Minggu, 11 September 2011

> Hakekat Manusia Adalah Untuk Menjadi Tuhan

Tentu saja ini bagi manusia yang sadar akan potensinya
Sadar dengan naturnya.

Dan tentu saja Tuhan disini adalah metafor.
Simbol dari naluri ingin berkuasa. Menguasai dirinya menuju kepenuhan yang paling optimal. Menjadi eksis. Menjadi ada secara nyata dalam kesadarannya. Bukan hanya ada secara biodata. Bahwa adalah seorang laki-laki yang tinggal di Indonesia, punya 1 isteri sah dan 13 isteri tidak sah, dengan jumlah anak nyata 2 orang dan tidak nyata sudah tidak terhitung. Memeluk agama Islam, bergolongan darah B dan seterusnya. Semua ini adalah data KTP. Biodata yang tidak menyentuh “sisi dalam” kemanusiaannya. Hanya data-data fiskal.

Tapi untuk menjadi ada secara eksistensial, dia harus melampaui data-data dan angka. Meloncat menuju kesadaran. Bahwa dia ADA. Bahwa dia berkehendak, yang tak seorang pun dapat merampasnya.

Akan tetapi, karena semua manusia melakukan hal yang sama, maka terjadilah perebutan Tuhan di medan sosial. Perebutan pencapaian Ego antar manusia. Meskipun dengan dalih menuju Tuhan, menuju Dewa, mengimani Yesus, menuju ke-Bapa-an dan sebagainya, pada intinya manusia sedang berjuang mencapai keberadaan dirinya. Untuk menuju kepenuhan keberadaannya. Dalam kesadarannya. Hingga membentuk sebuah keluasan cakrawala dalam diri. Sebuah visi spiritualitas tanpa nama. Sebuah visi bathin yang sulit dikatakan.

Dengan kata lain,
Manusia pada hakikatnya bergerak “keluar” dalam rangka ingin menggapai “kedalam”.
Tapi seringkali manusia bertengkar “diluar” karena kehilangan “didalam.”

Penghinaan, pemberontakan, peperangan, dan seterusnya, adalah simbol perebutan Tuhan yang hilang dalam diri manusia.

Andaikata manusia kembali mencukupkan Tuhan dalam dirinya, mengaminkan Ketuhanan sebagai intisari keDIRIanya, maka tak kan adalagi kotbah, puja-puji, dan perang memperebutan Tuhan eksternal. Tapi ini yang paling sulit, seperti sulitnya posisi dan keamanan saya begitu tulisan ini meluncur ke dunia maya.