Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 76]

Kita menenggok sebentar ke awal sebelum siti jenar di tangkap, mari silahkan baca:....“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak.

“Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang.

“Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng.

“Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.

“Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?”

“Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.

“Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya.

“Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum.

“Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi.
“Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.

“Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.

“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis.

“Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak.

“Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.

Bersambung……