma, kang anglimputi kahanan jati.
Dene pitedhahipun makaten : baga punika tetimbangan konthol purunan tetimbangan pringsilan, ing salajengipun sami ing atasing wewejangan dhateng kakung, anenipun merdi supados marsudi dhateng waskitaning sangkan paran.

Sanesipun punika wonten malih, wewejangan ingkang kaping pitu ing ngajeng wau panetep santosaning iman, ing atasipun amejang dhateng pawestri wenang kawewahan makaten : Ingsun anekseni, satuhune (193) ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun Mukhammad iku utusan Ingsun, Patimah iku umat Ingsun.

PUPUH XIX

Juru Patanya :

 “Kisanak, menggah asmaranipun pawestri yen pinuju sinangama ing kakung, punika prayoginipun ing tingkah kados punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Yen nitik asmaranging priya, kathah rubeda samanten wau, saleresipun tiyang estri ing asmara boten malih, amung kedah anut ing ombak kasagedaning priya, ananging pawestri kathah ingkang anguciwani, lingsemipun ingkang boten pakoleh kadamel wadi, sujana yen kawastanan pawestri lenjeh ing kakung liripun makaten, kathah wanodya ingkang gadhah reka, saben-saben arsa rinabasa ing priya (194). Rewa-rewa datan arsa, kengingipun ngantos pineksa pinarosa, menggah gelar ingkang makaten wau pikajengipun supados sampun ngantos kawastanan pawestri lenjeh ing priya, tuwin sampun ngantos kawastanan pawestri karem dhateng raosing asmara, temah andadosaken kasereng karsaning priya, inggih panduking rubeda, wekasan ing asmara tan saged widada.”

Wonten malih gelaring wanita yen nuju sinangama ing priya, lajeng ambiyantu ing solah obahing raga dadosaken keras maju munduring pasta, pratingkah makaten wau sedyanipun supados mimbuhi sakecaning prasa, wekasan sarem kataman sruning panggosok anuwuhaken dhateng bantering hawa inggih punika gegolonganing rubeda, (195) saged ngenggalaken pamudaring prasa.

Juru Patanya :

“Patrap pratingkah kasebut ing inggil wau kirang proyogi, sebab anyelakaken dhateng rubeda rumraping priya, wangsul tembung saleresipun wanita ing asmara kedah anut ing ombak kesagedaning pria punika empan lan mapanipun kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, bebakunipun ingkang prelu kedah waskita, amawasa nuju karsaning priya, ing solah kedah anut ing pangrehing kakung, wondene sarananipun ingkang rumiyin buka dhateng sereng angkaraning karsa priya kasensema ing asmara, menggah patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe amimbuhi dhateng kiyat pastanira, wekasan tan membat katiban ing gada. Ingkang kaping kalih niyat angencengna (196) daya wedaling seni, patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe ngrapetaken wiwaraning pasti baga, dene melar mingkusing daya wiwaraning baga wau cekap kebiyantanana pamethet uculing napasira. Wondene angsahing yuda brata kedah ngangge gelar mawi mangkara dibya, mengsah kapapana miring mangiwa, kaprenahna lambunging sang krodha kang tengen, prelu pakoleh kang nyata tahan kuwawa sarosa, tambah nyelaken denira sang sinungku mudasmara, makaten kabar sang reh pajaring laksita.”

PUPUH XX

Juru Patanya :

“Kula nate nyumerepi, pinten-pinten sujanma pawestri, anggenipun murih supados dipuntresnani dhateng semahipun wonten ingkang sami mawi (197) sarana merdhukun utawi maguru aji pangasihan, menggah patrap ingkang makaten wau bebatosanipun kenging dipunwastani leres punapa lepat?.”

Sang Murwenggita :

“Sasumerep kula patrap ingkang makaten punika boten anemunaken bebudenipun tiyang estri kemawon, sanadyan para priya ingkang sami anjangkah darajat kadosta kawiryan. Inggih punika anjangkah dados priyantun utawi jangkah kasugihan kathah ingkang ngangge sarana merdukun, utawi anyenyembah bulus, reca, kajeng angker, sela sesaminipun manawi saking panimbang kula, sujanma ingkang gadhah patrap makaten punika lepat sanget, awit saking bodho cublukipun, mangka pepuntonipun saking kinten-kintening menggah widada katarimaning sedya punika amung dumunung (198) wonten ing pandamelan labet tuwin labuh, awit labet utawi labuh wau ing sajatosipun sampun dados panedha utawi panembah. Awit wujudipun ingkang kawastanan labet wau inggih guna, tegesipun kapinteran, ingkang dipun wastani guna punika inggih sarana, tegesipun piranti, ingkang binasakaken sarana punika inggih : mantra, tegesipun muna, ingkang dipunwastani mantra punika inggih donga tegesipun muni, ingkang binasakaken donga punika inggih puja,  tegesipun panggunggung, inggih punika sadaya wau dumunung pangrengganing basa, utawi patrap ingkang dados pepunton atining tata karami.”

PUPUH XXI

Juru Patanya :

“Cariyos sampeyan, (199) sadaya dalil dhawuh pangandikaning Pangeran kang maha suci utawi kadis pangandikaning Kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kasebut ing ngajeng wau, suraosipun lajeng karaos ing dalem raos, wekasan rumaos sakalangkung andadosaken agening manah kula, yayah amarwata suta, karana sampun terang lan tetela manawi dating Pangeran kang maha mulya punika sampun dumunung wonten ing kita priyanga, utawi kita punika terang sanyata yen wujuding Allah tangala blaka.”

Sang Murwenggita :

“E…., e…., kisanak, kula ngengetaken, sampun enggal-enggal gadhah pangrengkuh tuwin sumengguh nganggep jumeneng dating Pangeran kang maha suci, ing ngriki wonten tetembungan dolananing lare alit makaten : cohung, ora gombak ora (200) kuncung mung anggepe kaya tumenggung, ora jogan ora longan mung anggepe kaya Pangeran. Menggah patrap ingkang makaten wau saestu ageng ing sesikunipun, tur awrat ing kukumipun. Wonten malih cariyos ing Serat Wedatama, inggih tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, dumunung ing pungkasan kalih dasa sekar gambuh makaten :

Nanging ajwa kesusu, aja pisan wani ngaku-aku, bok kesiku kang mangkono iku kyai, kena uga wenang muluk, yen wus katos pada melok.

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ngandeling takdir, akantya awas emut, den memet yen arsa momat.

Pramila wonten lambang ingkang makaten wau (201) jer manungsa punika wewatekanipun beda-beda, wewejanganipun wonten tigang warni, kados ing ngandhap punika :

Manungsa punika wiwit lare sinapih ing bapa biyungipun, lajeng ngupados sandhang utawi teda piyambak salaminipun, ngantos sepuh gruyuh-gruyuh dumugi pejah, boten pisan wonten tukuling pambudi, yen anedya mangretos rumaos, utawi karaos duk wonten ing gesangipun, lan saolah bawaning balanipun, punika kaliyan katitahaken dening Pangeran kang maha suci, inggih punika ingkang binasakaken manungsa uripe kewan blaka kados maesa tuwin lembu sasaminipun.
Manungsa wiwit lare, sareng dumugining akir baleg, mangsa dewasa tukuling panggraitanipun, angaji maos kitab-kitab pekih utawi musakab, (202) dereng ngantos sumerep ing suraosipun, dereng absah murad maksudipun, kaselak kasesa ajrih dhateng Allahuthangala, kakinten badhe ngukum dhateng sadayaning, manungsa, kalebetaken ing naraka brama kang katikel sayuta lan panasing geni alam donya, saking sanget ajrihing wardaya wekasan dalu lan rina boten pedot tansah rukuk tuwin sujud, ngantos bundas batukipun, kacariyos saking pangraosipun seba nyembah Allahuthangala, ngantos supe ngupados boga, yen kraos luwe lajeng nglampra, nglojong ngulandara boga, anemis saba desa, ngasoraken sarira tembunge melas arsa, bok manawi inggih punika ingkiang binasakaken manungsa tuwuk anggenipun maca Alhamdu, (203) dados mendem kulhu, dhateng kraos mumet lajeng gumlimpang gumlundhung wonten ing sarak.
Manungsa wiwit lare dumugining akil baleg, manungsa dewasa agegulang ngelmu rasa, surasa sakyeh pustaka dhateng pangulangipun dumugi ngelmi kang sanyata kasampurnaning manungsa kadi kang wus pinatela ing ngajeng wau sadaya, sarana suruping panampa jatining Allahuthangala, wujude ing badanira karana wus pira-pira, kasebut aneng pustaka, dating Pangeran kang maha kawasa, dumunung wonten manungsa, kang mangka seksi pratandha den cocoken ing badanira, adarbe angkara murka, ngangsa-angsa dremba, karem bukti lawan nendra, yen nuju angganira kataman ing sangsara, sru manangis rawat waspa, sesambate (204) melas arsa, iku kang kinarya tandha badane Allahuthangala, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa mendem kitab tasawuf kabatan ing donga sepi, utawi donga sepi (suwung).
Juru Patanya :

“Amit kisanak, kula nyuwun pangapunten nyelani sakedhap awit kedah kekel gumujeng, boten kenging kula ampet, inggih sareng ngraosaken dhateng nalar lelampahanipun tiyang tetiga wau dene teka warni-warni.”

Ingkang angka 1 : boten darbe rumaos dumadi kaliyan dinadekaken ing Pangeran, saiba anggenipun sakeca salebeting manahipun, kenging binasakaken manungsa mung sakarsa-karsa, momong ing sarira, saupami yen panuju nendha, inggih tulus ambukti tur kaliyan eca, yen sampun tuwuk lajeng nendra tur kaliyan sakeca, (205) karana boten wonten malih ingkang winiraos ing salebeting pangraosipun. Ingkang angka 2 : saking cupeting pambudi awit kataliban dening bodho, dumawah ing sesiku kataman ing bingunging manah, kasluru ing pangraita, temah ajrih yen pinentung dening malaekat den larak dhateng naraka, wekasan anempuh ing tekad anguntala pil Alhamdu, dhateng kasereten anggenipun ngulu lajeng dipununjuki ing lapil kulhu, saestunipun inggih wuru, wewah badanipun ginabagan ing sarak, gulung gelangsaran, wekasan anyepupung wonten ing sarengat.

(206) Ingkang angka 3 : punika sanget gumujengaken, dene wonten manungsa ingkang kadunungan pangraita kados makaten, mangka saking kaengetan kula ugi kasebut ing surat Eklas inggih lapal kulhu ingkang ngendemi wau, pepungkasanipun makaten : lahu kufuan akad, maknanipun : Allah iku ora ana kang nyakutani ing sawiji-wiji, tegesipun ora ana kang memadani, dados saupami Allah punika awujud ageng, ing jagad punika ing saisen-isenipun dalah segantenipun kalebet awang-awangipun, dereng mantra yen sageda tumimbang, dados saupami Allah punika karsa dhahar sapinten kathah ing sekulipun, yen saupami Allah punika karsa amuwun saking bantering swaranipun bok manawi damel rangkading jagad punika sadaya.”

(207) Sang Murwenggita :

“Pramila lajeng wonten temban paribasan amung kalih bab makaten :

Langkung tuna janma tan pangawak ngelmi, pikajengipun langkung tuna sujanma punika yen boten sumerep dhateng suraosing ngelmi.
Genggenging dosa punika boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang kirang sampurna.”
Juru Patanya :

“Yen makaten menggah kosok wangsulipun, genggengin kamulyan punika punapa inggih boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang sampurna?.

Sang Murwenggita :

“Kisanak, punika leres nanging inggih boten manawi.”

PUPUH XXII

Juru Patanya :

“Kisanak, wangsul anggen kula angraosaken bab jabang bayi wau, wujuding wewatekan tuwin (208) dawahing lelampahan sami awarni kekalih. Kadosta wujud jaler lan estri, kalakuwan awon utawi sae, sarta ing tembe lelampahanipun dhawah begja utawi sangsara, punika kados pundi mula bukanipun?.”

Sang Murwenggita :

“E…, e…. teka nyeplesi tembung paribasan narithik kadi pakuning trebang, ananging inggih leres, wujuding bebayi punika warni kekalih, jaler, estri, awon utawi sae, lelampahanipun begja utawi cilaka, kacariyos inggih wonten ngriku. Winahyu dumawahipun pramila wonten tembung Pangeran-erang : luput pisan kena pisan, dumunung wonten panjing serapipun, ananging sinten ingkang uninga, karana taksih ginaib, ewa dene manungsa ingkang (209) sampun binuka waskitaning driya bok manawi boten kekilapan dhateng prakawis punika, dene sumerepipun ningali saking punapa, utawi nitik saking pundi?, punika kula dereng terang, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos bebasan amung sawonten-wontenipun tur inggih neniru, anular saking cariyosipun sujanma ingkang bodho, kirang pambudi, ananging inggih amung dados sesimpenan kemawon, batal yen kaucepaken saderengipun lahir, awit ingkang makaten wau binasakaken genggenging dosa, karana kami purun ketrecet ngrumiyini karsa kuwasaning Pangeran kang maha suci sejati, kacariyos menggah ing tumandukipun bebasan liru lambang utawi wolak-walikan, kilap leres utawi lepat (210) kapratelakaken kados ing ngandhap punika.”

Ing salebetipun badhe pulang asmara priya kaliyan wanodya, ing mangka priya ingkang adarbe karsa sanget harda dhateng wanodya, ing sadangunipun apulang asmara hardaning karsa wau, layap liyep luyutipun ngantos dumugi ing cipta maya, lajeng amudhar prasa kapinujon pinarengan wahyaning mangsa kala, sarehning kala wau harda karsaning priya dhateng wanodya dados pikantukipun sami ugi kaliyan pawestri, kinten-kinten bok manawi kadadosanipun bebayi ing tembe inggih pawestri.

Dene kosok wangsulanipun yen wanodya darbe karsa harda dhateng priya, (211) saolah kridaning leksana nunggil kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal priya.

ING sapunika mangka wonten ingkang sarengan priya lan wanodya, darbe karsa sami hardanipun saolah kridaning leksana sami widada, datan sae kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal dampit awujud kekalih jalu kalawan wanita.

Ing sapunika wonten malih, upamu sujanma priya mangka ing saderengipun saged kayuyun sageda pinaringan gadhah atmaja wanita pamuntuning panggalih inggih ngantos dumugi ing cipta maya lajeng pulang asmara, saolah (212) kridaning laksana nunggil kadi ing ngajeng wau sadaya, inggih punika ingkang binasakaken kayu dolong ketlusupan jati, liripun makaten wau cipta kaseselan ing cipta, kinten-kinten bok manawi kadadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih, kembar sami pawestri.

Dene kosok wangsulipun yen wanodya, mangka ing sadereng-derengipun sanget kayuyun darbe atmaja priya, saolah kridaning leksana, nunggil kadi ing inggil wau sadaya kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih kembar sami priya.

Dene yen makaten saupami lan wanodya sesarengan sami adarbe karsa saolah keidanira nunggil (213) kadi ing ngajeng wau sadaya, badhe gadhah bebayi pinten punika saestunipun para winasis rak inggih sampun galih piyambak sarta inggih sampun gadhah panimbang, menggah kodrating Pangeran kang maha suci dhateng ing atasing manungsa, sayekti kadamel beda kaliyan babi celeng rawa yen garbini, lahirira genjike langkung sadaya.

Wondene alas hardaning karsa, dumugining cipta maya kados ingkang kasebut ing inggil wau, bok manawi boten amung mahanani dhateng wewatekaning bebayi, pramila para sujana lan sarjana ingkang waskita ing kadadosaning krida utawi pangripta wau sok (214) nuwuhaken, lajeng kangge tetenger nama dhateng para atmajanipun.

Juru Patanya :

“Kisanak, mugi sampun dadosaken panggalih, gegiliran gentos kula cariyos, sampeyan mirengaken, ing serat Paramayoga mratelakaken ing lelampahanipun Kangjeng Nabi Adam kaliyan garwanipun nama Babu Kawa, dhateng kagungan putra rambah kaping gangsal sami medal dampit, ing riku atmaja wau badhe kajodhokaken sulayaning rembak sami bebantahan arebat kuwasa, wekasan sekaliyan sami amudar rahsa kama kalebetaken ing cupu manik astagina, dhateng dumugining mangsa kamaning priya saged dados manungsa, kaparingan nama Sayidina Sis, dene kamaning wanita boten saged dados manungsa, amung dados erah (215) kemawon, sarehning sampun tetela asaling atmaja wau saking priya, Babu Kawa lajeng ngawon miturut ing pranata karsaning priya, kisanak menggah suraos ingkang makaten wau panampi sampeyan leres punapa lepat?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah saking panampi kula inggih leres.”

Juru Patanya :

“Sabab dening punapa kala wau nyebutraken, yen pawestri darbe karsa harda dhateng priya teka mahanani peputra medal kakung, punapa inggih kisanak pawestri punika kadunungan wiji, saupami makatena saestunipun badhe sulaya kaliyan suraosipun serat Paramoyoga wau.”

Sang Murwenggita :

“Yen ta saupami ngrembaga bab prakawis wiji, leres sampun dumunung wonten ing priya, pramila sujanma (216) wanodya punika bebasanipun kasebut papan utawi wadah, wangsul ingkang karembag wau bab warnining bebayi jalu lan wanita, bebuden utawi wau wiji sampun nomor ing cangkok, pramila jalu lan wanita pundi ingkang santosa sami darbe kuwasa, wondening saksi ingkang kangge pratandha, bebasan ila-ila ujaring sujanma kina, nadya priya lan wanodya yen nuwuhaken atmaja taksih wonten salebeting guwa garba, mangka anabet utawi darbe sangit utawi aniaya dhateng sesamining tumitah punika asring mahanani dados jedaning putra, primila dumugi ing jaman sapunika katelah taksih sami ngangge tembung pepenget, yen ketaman (217) solah sesirikanira anyebut jabang bayi, dene pandhapur kula cariyos saha suraos ingkang makaten wau, amung medal saking kinten-kinten, boten langkung panimban dumunung wonten ing sampeyan piyambak.”

Juru Patanya :

“Kisanak, kula sawek sapunika sumerep lan ngraosaken, pikantukipun tiyang mamardi marsudi ing kawruh, yen sampun gadug, kandhas, tandhes, anggenipun gatukaken gegancaranipun lajeng boten darbe manah gumunan tuwin eraman, inggih dhateng kula ngraosaken cariyos sampeyan wau, bok manawi ing jagad punika boten dangu lajeng kebak kaisen manungsa, awit saben-saben sajumbana saged dados jabang bayi medal kalih, tiga, sekawan utawi (218) wolu.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, mangke ta rumiyin, punika pundi teka galuyuran, lajeng wonten pangraos ingkang makaten punapa boten mawi ngraosaken ing suraos utawi anglalar dhateng ukaraning tembung, pramila kula mestani makaten, awit cariyos kula ing ngajeng wau ingkang sapisan enget kula boten wonten, suraos ingkang nepak tuwin gampilaken tumraping lelampahan wau, ingkang kaping kalih dumugining kedadosan tembungipun yen pinareng dening Pangeran kang maha suci, pundi ta kisanak, ingkang suraos gampilaken sarta pundi tembung ingkang namtokaken, saking panyuwunan kula kisanak, ing salebetipun gegineman punika mugi kersaa dekeki pangalih sakedik supados (219) sampun gluyur, ing panampi boten kuwur, suwawi tan karaosaken kaliyan sayektosipun katimbang menggah ing nalar, kadosta saupami dedamelan wujud barang sasaminipun ingkang warni sae saestunipun rak inggih kedah jangkep ing suraosipun, makaten malih saupami pangolahing tetedan sapanunggalanipun, menggah sagedipun eca katedha saestunipun rah inggih saking jangkeping bumbu-bumbunipun, ewa dene boten kenging pisah kedah kanti rigening pangretos, liripun makaten kadosta saupami bumbunipun kirang ing raos inggih boten eca, saupami kekathahen bumbu ing raos inggih boten eca, menggah pangemaling taker ingkang makaten wau (220) punapa inggih kenging dipun wastani gampil, bok manawi pangolah upakartining kadadosan wijining manungsa wau kados inggih boten prabeda, ananging menggah anggen kula cariyos upami wujud lan barang sarta pangolahing tetedan wau inggih amung kadamel ande-ande utawi sanepa kemawon, minangka tetimbangan dhateng nal;ar-nalaripun, saestunipun sarupaning aran gaib wis ora kena dikaya apa, tembung ingkang makaten wau pikajengipun sampun boten kenging dipunupami, awit menggah ing kadonyan punika boten wonten sesaminipun.”

Juru Patanya :

“Ing salebetipun geginem kula kapurih (221) dekeki manah sakedhik inggih kula estokaken, kapara sapunika kula dekeki manah kathah tur ageng-ageng, ananging kados pundi meksa dereng saged mangretos, suwawi ta kagalih cariyos sampeyan punika, rak inggih aneh utawi mokal sanget liripun makaten wujuding bekakas ora liya iya iku, dene banyune ora liya iya banyu iku, apa sababe nagnggo ana kang dadi uatawa ana kang ora.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula badhe pitaken rumiyin, kula wau sampeyan punapa ngunjuk kulhu, sarta angrencani nyunggi donga sepi, dene kok kalajeng karaos wuru, awit dhateng kula waspaosaken warninipun katingal gujeng, suwawi tan (222) kisanak kagalih trap-trapanipun,  kadosta saupami gelaning lega mangka kadamel kemba, utawi wutah kejening karsa saupami kalimpekaken ing antara dereng utawi sasampunipun pun pasthi amudhar prasaning rahsa sanadyan kasarengana saupami saking punahipun manginggil punapa saged dados rak inggih boten?.”

Utawi malih panduk penden-pendening budi, ati, sir, tuwin karep, punika lajeng mahanani layap liyeping prasa ambuka sadaya langening pramana, inggih punika wenganing krida ingkang nami supe, manggen wonten pun temen idhep, punapa saged dados rak inggih boten. Aprabeda sanget kaliyan patrap makaten : oanduk pendening tingal, (223) pangucap, panggonda tuwin pangrunu mahanani layap liyepingrahsa, buka daya langening atma, inggih punika wenganing krida, ingkang emut manggen wonten pun tetep madhep peparengan kaliyan wahyaning mangsa kala, karsanira Pngeran kang maha mulya karsa nitisaken wijining manungsa, yen makaten bok manawi inggih saged dados menggahing patrap pratingkah ingkang makaten punika sanadyan wujuding toya sajun, rak inggih kengging binasakaken beda-beda.

Juru Patanya :

“Kisnak, inggih leres, kala wau kula ingkang dereng mangretos, sareng sapunika sampun sumerep ingkang dados nala-nalaripun, tetela boten kenging kadamel gampil.”

Sang Murwenggita :

“Mangke ta kisanak, anggen sampeyan lajeng cumeples, saged amestani boten (224) kenging kadamel gampil punika saking pundi, mung tetumpukani, cecaruban, wolak-waliking tembung ing ngajeng wau, suraosipun sampeyan punapa sampun mangretos?.”

Juru Patanya :

“Kauningan kisanak, anggen kula gegulang dhateng tembung maos serat-serat sampun sawetawis lawi, utawi sampun kathah, pramila boten kewran amawas suraosing tembung ingkang makaten wau.”

Ingkang rumiyin wutah kajenging karsa kalimpekaken wenganing dwara, punika pikajengipun sampun ngantos kalebeting wadhah, menggah sasaminipun pratingkah ingkang makaten wau prasasat toya kabucal ing siti kemawon, layak saged amestani boten saged dados, awit saestunipun boten dangu, (225) toya lajeng asat ingkang kaping kalih tembungipun kala wau makaten, panduk pendeng-pendenging budi, ati, sir, tuwin karep mahanani layap-liyeping prasa, ambuka daya langening pramana punika pikajengipun kahananing wiji suwung amung medalaken toya blaka, dados sesaminipun, upami nanem turus kajeng dhadhap ingkang sampun aking, yen nalaripun inggih leres boten saged semi.

Dene ingkang kaping tiga tembungipun makaten : panduk pendening tingal, pangucap, pangganda, tuwin pangrunu mahanani layap-liyeping rahsa buka daya langening atma, tambah pinareng wahyaning mangsa kala, saking pikajengipun, punika kenging binasakaken jangkep, sesaminipun prasasat ana nem turus kajeng dhadhap ingkang taksih seger, tambah (226) nyarengi mangsa nuju gesanging tetrubusan, yen nalaripun inggih leres lajeng saged sami.

Sang Murwenggita :

“Sukur kisanak, yen sampeyan sampun mangretos.”

PUPUH XXIII

Juru Patanya :

“Mangke ta Kisanak, dhateng dangu-dangu anggen kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya wau, punika rerembagan bab prakawis ngelmi punapa dedongengan, punapa tembung gegujengan, yen ta kula westani tembung dedongengan utawi gegujengan, dakik-dakiking cariyos ungel wileting tembung menggah patrapipun boten makaten, yen ta saupami kula kawastanan angrembag gaibing ngelmi inggih sanes, awit titikan satunggal-satunggaling golongan lampahipun (227) boten wonten, ing mangka kacariyos ngelmi punika wonten ingkang lampah mutih, saben nedha tanpa lawuh, namung sekul thokthok, laminipun pitung dinten, trekadangan wonten ingkang ngantos pitung dinten, tuwin malih lajeng wonten ingkang lampah pati geni, tilem ing papan ingkang sepi-sepi kadosta kramatan sesaminipun, bilih sampun rampung anggen ipun anglampahi ing riku lajeng nandukaken panyobi, wonten ingkang badanipun kasuduk ing duwung utawi kapentung, warni-warni punapa ngelmi ingkang kalampahan wau, wangsul cariyos sampeyan ingkang sampun gumelar (228) ing inggil wau gegolonganipun bab prakawis punapa?, mugi kersa paring pitedah supados gamp[il anggen kula ngraosaken.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, duka sampeyan, kula piyambak inggih dareng sumerep. Amung mugi-mugi sampun andadosaken panggalih, kula badhe anyariyosaken wonten tembung paribasan dedamelanipun tiyang pinuju pejah, sawek ketaman pegeling manah, makaten prasasat kadi pepethaning patok nanging bisa manthuk-manthuk, sairip kadi rupaning jodhog, nanging bisa delog-delog. Sayektosipun kisanak kula inggih saweg sepisan punika angraosaken patitisipun pangandika sampeyan, leres sejatosipun ingkang nama ngelmi (229) punika menggah kalampahanipun kedah mawi lampah, wondene anggen kula saged mastani makaten wau ing Serat Wedatama, tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, sekar pucung amung mendhet sekawan pada, dumunung pada wiwitan, ungelipun makaten :

Ngelmu iku, kelakone kanti laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, santa budya pangekes sang dur angkara.

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar dadi rubrda.

Beda lamun, kang wus sengsem ing ngasemu, semune ngaksana, sesamane bangsa sisip, sarwa sareh saking (230) mardi marta tama.

Taman limut, durga mengtyas kang liniput, kerem ing karamat, karana karobaning sih, sihing suksma ngrebda sakardi gengira.

“Kados pundi kisanak, rak inggih leres menggah ngelmi punika kedah mawi akanthi lampah, dados cocok sanget kaliyan pangandika sampeyan wau?.”

Juru Patanya :

“Inggih leres kisanak, cocok pada ingkang wiwitan, ananging namung sapada lingsa, ngelmu iku kelakone kanthi laku, dhateng sapiturutipun boten wonten ingkang magepokan, liripun makaten pundi ingkang nyebutaken mawi nglowon tingan dinten utawi mutih kawan dasa dinten bok boten wonten?.”

Sang Murwenggita :

“Inggih leres, saupami sampeyan mangretos dhateng suraos ingkang makaten wau, mindak oncat saking (231) anggenipun anetepi ing tembung dhengkul ngangge iket, ing mangke kula nyariyosaken bok manawi saking pangandikanipun para winasis duk ing kina-kina, menggah ing lampah kacariyos makaten.”

Yen wonten manungsa ingkang jibar-jibur, tansah bruwah, inggih punika tiyang ingkang tanpa lampah, wonten ing alam donya salami-laminipun, tansah baksana, andrawina, tegesipun tansah asuka-suka, adhedhahar miwah ngunum, ing tembe, manawi pejah kacarios jasadipun bosok dados siti, dene yitmanipun dados memedi, kemamang utawi edhon sedaminipun.

Makaten malih ingkang karem anyenyegah nendha, ing tembe manawi pejah kacariyos jasadipun garing, lajeng dados atos dados sela, yitmanipun ngalambrang kadi (232) kinjeng tanpa soca, tegesipun kadi mibering kinjeng ingkang tanpa netra.

Utawi malih, manawi wonten sujanma, ingkang karem tapa cegah nendra, inggih punika tiyang ingkang karem anglampahi melek, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados setan utawi jin perayangan.

Utawi malih, yen wonten sujanma, karem tapa cegah boten sahwat, tegesipun boten sanggama lan wanita, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados dhayang ingkang semara siti.

Juru Patanya :

“Pramila sandyan dipun wastanana,  dheyos mawi bebedan utawi reca mawi clana, inggih nariman awit manawi kapanduk dhateng nalar ingkang makaten wau, sinten manungsa ingkang saged amilih karana sampun anyeplesi dhateng tembunganing paribasan makaten yen mlayu mangidul dithuthuk, yen mangalor (233) digepluk, yen mangulon disampluk, yen mangetan dikepruk, wekasan thenguk-thenguk, ora lali iya digepuk. Boten langkung ing mangke bebasan amung pasrah jiwa raga, mugi-mugi lumuntura asih welasing sumitra, aparinga berkah sajarwa leksanane kang sanyata, tumitah ing alam donya.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, mugi-mugi sampun andadosaken pangalih, menggah pamurih sampeyan dhateng prakawis punika tumrapipun ing kula piyambak sejatosipun dereng sumerep pisan-pisan, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos saking nenular, aneniru ing serat wirit yasanipun Raden Ngabehi Ronggowarsita pujangga ing negari Surakarta Hadiningrat, inggih panunggilanipun ingkang sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau, bab lampah-lampah ing kapratelakaken pepetikanipun kados ing ngandhap punika :

Sampun sok amestani, allah, dene yen kapengkok kaplesetna anyebut utawi amestani, Pangeran.
Sampun sok amestani namining, manik, utek, utawi polo, sarta sampun sok nedha ulamipun.
Sampun sok amestani, angen-angen, sarta sampun sok nedha ulam ati tuwin jantung.
Sampun sok amestani, mani, sarta sampun sok nedha ulam pringsilan.
Menawi saged acecegah ingkang makaten wau, kacariyos lawanipun asring katarimah lajeng dados ing ngelminipun.”

Juru Patanya :

“Saupami wonten kesupenipun kisanak, amestani naminipun utawi nedha ulam wau kados pundi, punapa kenging?.”

Sang Murwenggita :

“Kacariyos bilih kasupen (235) inggih kenging boten dados punpa, sabab sajatosipun ingkang prelu dados awisan amung hawa napsu bilih saged ambirat ing hawa napsu, kacariyos ing adat asring kadunungan awas lan emut, manawi tansah anggenipun awas kaliyan emut, bok manawi estu amanggih kamulyan ing sangkan paran dene patrap lan pikantukipun kados ingkang kasebut wirayating  para ahli ngelmi, kapratelakaken ing ngandhap punika :

Taberi, suci, temen mangka dados pambirating durgandana ing tembe, tegesipun anyirnakaken ganda awon.
Angirangi dhahar miwah ngunjuk, mangka dados pangluluhaning raga ing tembe.
Angawis-awisi sare tuwin sahwat, mangka dados pangluyuting jiwa ing tembe.
Anyenyuda (napsu wuwus, mangka dados panglenyepaning rahsa ing tembe.”
Juru Patanya :

“Kisanak, kula eram sanget, inggih amangsuli bab asmaragama wau sakathah ing manungsa tuwi sato kewan, pitik, iwen ing sadayanipun punika, dene teka lajeng saged anindakaken tur kalayan boten winulang, ananging menggahing tindak saestunipun inggih namung angawur, mokal sanget yen sageda pratitis pramila kula sanget kepengin mirengaken bilih wonten piwulang, anggenipun ingkang mesti solah pratingkahing salira, wektu apulang salulut wau kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, saupami kala wau sampeyan karsa prasaja, yen sejatosipun jumeneng dados ratuning ngacubluk, (237) utawi jumeneng dados lelurahing tiyang bodho, rak inggih boten penjan-panjan anggen kula cariyos, mugi kauningana ing sampeyan menggah suraosing serat Sruti, makaten sinten manungsa mangka boten niyat saged sumerep sarta boten mangretos, utawi boten niyat purun anglampahi dhateng suraosing kasampurnaning ngelmi sejati, pinten-pinten ingkang sampun ginelar dening para Nabi miwah para wali, punapa malih para sujana, kacariyos sampun boten kenging pisan dipunajak rerembagan, bab kahananing nalar-nalar utawi pandamel inghkang elok lan kang edi-edi, awit tetela sampun amratandhani terang yen manungsa kebak kaisen ing duraka, wondene anggenipun memaleri ingkang makaten wau bok manawi jalaran saking kuwatos bilih anglepeti (238) ing durakanipun.

Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, teka lajeng wonten tembung ingkang makaten, mugi kersaa genahaken rumiyin, kados pundi sebabipun.”

Sang Murwenggita :

“Menggah ing atasanipun tiyang rerembagan punika, kedah mawi wiwitan, tengahan tuwin pungkasan, wasana dhateng dangu gegineman meh dumugi nalar wekasan, lajeng wangsul tanglet nalaring wiwitan, rak inggih sampun tetela, yen boten mangretos dhateng suraosipun ingkang karembag wau, wondene menggah bodho budheng lan cubluking manah punika sampun kasebut ing kitab Candra, kacariyos jalaran saking jampen panca driyanipun.”

Juru Patanya :

“Kisanak, sarehning kula dereng nate maos kitab Candra, nyuwun pitanglet, bilih wonten manungsa ingkang bodho tuwin cubluking manah, kacariyos (239) jalaran saking jampen oanca driyanipun punika gegolongan sae punapa awon?.”

PUPUH XXV

Sang Murwenggita :

“Manawi saking pamanggih kula, tiyang ingkang kasebut cubluk utawi bodho punika inggih sae, jalaran manawi dipun pisuhi dgateng sesamining tiyang boten kraos, kilap manawi mireng swaraning lembu bok manawi saged mangretos, suwawi kisanak, kamirengna tembung ing sasaged-saged, kula dapur cariyos, supados lega ing panggalih sampeyan, ananging panyuwun kula, anggen sampeyan lengah sampun celak-celak manawi nyiprat ing durakanipun, dene menggah patrap pratingkahing sanggama, punika prayoginipun bok manawi kados ing ngandhap punika :

Ingkang rumiyin nyariyosaken tenbung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, (240) badhe dumugekaken karsa apulang salulut sami lumebet ing jinem rum, tegesipun dununging pasareyan, ing riku  sanadyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa samanten menggah pepantenganing panggalih, sampun ngantos kasupen dhateng suraos lan dununging tembung :

Nitas, tegesipun awon.
Madya, tegesipun sedenan, utawi tenahan.
Utama, tegesipun sae, menggah pikajenipun suraos ingkang makaten wau, solah lan pratingkah salebetipun sanggama kedah angengeti dhatengi tanduk ingkang awon, ingkang sedheng lan ingkang sae, dene menggah empan lan mapan tuwin dunungipun makaten.
(214) Ingkang binasakaken tumanduking pandamel nista punika, kados ta apulang asmara,  pratingkahing salira anulat kadi patraping sangamaning sato kewan, maesa, lembu, buron wana sasaminipun inggih punika ingkang binasakaken manungsa purun ngangge dhateng patrap awon, ing mangke kacariyos wonten tembung pangandikaning para sujana, suraosipun makaten : sing sapa manungsa gelem nglakoni tumindak marang panggawe nintha sayekti bakal anemu papa, wondene pangandikanipun para sujana ingkang makaten wau, bok manawi karsanipun asung pralambang minangka pasemon, saking sanget pangowelipun dhateng para manungsa ingkang sami kadunungan muda miwah paguning budi, awit para sujanma anggenipun purun nglampahi dhateng pandamel nista wau jalaran saking dereng nate (242) pisan-pisan srawungan dhateng atining tata krami, utawi dereng nate pisan-pisan kapranggul raosaken dhateng suraosing ngelmi sejati, kasampurnaning manungsa prmila binasakaken dereng uninga ing tata krami, utawi malih binasakaken dereng srawungan ing ngelmi, punika menggah liripun makaten : dik wau pratelaning wewejangan ingkang sepisan, ingkang sampun kasebut ing ngajeng winastanan wisikan ananing dat, sampun anyebataken menggah dating Pangeran kang maha suci punika, manawi karsa micara muhung ngagem lisan kita, yen karsa anganda muhung ngagem grana kita, yen karsa miyarsa, muhung ngagem ing talingan kita, yen karsa ningali muhung ngagem ing netra kita.

Utawi malih duk wau bab ingkang kaping 17 pratelaning wewejangan ingkang kaping wolu dipun wastani sasahidan, sampun nyebutaken makaten : iya sejatine kang (243) ingaran Allah iku badaningsun kang ingaran rasul iku rahsaningsun, kang ingaran Mukhammad iku cahyaningsun.

Wondene pratelaning cariyos ingkang makaten wau, manawi kirang gumatok ing panggalih, ing ngriki wonten cariyos malih kangge minangka saksi, nukilan mendhet saking surat maksuding suraosipun sorahing kitab, kawastanan kakekating salat, kacariyos ugi gegoloanganing kitab tasawuf, wiwitanipun mratelakaken kadis pangandikanipun kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kajarwakaken makaten : aningali Ingsun ing Pangeran Ingsun, iya kalawan Pangeran Ingsun.

Menggah pangandika ingkang makaten wau muhung anetepi suraos kajatening salat, sabab salat wau pikajenganipun anggelengaken raos ingkang pisah, dene ingkang (244) binasakaken pisah punika wonten sekawan warni kados ing ngandhap punika :

Tembung Ikram, tegesipun ningali ing Allah, dene ingkang binasakaken aningali ing allah punika, sirna paningaling kawula, kantun mligi paningalaning Allah blaka, dados menggah ing pikajengipun tembung aningali ing allah wau ingkang ningali Allah, dene ingkang dipuntingali inggih Allah.
Tembung munajat, tegesipun maca ing Allah, ingkang binasakaken maca ing Allah punika, sampun sirna pamacaning kawula, salugu kantun pamajaning Allah blaka, dados menggah pikajengipun tembung mava ing allah wau ingkang maca Allah, dene ingkang dipun waca inggih allah.
Tembung tabanul, tegesipun gentekake kalawan wujuding allah, ingkang binasakaken gentekaken kalawan wujude Allah punika sirna kawujudaning kawula, kantun tetela kawujudane allah wau sejatosipun inggih allah ing maujud.
Tembung mikrad, tegesipun angluhuraken paningal saking adam maring asaling Pangeran, ing mangka klajeng wonten manungsa, ingkang tetep angluhuraken samubarang kadosta ngelmuning Allah, pangucape Allah, panandhane Allah, pamiyarsane Allah, paningale Allah, date Allah, sipate Allah, afngale Allah, inggih punika tetep rahsaning Allah.
Semangga kisanak, karaosaken kalayan sayektosipun ingkang ngantos dumugi ing dalem raos, bok manawi inggih lajeng kraos liripun makaten sinten manungsa ingkang purun nglampahi (246) dhateng tindak lan pandamel nista, inggih punika sami ugi kaliyan damel kanistaning Pangeran, sinten manungsa ingkang purun agawon-awoning salira, inggih punika sami ugi kaliyan angawon-awoning Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun damel sawiyah-wiyah dhateng salira, inggih punika sami ugi kaliyan adamel sawiyah-wiyah ing Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun angremehaken salira, inggih sami ugi kaliyan angremehaken dhateng Pangeran. Sinten manungsa, ingkang andamel camah ing Pangeran.

Dene manawi wonten manungsa, ingkang boten mangretos sarta kraos, tumrap ing daalem raos, suraosing pralambang ingkang makaten wau bok manawi inggih punika ingkang binsakaken tetep manungsa kapir sejati, (247) awit tembung kapir wau tegesipun kasupelan, utawi kiling-kalingan.

Dene manwi wonten manungsa, ingkang mangretos sarta kraos, sarta ingkang lampah lajeng anetepi angluhuraken samubarang, ngelmune Allah kados ingkang kasebut ing pralambang tembung mikraj wau kenging dipun wastani tetep anyalira lan kasalira ing allah blaka, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa islam sejati, karana tembung islam punika tegesipun pasrah utawi slamet.

Dados manawi karaosaken utawi kagathukaken tembung kekalih wau makaten : manungsa ingkang islam sejati punika, tetep hanyalira lan kasalira ing Allah blaka, bok manawi inggih punika manungsa ingkang sampun kasebut priksa islaming rasul, tegesipun priksa empaning (248) pangira, benering panuju, tepaning sujana, buka wenaning mangsa kala, ingkang makaten bebasan sampun tinamu-tamu kunci rahsaning Allah.

Juru Patanya :

“Kisanak, kula sanget kepengin sumerep tembung sakedik punika, pipiridan saking punapa dene wonten tembung islam ingrasul, punika gadhah teges priksa empaning pangira, tinamu tamu kunci gedong rahsaning allah. Gumuning manah kula dene wonten tembung sakedik gadhah teges kathahipun samanten, saking panginten kula pepatokanipun pancen sanes kaliyan tembung ing ngajeng wau sadaya liripun makaten kala wau sampun nyebutaken tembung islam, tegesipun pasrah utawi slamet, tembung rasul tegesipun inggih rahsa dados bilih wonten tembung islaming rasul punika tegesipun (248) rak inggih slameting rahsa, prmila kula kaget dene boten makaten tegesipun punika kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah panginten sampeyan ingkang makaten wau bok manawi inggih leres, pancen sanes pepathokan dene menggah prabedanipun makaten, dene tembunging cariyos sadaya ingkang kasebut ing ngajeng wau pepathokanipun amung wetah anegesi lan amerdeni tembung salugu kemawon, dene tembung sakedik ingkang gadhah teges anuncer punika wau bok manawi anggenipun anegesi tembung kabawur cinarub kaliyan raos maksuding suraos, pramila kula lajeng saged amesteni terang bilih  geseh pepathokanipun, namung pikajenganipun tembung ing ingil wau bok manawi makaten : pangirane empan, tujune bener, kasujanane nganggo tepa, kados kok inggih leres supami tigang patrap wau kapandukaken badhe ambuka wenaning mangsa kala ingkang slamet, wekasan binasakaken tinamu-tamu kunci gedong rahsaning Allah, sabab lengahipun dumunung atining tata krami.”

Juru Patanya :

“Kisanak, punika prayogi, dhateng kapratelakaken makaten badhe langkung terang sanget, pamurihipun supados boten damel bingung dhateng para maos utawi ingkang mirengaken, yen tembunging cariyos sadaya wau pepatokanipun medal saking kalih prakawis : 1. Teges saking wredining tembung, ingkang kaping 2. Teges saking cacaruban maksuding suraos, wangsul menggah dumugining cariyos sampeyan wau kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kala wau saweg satunggal manungsa, ingkang binasakaken islam sejati (251) punika tetep kasalira lan anyalira ing Allah blaka. Ing mangke bosok wangsulanipun, manungsa ingkang binasakaken kapir punika bok manawi inggih tetep nyalira lan kasalira ananging dening setan blaka, dados manungsa ingkang binasakaken kapir wau saupami karsa apulang asmara, mangka lajeng saged dados wijining manungsa wiwit duk maksih jabang bayi tan pedot pinidih ing pamulangan tur dhateng tindaking kautaman, ing tembe bilih sampun dewasa bok manawi lajeng wigar katragal dados dugal awit enget manawi pandameling setan blaka. Pramila para sujana sanget pangowelanipun, ing sasaged-saged manungsa punika sampun ngantos nglampahi dhateng pandamel nistha sukur ing sagadug-gadug sedya angayuh dhanteng tindak ingkang utami, dene cupetipun ing panyangkah (252) yen boten saged dumugi inggih angayuha dhateng madyanipun kemawon.”

Juru Patanya :

“Makaten manawi sampeyan kuwatos kalepetan dhateng duraka ingkang kula sandhang punika inggih kula lenggah nebih kemawon, amung ta panyuwun kula mugi-,ugi kisanak kersaa nglajengaken cariyos malih, tindak ingkang madya punika badhe uninga kados punapa?.”

PUPUH XXVI

Sang Murwenggita :

“Manawi ing sejatosipun kisanak, kula piyambak dereng sumerep, sarta dereng terang dhateng nalar-nalaripun, namung nyariosaken lelabuhanipun para sujanma ing jaman kina, ingkang kasebut sami amarsudi dhateng kautamaning tuwuh, kacariyos sarehning bab saresmi wau binasakaken nami aji asmaragama dados patrap panganggenipun inggih kedah kaaji-aji, utawi dipun pundi-pundi, liripun makaten menggah ing saresmi wau boten kangge (253) pakareman utawi boten kangge memainan, tegesipun boten kaangge dedolanan utawi geguyonan, wondene bilih sawg ajar-ajar badhe nglampahi dhateng pakarti, saolah kridhaning aji asmara wau wiwitipun ingkang rumiyin anyunyuda tuwin angengirangi kados ta pepulang asmara kaliyan wanodya, menggah patrap ingkang makaten wau saking pikajengipun inggih punika binasakaken anenetah, anglajengaken utawi ngatulaken anggenipun badhe nitik neniteni dhateng saolah bawaning salira, ingkang atas malige tulen saking karsa kawasaning Pangeran kang maha suci sejati, dene manawi ingkang kasebut sampun dados punika binasakaken manungsa sampun kawicaksana utawi waskita ing pambudi, lajeng boten purun anglampahi pulang asmara lan wanita, (254) yen boten angsal wewangsiting pangeran kang maha kawasa, kinarya lelantaran anggenipun nuwuhaken wijining manungsa, wondene bilih pinuju badhe karsa salulut anggenipun anaji-aji lan angedi-edi ing patrap kapratelakaken kados ing ngandhap punika.

Ingkang rumiyin, duk wiwit kagungan karsa badhe apulang asamara lan wanita sakaliyan sami sesucia, inggih punika siram tuwin jamas lajeng ngasta siwur anyiduka toya kaangkat celak ing wadana mawi dipun donganana, ananging donganipun ing jaman samangke inggih katimbang kendel kemawon lowung kaangge minangka gegondhelaning niyat, prayoginipun mawi angucap makaten :

Niyatingsun adus, padusan banyuning tlaga kalkaosar, anuceni sakaliring eroh, kang dumunung ana ing jasad kita, mlebu manik metu inten, cahyaku amancurat mancorong kadi cahyaning Pangeran kang maha kuwasa. Ing riku toya siwur wau lajeng kasiramaken ing wadana, lajeng siram ngantos dumugi sucining saliranipun sadaya. Menggah pratingkah siram ingkang makaten wau jalu lan wanita ing patrap sami kemawon boten aprabeda. Ing sasampunipun rampung sesuciya siram jamas lajeng sami angadi-adi warna, kinarya sarana pangundhaning asmara, liripun menggahing pratingkah sami busana ingkang sarwa pantes, sarta angeganda wida, sasampunipun samekta ing sakaliyan lajeng reruntunan sami malebet ing papreman, tegesipun malebet dhanten ing panglereman utawi dununging pakendelan, inggih punika pasareyan, ing riku priya lajeng angrakit pamasaning aji kamajaya dumunung amung winaos wonten salebeting batos kajarwakaken kados ing ngandhap punika (256) :

Ingkang rumiyin, amuntu pangesthi, sedya jumeneng ing betal mukadas, tegesipun niyat anjenengaken kahanan salebetipun puraya pasuciyan dumunung ing konthol.

Ingkang kaping kalih, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nala, tegesipun senseming manah, inggih punika kahananing birahi, tegesipun sengsem utawi branta, tumus dados jumemening purba, tegesipun wiji dumunung ing pringsilan.

Ingkang kaping tiga, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tura, tegesipun sengseming pandulon, inggih punika wahananing hawa, tumus dados jumenenging kanta, tegesipun jengereng, dumunung ing mani.

Ingkang kaping sekawan, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara turida, tegesipun sengseming pamirengan, inggih punika wahananing karsa, (257) tumus dados jumeneng ing warna, dumunung ing madi.

Ingkang kaping gangsal, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nada, tegesipun sengseming sapocapan, inggih punika wahananing cipta, tumus dados jumeneng ing rupa, dumunung ing wadi.

Ingkang kaping nenem, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tantra, tegesipun sengseming pangrasan, inggih punika wahananing pangrasa, tumus dados jumeneng ing suksma, dumunung ing manikem.

Ingkang kaping pitu, lajeng amusthi ngesthi aji asamaragama, tegesipun sengseming salulut, inggih punika wahananing wisesa, tumus dados jumeneng ing atma, dumunung ing rahsa.

Wondening sang wanita ingkang rumiyin ugi muntu pangesthi sedya dumunung ing Betalmukadas, tegesipun niyat anjumenengaken kahanan salebeting puraya pasucian, dumunung ing baga. Ingkang kaping kalih lajeng amusthi ngesthi pambukaning (258) aji asamara nala, tegesipun sesngseming manah, inggih punika wahananing birahi, tegesipun sengsem utawi brangta, tumus dados jumeneng ing purba, tegesipun wiji, dumunung ing purana. Ingkang kaping tiga, kaping sekawan, kaping gangsal, kaping nenem, dumugi kaping pitu, boten aprabeda kados pamusthining kakung wau.

Ing sasampunipun samekta pangruktining sakaliyan, lajeng sami kakaronsih, andumugekaken karsa, dene patrap lan pratingkah tumanduking pulang asmara, saestunipun bab makaten punika kadamel pipingitan, sinten ingkang saged uninga amung kinten-kinten yen anithik lelabuhanipun, wiwit duk murwani wau dumugining ngendhon kados inggih sae, liripun bok manawi inggih kados caraning manungsa, sarta boten angicalaken ing tata krami, kados-kados bok manawi inggih punika (259) ingkang kasebut anggendam langening pramana, ambuka kahananing atma, ingkang badhe pinurwaning wicaksana.

Ing sasampunipun salulut, sakaliyan medal saking papreman, lajeng samya asiram jamas malih, menggah solah lan pratingkah boten prabeda kadi patraping siram duk ing ngajeng wau, amung donga sarananipun santun angucapa makaten “suku asta winengku ing solah bawa, solah bawa winengku ing driya, driya winengku ing Hyang Pramana, andadekna adus ing suci santosaning roh kang ana ing badan kita”.

Menggah ing sawawratipun lelampahan ingkang makaten wau tur saweg kasebut madya, suprandosipun lelabetaning kasaenan sampun amratandhani pinten-pinten kathahipun, ingkang sampun kasebut ing cariyos wonten ing serat-serat (260) atmajanipun para pandhita, utawi para wiratama nalika ing jaman kina-kina, wiwit duk maksih jabang bayi, binucal ing wana arga, sareng dumugi wanci diwasa, thethukulaning pangrahita boten pedhot pangayuhing kautamen, trekadhang asring wonten ingkang katarimah lajeng saged langkung saking bapakipun.

Juru Patanya :

“Kisanak, bilih kula amestani lelampahan ingkang makaten punika sampun kenging dipun wastani elok lan langka, yen manungsa sageda kuwawi anglampahi saestu ageng ganjaranipun, bok manawi boten angemungaken dhateng saening putra kemawon, sandhunganipun ngantos tumrap ing gesangipun saged linangkung sesamining manungsa, wangsul patrap utawi pratingkah ingkang makaten saweg dipun wastani madya, punika kula lajeng gumun sarta eram sanget, saiba ingkang dipun wastani tindak ingkang utami punika kados punapa?.”

PUPUH XXVII

(261) Sang Murwenggita :

“Kisanak, prasajanipun prekawis punika kula dereng sumerep syektos, amung cariyos tembung gethok tular, tegesipun carita saka biru, utawi anenular, yen sampeyan kersa amirengaken, kula dhapur kados ing ngandhap punika :

Kala rumiyin kula sampun nate amirengaken para sujanma ingkang sami ajar-ajar, oleh ngelmi, sami kekempalan, rerembagan kaliyan bebarakanipun piyambak, kacariyos pepangkatipun ngelmi kasampurnan punika mawi kaperang dados sakawan pangkat, makaten pratelanipun :

Binasakaken ngelmi sarengat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing raga.
Binasakaken ngelmi tarekat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing manah.
Bisanasakaken ngelmi kakekat, kacariyos dunungipun (262) pangawruh lampahing nyawa.
Binasakaken ngelmi makripat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing rahsa.
Ing sasampunipun kapratelakaken peperanganing ngelmi sakawan golongan wau, lajeng kadamel ande-ande, upami makaten :

Ngelmi sarengat lampahing raga punika dipun pindha upami kadi wujuding baita.
Ngelmi tarekat lampahing manah, punika dipun pindha kadi wujuding toya samara.
Ngelmi kakekat lampahipun nyawa, punika dipun pindha upami kadi wujuding musthikia dumunung salebeting toya thelenging samodra.
Ngelmi makripat lampahipun rahsa, punika dipun pindha upami kadi wujuding pangawruh, kadosta nyumerepi lampah saening baita, lebet cetheking toya, utawi nyumerepi dunung wujuding musthika.
Menggah kajengipun pralampita ingkang makaten (263) wau saupami sumedya badhe mendhet musthika, ingkang wonten salebeting thelenging samodra yen gothan salah satunggil saking sakawan prakawis wau saestunipun badhe boten saged kalampahan, liripun makaten kadosta, upami tanpa baita punapa saged lumampah angambah toya sanadyan angawiya baita, yen boten uninga dununging musthika sarta boten uninga ewet pakeweding leksana, punapa saged kadugen paraning sedya rak inggih boten, pramila sekawan prakawis kedah jangkep boten kenging gothang ing salah satunggilipun, suwawi kisanak, kagalih jangkeping lampah sekawan prekawis wau punapa inggih kenging binasakaken gampil?, bok manawi gegolong pepilihan manungsa ingkang saged kuwawi anglampahi, ewa dene lampah ingkang mekaten wau kacariyos inggih saweg madyanipun kemawon, awit wonten malih pangolahing ngelmi (264) menggah warninipun kados langkung saking punika, kados cariyos lelampahaning para waliyulah utawi cariyos jamanipun nalika Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma ing nagari Mataram, kilap dora utawi leresipun, kacariyos bilih nuju karsa amendhet barang ingkang wonten salebetipun samodra utawi manawi nuju karsa tindakan dhateng ing pundi, sapinten tebihipun sanajan dhateng senes pulo, lampahipun inggih boten mawi baita, kacariyos kepara boten ebah saking palenggahanipun.

Wonten malih cariyos lelampahan Seh Siti jenar inggih Seh Lemah Abang, pepuntoning tekadipun murtat ing agama ambucal dhateng sarengat saking karsanipun negari, patrap ingkang makaten wau kagalih ambebaluhi andamel risaking pangadilan, ing riku Seh Siti Jenar nakpeni hukum kisas, (265) tegesipun hukum pejah, sareng jaja sampun tinuweg ing lelungiding warastra, nratas anandhang brana muncar wiyosipun ludira nlutuh awarni seta, amesat kawandha muksa, datan ana kawistara nulya ana swara lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita, dene ta carita kula lugu mung methik Pustaka, pamacakipun rinenga ing kidung Kinanthi sekarira, pratelanya kasebut ing ngandhap punika :

Wau kang murwen don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguhing jamaning pati, ing reh pepuntoning tekad, santa-santosaning kapti.

Nora saking anan ngrunu, reringa rengat siningit, labet asaling salaga, salugune den ugemi, yeka pangagemu raga, sumingah ing sangga runggi.

Marmane sarak sininkur, karana angresubedi, manggung karya was sumelang, embuh-embuh (266) den andhemi, iku panganggone donya, tekeng pati nguciwani.

Sajti-jatining ngelmu, lunguhe cipta pribadi, mustinen pangesthinira, ginileng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kahanan eneng-ening.

Ing sasampunipun wonten cariyos ingkang makaten kisanak, manawi sampeyan anglampahi salat gangsal wektu, sampun seling serep ing panggalih sarta sampun klentu ing panampi, menggah suraosipun cariyos ingkang kasebut ing inggil wau boten pisan-pisan yen badhe ampika tuwin anyingkura dhateng sarak sarengat kados ingkang sampun ginelar ing Gusti kita Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, dumunung rukuning Islam gangsal prakawis, sahadat, jakat, salat, puwasa, mungah kaji dhateng Mekah.

Ingkang sami karembag wau sanes bab punika, saking karsanipun para winasis ing budi asung pralambang anyenyemoni, sinten manungsa yen agadhahi sedya mangka pamendhetipun asarana mawi linampahan dening obah solah inggih punika ingkang binasakaken taksih angagem lampahipun sarengat blaka, ing mangka lajeng anitik pangandikanipun para alim ingkang sami ahli kitab, cariyosipun makaten sinten manungsa ingkang tekad ngantepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat dumunung delahan ing tembe, kawastanan makam parek, tegesipun dumunung pepisahan, dene ingkang binasakaken pepisahan punika nyawa kaliyan raganipun.

Menggah suraos ingkang makaten wau lajeng dipun kiyas dening para winasis, kacariyos makaten sinten manungsa ingkang ngegunaken dhateng (268) pandamel sarengat sayekti tinebihan dening drajatipun, pramila saking pamuji kula kisanak, bilih sampeyan kersa galih marsudi suraosipun ngelmi sejati sampun sanget-sanget gondeli lan anetepi dhateng sarengat, mindhak kalebet ing bebasan kerem ing sarak amendem ing kulhu.

Juru Patanya :

“Kisanak, anggen sampeyan cariyos kula sturi kendel rumiyin, kula badhe pitanglet, sampeyan punika punapa pinuju gerah, warninipun kula tingali kados kenging sesakit benter minggah, lajeng lungkrah, dhateng kaengetan lajeng bibrah, gegineman inggih lajeng boten saged genah, temtunipun ingkang mirengaken inggih sisah. Suwawi ta kisanak, kagaliha anggen sampeyan carita, kenging yen binasakna sasat mung angere muna, (269) wiwitw anggunem prakara, patrap tingkahing asamara wekasan angambra-ambara nyritakake auliya, lelakone jaman kuna kang elok lawan kang langka. Amit lo mas, sampun andadosaken ing panggalih, sewu-sewu ing kalepatan kula, mugi-mugi kisanak aparinga pangaksama, karana anggen kami purun wicanten akathah-kathah ingkang makaten wau, sampun kagalih yen punika medal saking Santya Budya, miwah martaning manah kula boten pisan-pisan darbeya kedal ingkang samanten kasaripun, rak inggih sampun terang lan tetela yen punika medal saking sawantah pegel sarta sempelah ing manah kula blaka, dene menggah wontenipun thethukulan ingkang makaten wau inggih jalaran saking gluyur-glayaring cariyos samp[eyan, liripun makaten : menggah cariyos duk ing jaman (270) kina-kina kadosta lelampahanipun para waliyulah tuwin para auliya, utawi mangingilipun malih kacariyos lelampahanipun para nabi punika kula sampun ngandel, boten ngagem sarengat kadi caraning manungsa wantah punika, kados boten dhahar, boten nendra, boten busana, awis nandika temahan saged kawasa, uninga saderengipun sinalya, utawi yen karsa tedakan slira tan lumaksna saged dumugi dhateng paraning sedya.

Yenm ta menggah patrap ingkang makaten wau rak sanes babagan utawi sanes gegolongan, boten kenging kacaruban katunggilaken dene manawi sampeyan dereng uninga ing suraos, terangipun bilih geseh wewijanganipun makaten, kados ta manawi karsa kekesahan tebih saged dumugi ing panggenan tur boten ebah saking palenggahan. Wangsun sesaminipun (271) bab apulang asamara, punapa kenging sarta punapa saged tumindak, upami boten mawi sarana ebahing pasta purusa rak inggih boten, ewa dene bilih sampeyan sampun mireng cariyos duk ing kuna-kuna, kala jaman punapa ingkang wonten lelampahan kados makaten wau?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, teka leres temen anggen sampeyan mestani, yen wektu sapunika kula panuju sakit benter mingah dateng sirah, ananging lakar kula angkah supados sageda genah amawas sakweh pratingkah, beda kaliyan sampeyan punika, yen sirah adhem tumraping manah lajeng ayem, sakehing roh sami tentrem, pangrahita lajeng amem, dhateng tandhang lajeng glendam-glendem, tur tan wruh rasaning gunem, yen kiraku datan mamak, iku wong budine rupak, kadunungan ati cekak, watak tan kena diidak, ngawur tandhane (272) nracak.”

Beda bilih sira benter, dhateng manah lajeng ajer, sumarambah budi luber, dhateng ulat inggih ater, warninipun inggih blancer, sabab kongas kang panca driya, dadosipun apana pranawa kang pancen boten hina dene yen kurang pracaya kisanak dipun cobiya suwawi tanglet punapa, menggah liripun mekaten, kadosta anggen kula anyariyosaken lelampahanipun parai waliyulah, tuwin lelampahanipun para auliya ingkang sami bucal sarengat wau, inggih punika ingkang dipun wastani pangolahing ngelmi sampun sampurna, dene ingkang binasakaken aji asmara punika rak inggih ngelmi kasampurnananing manungsa, saestunipun boten aprabeda, yen ing tanduk taksih mawi sarana leksanane pasta purusa, inggih punika ingkang binasakaken taksih (273) angagem sarengat nlaka, wondening bilih kirang cetha kangge seksi sesaminipun, kadosta tiyang olah ngelmi kapraworan, gegoloangane ngelmi jaya, esmu, tuwin ngelmu kak, sesaminipun yen saben-saben dumugining prelu kasuduk ing duwung tuwin ketaman ing dedamel sanes-sanesipun, manawi anggenipun anggadhahi taksih amawi sarana temen utawi kere, sebab taksih angugemi ngangge dhateng nalar-nalaripun kadosta empuk tuwin tipising kulit, punika menggah nalaripun kadi boten saged anulada dhateng landhep utawi lanciping dhuwung, mila angagem sarana tameng utawi kere inggih punika ingkang binasakaken sarengat, dados tanpa damel anggenipun anggegulang ngelmi jaya wau, beda kaliyan manungsa ingkang kasebut prawira, sanajan sinosok ing warastra tinadhanan (274) dening hanga, suprandosipun ing kulit boten tumama inggih punika ngelmi ingkang sampurna bok manawi bab asmara wau, inggih boten aprabeda, dene yen sampeyan karsa amirengaken cariyos duk ing jaman kina, ingkang sami ngagem kawasaning aji asamara wau.

Ingkang kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Kangjeng Nabi adam garwanipun anama Babu Kawa apeputra medal dhampit ngantos kawan dasa, tiga jodho, amung sarana asamara ulat kedhaping netra, kepara ingkang angka nenem anama Nabi Sisi ingkang kados sampun kula cariyosaken ing ngajeng anggenipun asmara boten lelawanan garwa, kasebut medal saking asmara cipta.
Ugi kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Sang Hyang Girinata, inggih Batara Guru, garwanipun anama Dewi Uma (175), sareng Sang Hyang Guru ing galih rudatos pamuntuning cipta adarbeya atmaja ingkang linangkung kuwasa ing kasektenira, lajeng karsa apulang asmara kaliyan garwa boten mawi sanggama mung sarana saking ulat kedhapng netra, katarima sesedyanira samya amudhar prasa, ing riku garwa lajeng angarbini dumugining mangsa ambabar miyos priya, sinung peparab Bathara Suman, inggih Sang Hyang Wisnu.
Kasebut ing Serat Lokapala, lelampahanipun Maha Prabu Arjuna Sasrabahu ing Nagari Maespati, amengku garwa dhomas, tegesipun amemngku garwa saemas kaping kalih gunggung kawan atus, bilih karsa asmara sesarengan kawan atus sami sanalika ugi sareng pamudharing prasa.
Ingkang kasebut wonten ing Serat Centhini, kacariyos wonten satunggaling wanodya anama Retna Dewi Tambangraras (276) sampun awanci dewasa, salebeting batos sedya boten purun apalakrama manawi boten kagarwa dening priya ingkang saged angresmeni wonten salebeting supena, ing wasana lajeng wonten satungiling priya taksih jejaka ingkang karem bangun leksana brata, ajejuluk Seh Amongraga darbe sedya mlebet dhateng patembayaning Sang Dewi wau, duk saweg dumuginipun anjujug lenggah ing pandhapi pinangihan dening yayah renaning Sang Dewi. Sasampunipun bage binage Seh Amongraga ajarwa nglairaken sejating sedyanira, ing riku Sang Dewi Tambangraras tinimbalan dening ingkang rama, kinen manggihi dhateng tetamunira, sang Dewi datan lengana praptanira singra lenggah sacelaking rena, wus campuh liringing netya, sang Retna datan legawa kataman asmara cipta, lir kawudhar suh kang angga racut salira marlupa, luyut apindha supena jroning rasanira pangrasane (277) sinanggama kalayan Seh Amongraga, ngantos dumugi karsa pamudharing prasanira, pramila Sang Retna Tambangraras lestantun lajeng dados garwanipun Seh Amongraga.
Wondening bab ing asmara ingkang makaten wau bilih saking pangandikanipun para winasis ing budi, kacariyos boten mrojol inggih mendet saking murat maksuding suraosipun aji asmara ingkang kapratelakaken ing inggil wau, dene menggah panggelar lan pangukudipun, panggledhahing maksud dumunung wonten katarima waskitaning para winasis piyambak-piyambak.

Juru Patanya :

“Kisanak, sampeyan rak dereng uninga anggen kula umpetan utawi sesingidan, ingkang makaten wau jalaran saking alus utawi memedipun ing pratingkah anggen kula netrapaken, dados kados-kados dene kula punika rak inggih (278) sampun kalebet ing bebasan amiguna ing ngaguna, tegesipun bisa minteri murang wong pinter dados menggahing sajatosipun langkung saged kula katimbang kaliyan sampeyan pratandhanipun dene sampeyan kekilapan boten uninga ing pratingkahing gelar kula.”

Sang Murwenggita :

“Menggah pangandika sampeyan wau kisanak, anggenipun leres lan cumeples tetela ing kanyatanipun boten siwah inggih makaten sinten kula yen darbeya rumaos angungkul-ungungkuli dhateng sampeyan, kepara ing saben dintenipun pangraosing manah kula boten pedhot anyenyuwun ing Pangeran kaindhakan kasampurnaning pangawruh, awit saking agening rumaos bodhoning manah kula, wangsul wewijanganipun kalepataning lampah, tuwin patraping pratingkah kula (179) kisanak, mugi karsa amratelakaken.”

Juru Patanya :

“Menggah ing adangu-dangunipun anggen sampeyan cariyos wau, ing sajatosipun kula wawas tur kalayan titi wekasan pikantuk terang ing pangreti, sapunika kula saged amestani tetelanipun kang sayekti tekad sampeyan punika wus katon jroning carita tan nganggo waton kanyata, liripun makaten kadosta traping ngagesang punika bebakunipun ingkang prelu rumiyin kedah amarsudi dhateng patitis tetesing kawruh, manawi sampun sampurna ing pangawruh ing riku lajeng bontosaken dhateng ihtikad, sampun daya-daya linakpahan manawi dereng sampurna ing pangawruhipun, dene anggen kula saged amestani yen sampeyan punika dereng jajag ing pangawruh awit taksih kadunungan manah elu-elu, (280) titikanipun duk nalika sampeyan nyariyosaken makaten.

Rumiyin ing lampah bucal sarengat dipun tegesi sami ugi kaliyan bucal raga, sampeyan alam sae. Kaping kalih, anetepi ing lampah sarengat, ing tembe pepiahan raga kaliyan nyawanipun dipun cacad awon, menggah cariyos kalib bab wau punapa prabedanipun suraosipun : 1. Bucal raga, 2. Raganing pisah, suwawi kisanak kagalih rak inggih sami kemawon kok sampeyan alem utawi kacacad punika kados pundi? Ingkang kaping tiga anyariyosaken lelampahanipun Seh Siti Jenar, muksa raganipun kabekta, dipun alam sae inggih punika pratandhanipun manawi sampeyan dereng gadhah pathokan ingkang leres.

(181) Sang Murwenggita :

“E…., e….< kisanak, gumuning manah kula anggenipun ceples tembung ing paribasan : wong bodho brengkelo, wong cubluk tang mangan wuru, prayoginipun kisanak, sampeyan punika bok inggih blaka kemawon yen sejatosipun cubluk utawi bodho, dados gampil anggen kula ngraosaken, ewa dene menggah ing sasampunipun kawedal wicanten kula ingkang makaten wau inggih sedyaning manah kula amung anetepi dene wonten tembung pralambang, suraosipun makaten : sanajan manungsa ginanjara ing birahi utawa kasusahan dening Gusti Allah iku murih becike, wondene menggah kekiyasanipun tembung ingkang makaten wau, kadosta sesaminipun anak dipun srengeni ing bapa punika rak inggih mung kapurih saenipun, (282) samanten ugi panyendhuning sumitra, kados dene kula kaliyan sampeyan punika saestunipun inggih boten aprabeda, suwawi kisanak kagaliha ing saleresipun, sadanguning nalar kadosta sagedipun mulur galuring cariyos kula sadaya wau rak inggih jalaran saking wilet lan patitising panjawab sampeyan sadaya wau saestunipun rak inggih mendhet saking suraosing cariyos kula dados ing sejatosipun ingkang cariyos kaliyan jawab punika sami kemawon.”

Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, kula badhe pitanglet rumiyin, kula sawang-sawang warninipun sampeyang kados sampun sumerep, krentheg salebeting (283) batos ingkang dereng kula lairaken sajatosipun kala wau nalika sampeyan ungeli kathah-kathah manah kula kasereng nepsu, meh kemawon kasupen kridha angadeg suraning driya, wasana sampeyan lajeng angucap ngangge tetembungan manis, bebasan amung sakecap teka saged damel trenyuhing manah swuh sirna serening driya, kula kadi keleban ing tirta marta, sumrambah dadosaken girang tuwin segering angga, menggah anggen kula pitanglet wau sagedipun uninga nepsu kula ingkang dereng kalair punika sabab saking punapa, ingkang kaping kalih dipun wastani tembung punapa?, ingkang saged nyirnakaken ing kanepson kula wau?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula basakakeb aneh sarta mokal wicanten sampeyan wau, liripun makaten sinten tiyangipun ingkang saged uninga dhateng kanepson (284) salebeting batos ingkang dereng kalair, ewa dene yen manungsa ingkang wicaksana ing budi inggih boten kekilapan, kacariyos nitik saking tri taya wijanipun kasebut ing ngandhap punika :

Ulat, inggih punika kedhap liringing netya.
Ilat, inggih punika kedaling pamicara.
Ulah, inggih punika ebah solahing raga.
Wondening bilih sampeyan pitanglet tembung ingkang asring saged amberat kanepsoning liyan, punika dipun wastani tembung pangalem, panembah pangluluh, punika pangasih-asih sarta akauti panujuning prana lan empan mapaning tata krami, yen ta menggah patrap ingkang makaten wau tumrap dhateng sujana priya utawi janma wanita sami wanita dipun wastani tembung panembrana, yen ta menggah kaange sujanma priya katrapaken (285) dhateng wanodya utawi katrapaken dhateng priya tembung wau kawastanan pangungrum utawi tembung manuhara, pramila ingkang kasebut ing Pustakaraja Weda jamanipun Maha Prabu Aji Pamasa ing Nagari Witaradya, pamacaking tembung mawi sinawung ing kidung sekar Kinanthi suraosipun makaten :

Jagra angkara winangun, sarjana marjayeng westhi, puwara kasup kawasa, marina ing jro weda muni, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.

Wondene tembung ingkang makaten wau teges utawi suraosipun bok manawi makaten, atasing manungsa punika menggah panjaginipun dhateng hawa napsu punika kados tiyang sedya ambengkas dhateng ing pakewed, wekasan ingkang sampun misiwur kawasa Serat Weda sampun anyebutaken makaten, kasuran kawanterang, kasekten utawi kadigdayan ingkang sampun linangkung ing jagad punika (286) adat risakipun kaliyan panembah.

Wangsul wicanten sampeyan ingkang kathah-kathah wau, sedyaning panggalih badhe amelehaken dhateng kula, ananging sejatosipun sampeyan dereng tampi sarta dereng mangretos dhateng suraosing cariyos kula sedaya wau, dados kalebet ing tembung salah surup utawi lepat panampi, duk waunipun, kula anyariyosaken lelampahanipun para wali utawi lelampahanipun para auliya sami ambucal sarengat boten angagem sacara lampahing raga.

Lajeng anyariyosaken malih lelampahanipun Seh Siti Jenar ugi ambucal sarengat, wasana sareng dumugining delahan muksa dalah saraganipun, dados menggahing suraosing cariyos ingkang makaten wau genahipun sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya (287) ambucal sarengat boten ngangge dhateng sacaraning raga, wekasan sareng dumugi ing delahan kumpul raga kaliyan nyawanipun, mila kula ngalam, kacariyos lelampahanipun ingkang makaten wau sae.

Wondene menggah kosok wangsulipun, sinten manungsa nalika gesangipun ing alam donya ing tekad mantep anetepi ing lampah sarengat samu ugi angumpul ing raga, bok manawi ingt tembe dumugining delahan apepisahan raga kaliyan nyawanipun, prmaila kula anacad, kacariyos lampahan ingkang sampun kasebut ing inggil.

Wondene wontenipun cariyos ingkang makaten wau bok manawi mendhet kekiyasan saking pangandikanipun para alim ingkang ahli ing (288) kitab, suraosing tembungipun kados ing ngandhap punika :

Sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya mangka salebeting tekad, anetepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat inggih punika bab lampahing badan kacariyos pejahipun ing tembe nami makam parek, tegesipun dunung pepisahan, ingkang binasakaken pepisahan wau raga kaliyan nyawanipun.

Kaping kalih, sinten manungsa duk gesangipun wonten alam donya ing tekad anetepi aneguhaken dhateng pandamel tarekat, inggih punika lampahing manah, kacariyos ing tembe nami makam jamek, tegesipun dunung kakumpulan, ingkang binsakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.

Kaping tiga, sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken (289) dhateng pandamel kakekat inggih punika lampahing nyawa, kacariyos ing tembe nami makam jamek mukamek, tegesipun kumpuling kumpul ingkang binasakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.

Kaping sakawan, sinten manungsa duk gesangipun ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken ing pandamel makrifat, inggih punika lampahing rahsa, kacariyos ing tembe nami makam baka, tegesipun dumunung ing langgeng, ingkang binasakaken langgeng punika inggih nyawa kaliyan raganipun.

Ing mangke kula angulur malih cariyos supados kaanggea minangka saksi tuwin tetimbangan kaliyan cariyos ing ngajeng wau, duk nalika ing jaman purwa lelampahaning Bambang nama Raden Narasoma putera narendra (290) ing Nagari Mandraka, kacariyos adarbe aji candhabirawa wasiyat saking marasepuh anama Begawan Bagaspati, kacariyos sareng katempuh ing karya nuju prang adu prabawa lelawanan kaliyan Bambang anama Raden Pandu Dewanata putra narendra ing Nagari astina. Raden Narasoma prangira kalindih lajeng amatek mantra wikrama aji Candhabirawa sami sakala medal saking guwa garba, awarni lare bajang tur kera ing riku Bambang Narasoma lajeng ngandika makaten ”eh Candhabirawa ingsun jaluk pitulunganira sirnakna mungsuh ingsun si Pandu Dewabrata”, Candhabirawa amangsuli makaten : “dhuh Bapa Narasoma wawasen raganing sarira yayah wus tan darbe daya wruhan ta salawase kita dumunung ing guwa garbanira datan antuk bukti lawan nendra, apa margane bisa nyirnakaken mungsuhira”, Raden Narasoma ngandika (291) malih makaten : “yen saka pamikirku Cabdhabirawa wus ora kekurangan dene sadina-dina gonku jibar-jibur, amemangan lawan nendra dadya segering angga supaya sumambrah tetumusane marang sira, ananging sarehning wektu sira sun tampani saking Bapa Bagawan Bagaspati tekan ing saiki isih ana ing tanah pegunungan mesthine ya aka kekurangane sawatara, ing dalem sadina-dinane lagi bisa nganakaken rerampadan kehe telung puluh piring, dene ing emben yen ingsun wus tumeka ing praja sanadya jaluka kareman rerampadan satus piring sadina klawan pepanganan kang enak-enak ingsun bisa anutugi, balik ing samengko ora luwih ingsun mung jaluk pangapura ing sira”. Candhabirawa mangsuli makaten : “Bapa Narasoma (292) wruhanta mungguh patrap lan pratingkahira kang mangkana wau sejatine kuwalik, lire mangkene : kalamun sira sadina-dina tansah bruwah bukti lawan nendra lan juruni nepsi angkara murka iku kuwalik mungguh tumrape marang ingsun, yen sira tuwuk pambuktinira dadi ingsun tan entuk mangan sarta luwe, yen sira tansah karem nendra ingsun melek salawase, yen sira anjurungi nepsu angkara murka tumrape raganingsun kadi binasmi ing salawase, mulane aprabeda duk ingsun isih melu marang Bagawan Bagaspati raganingsun saben-saben lemu-lemu thipluk=thipluk awit si Bapa Bagawan Bagaspati muhung karem marang panggawe tapa brata arang bukti lawan nendra lan ambeg santa para marta narima legawa ing driya ing sasampunipun kapratelakaken pabenipun Raden (293) Narasoma kaliyan Ji Candhabirawa wau, menggah gagathukanipun lampah sekawan golongan : 1. Sarengat, 2. Tarekat, 3. Kakekat, 4. Makrifat kasebut ing ngajeng wau kula sumonga ing sampeyan.”

Juru Patanya :

“Kisanak, sapunika kula sampun terang sanget, tetela kala wau kula ingkang lepat sarta salah ing panampi, wangsul suraosipun cariyos sampeyan wau punapa boten badhe dadosaken gumujeng ing para ingkang sami mirengaken, suwawi ta kagaliha upami wonten sujanma ingkang ngegungaken lampah tarekat utawi kakekat cariyos bilih pejah raga kumpul kaliyan nyawanipun, ingkang makaten wau punapa inggih, saupami wonten tiyang pejah jisim lajeng katenga ing tiytang kathah mangka lajeng saged ebah, mlajeng sedya (294) ngupadosi nyawanipun ingkang sampun saiba gegeripun para tiyang ingkang sami nengga wau, sandhunganipun wonten ingkang gila sanget, lajeng kekelen boten saged ebah kaliyan malih ing salami-laminipun kula dereng nate nyipato, sarta mireng wonten bathang oyak-oyakan sarta miber kekalangan ngipadosi nyawanipun, inggih saweg mireng cariyos sampeyan punika.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, sampun dangu anggen kula gagas amung saking kinten-kinten kawawas saking warni, yuswa sampeyan punika bok manawi langkunga inggih sakedhik, punapa sampun wonten sawidak taun? Gumuning manah kula dene anggenipun saged angemperi tembung paribasan : ana bocah akeh umure, tegesipun liripun makaten ingkang binasakaken bocah punika (295) manahipun, dene boten gadhah pangreti kados manahing lare, yen ningali ing warni tuwin kapetang umuripun makaten kisanak, kula ngaturi priksa ing sampeyan wonten cariyos kasebut ing Serat She Tekawredi sinawung ing kidung sekar Dhandhanggendhis, namung kula pendet ingkang prelu dhateng ing atasing cariyos punika kemawon makaten suraosipun :

Amurwani wit anom kariyin, lire anom iku isih tuna, durung akeh luwangane, beda lawan kang sepuh, lire sepuh iku nyepuhi, nyepuhi tegesira, nyawabi sadarum, marmane sinebut tuwa, lire awenang tuwi-tuwi, mring siwi wekanira.

Lamun ora mangkono kaki, tan jumeneng arane wong tuwa, tuwa mung tuwane bae, (296) basa tuwa puniku, angandelaken tuwane sami, yeku wong tuwa ampas, kapapas ing kawruh, lire ampas iku raga, raganira wus cape luwasing kardi, mangka ing jro suwunga.

Aja iku wong cupet ing budi, duk anome tan purun tatannya, ngandelaken kuwat rosane, tan mikir olah ngelmu, kabangkitan datan praduli, mung eca amemangan, esuk nyamuk-nyamuk, tan etang wekasing gesang, kan den etang mung nikmat pucuking preji, lan nikmat pucuk ilat.

“Kados pundi kisanak, menggah suraosipun serat She Tekawardi wau, punapa inggih kraos, cocogipun kaliyan salira, tumrapipun ing dalem raos ?”

Juru Patanya :

“Leres kisanak, lakar cocog sanget kaliyan lelempahanipun badan kula, nalika taksih anem wiwit duk (297) mila gegolongan royal (blunthah) karem nyemataken dhateng sahwat tuwin tetedhan malah dumugi sapunika sanajan suda inggih namung sawetawis, wangsul kalajenganipun cubluking, kethuling pambudi kula pangasahipun kamurih landep utawi lantiping pangrahita, boten langkung kula amung nyumanggakaken ing sampeyan, ing mangke kula andumugekaken kuwur, kuwur, kodhung tuwin bingunging manah kula, sabab angraosaken suraosing cariyos sampeyan wau, dene wonten tiyang pejah nyawa kumpul kaliyan jasadipun, punika menggah patrap lan pratingkahipun kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kala wau kula sampun matur, cariyos tetempilan saking nulat aneniru, yen kula piyambak prakawis ingkang makaten wau dereng pisan-pisan (298) mangertos, suwawi kisanak sami karaosaken ing ngriki wonten cariyos dhapur dedonengan, menggah pikajengipun kula inggih dereng mangertos, namung katimbang kendel athenguk-thenguk minangka cagaking lelengahan, dene gathukanipun kaliyan cariyos ing ngajeng wau kula sumangga ing sampeyan piyambak menggah purwanipun ing cariyos kadhos ing ngandhap punika.@@@

Wonten pralambang dinapur kadi rerembananging peksi tetiga ingkang 1. Awarni peksi gemak, ingkang kaping; 2. Awarni peksi platuk bawang, ingkang kaping; 3. Awarni peksi prekutut, kacariyos menggah lelampahanipun nuju satunggaling wektu peksi gemak wau, saba wonten pepangul hardi satepining samodra sarta kekipu wedhining gisik, boten antawis dangu ing riku kedhatengan peksi (299) platuk bawang, ing sasampunipun pranata mudar tata krami bage binage, peksi platuk bawang wicantenan makaten :

bersambung Pupuh XXVIII-XXXII