Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 42]

“Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?”

“Syariat Islam?”

“Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…”

“Tidak,”

“Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?”

“Tentu saja.”

“Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!”

“Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?”

“Dimana ukuran sesatnya?”

“Ya, itu tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan!”

“Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadhan, tidakah salah?”

“Justru andika telah salah dan sesat, Syekh!”

“Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan, apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan Allah dalam alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?”

“Andika ini melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?”

“Saya tidak sedang melantur, Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya sebagai manusia biasa tidakbisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika demikian artinya telah melebihi Allah….”

“Bagamaina andika ini, Syekh? Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata, memutar-mutar kalimat!”

“Bukakankah manusia dalam kehidupannya hanya memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi. Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat dan menyesatkan umat….”

“Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran Bayat mengerutkan keningnya.

“Islam itu agama syariat!” ujar Sunan Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.”

“Tidak bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
Bersambung………