Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 48]

Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja yang hendak menemui penghuninya.

“Kanjeng, itulah tangga susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat.

“Sangat banyak anak tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya.

“Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema.

“Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…”

“Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…”

“Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum.

“Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.”

“Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga.

“Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang.

“Tentu saja di padepokannya, Pangeran.”

“Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu sihirnya?”

“Tidak,”

“Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…”

Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan-akan tidak memiliki bobot.

“Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti Jenar.

“Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….”

“Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng juga punya ilmu sihir?”

“Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”

“O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas berolah raga…apalagi memanjat gunung…”

Matahari semakin nampak, panasnya terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat dan keringat panas.

“Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro. Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.

“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika tidak akan bisa lolos…”
Bersambung………