Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 65]

“Bukan sihir, tetapi kebatinan yang sempurna. Mengenai Pengeran sementara yang lain tidak. Karena diri Pangeran saat memasuki Padepokan dan berhadapan dengan Syekh Siti Jenar telah diliputi nafsu amarah, yang sebetulnya bisa menggelapkan mata batin.”

“Saya kurang paham, Kanjeng?”

“Semakin bernafsu pada Syekh Siti Jenar maka pengaruhnya semakin kuat pula menggiring Pangeran dalam situasi linglung.”

“Ah, saya tidak terlalu yakin jika Syekh Siti Jenar tidak menggunkan sihir.”

“Tidak mengapa seandainya Pangeran kurang percaya.”  Sunan Bonang telah lenyap dari hadapan Pangeran Modang.

“Kanjeng? Kemana?” menoleh ke kanan kiri, tinggal Sunan Kudus dan Pangeran Bayat yang bersamaan mengusap wajah selesai istigfar.

***

Mereka semakin menguatkan barisan. Kekacauan yang sengaja dihembuskan telah meracuni sebagian rakyat miskin. Paham itu menyebar dengan cepat laksana tiupan angin, mereka tidak berpikir terlalu jauh langsung menerima, disamping keawaman serta ketidakmapanannya.

Padahal pemahaman yang disebarluaskan para pemberontak berbeda dengan pemahaman murid Syekh Siti Jenar lainnya. Ki Chantulo, Ki Donoboyo, apalagi Kebo Kenongo.

“Ki Angeng Pengging? Mengapa kekacauan ini terjadi? Pada ujungnya semua kesalahan ini ditujukan pada guru kita…” raut muka cemas Ki Chantulo mendongak ke arah Kebo Kenongo.

“Benar Ki Ageng, bukankah guru kita tidak mengajarkan kekacauan ini.”

“Yang kisanak katakan semuanya tidak salah.” mendekati Ki Donoboyo sedang duduk di atas hamparan tikar pandan.

“Bukankah dalam setiap perjalanan menuju kebaikan tidak selamanya akan menemui kelancaran…”

“Saya mengerti akan hal itu, Ki Ageng. Namun kesalahan dan kekacauan ini mengapa harus guru dan kita yang dipersalahkan. Tidakah mereka mengerti serta tahu duduk perkara yang sesungguhnya?”

“Entahlah,” lalu duduk disamping Ki Donoboyo. “Saya pun baru mendengar kabar yang simpang siur. Tetapi tidak perlu khwatir seandainya kita dianggap salah oleh manusia. Bukankah Allah Maha Tahu.”

“Ki Ageng, tidakah kita harus meluruskan persoalan yang sesungguhnya terjadi?”

“Siapa yang akan mendengar cerita kita? Bukankah kita ini hanya rakyat jelata? Bukankah demikian, Ki Ageng?”

Bersambung…