Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 56]

“Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan Pangeran Modang berikutnya.

“Kenapa, Kakang?”

“Sadarlah, Dimas? Tidak semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?”

“Tapi,”

“Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat berantakan sistem hukum di negara ini.”

“Diam, andika, pesakitan!” bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal mulut andika…”

“Pangeran, tindakah kisanak tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar dan sosok pejabat…”

“Mulai lagi andika! Bukannya diam dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah membantah terus…”

“Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?”

“Keparat!” Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan tangannya ke perut.

“Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung.

“Mau lagi?” memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak kesakitan?”

“Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati kesombongan dan keadigungan adiguna….”

“Breksek! Menantang rupanya andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya ke arah perut.

Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut.

Bersambung….