Minggu, 30 Juni 2013

Inilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUI

Inilah Kegiatan Kontestan Miss World yang Tidak Diketahui MUI

MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Ketua VII MUI Bogor, Fahrudin Sukarno, mengancam akan melakukan aksi besar-besaran jika ajang ini tetap dilaksana. Mereka beralasan Miss World tidak sesuai dengan karakteristik budaya bangsa dan lebih cenderung menampilkan pornografi dan pornoaksi sehingga tak ada manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Dikutip dari metrotvnews.com (9/4),

Menarik sekali alasan MUI dan ormas Islam Bogor menolak Miss World. Menunjukkan MUI dan ormas Islam Bogor tidak tahu menahu mengenai kegiatan kontestan Miss World lalu serta merta menuduhnya sebagai ajang pornografi dan pornoaksi.

Apa saja syarat agar dapat menjadi pemenang Miss World? Berikut ini adalah hal-hal yang harus dikuasai kontestan Miss World untuk memenangkan kontes tersebut. 1) Penguasaan memilih gaun, 2) Penguasaan memilih pakaian renang. 3)Pengetahuan dan penerapan diet. 4) Menata rambut, make up dan senyum. 5) Intelektual dan pengetahuan umum.

Poin 5, Intelektual dan pengetahuan umum adalah poin terberat. Untuk mempersiapkan diri menjadi pemenang Miss World, selain harus mampu berpidato di depan publik, kontestan harus menguasai pengetahuan mengenai:
Aborsi dan hak-hak reproduksi
Achievement
Usia dan manula
Pelanggaran hukum dan pelanggaran lalu lintas
Pacar, pacaran dan pernikahan
Karir dan pekerjaan
Pandangan mengenai bedah plastik
Pengetahuan mengenai negara dan pariwisata
Kasus-kasus hukum yang terjadi dan kasus pada Mahkamah Agung
Hukuman mati
Perceraian
Obat-obatan, alkohol dan rokok
Masalah-masalah ekonomi dan perekonomian
Pendidikan dan sekolah
Pemilihan umum, dan pengetahuan tentang partai politik
Kebijakan energi dan lingkungan
Hiburan, TV dan Bioskop
Etika, kecurangan dan pencurian
Euthanasia
Iman, agama dan spiritual
Keluarga, orang tua, menjadi orangtua, kehidupan anak-anak
Kehidupan wanita
Persoalan kesetaraan gender
Kebebasan berbicara
Pertemanan dan menjalin hubungan
Ibu negara dan wanita-wanita yang berkarir di dunia politik
Perjudian
Tujuan dan cita-cita
Kepemilikan senjata
Jaminan kesehatan
HIV/AIDS
Homosexual
Imigran gelap
Masalah-masalah kesehatan
Masalah-masalah moral
Penggunaan nuklir dan perang nuklir
Ketelanjangan
Internet
Poligami
Politik dan masalah-masalah politik dalam negeri
Politik internasional
Pandangan politik
Pornography
Presiden dan Presidensial
Press, media dan reporter
Ras dan diskriminasi
Kegagalan
Role Model
Sex dan hidup bersama
Olah raga
Sukses, dan bagaimana menjadi sukses
Undang Undang
Terorisme dan keamanan nasional
Pengalaman traveling
Kehamilan tanpa pernikahan
Wanita dan politik
Tokoh-tokoh politik
Tokoh-tokoh penting dunia
Sejarah nasional
Sejarah internasional
Kejahatan dan tindakan kriminal
Militer dan perang

Dari semua pengetahuan umum yang harus diketahui kontestan Miss World di atas, dimana letak pornografi dan pornoaksinya? Dimana letak tidak ada manfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya wanita? Saya rasa, para demonstran penolak Miss World ini, belum tentu bisa menguasai topik-topik yang harus dikuasai kontestan sebagai syarat memenangkan Miss World. Jadi, hanya wanita cantik dan cerdas saja yang bisa memenangkan kompetisi ini.

Secerdas-cerdasnya wanita, jika pria hanya fokus melihat dada dan bawah pusar wanita saja, tentu saja jadi porno pikirannya.

Solusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad Heryawan

Solusi bagi Ahmadiyah Menurut Ahmad Heryawan

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menilai, kekerasan berujung perusakan pada saat penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, dan di Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya minggu lalu, tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang. (Kompas.com 7 Mei 2013).

Sungguh sebuah solusi cemerlang yang ditawarkan oleh Gubernur Jawa Barat. Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah tidak perlu terjadi jika ajaran Ahmadiyah hilang.

Jika saya menggunakan solusi beliau untuk berbagai kasus kekerasan di tanah air, maka saya simpulkan:

Kekerasan terhadap jemaah Syiah tidak perlu terjadi jika ajaran Syiah hilang.

Kekerasan terhadap umat Kristen dan penutupan gereja tidak perlu terjadi jika ajaran Kristen hilang.

Kekerasan terhadap bhiksu Buddha tidak perlu terjadi jika ajaran Buddha hilang.

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tidak perlu terjadi jika Perempuan dan Anak hilang.

Ahmad Heryawan ini dari PKS ya?

Apakah Ahmad Fathanah Germo untuk PKS?


“Assalamualikum Akhi, kurma satu kardus sudah ana terima, dan 10 biji ana ambil untuk vitamin unta kita, sebagai kendaraan jihat, syukron.”

Kalimat di atas adalah sms dari Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq pasca diterimanya uang sebesar 1 miliar rupiah dari PT Indoguna Utama untuk diserahkan kepada LHI. 10 juta digunakan sendiri untuk membayar goyangan Maharani di hotel Le Meridien.

Di KPK, Maharani mengembalikan uang itu, karena dia tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek tersebut.

Setelah Maharani Suciono, muncul nama-nama baru. Ayu Azhari, Vitalia Shesya, Ayu Azhari dan Tri Kurnia Puspita. Semuanya memiliki kesamaan: mengembalikan uang dan berbagai hadiah yang telah diterimanya. Kemungkinan, para wanita ini memiliki kesamaan. Tidak terlibat dan tidak mau dikaitkan dalam urusan suap impor daging menjelang Imlek.

Menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, dalam kurun waktu 5 tahun ada lebih dari 20 orang menerima uang dari rekening Fathanah yang tidak jelas peruntukannya.

Menanggapi hal itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq ikut berkomentar. Menurut dia, temuan PPATK merupakan urusan pribadi Fathanah dan tidak perlu dikaitkan dengan partainya. “Jangankan 20 (perempuan), ke 100 perempuan pun no problem. Itu urusan pribadi dan tanggung jawab pribadinya (Fathanah),” kata Mahfudz.

Mari kita baca lagi sms Ahmad Fathanah kepada Presiden PKS. Urusan pribadi kah jika menggunakan uang partai dan penggunaannya dilaporkan kepada Presiden Partai?

Katakanlah anda punya hubungan dengan wanita, memanjakannya, memberinya hadiah uang, perhiasan mahal dan mobil, apakah anda menggunakan uang perusahaan dan melaporkannya kepada Presiden Direktur? Pakai uang perusahaan sekali saja untuk urusan goyang ranjang, anda bisa dipecat. Minimal, disuruh mengganti. Menggunakan uang perusahaan untuk 20 wanita, artinya wanita-wanita tersebut memang dibayar untuk kepentingan perusahaan.

Demikian juga dengan Partai. Menggunakan uang partai untuk wanita-wanita serta melaporkan penggunaan uangnya kepada Presiden Partai, artinya para wanita ini bukan wanita simpanannya Ahmad Fathanah pribadi. Namun memang wanita-wanita nya PKS.

Mengenai apa yang dikerjakan wanita-wanita ini dalam kurun waktu lima tahun untuk PKS, kita belum tahu. Mungkin saja guru mengaji. Mungkin saja….

Pancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada Khilafah

Pancasila Lebih Mewadahi Muslim Indonesia daripada Khilafah


68 tahun yang lalu, para pendiri negara Republik Indonesia, diantaranya Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Alexander Andries Maramis, Ahmad Subardjo, Ki Hadikusumo, Wahid Hasyim, Agus Salim and Abikusno merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam perumusan tersebut, disepakati untuk menolak usulan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika, merupakan pemersatu keberagaman di Indonesia. Karena Indonesia memang terdiri dari beragam suku, bahasa, budaya, bahkan agama. Berbagai agama impor, membaur dengan budaya lokal. Islam di Jawa berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Islam kejawen. Kristen di Jawa, berbaur dengan kepercayaan lokal menjadi Kristen kejawen.
.

Wetu Telu. Sumber: primadonalombok.blogspot.com

.

Kemerdekaan Indonesia, adalah hasil kerja sama bahu membahu semua pihak, semua etnis, semua suku, baik orang Jawa, orang Cina, orang Batak, Menado, Sunda, Bali, Padang, Makassar, secara bersama-sama mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 45 adalah konsep yang paling tepat untuk mewadahi keberagaman di Indonesia.

Namun, pihak muslim radikal hingga saat ini tetap mendesak pemerintah untuk mengganti Pancasila menjadi Syariah, dengan alasan: Perintah Tuhan.

Menerapkan syariah di negara yang plural ini, merupakan pemaksaan keberagaman menjadi keseragaman. Hal ini malah menciderai Islam sendiri sebagai rahmat bagi semua mahluk. Artinya, rahmat bagi masyarakat yang beragam. Bukan rahmat bagi masyarakat yang seragam. Menerapkan syariah di Indonesia menciderai ajaran islam yang menghormati kebebasan beragama dan menciptakan kedamaian global.

Mari kembali melihat pembentukan Negara Republik Indonesia. Lihatlah konsep Dasar Negara, semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Undang-Undang Dasar. Semua adalah bentukan manusia. Bentukan BPUPKI. Seluruh konsep negara-negara yang ada di dunia adalah bentukan manusia. Tidak pernah ada satu negara pun yang dibentuk oleh Tuhan.Tidak ada. Tidak negara republik, kerajaan, kesultanan, kekhalifahan, institusi politik, tidak satupun yang dibuat oleh Tuhan. Semua adalah buatan manusia.

Begitu juga Negara Islam. Tidak ada satu negara islam dimanapun sepanjang sejarah dibentuk oleh Tuhan. Semua negara Islam yang pernah ada di muka bumi ini dibentuk oleh manusia. Tuhan tidak membentuk negara. Hukum syariah yang diterapkan pun, merupakan produk interpretasi akal manusia semata.

Dengan sumber yang sama, hukum syariah yang satu tidak sama dengan hukum syariah yang lain. Hukum syariahnya Arab Saudi tidak sama dengan hukum syariahnya Taliban, tidak sama dengan hukum syariahnya Iran, tidak sama dengan hukum syariahnya Aceh. Artinya: penerapan hukum syariah merupakan produk manusia dan produk interpretasi akal manusia. Bukan produk Tuhan. Tuhan ada satu, tapi penerapan hukum syariah ada banyak versi. Artinya, penerapan hukum syariah adalah bentukan manusia.

Membentuk negara Islam, hanyalah meniru-niru negara Kristen jaman dahulu, tanpa mampu belajar dari sejarah, bahwa agama tidak bisa dijadikan dasar bernegara dan berbangsa.

Mempropaganda pembentukan negara Islam Indonesia adalah tindakan memanipulasi massa, untuk kepentingan ekonomi dan politik. Jauh dari semangat toleransi, dan damai Islam itu sendiri. Mari lihat berbagai contoh negara Islam di dunia. Tidak satupun yang benar-benar menjalankan damai Islam sebagai hukum negaranya. Tidak satupun yang mewadahi keberagaman. Yang ada hanyalah keseragaman. Sampai warna pakaianpun dipaksakan seragam satu negara. Tidak satupun yang mengangkat harkat hidup masyarakat miskinnya. Ujung-ujungnya hanya melindungi elit politik yang korupsi.

Bahkan Aceh pun, menduduki peringkat ke-2 propinsi terkorup se-Indonesia. Bandingkan dengan DKI yang menempati posisi pertama dengan jumlah penduduk 10 juta. Aceh berpenduduk 4 juta orang. Artinya, tingkat korupsi dibandingkan populasi penduduk, Aceh menempati Juara Pertama. Kemudian, lihatlah tingkat pendidikan. Aceh menempati Juara Pertama pencetak pelajar TIDAK LULUS ujian negara. Pembangunan Aceh pasca tsunami pun, secara gotong royong dibantu oleh luar negeri cq negara-negara non syariah. Artinya, penerapan hukum syariah tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. Syariah digunakan sebagai kamuflase untuk melindungi keserakahan elit politiknya.

Indonesia tidak memerlukan negara Islam. Tidak memerlukan pembohongan publik oleh politisi-politisi serakah yang membungkus keserakahan dengan agama. Yang kita perlukan sudah kita miliki: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD45, yang mewadahi seluruh elemen masyarakat Indonesia yang beragam.

Mari kita tolak propaganda palsu orang-orang yang menjual Islam untuk tujuan kekayaan pribadi dan kelompok sendiri.

SERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVII

SERAT NITIMANI pupuh XVIII-XXVII

PUPUH XVIII

Juru Patanya :

“Suwawi kisanak, sami karaosaken, cecangkriman gegujenganing para ahli budi, ing tanah pedusunan tembung wicaranipun makaten ing jagad sakurebing langit, salumahing bantala inggih salebeting alam donya punika isi kathahipun manungsa, kacariyos amung kekalih awarni jalu lan wanita, yen makaten pawestri punika inggih boten aprabeda (190) sami tinitah jumeneng manungsa sajati, ananging sareng kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya ingkang sampun kasebut ing inggil wau, ingkang kadunungan dating Pangeran kang amaha suci amung jaler kemawon, punapa sababipun teka aprabeda.”

Sang Murwenggita :

“Leres kisanak, kula sadaya wau saweg tumrap dhateng sujanma priya kemawon, dene sampeyan bilih angraosaken dhateng sujanma wanita punika kacariyos boten aprabeda.”

Juru Patanya :

“Menggah cariyos sampeyan piyambak ing ngajeng wau wewejangan ingkang kaping nem, dipun wastani kayektening kahanan kang maha suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, awit dene pamejanganipun.”

(191) Sang Murwenggita :

“Sampun makaten kemawon kisanak, wicantenan sampeyan punika boten susah kalajengaken awit kula sampun mengretos ubetipun karsa sampeyan badhe amelehaken dhateng kula.”

Kontol punika kahananing Betal Mukadas.
Pringsilan, kahananing purba punika wonten wirayatipun guru manawi amedaraken rahsaning ngelmi pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, ing atasing amejang dhateng pawestri, wenang kiniyas makaten : ing nalika Pangeran kang maha suci karsa anata malige ana ing dalem Betal Mukadas, jumeneng wonten ing baganing Siti Hawa, punika ingkang wonten salebeting baga : (192) puruna, ingkang wonten antaraning puruna retna, inggih punika mani, salebeting mani : madi, salebeting madi : wadi, salebeting wadi : manikem, salebeting manikem : rahsa, selebeting rahsa : punika dating atma, kang anglimputi kahanan jati.
Dene pitedhahipun makaten : baga punika tetimbangan konthol purunan tetimbangan pringsilan, ing salajengipun sami ing atasing wewejangan dhateng kakung, anenipun merdi supados marsudi dhateng waskitaning sangkan paran.

Sanesipun punika wonten malih, wewejangan ingkang kaping pitu ing ngajeng wau panetep santosaning iman, ing atasipun amejang dhateng pawestri wenang kawewahan makaten : Ingsun anekseni, satuhune (193) ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun Mukhammad iku utusan Ingsun, Patimah iku umat Ingsun.

PUPUH XIX

Juru Patanya :

 “Kisanak, menggah asmaranipun pawestri yen pinuju sinangama ing kakung, punika prayoginipun ing tingkah kados punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Yen nitik asmaranging priya, kathah rubeda samanten wau, saleresipun tiyang estri ing asmara boten malih, amung kedah anut ing ombak kasagedaning priya, ananging pawestri kathah ingkang anguciwani, lingsemipun ingkang boten pakoleh kadamel wadi, sujana yen kawastanan pawestri lenjeh ing kakung liripun makaten, kathah wanodya ingkang gadhah reka, saben-saben arsa rinabasa ing priya (194). Rewa-rewa datan arsa, kengingipun ngantos pineksa pinarosa, menggah gelar ingkang makaten wau pikajengipun supados sampun ngantos kawastanan pawestri lenjeh ing priya, tuwin sampun ngantos kawastanan pawestri karem dhateng raosing asmara, temah andadosaken kasereng karsaning priya, inggih panduking rubeda, wekasan ing asmara tan saged widada.”

Wonten malih gelaring wanita yen nuju sinangama ing priya, lajeng ambiyantu ing solah obahing raga dadosaken keras maju munduring pasta, pratingkah makaten wau sedyanipun supados mimbuhi sakecaning prasa, wekasan sarem kataman sruning panggosok anuwuhaken dhateng bantering hawa inggih punika gegolonganing rubeda, (195) saged ngenggalaken pamudaring prasa.

Juru Patanya :

“Patrap pratingkah kasebut ing inggil wau kirang proyogi, sebab anyelakaken dhateng rubeda rumraping priya, wangsul tembung saleresipun wanita ing asmara kedah anut ing ombak kesagedaning pria punika empan lan mapanipun kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, bebakunipun ingkang prelu kedah waskita, amawasa nuju karsaning priya, ing solah kedah anut ing pangrehing kakung, wondene sarananipun ingkang rumiyin buka dhateng sereng angkaraning karsa priya kasensema ing asmara, menggah patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe amimbuhi dhateng kiyat pastanira, wekasan tan membat katiban ing gada. Ingkang kaping kalih niyat angencengna (196) daya wedaling seni, patrap ingkang makaten wau pikantukipun badhe ngrapetaken wiwaraning pasti baga, dene melar mingkusing daya wiwaraning baga wau cekap kebiyantanana pamethet uculing napasira. Wondene angsahing yuda brata kedah ngangge gelar mawi mangkara dibya, mengsah kapapana miring mangiwa, kaprenahna lambunging sang krodha kang tengen, prelu pakoleh kang nyata tahan kuwawa sarosa, tambah nyelaken denira sang sinungku mudasmara, makaten kabar sang reh pajaring laksita.”

PUPUH XX

Juru Patanya :

“Kula nate nyumerepi, pinten-pinten sujanma pawestri, anggenipun murih supados dipuntresnani dhateng semahipun wonten ingkang sami mawi (197) sarana merdhukun utawi maguru aji pangasihan, menggah patrap ingkang makaten wau bebatosanipun kenging dipunwastani leres punapa lepat?.”

Sang Murwenggita :

“Sasumerep kula patrap ingkang makaten punika boten anemunaken bebudenipun tiyang estri kemawon, sanadyan para priya ingkang sami anjangkah darajat kadosta kawiryan. Inggih punika anjangkah dados priyantun utawi jangkah kasugihan kathah ingkang ngangge sarana merdukun, utawi anyenyembah bulus, reca, kajeng angker, sela sesaminipun manawi saking panimbang kula, sujanma ingkang gadhah patrap makaten punika lepat sanget, awit saking bodho cublukipun, mangka pepuntonipun saking kinten-kintening menggah widada katarimaning sedya punika amung dumunung (198) wonten ing pandamelan labet tuwin labuh, awit labet utawi labuh wau ing sajatosipun sampun dados panedha utawi panembah. Awit wujudipun ingkang kawastanan labet wau inggih guna, tegesipun kapinteran, ingkang dipun wastani guna punika inggih sarana, tegesipun piranti, ingkang binasakaken sarana punika inggih : mantra, tegesipun muna, ingkang dipunwastani mantra punika inggih donga tegesipun muni, ingkang binasakaken donga punika inggih puja,  tegesipun panggunggung, inggih punika sadaya wau dumunung pangrengganing basa, utawi patrap ingkang dados pepunton atining tata karami.”

PUPUH XXI

Juru Patanya :

“Cariyos sampeyan, (199) sadaya dalil dhawuh pangandikaning Pangeran kang maha suci utawi kadis pangandikaning Kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kasebut ing ngajeng wau, suraosipun lajeng karaos ing dalem raos, wekasan rumaos sakalangkung andadosaken agening manah kula, yayah amarwata suta, karana sampun terang lan tetela manawi dating Pangeran kang maha mulya punika sampun dumunung wonten ing kita priyanga, utawi kita punika terang sanyata yen wujuding Allah tangala blaka.”

Sang Murwenggita :

“E…., e…., kisanak, kula ngengetaken, sampun enggal-enggal gadhah pangrengkuh tuwin sumengguh nganggep jumeneng dating Pangeran kang maha suci, ing ngriki wonten tetembungan dolananing lare alit makaten : cohung, ora gombak ora (200) kuncung mung anggepe kaya tumenggung, ora jogan ora longan mung anggepe kaya Pangeran. Menggah patrap ingkang makaten wau saestu ageng ing sesikunipun, tur awrat ing kukumipun. Wonten malih cariyos ing Serat Wedatama, inggih tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, dumunung ing pungkasan kalih dasa sekar gambuh makaten :

Nanging ajwa kesusu, aja pisan wani ngaku-aku, bok kesiku kang mangkono iku kyai, kena uga wenang muluk, yen wus katos pada melok.

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel ngandeling takdir, akantya awas emut, den memet yen arsa momat.

Pramila wonten lambang ingkang makaten wau (201) jer manungsa punika wewatekanipun beda-beda, wewejanganipun wonten tigang warni, kados ing ngandhap punika :

Manungsa punika wiwit lare sinapih ing bapa biyungipun, lajeng ngupados sandhang utawi teda piyambak salaminipun, ngantos sepuh gruyuh-gruyuh dumugi pejah, boten pisan wonten tukuling pambudi, yen anedya mangretos rumaos, utawi karaos duk wonten ing gesangipun, lan saolah bawaning balanipun, punika kaliyan katitahaken dening Pangeran kang maha suci, inggih punika ingkang binasakaken manungsa uripe kewan blaka kados maesa tuwin lembu sasaminipun.
Manungsa wiwit lare, sareng dumugining akir baleg, mangsa dewasa tukuling panggraitanipun, angaji maos kitab-kitab pekih utawi musakab, (202) dereng ngantos sumerep ing suraosipun, dereng absah murad maksudipun, kaselak kasesa ajrih dhateng Allahuthangala, kakinten badhe ngukum dhateng sadayaning, manungsa, kalebetaken ing naraka brama kang katikel sayuta lan panasing geni alam donya, saking sanget ajrihing wardaya wekasan dalu lan rina boten pedot tansah rukuk tuwin sujud, ngantos bundas batukipun, kacariyos saking pangraosipun seba nyembah Allahuthangala, ngantos supe ngupados boga, yen kraos luwe lajeng nglampra, nglojong ngulandara boga, anemis saba desa, ngasoraken sarira tembunge melas arsa, bok manawi inggih punika ingkiang binasakaken manungsa tuwuk anggenipun maca Alhamdu, (203) dados mendem kulhu, dhateng kraos mumet lajeng gumlimpang gumlundhung wonten ing sarak.
Manungsa wiwit lare dumugining akil baleg, manungsa dewasa agegulang ngelmu rasa, surasa sakyeh pustaka dhateng pangulangipun dumugi ngelmi kang sanyata kasampurnaning manungsa kadi kang wus pinatela ing ngajeng wau sadaya, sarana suruping panampa jatining Allahuthangala, wujude ing badanira karana wus pira-pira, kasebut aneng pustaka, dating Pangeran kang maha kawasa, dumunung wonten manungsa, kang mangka seksi pratandha den cocoken ing badanira, adarbe angkara murka, ngangsa-angsa dremba, karem bukti lawan nendra, yen nuju angganira kataman ing sangsara, sru manangis rawat waspa, sesambate (204) melas arsa, iku kang kinarya tandha badane Allahuthangala, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa mendem kitab tasawuf kabatan ing donga sepi, utawi donga sepi (suwung).
Juru Patanya :

“Amit kisanak, kula nyuwun pangapunten nyelani sakedhap awit kedah kekel gumujeng, boten kenging kula ampet, inggih sareng ngraosaken dhateng nalar lelampahanipun tiyang tetiga wau dene teka warni-warni.”

Ingkang angka 1 : boten darbe rumaos dumadi kaliyan dinadekaken ing Pangeran, saiba anggenipun sakeca salebeting manahipun, kenging binasakaken manungsa mung sakarsa-karsa, momong ing sarira, saupami yen panuju nendha, inggih tulus ambukti tur kaliyan eca, yen sampun tuwuk lajeng nendra tur kaliyan sakeca, (205) karana boten wonten malih ingkang winiraos ing salebeting pangraosipun. Ingkang angka 2 : saking cupeting pambudi awit kataliban dening bodho, dumawah ing sesiku kataman ing bingunging manah, kasluru ing pangraita, temah ajrih yen pinentung dening malaekat den larak dhateng naraka, wekasan anempuh ing tekad anguntala pil Alhamdu, dhateng kasereten anggenipun ngulu lajeng dipununjuki ing lapil kulhu, saestunipun inggih wuru, wewah badanipun ginabagan ing sarak, gulung gelangsaran, wekasan anyepupung wonten ing sarengat.

(206) Ingkang angka 3 : punika sanget gumujengaken, dene wonten manungsa ingkang kadunungan pangraita kados makaten, mangka saking kaengetan kula ugi kasebut ing surat Eklas inggih lapal kulhu ingkang ngendemi wau, pepungkasanipun makaten : lahu kufuan akad, maknanipun : Allah iku ora ana kang nyakutani ing sawiji-wiji, tegesipun ora ana kang memadani, dados saupami Allah punika awujud ageng, ing jagad punika ing saisen-isenipun dalah segantenipun kalebet awang-awangipun, dereng mantra yen sageda tumimbang, dados saupami Allah punika karsa dhahar sapinten kathah ing sekulipun, yen saupami Allah punika karsa amuwun saking bantering swaranipun bok manawi damel rangkading jagad punika sadaya.”

(207) Sang Murwenggita :

“Pramila lajeng wonten temban paribasan amung kalih bab makaten :

Langkung tuna janma tan pangawak ngelmi, pikajengipun langkung tuna sujanma punika yen boten sumerep dhateng suraosing ngelmi.
Genggenging dosa punika boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang kirang sampurna.”
Juru Patanya :

“Yen makaten menggah kosok wangsulipun, genggengin kamulyan punika punapa inggih boten wonten kados tiyang olah ngelmi ingkang sampurna?.

Sang Murwenggita :

“Kisanak, punika leres nanging inggih boten manawi.”

PUPUH XXII

Juru Patanya :

“Kisanak, wangsul anggen kula angraosaken bab jabang bayi wau, wujuding wewatekan tuwin (208) dawahing lelampahan sami awarni kekalih. Kadosta wujud jaler lan estri, kalakuwan awon utawi sae, sarta ing tembe lelampahanipun dhawah begja utawi sangsara, punika kados pundi mula bukanipun?.”

Sang Murwenggita :

“E…, e…. teka nyeplesi tembung paribasan narithik kadi pakuning trebang, ananging inggih leres, wujuding bebayi punika warni kekalih, jaler, estri, awon utawi sae, lelampahanipun begja utawi cilaka, kacariyos inggih wonten ngriku. Winahyu dumawahipun pramila wonten tembung Pangeran-erang : luput pisan kena pisan, dumunung wonten panjing serapipun, ananging sinten ingkang uninga, karana taksih ginaib, ewa dene manungsa ingkang (209) sampun binuka waskitaning driya bok manawi boten kekilapan dhateng prakawis punika, dene sumerepipun ningali saking punapa, utawi nitik saking pundi?, punika kula dereng terang, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos bebasan amung sawonten-wontenipun tur inggih neniru, anular saking cariyosipun sujanma ingkang bodho, kirang pambudi, ananging inggih amung dados sesimpenan kemawon, batal yen kaucepaken saderengipun lahir, awit ingkang makaten wau binasakaken genggenging dosa, karana kami purun ketrecet ngrumiyini karsa kuwasaning Pangeran kang maha suci sejati, kacariyos menggah ing tumandukipun bebasan liru lambang utawi wolak-walikan, kilap leres utawi lepat (210) kapratelakaken kados ing ngandhap punika.”

Ing salebetipun badhe pulang asmara priya kaliyan wanodya, ing mangka priya ingkang adarbe karsa sanget harda dhateng wanodya, ing sadangunipun apulang asmara hardaning karsa wau, layap liyep luyutipun ngantos dumugi ing cipta maya, lajeng amudhar prasa kapinujon pinarengan wahyaning mangsa kala, sarehning kala wau harda karsaning priya dhateng wanodya dados pikantukipun sami ugi kaliyan pawestri, kinten-kinten bok manawi kadadosanipun bebayi ing tembe inggih pawestri.

Dene kosok wangsulanipun yen wanodya darbe karsa harda dhateng priya, (211) saolah kridaning leksana nunggil kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal priya.

ING sapunika mangka wonten ingkang sarengan priya lan wanodya, darbe karsa sami hardanipun saolah kridaning leksana sami widada, datan sae kadi ing inggil wau, kinten-kinten bok manawi kadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal dampit awujud kekalih jalu kalawan wanita.

Ing sapunika wonten malih, upamu sujanma priya mangka ing saderengipun saged kayuyun sageda pinaringan gadhah atmaja wanita pamuntuning panggalih inggih ngantos dumugi ing cipta maya lajeng pulang asmara, saolah (212) kridaning laksana nunggil kadi ing ngajeng wau sadaya, inggih punika ingkang binasakaken kayu dolong ketlusupan jati, liripun makaten wau cipta kaseselan ing cipta, kinten-kinten bok manawi kadadosan bebayi, lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih, kembar sami pawestri.

Dene kosok wangsulipun yen wanodya, mangka ing sadereng-derengipun sanget kayuyun darbe atmaja priya, saolah kridaning leksana, nunggil kadi ing inggil wau sadaya kinten-kinten bok manawi kadadosaning bebayi lahiripun ing tembe inggih medal wujud kekalih kembar sami priya.

Dene yen makaten saupami lan wanodya sesarengan sami adarbe karsa saolah keidanira nunggil (213) kadi ing ngajeng wau sadaya, badhe gadhah bebayi pinten punika saestunipun para winasis rak inggih sampun galih piyambak sarta inggih sampun gadhah panimbang, menggah kodrating Pangeran kang maha suci dhateng ing atasing manungsa, sayekti kadamel beda kaliyan babi celeng rawa yen garbini, lahirira genjike langkung sadaya.

Wondene alas hardaning karsa, dumugining cipta maya kados ingkang kasebut ing inggil wau, bok manawi boten amung mahanani dhateng wewatekaning bebayi, pramila para sujana lan sarjana ingkang waskita ing kadadosaning krida utawi pangripta wau sok (214) nuwuhaken, lajeng kangge tetenger nama dhateng para atmajanipun.

Juru Patanya :

“Kisanak, mugi sampun dadosaken panggalih, gegiliran gentos kula cariyos, sampeyan mirengaken, ing serat Paramayoga mratelakaken ing lelampahanipun Kangjeng Nabi Adam kaliyan garwanipun nama Babu Kawa, dhateng kagungan putra rambah kaping gangsal sami medal dampit, ing riku atmaja wau badhe kajodhokaken sulayaning rembak sami bebantahan arebat kuwasa, wekasan sekaliyan sami amudar rahsa kama kalebetaken ing cupu manik astagina, dhateng dumugining mangsa kamaning priya saged dados manungsa, kaparingan nama Sayidina Sis, dene kamaning wanita boten saged dados manungsa, amung dados erah (215) kemawon, sarehning sampun tetela asaling atmaja wau saking priya, Babu Kawa lajeng ngawon miturut ing pranata karsaning priya, kisanak menggah suraos ingkang makaten wau panampi sampeyan leres punapa lepat?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah saking panampi kula inggih leres.”

Juru Patanya :

“Sabab dening punapa kala wau nyebutraken, yen pawestri darbe karsa harda dhateng priya teka mahanani peputra medal kakung, punapa inggih kisanak pawestri punika kadunungan wiji, saupami makatena saestunipun badhe sulaya kaliyan suraosipun serat Paramoyoga wau.”

Sang Murwenggita :

“Yen ta saupami ngrembaga bab prakawis wiji, leres sampun dumunung wonten ing priya, pramila sujanma (216) wanodya punika bebasanipun kasebut papan utawi wadah, wangsul ingkang karembag wau bab warnining bebayi jalu lan wanita, bebuden utawi wau wiji sampun nomor ing cangkok, pramila jalu lan wanita pundi ingkang santosa sami darbe kuwasa, wondening saksi ingkang kangge pratandha, bebasan ila-ila ujaring sujanma kina, nadya priya lan wanodya yen nuwuhaken atmaja taksih wonten salebeting guwa garba, mangka anabet utawi darbe sangit utawi aniaya dhateng sesamining tumitah punika asring mahanani dados jedaning putra, primila dumugi ing jaman sapunika katelah taksih sami ngangge tembung pepenget, yen ketaman (217) solah sesirikanira anyebut jabang bayi, dene pandhapur kula cariyos saha suraos ingkang makaten wau, amung medal saking kinten-kinten, boten langkung panimban dumunung wonten ing sampeyan piyambak.”

Juru Patanya :

“Kisanak, kula sawek sapunika sumerep lan ngraosaken, pikantukipun tiyang mamardi marsudi ing kawruh, yen sampun gadug, kandhas, tandhes, anggenipun gatukaken gegancaranipun lajeng boten darbe manah gumunan tuwin eraman, inggih dhateng kula ngraosaken cariyos sampeyan wau, bok manawi ing jagad punika boten dangu lajeng kebak kaisen manungsa, awit saben-saben sajumbana saged dados jabang bayi medal kalih, tiga, sekawan utawi (218) wolu.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, mangke ta rumiyin, punika pundi teka galuyuran, lajeng wonten pangraos ingkang makaten punapa boten mawi ngraosaken ing suraos utawi anglalar dhateng ukaraning tembung, pramila kula mestani makaten, awit cariyos kula ing ngajeng wau ingkang sapisan enget kula boten wonten, suraos ingkang nepak tuwin gampilaken tumraping lelampahan wau, ingkang kaping kalih dumugining kedadosan tembungipun yen pinareng dening Pangeran kang maha suci, pundi ta kisanak, ingkang suraos gampilaken sarta pundi tembung ingkang namtokaken, saking panyuwunan kula kisanak, ing salebetipun gegineman punika mugi kersaa dekeki pangalih sakedik supados (219) sampun gluyur, ing panampi boten kuwur, suwawi tan karaosaken kaliyan sayektosipun katimbang menggah ing nalar, kadosta saupami dedamelan wujud barang sasaminipun ingkang warni sae saestunipun rak inggih kedah jangkep ing suraosipun, makaten malih saupami pangolahing tetedan sapanunggalanipun, menggah sagedipun eca katedha saestunipun rah inggih saking jangkeping bumbu-bumbunipun, ewa dene boten kenging pisah kedah kanti rigening pangretos, liripun makaten kadosta saupami bumbunipun kirang ing raos inggih boten eca, saupami kekathahen bumbu ing raos inggih boten eca, menggah pangemaling taker ingkang makaten wau (220) punapa inggih kenging dipun wastani gampil, bok manawi pangolah upakartining kadadosan wijining manungsa wau kados inggih boten prabeda, ananging menggah anggen kula cariyos upami wujud lan barang sarta pangolahing tetedan wau inggih amung kadamel ande-ande utawi sanepa kemawon, minangka tetimbangan dhateng nal;ar-nalaripun, saestunipun sarupaning aran gaib wis ora kena dikaya apa, tembung ingkang makaten wau pikajengipun sampun boten kenging dipunupami, awit menggah ing kadonyan punika boten wonten sesaminipun.”

Juru Patanya :

“Ing salebetipun geginem kula kapurih (221) dekeki manah sakedhik inggih kula estokaken, kapara sapunika kula dekeki manah kathah tur ageng-ageng, ananging kados pundi meksa dereng saged mangretos, suwawi ta kagalih cariyos sampeyan punika, rak inggih aneh utawi mokal sanget liripun makaten wujuding bekakas ora liya iya iku, dene banyune ora liya iya banyu iku, apa sababe nagnggo ana kang dadi uatawa ana kang ora.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula badhe pitaken rumiyin, kula wau sampeyan punapa ngunjuk kulhu, sarta angrencani nyunggi donga sepi, dene kok kalajeng karaos wuru, awit dhateng kula waspaosaken warninipun katingal gujeng, suwawi tan (222) kisanak kagalih trap-trapanipun,  kadosta saupami gelaning lega mangka kadamel kemba, utawi wutah kejening karsa saupami kalimpekaken ing antara dereng utawi sasampunipun pun pasthi amudhar prasaning rahsa sanadyan kasarengana saupami saking punahipun manginggil punapa saged dados rak inggih boten?.”

Utawi malih panduk penden-pendening budi, ati, sir, tuwin karep, punika lajeng mahanani layap liyeping prasa ambuka sadaya langening pramana, inggih punika wenganing krida ingkang nami supe, manggen wonten pun temen idhep, punapa saged dados rak inggih boten. Aprabeda sanget kaliyan patrap makaten : oanduk pendening tingal, (223) pangucap, panggonda tuwin pangrunu mahanani layap liyepingrahsa, buka daya langening atma, inggih punika wenganing krida, ingkang emut manggen wonten pun tetep madhep peparengan kaliyan wahyaning mangsa kala, karsanira Pngeran kang maha mulya karsa nitisaken wijining manungsa, yen makaten bok manawi inggih saged dados menggahing patrap pratingkah ingkang makaten punika sanadyan wujuding toya sajun, rak inggih kengging binasakaken beda-beda.

Juru Patanya :

“Kisnak, inggih leres, kala wau kula ingkang dereng mangretos, sareng sapunika sampun sumerep ingkang dados nala-nalaripun, tetela boten kenging kadamel gampil.”

Sang Murwenggita :

“Mangke ta kisanak, anggen sampeyan lajeng cumeples, saged amestani boten (224) kenging kadamel gampil punika saking pundi, mung tetumpukani, cecaruban, wolak-waliking tembung ing ngajeng wau, suraosipun sampeyan punapa sampun mangretos?.”

Juru Patanya :

“Kauningan kisanak, anggen kula gegulang dhateng tembung maos serat-serat sampun sawetawis lawi, utawi sampun kathah, pramila boten kewran amawas suraosing tembung ingkang makaten wau.”

Ingkang rumiyin wutah kajenging karsa kalimpekaken wenganing dwara, punika pikajengipun sampun ngantos kalebeting wadhah, menggah sasaminipun pratingkah ingkang makaten wau prasasat toya kabucal ing siti kemawon, layak saged amestani boten saged dados, awit saestunipun boten dangu, (225) toya lajeng asat ingkang kaping kalih tembungipun kala wau makaten, panduk pendeng-pendenging budi, ati, sir, tuwin karep mahanani layap-liyeping prasa, ambuka daya langening pramana punika pikajengipun kahananing wiji suwung amung medalaken toya blaka, dados sesaminipun, upami nanem turus kajeng dhadhap ingkang sampun aking, yen nalaripun inggih leres boten saged semi.

Dene ingkang kaping tiga tembungipun makaten : panduk pendening tingal, pangucap, pangganda, tuwin pangrunu mahanani layap-liyeping rahsa buka daya langening atma, tambah pinareng wahyaning mangsa kala, saking pikajengipun, punika kenging binasakaken jangkep, sesaminipun prasasat ana nem turus kajeng dhadhap ingkang taksih seger, tambah (226) nyarengi mangsa nuju gesanging tetrubusan, yen nalaripun inggih leres lajeng saged sami.

Sang Murwenggita :

“Sukur kisanak, yen sampeyan sampun mangretos.”

PUPUH XXIII

Juru Patanya :

“Mangke ta Kisanak, dhateng dangu-dangu anggen kula mirengaken cariyos sampeyan sadaya wau, punika rerembagan bab prakawis ngelmi punapa dedongengan, punapa tembung gegujengan, yen ta kula westani tembung dedongengan utawi gegujengan, dakik-dakiking cariyos ungel wileting tembung menggah patrapipun boten makaten, yen ta saupami kula kawastanan angrembag gaibing ngelmi inggih sanes, awit titikan satunggal-satunggaling golongan lampahipun (227) boten wonten, ing mangka kacariyos ngelmi punika wonten ingkang lampah mutih, saben nedha tanpa lawuh, namung sekul thokthok, laminipun pitung dinten, trekadangan wonten ingkang ngantos pitung dinten, tuwin malih lajeng wonten ingkang lampah pati geni, tilem ing papan ingkang sepi-sepi kadosta kramatan sesaminipun, bilih sampun rampung anggen ipun anglampahi ing riku lajeng nandukaken panyobi, wonten ingkang badanipun kasuduk ing duwung utawi kapentung, warni-warni punapa ngelmi ingkang kalampahan wau, wangsul cariyos sampeyan ingkang sampun gumelar (228) ing inggil wau gegolonganipun bab prakawis punapa?, mugi kersa paring pitedah supados gamp[il anggen kula ngraosaken.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, duka sampeyan, kula piyambak inggih dareng sumerep. Amung mugi-mugi sampun andadosaken panggalih, kula badhe anyariyosaken wonten tembung paribasan dedamelanipun tiyang pinuju pejah, sawek ketaman pegeling manah, makaten prasasat kadi pepethaning patok nanging bisa manthuk-manthuk, sairip kadi rupaning jodhog, nanging bisa delog-delog. Sayektosipun kisanak kula inggih saweg sepisan punika angraosaken patitisipun pangandika sampeyan, leres sejatosipun ingkang nama ngelmi (229) punika menggah kalampahanipun kedah mawi lampah, wondene anggen kula saged mastani makaten wau ing Serat Wedatama, tunggilipun ingkang kula cariyosaken ing ngajeng wau, sekar pucung amung mendhet sekawan pada, dumunung pada wiwitan, ungelipun makaten :

Ngelmu iku, kelakone kanti laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, santa budya pangekes sang dur angkara.

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar dadi rubrda.

Beda lamun, kang wus sengsem ing ngasemu, semune ngaksana, sesamane bangsa sisip, sarwa sareh saking (230) mardi marta tama.

Taman limut, durga mengtyas kang liniput, kerem ing karamat, karana karobaning sih, sihing suksma ngrebda sakardi gengira.

“Kados pundi kisanak, rak inggih leres menggah ngelmi punika kedah mawi akanthi lampah, dados cocok sanget kaliyan pangandika sampeyan wau?.”

Juru Patanya :

“Inggih leres kisanak, cocok pada ingkang wiwitan, ananging namung sapada lingsa, ngelmu iku kelakone kanthi laku, dhateng sapiturutipun boten wonten ingkang magepokan, liripun makaten pundi ingkang nyebutaken mawi nglowon tingan dinten utawi mutih kawan dasa dinten bok boten wonten?.”

Sang Murwenggita :

“Inggih leres, saupami sampeyan mangretos dhateng suraos ingkang makaten wau, mindak oncat saking (231) anggenipun anetepi ing tembung dhengkul ngangge iket, ing mangke kula nyariyosaken bok manawi saking pangandikanipun para winasis duk ing kina-kina, menggah ing lampah kacariyos makaten.”

Yen wonten manungsa ingkang jibar-jibur, tansah bruwah, inggih punika tiyang ingkang tanpa lampah, wonten ing alam donya salami-laminipun, tansah baksana, andrawina, tegesipun tansah asuka-suka, adhedhahar miwah ngunum, ing tembe, manawi pejah kacarios jasadipun bosok dados siti, dene yitmanipun dados memedi, kemamang utawi edhon sedaminipun.

Makaten malih ingkang karem anyenyegah nendha, ing tembe manawi pejah kacariyos jasadipun garing, lajeng dados atos dados sela, yitmanipun ngalambrang kadi (232) kinjeng tanpa soca, tegesipun kadi mibering kinjeng ingkang tanpa netra.

Utawi malih, manawi wonten sujanma, ingkang karem tapa cegah nendra, inggih punika tiyang ingkang karem anglampahi melek, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados setan utawi jin perayangan.

Utawi malih, yen wonten sujanma, karem tapa cegah boten sahwat, tegesipun boten sanggama lan wanita, ing tembe manawi pejah kacariyos yitmanipun dados dhayang ingkang semara siti.

Juru Patanya :

“Pramila sandyan dipun wastanana,  dheyos mawi bebedan utawi reca mawi clana, inggih nariman awit manawi kapanduk dhateng nalar ingkang makaten wau, sinten manungsa ingkang saged amilih karana sampun anyeplesi dhateng tembunganing paribasan makaten yen mlayu mangidul dithuthuk, yen mangalor (233) digepluk, yen mangulon disampluk, yen mangetan dikepruk, wekasan thenguk-thenguk, ora lali iya digepuk. Boten langkung ing mangke bebasan amung pasrah jiwa raga, mugi-mugi lumuntura asih welasing sumitra, aparinga berkah sajarwa leksanane kang sanyata, tumitah ing alam donya.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, mugi-mugi sampun andadosaken pangalih, menggah pamurih sampeyan dhateng prakawis punika tumrapipun ing kula piyambak sejatosipun dereng sumerep pisan-pisan, bilih sampeyan karsa amirengaken cariyos saking nenular, aneniru ing serat wirit yasanipun Raden Ngabehi Ronggowarsita pujangga ing negari Surakarta Hadiningrat, inggih panunggilanipun ingkang sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau, bab lampah-lampah ing kapratelakaken pepetikanipun kados ing ngandhap punika :

Sampun sok amestani, allah, dene yen kapengkok kaplesetna anyebut utawi amestani, Pangeran.
Sampun sok amestani namining, manik, utek, utawi polo, sarta sampun sok nedha ulamipun.
Sampun sok amestani, angen-angen, sarta sampun sok nedha ulam ati tuwin jantung.
Sampun sok amestani, mani, sarta sampun sok nedha ulam pringsilan.
Menawi saged acecegah ingkang makaten wau, kacariyos lawanipun asring katarimah lajeng dados ing ngelminipun.”

Juru Patanya :

“Saupami wonten kesupenipun kisanak, amestani naminipun utawi nedha ulam wau kados pundi, punapa kenging?.”

Sang Murwenggita :

“Kacariyos bilih kasupen (235) inggih kenging boten dados punpa, sabab sajatosipun ingkang prelu dados awisan amung hawa napsu bilih saged ambirat ing hawa napsu, kacariyos ing adat asring kadunungan awas lan emut, manawi tansah anggenipun awas kaliyan emut, bok manawi estu amanggih kamulyan ing sangkan paran dene patrap lan pikantukipun kados ingkang kasebut wirayating  para ahli ngelmi, kapratelakaken ing ngandhap punika :

Taberi, suci, temen mangka dados pambirating durgandana ing tembe, tegesipun anyirnakaken ganda awon.
Angirangi dhahar miwah ngunjuk, mangka dados pangluluhaning raga ing tembe.
Angawis-awisi sare tuwin sahwat, mangka dados pangluyuting jiwa ing tembe.
Anyenyuda (napsu wuwus, mangka dados panglenyepaning rahsa ing tembe.”
Juru Patanya :

“Kisanak, kula eram sanget, inggih amangsuli bab asmaragama wau sakathah ing manungsa tuwi sato kewan, pitik, iwen ing sadayanipun punika, dene teka lajeng saged anindakaken tur kalayan boten winulang, ananging menggahing tindak saestunipun inggih namung angawur, mokal sanget yen sageda pratitis pramila kula sanget kepengin mirengaken bilih wonten piwulang, anggenipun ingkang mesti solah pratingkahing salira, wektu apulang salulut wau kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, saupami kala wau sampeyan karsa prasaja, yen sejatosipun jumeneng dados ratuning ngacubluk, (237) utawi jumeneng dados lelurahing tiyang bodho, rak inggih boten penjan-panjan anggen kula cariyos, mugi kauningana ing sampeyan menggah suraosing serat Sruti, makaten sinten manungsa mangka boten niyat saged sumerep sarta boten mangretos, utawi boten niyat purun anglampahi dhateng suraosing kasampurnaning ngelmi sejati, pinten-pinten ingkang sampun ginelar dening para Nabi miwah para wali, punapa malih para sujana, kacariyos sampun boten kenging pisan dipunajak rerembagan, bab kahananing nalar-nalar utawi pandamel inghkang elok lan kang edi-edi, awit tetela sampun amratandhani terang yen manungsa kebak kaisen ing duraka, wondene anggenipun memaleri ingkang makaten wau bok manawi jalaran saking kuwatos bilih anglepeti (238) ing durakanipun.

Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, teka lajeng wonten tembung ingkang makaten, mugi kersaa genahaken rumiyin, kados pundi sebabipun.”

Sang Murwenggita :

“Menggah ing atasanipun tiyang rerembagan punika, kedah mawi wiwitan, tengahan tuwin pungkasan, wasana dhateng dangu gegineman meh dumugi nalar wekasan, lajeng wangsul tanglet nalaring wiwitan, rak inggih sampun tetela, yen boten mangretos dhateng suraosipun ingkang karembag wau, wondene menggah bodho budheng lan cubluking manah punika sampun kasebut ing kitab Candra, kacariyos jalaran saking jampen panca driyanipun.”

Juru Patanya :

“Kisanak, sarehning kula dereng nate maos kitab Candra, nyuwun pitanglet, bilih wonten manungsa ingkang bodho tuwin cubluking manah, kacariyos (239) jalaran saking jampen oanca driyanipun punika gegolongan sae punapa awon?.”

PUPUH XXV

Sang Murwenggita :

“Manawi saking pamanggih kula, tiyang ingkang kasebut cubluk utawi bodho punika inggih sae, jalaran manawi dipun pisuhi dgateng sesamining tiyang boten kraos, kilap manawi mireng swaraning lembu bok manawi saged mangretos, suwawi kisanak, kamirengna tembung ing sasaged-saged, kula dapur cariyos, supados lega ing panggalih sampeyan, ananging panyuwun kula, anggen sampeyan lengah sampun celak-celak manawi nyiprat ing durakanipun, dene menggah patrap pratingkahing sanggama, punika prayoginipun bok manawi kados ing ngandhap punika :

Ingkang rumiyin nyariyosaken tenbung upami, wonten sujanma priya kaliyan wanodya, (240) badhe dumugekaken karsa apulang salulut sami lumebet ing jinem rum, tegesipun dununging pasareyan, ing riku  sanadyana amung sakaliyan tur dumunung wonten papaning sepen, liripun boten katingalan dening tiyang kathah, ewa samanten menggah pepantenganing panggalih, sampun ngantos kasupen dhateng suraos lan dununging tembung :

Nitas, tegesipun awon.
Madya, tegesipun sedenan, utawi tenahan.
Utama, tegesipun sae, menggah pikajenipun suraos ingkang makaten wau, solah lan pratingkah salebetipun sanggama kedah angengeti dhatengi tanduk ingkang awon, ingkang sedheng lan ingkang sae, dene menggah empan lan mapan tuwin dunungipun makaten.
(214) Ingkang binasakaken tumanduking pandamel nista punika, kados ta apulang asmara,  pratingkahing salira anulat kadi patraping sangamaning sato kewan, maesa, lembu, buron wana sasaminipun inggih punika ingkang binasakaken manungsa purun ngangge dhateng patrap awon, ing mangke kacariyos wonten tembung pangandikaning para sujana, suraosipun makaten : sing sapa manungsa gelem nglakoni tumindak marang panggawe nintha sayekti bakal anemu papa, wondene pangandikanipun para sujana ingkang makaten wau, bok manawi karsanipun asung pralambang minangka pasemon, saking sanget pangowelipun dhateng para manungsa ingkang sami kadunungan muda miwah paguning budi, awit para sujanma anggenipun purun nglampahi dhateng pandamel nista wau jalaran saking dereng nate (242) pisan-pisan srawungan dhateng atining tata krami, utawi dereng nate pisan-pisan kapranggul raosaken dhateng suraosing ngelmi sejati, kasampurnaning manungsa prmila binasakaken dereng uninga ing tata krami, utawi malih binasakaken dereng srawungan ing ngelmi, punika menggah liripun makaten : dik wau pratelaning wewejangan ingkang sepisan, ingkang sampun kasebut ing ngajeng winastanan wisikan ananing dat, sampun anyebataken menggah dating Pangeran kang maha suci punika, manawi karsa micara muhung ngagem lisan kita, yen karsa anganda muhung ngagem grana kita, yen karsa miyarsa, muhung ngagem ing talingan kita, yen karsa ningali muhung ngagem ing netra kita.

Utawi malih duk wau bab ingkang kaping 17 pratelaning wewejangan ingkang kaping wolu dipun wastani sasahidan, sampun nyebutaken makaten : iya sejatine kang (243) ingaran Allah iku badaningsun kang ingaran rasul iku rahsaningsun, kang ingaran Mukhammad iku cahyaningsun.

Wondene pratelaning cariyos ingkang makaten wau, manawi kirang gumatok ing panggalih, ing ngriki wonten cariyos malih kangge minangka saksi, nukilan mendhet saking surat maksuding suraosipun sorahing kitab, kawastanan kakekating salat, kacariyos ugi gegoloanganing kitab tasawuf, wiwitanipun mratelakaken kadis pangandikanipun kangjeng Nabi Mukhammad rasulullah, kajarwakaken makaten : aningali Ingsun ing Pangeran Ingsun, iya kalawan Pangeran Ingsun.

Menggah pangandika ingkang makaten wau muhung anetepi suraos kajatening salat, sabab salat wau pikajenganipun anggelengaken raos ingkang pisah, dene ingkang (244) binasakaken pisah punika wonten sekawan warni kados ing ngandhap punika :

Tembung Ikram, tegesipun ningali ing Allah, dene ingkang binasakaken aningali ing allah punika, sirna paningaling kawula, kantun mligi paningalaning Allah blaka, dados menggah ing pikajengipun tembung aningali ing allah wau ingkang ningali Allah, dene ingkang dipuntingali inggih Allah.
Tembung munajat, tegesipun maca ing Allah, ingkang binasakaken maca ing Allah punika, sampun sirna pamacaning kawula, salugu kantun pamajaning Allah blaka, dados menggah pikajengipun tembung mava ing allah wau ingkang maca Allah, dene ingkang dipun waca inggih allah.
Tembung tabanul, tegesipun gentekake kalawan wujuding allah, ingkang binasakaken gentekaken kalawan wujude Allah punika sirna kawujudaning kawula, kantun tetela kawujudane allah wau sejatosipun inggih allah ing maujud.
Tembung mikrad, tegesipun angluhuraken paningal saking adam maring asaling Pangeran, ing mangka klajeng wonten manungsa, ingkang tetep angluhuraken samubarang kadosta ngelmuning Allah, pangucape Allah, panandhane Allah, pamiyarsane Allah, paningale Allah, date Allah, sipate Allah, afngale Allah, inggih punika tetep rahsaning Allah.
Semangga kisanak, karaosaken kalayan sayektosipun ingkang ngantos dumugi ing dalem raos, bok manawi inggih lajeng kraos liripun makaten sinten manungsa ingkang purun nglampahi (246) dhateng tindak lan pandamel nista, inggih punika sami ugi kaliyan damel kanistaning Pangeran, sinten manungsa ingkang purun agawon-awoning salira, inggih punika sami ugi kaliyan angawon-awoning Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun damel sawiyah-wiyah dhateng salira, inggih punika sami ugi kaliyan adamel sawiyah-wiyah ing Pangeran. Sinten manungsa, ingkang purun angremehaken salira, inggih sami ugi kaliyan angremehaken dhateng Pangeran. Sinten manungsa, ingkang andamel camah ing Pangeran.

Dene manawi wonten manungsa, ingkang boten mangretos sarta kraos, tumrap ing daalem raos, suraosing pralambang ingkang makaten wau bok manawi inggih punika ingkang binsakaken tetep manungsa kapir sejati, (247) awit tembung kapir wau tegesipun kasupelan, utawi kiling-kalingan.

Dene manwi wonten manungsa, ingkang mangretos sarta kraos, sarta ingkang lampah lajeng anetepi angluhuraken samubarang, ngelmune Allah kados ingkang kasebut ing pralambang tembung mikraj wau kenging dipun wastani tetep anyalira lan kasalira ing allah blaka, bok manawi inggih punika ingkang binasakaken manungsa islam sejati, karana tembung islam punika tegesipun pasrah utawi slamet.

Dados manawi karaosaken utawi kagathukaken tembung kekalih wau makaten : manungsa ingkang islam sejati punika, tetep hanyalira lan kasalira ing Allah blaka, bok manawi inggih punika manungsa ingkang sampun kasebut priksa islaming rasul, tegesipun priksa empaning (248) pangira, benering panuju, tepaning sujana, buka wenaning mangsa kala, ingkang makaten bebasan sampun tinamu-tamu kunci rahsaning Allah.

Juru Patanya :

“Kisanak, kula sanget kepengin sumerep tembung sakedik punika, pipiridan saking punapa dene wonten tembung islam ingrasul, punika gadhah teges priksa empaning pangira, tinamu tamu kunci gedong rahsaning allah. Gumuning manah kula dene wonten tembung sakedik gadhah teges kathahipun samanten, saking panginten kula pepatokanipun pancen sanes kaliyan tembung ing ngajeng wau sadaya liripun makaten kala wau sampun nyebutaken tembung islam, tegesipun pasrah utawi slamet, tembung rasul tegesipun inggih rahsa dados bilih wonten tembung islaming rasul punika tegesipun (248) rak inggih slameting rahsa, prmila kula kaget dene boten makaten tegesipun punika kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah panginten sampeyan ingkang makaten wau bok manawi inggih leres, pancen sanes pepathokan dene menggah prabedanipun makaten, dene tembunging cariyos sadaya ingkang kasebut ing ngajeng wau pepathokanipun amung wetah anegesi lan amerdeni tembung salugu kemawon, dene tembung sakedik ingkang gadhah teges anuncer punika wau bok manawi anggenipun anegesi tembung kabawur cinarub kaliyan raos maksuding suraos, pramila kula lajeng saged amesteni terang bilih  geseh pepathokanipun, namung pikajenganipun tembung ing ingil wau bok manawi makaten : pangirane empan, tujune bener, kasujanane nganggo tepa, kados kok inggih leres supami tigang patrap wau kapandukaken badhe ambuka wenaning mangsa kala ingkang slamet, wekasan binasakaken tinamu-tamu kunci gedong rahsaning Allah, sabab lengahipun dumunung atining tata krami.”

Juru Patanya :

“Kisanak, punika prayogi, dhateng kapratelakaken makaten badhe langkung terang sanget, pamurihipun supados boten damel bingung dhateng para maos utawi ingkang mirengaken, yen tembunging cariyos sadaya wau pepatokanipun medal saking kalih prakawis : 1. Teges saking wredining tembung, ingkang kaping 2. Teges saking cacaruban maksuding suraos, wangsul menggah dumugining cariyos sampeyan wau kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kala wau saweg satunggal manungsa, ingkang binasakaken islam sejati (251) punika tetep kasalira lan anyalira ing Allah blaka. Ing mangke bosok wangsulanipun, manungsa ingkang binasakaken kapir punika bok manawi inggih tetep nyalira lan kasalira ananging dening setan blaka, dados manungsa ingkang binasakaken kapir wau saupami karsa apulang asmara, mangka lajeng saged dados wijining manungsa wiwit duk maksih jabang bayi tan pedot pinidih ing pamulangan tur dhateng tindaking kautaman, ing tembe bilih sampun dewasa bok manawi lajeng wigar katragal dados dugal awit enget manawi pandameling setan blaka. Pramila para sujana sanget pangowelanipun, ing sasaged-saged manungsa punika sampun ngantos nglampahi dhateng pandamel nistha sukur ing sagadug-gadug sedya angayuh dhanteng tindak ingkang utami, dene cupetipun ing panyangkah (252) yen boten saged dumugi inggih angayuha dhateng madyanipun kemawon.”

Juru Patanya :

“Makaten manawi sampeyan kuwatos kalepetan dhateng duraka ingkang kula sandhang punika inggih kula lenggah nebih kemawon, amung ta panyuwun kula mugi-,ugi kisanak kersaa nglajengaken cariyos malih, tindak ingkang madya punika badhe uninga kados punapa?.”

PUPUH XXVI

Sang Murwenggita :

“Manawi ing sejatosipun kisanak, kula piyambak dereng sumerep, sarta dereng terang dhateng nalar-nalaripun, namung nyariosaken lelabuhanipun para sujanma ing jaman kina, ingkang kasebut sami amarsudi dhateng kautamaning tuwuh, kacariyos sarehning bab saresmi wau binasakaken nami aji asmaragama dados patrap panganggenipun inggih kedah kaaji-aji, utawi dipun pundi-pundi, liripun makaten menggah ing saresmi wau boten kangge (253) pakareman utawi boten kangge memainan, tegesipun boten kaangge dedolanan utawi geguyonan, wondene bilih sawg ajar-ajar badhe nglampahi dhateng pakarti, saolah kridhaning aji asmara wau wiwitipun ingkang rumiyin anyunyuda tuwin angengirangi kados ta pepulang asmara kaliyan wanodya, menggah patrap ingkang makaten wau saking pikajengipun inggih punika binasakaken anenetah, anglajengaken utawi ngatulaken anggenipun badhe nitik neniteni dhateng saolah bawaning salira, ingkang atas malige tulen saking karsa kawasaning Pangeran kang maha suci sejati, dene manawi ingkang kasebut sampun dados punika binasakaken manungsa sampun kawicaksana utawi waskita ing pambudi, lajeng boten purun anglampahi pulang asmara lan wanita, (254) yen boten angsal wewangsiting pangeran kang maha kawasa, kinarya lelantaran anggenipun nuwuhaken wijining manungsa, wondene bilih pinuju badhe karsa salulut anggenipun anaji-aji lan angedi-edi ing patrap kapratelakaken kados ing ngandhap punika.

Ingkang rumiyin, duk wiwit kagungan karsa badhe apulang asamara lan wanita sakaliyan sami sesucia, inggih punika siram tuwin jamas lajeng ngasta siwur anyiduka toya kaangkat celak ing wadana mawi dipun donganana, ananging donganipun ing jaman samangke inggih katimbang kendel kemawon lowung kaangge minangka gegondhelaning niyat, prayoginipun mawi angucap makaten :

Niyatingsun adus, padusan banyuning tlaga kalkaosar, anuceni sakaliring eroh, kang dumunung ana ing jasad kita, mlebu manik metu inten, cahyaku amancurat mancorong kadi cahyaning Pangeran kang maha kuwasa. Ing riku toya siwur wau lajeng kasiramaken ing wadana, lajeng siram ngantos dumugi sucining saliranipun sadaya. Menggah pratingkah siram ingkang makaten wau jalu lan wanita ing patrap sami kemawon boten aprabeda. Ing sasampunipun rampung sesuciya siram jamas lajeng sami angadi-adi warna, kinarya sarana pangundhaning asmara, liripun menggahing pratingkah sami busana ingkang sarwa pantes, sarta angeganda wida, sasampunipun samekta ing sakaliyan lajeng reruntunan sami malebet ing papreman, tegesipun malebet dhanten ing panglereman utawi dununging pakendelan, inggih punika pasareyan, ing riku priya lajeng angrakit pamasaning aji kamajaya dumunung amung winaos wonten salebeting batos kajarwakaken kados ing ngandhap punika (256) :

Ingkang rumiyin, amuntu pangesthi, sedya jumeneng ing betal mukadas, tegesipun niyat anjenengaken kahanan salebetipun puraya pasuciyan dumunung ing konthol.

Ingkang kaping kalih, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nala, tegesipun senseming manah, inggih punika kahananing birahi, tegesipun sengsem utawi branta, tumus dados jumemening purba, tegesipun wiji dumunung ing pringsilan.

Ingkang kaping tiga, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tura, tegesipun sengseming pandulon, inggih punika wahananing hawa, tumus dados jumenenging kanta, tegesipun jengereng, dumunung ing mani.

Ingkang kaping sekawan, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara turida, tegesipun sengseming pamirengan, inggih punika wahananing karsa, (257) tumus dados jumeneng ing warna, dumunung ing madi.

Ingkang kaping gangsal, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara nada, tegesipun sengseming sapocapan, inggih punika wahananing cipta, tumus dados jumeneng ing rupa, dumunung ing wadi.

Ingkang kaping nenem, lajeng amusthi ngesthi pambukaning aji asmara tantra, tegesipun sengseming pangrasan, inggih punika wahananing pangrasa, tumus dados jumeneng ing suksma, dumunung ing manikem.

Ingkang kaping pitu, lajeng amusthi ngesthi aji asamaragama, tegesipun sengseming salulut, inggih punika wahananing wisesa, tumus dados jumeneng ing atma, dumunung ing rahsa.

Wondening sang wanita ingkang rumiyin ugi muntu pangesthi sedya dumunung ing Betalmukadas, tegesipun niyat anjumenengaken kahanan salebeting puraya pasucian, dumunung ing baga. Ingkang kaping kalih lajeng amusthi ngesthi pambukaning (258) aji asamara nala, tegesipun sesngseming manah, inggih punika wahananing birahi, tegesipun sengsem utawi brangta, tumus dados jumeneng ing purba, tegesipun wiji, dumunung ing purana. Ingkang kaping tiga, kaping sekawan, kaping gangsal, kaping nenem, dumugi kaping pitu, boten aprabeda kados pamusthining kakung wau.

Ing sasampunipun samekta pangruktining sakaliyan, lajeng sami kakaronsih, andumugekaken karsa, dene patrap lan pratingkah tumanduking pulang asmara, saestunipun bab makaten punika kadamel pipingitan, sinten ingkang saged uninga amung kinten-kinten yen anithik lelabuhanipun, wiwit duk murwani wau dumugining ngendhon kados inggih sae, liripun bok manawi inggih kados caraning manungsa, sarta boten angicalaken ing tata krami, kados-kados bok manawi inggih punika (259) ingkang kasebut anggendam langening pramana, ambuka kahananing atma, ingkang badhe pinurwaning wicaksana.

Ing sasampunipun salulut, sakaliyan medal saking papreman, lajeng samya asiram jamas malih, menggah solah lan pratingkah boten prabeda kadi patraping siram duk ing ngajeng wau, amung donga sarananipun santun angucapa makaten “suku asta winengku ing solah bawa, solah bawa winengku ing driya, driya winengku ing Hyang Pramana, andadekna adus ing suci santosaning roh kang ana ing badan kita”.

Menggah ing sawawratipun lelampahan ingkang makaten wau tur saweg kasebut madya, suprandosipun lelabetaning kasaenan sampun amratandhani pinten-pinten kathahipun, ingkang sampun kasebut ing cariyos wonten ing serat-serat (260) atmajanipun para pandhita, utawi para wiratama nalika ing jaman kina-kina, wiwit duk maksih jabang bayi, binucal ing wana arga, sareng dumugi wanci diwasa, thethukulaning pangrahita boten pedhot pangayuhing kautamen, trekadhang asring wonten ingkang katarimah lajeng saged langkung saking bapakipun.

Juru Patanya :

“Kisanak, bilih kula amestani lelampahan ingkang makaten punika sampun kenging dipun wastani elok lan langka, yen manungsa sageda kuwawi anglampahi saestu ageng ganjaranipun, bok manawi boten angemungaken dhateng saening putra kemawon, sandhunganipun ngantos tumrap ing gesangipun saged linangkung sesamining manungsa, wangsul patrap utawi pratingkah ingkang makaten saweg dipun wastani madya, punika kula lajeng gumun sarta eram sanget, saiba ingkang dipun wastani tindak ingkang utami punika kados punapa?.”

PUPUH XXVII

(261) Sang Murwenggita :

“Kisanak, prasajanipun prekawis punika kula dereng sumerep syektos, amung cariyos tembung gethok tular, tegesipun carita saka biru, utawi anenular, yen sampeyan kersa amirengaken, kula dhapur kados ing ngandhap punika :

Kala rumiyin kula sampun nate amirengaken para sujanma ingkang sami ajar-ajar, oleh ngelmi, sami kekempalan, rerembagan kaliyan bebarakanipun piyambak, kacariyos pepangkatipun ngelmi kasampurnan punika mawi kaperang dados sakawan pangkat, makaten pratelanipun :

Binasakaken ngelmi sarengat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing raga.
Binasakaken ngelmi tarekat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing manah.
Bisanasakaken ngelmi kakekat, kacariyos dunungipun (262) pangawruh lampahing nyawa.
Binasakaken ngelmi makripat, kacariyos dunungipun pangawruh lampahing rahsa.
Ing sasampunipun kapratelakaken peperanganing ngelmi sakawan golongan wau, lajeng kadamel ande-ande, upami makaten :

Ngelmi sarengat lampahing raga punika dipun pindha upami kadi wujuding baita.
Ngelmi tarekat lampahing manah, punika dipun pindha kadi wujuding toya samara.
Ngelmi kakekat lampahipun nyawa, punika dipun pindha upami kadi wujuding musthikia dumunung salebeting toya thelenging samodra.
Ngelmi makripat lampahipun rahsa, punika dipun pindha upami kadi wujuding pangawruh, kadosta nyumerepi lampah saening baita, lebet cetheking toya, utawi nyumerepi dunung wujuding musthika.
Menggah kajengipun pralampita ingkang makaten (263) wau saupami sumedya badhe mendhet musthika, ingkang wonten salebeting thelenging samodra yen gothan salah satunggil saking sakawan prakawis wau saestunipun badhe boten saged kalampahan, liripun makaten kadosta, upami tanpa baita punapa saged lumampah angambah toya sanadyan angawiya baita, yen boten uninga dununging musthika sarta boten uninga ewet pakeweding leksana, punapa saged kadugen paraning sedya rak inggih boten, pramila sekawan prakawis kedah jangkep boten kenging gothang ing salah satunggilipun, suwawi kisanak, kagalih jangkeping lampah sekawan prekawis wau punapa inggih kenging binasakaken gampil?, bok manawi gegolong pepilihan manungsa ingkang saged kuwawi anglampahi, ewa dene lampah ingkang mekaten wau kacariyos inggih saweg madyanipun kemawon, awit wonten malih pangolahing ngelmi (264) menggah warninipun kados langkung saking punika, kados cariyos lelampahaning para waliyulah utawi cariyos jamanipun nalika Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma ing nagari Mataram, kilap dora utawi leresipun, kacariyos bilih nuju karsa amendhet barang ingkang wonten salebetipun samodra utawi manawi nuju karsa tindakan dhateng ing pundi, sapinten tebihipun sanajan dhateng senes pulo, lampahipun inggih boten mawi baita, kacariyos kepara boten ebah saking palenggahanipun.

Wonten malih cariyos lelampahan Seh Siti jenar inggih Seh Lemah Abang, pepuntoning tekadipun murtat ing agama ambucal dhateng sarengat saking karsanipun negari, patrap ingkang makaten wau kagalih ambebaluhi andamel risaking pangadilan, ing riku Seh Siti Jenar nakpeni hukum kisas, (265) tegesipun hukum pejah, sareng jaja sampun tinuweg ing lelungiding warastra, nratas anandhang brana muncar wiyosipun ludira nlutuh awarni seta, amesat kawandha muksa, datan ana kawistara nulya ana swara lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita, dene ta carita kula lugu mung methik Pustaka, pamacakipun rinenga ing kidung Kinanthi sekarira, pratelanya kasebut ing ngandhap punika :

Wau kang murwen don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguhing jamaning pati, ing reh pepuntoning tekad, santa-santosaning kapti.

Nora saking anan ngrunu, reringa rengat siningit, labet asaling salaga, salugune den ugemi, yeka pangagemu raga, sumingah ing sangga runggi.

Marmane sarak sininkur, karana angresubedi, manggung karya was sumelang, embuh-embuh (266) den andhemi, iku panganggone donya, tekeng pati nguciwani.

Sajti-jatining ngelmu, lunguhe cipta pribadi, mustinen pangesthinira, ginileng dadi sawiji, wijanging ngelmu jatmika, neng kahanan eneng-ening.

Ing sasampunipun wonten cariyos ingkang makaten kisanak, manawi sampeyan anglampahi salat gangsal wektu, sampun seling serep ing panggalih sarta sampun klentu ing panampi, menggah suraosipun cariyos ingkang kasebut ing inggil wau boten pisan-pisan yen badhe ampika tuwin anyingkura dhateng sarak sarengat kados ingkang sampun ginelar ing Gusti kita Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, dumunung rukuning Islam gangsal prakawis, sahadat, jakat, salat, puwasa, mungah kaji dhateng Mekah.

Ingkang sami karembag wau sanes bab punika, saking karsanipun para winasis ing budi asung pralambang anyenyemoni, sinten manungsa yen agadhahi sedya mangka pamendhetipun asarana mawi linampahan dening obah solah inggih punika ingkang binasakaken taksih angagem lampahipun sarengat blaka, ing mangka lajeng anitik pangandikanipun para alim ingkang sami ahli kitab, cariyosipun makaten sinten manungsa ingkang tekad ngantepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat dumunung delahan ing tembe, kawastanan makam parek, tegesipun dumunung pepisahan, dene ingkang binasakaken pepisahan punika nyawa kaliyan raganipun.

Menggah suraos ingkang makaten wau lajeng dipun kiyas dening para winasis, kacariyos makaten sinten manungsa ingkang ngegunaken dhateng (268) pandamel sarengat sayekti tinebihan dening drajatipun, pramila saking pamuji kula kisanak, bilih sampeyan kersa galih marsudi suraosipun ngelmi sejati sampun sanget-sanget gondeli lan anetepi dhateng sarengat, mindhak kalebet ing bebasan kerem ing sarak amendem ing kulhu.

Juru Patanya :

“Kisanak, anggen sampeyan cariyos kula sturi kendel rumiyin, kula badhe pitanglet, sampeyan punika punapa pinuju gerah, warninipun kula tingali kados kenging sesakit benter minggah, lajeng lungkrah, dhateng kaengetan lajeng bibrah, gegineman inggih lajeng boten saged genah, temtunipun ingkang mirengaken inggih sisah. Suwawi ta kisanak, kagaliha anggen sampeyan carita, kenging yen binasakna sasat mung angere muna, (269) wiwitw anggunem prakara, patrap tingkahing asamara wekasan angambra-ambara nyritakake auliya, lelakone jaman kuna kang elok lawan kang langka. Amit lo mas, sampun andadosaken ing panggalih, sewu-sewu ing kalepatan kula, mugi-mugi kisanak aparinga pangaksama, karana anggen kami purun wicanten akathah-kathah ingkang makaten wau, sampun kagalih yen punika medal saking Santya Budya, miwah martaning manah kula boten pisan-pisan darbeya kedal ingkang samanten kasaripun, rak inggih sampun terang lan tetela yen punika medal saking sawantah pegel sarta sempelah ing manah kula blaka, dene menggah wontenipun thethukulan ingkang makaten wau inggih jalaran saking gluyur-glayaring cariyos samp[eyan, liripun makaten : menggah cariyos duk ing jaman (270) kina-kina kadosta lelampahanipun para waliyulah tuwin para auliya, utawi mangingilipun malih kacariyos lelampahanipun para nabi punika kula sampun ngandel, boten ngagem sarengat kadi caraning manungsa wantah punika, kados boten dhahar, boten nendra, boten busana, awis nandika temahan saged kawasa, uninga saderengipun sinalya, utawi yen karsa tedakan slira tan lumaksna saged dumugi dhateng paraning sedya.

Yenm ta menggah patrap ingkang makaten wau rak sanes babagan utawi sanes gegolongan, boten kenging kacaruban katunggilaken dene manawi sampeyan dereng uninga ing suraos, terangipun bilih geseh wewijanganipun makaten, kados ta manawi karsa kekesahan tebih saged dumugi ing panggenan tur boten ebah saking palenggahan. Wangsun sesaminipun (271) bab apulang asamara, punapa kenging sarta punapa saged tumindak, upami boten mawi sarana ebahing pasta purusa rak inggih boten, ewa dene bilih sampeyan sampun mireng cariyos duk ing kuna-kuna, kala jaman punapa ingkang wonten lelampahan kados makaten wau?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, teka leres temen anggen sampeyan mestani, yen wektu sapunika kula panuju sakit benter mingah dateng sirah, ananging lakar kula angkah supados sageda genah amawas sakweh pratingkah, beda kaliyan sampeyan punika, yen sirah adhem tumraping manah lajeng ayem, sakehing roh sami tentrem, pangrahita lajeng amem, dhateng tandhang lajeng glendam-glendem, tur tan wruh rasaning gunem, yen kiraku datan mamak, iku wong budine rupak, kadunungan ati cekak, watak tan kena diidak, ngawur tandhane (272) nracak.”

Beda bilih sira benter, dhateng manah lajeng ajer, sumarambah budi luber, dhateng ulat inggih ater, warninipun inggih blancer, sabab kongas kang panca driya, dadosipun apana pranawa kang pancen boten hina dene yen kurang pracaya kisanak dipun cobiya suwawi tanglet punapa, menggah liripun mekaten, kadosta anggen kula anyariyosaken lelampahanipun parai waliyulah, tuwin lelampahanipun para auliya ingkang sami bucal sarengat wau, inggih punika ingkang dipun wastani pangolahing ngelmi sampun sampurna, dene ingkang binasakaken aji asmara punika rak inggih ngelmi kasampurnananing manungsa, saestunipun boten aprabeda, yen ing tanduk taksih mawi sarana leksanane pasta purusa, inggih punika ingkang binasakaken taksih (273) angagem sarengat nlaka, wondening bilih kirang cetha kangge seksi sesaminipun, kadosta tiyang olah ngelmi kapraworan, gegoloangane ngelmi jaya, esmu, tuwin ngelmu kak, sesaminipun yen saben-saben dumugining prelu kasuduk ing duwung tuwin ketaman ing dedamel sanes-sanesipun, manawi anggenipun anggadhahi taksih amawi sarana temen utawi kere, sebab taksih angugemi ngangge dhateng nalar-nalaripun kadosta empuk tuwin tipising kulit, punika menggah nalaripun kadi boten saged anulada dhateng landhep utawi lanciping dhuwung, mila angagem sarana tameng utawi kere inggih punika ingkang binasakaken sarengat, dados tanpa damel anggenipun anggegulang ngelmi jaya wau, beda kaliyan manungsa ingkang kasebut prawira, sanajan sinosok ing warastra tinadhanan (274) dening hanga, suprandosipun ing kulit boten tumama inggih punika ngelmi ingkang sampurna bok manawi bab asmara wau, inggih boten aprabeda, dene yen sampeyan karsa amirengaken cariyos duk ing jaman kina, ingkang sami ngagem kawasaning aji asamara wau.

Ingkang kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Kangjeng Nabi adam garwanipun anama Babu Kawa apeputra medal dhampit ngantos kawan dasa, tiga jodho, amung sarana asamara ulat kedhaping netra, kepara ingkang angka nenem anama Nabi Sisi ingkang kados sampun kula cariyosaken ing ngajeng anggenipun asmara boten lelawanan garwa, kasebut medal saking asmara cipta.
Ugi kasebut ing Serat Paramayoga, lelampahanipun Sang Hyang Girinata, inggih Batara Guru, garwanipun anama Dewi Uma (175), sareng Sang Hyang Guru ing galih rudatos pamuntuning cipta adarbeya atmaja ingkang linangkung kuwasa ing kasektenira, lajeng karsa apulang asmara kaliyan garwa boten mawi sanggama mung sarana saking ulat kedhapng netra, katarima sesedyanira samya amudhar prasa, ing riku garwa lajeng angarbini dumugining mangsa ambabar miyos priya, sinung peparab Bathara Suman, inggih Sang Hyang Wisnu.
Kasebut ing Serat Lokapala, lelampahanipun Maha Prabu Arjuna Sasrabahu ing Nagari Maespati, amengku garwa dhomas, tegesipun amemngku garwa saemas kaping kalih gunggung kawan atus, bilih karsa asmara sesarengan kawan atus sami sanalika ugi sareng pamudharing prasa.
Ingkang kasebut wonten ing Serat Centhini, kacariyos wonten satunggaling wanodya anama Retna Dewi Tambangraras (276) sampun awanci dewasa, salebeting batos sedya boten purun apalakrama manawi boten kagarwa dening priya ingkang saged angresmeni wonten salebeting supena, ing wasana lajeng wonten satungiling priya taksih jejaka ingkang karem bangun leksana brata, ajejuluk Seh Amongraga darbe sedya mlebet dhateng patembayaning Sang Dewi wau, duk saweg dumuginipun anjujug lenggah ing pandhapi pinangihan dening yayah renaning Sang Dewi. Sasampunipun bage binage Seh Amongraga ajarwa nglairaken sejating sedyanira, ing riku Sang Dewi Tambangraras tinimbalan dening ingkang rama, kinen manggihi dhateng tetamunira, sang Dewi datan lengana praptanira singra lenggah sacelaking rena, wus campuh liringing netya, sang Retna datan legawa kataman asmara cipta, lir kawudhar suh kang angga racut salira marlupa, luyut apindha supena jroning rasanira pangrasane (277) sinanggama kalayan Seh Amongraga, ngantos dumugi karsa pamudharing prasanira, pramila Sang Retna Tambangraras lestantun lajeng dados garwanipun Seh Amongraga.
Wondening bab ing asmara ingkang makaten wau bilih saking pangandikanipun para winasis ing budi, kacariyos boten mrojol inggih mendet saking murat maksuding suraosipun aji asmara ingkang kapratelakaken ing inggil wau, dene menggah panggelar lan pangukudipun, panggledhahing maksud dumunung wonten katarima waskitaning para winasis piyambak-piyambak.

Juru Patanya :

“Kisanak, sampeyan rak dereng uninga anggen kula umpetan utawi sesingidan, ingkang makaten wau jalaran saking alus utawi memedipun ing pratingkah anggen kula netrapaken, dados kados-kados dene kula punika rak inggih (278) sampun kalebet ing bebasan amiguna ing ngaguna, tegesipun bisa minteri murang wong pinter dados menggahing sajatosipun langkung saged kula katimbang kaliyan sampeyan pratandhanipun dene sampeyan kekilapan boten uninga ing pratingkahing gelar kula.”

Sang Murwenggita :

“Menggah pangandika sampeyan wau kisanak, anggenipun leres lan cumeples tetela ing kanyatanipun boten siwah inggih makaten sinten kula yen darbeya rumaos angungkul-ungungkuli dhateng sampeyan, kepara ing saben dintenipun pangraosing manah kula boten pedhot anyenyuwun ing Pangeran kaindhakan kasampurnaning pangawruh, awit saking agening rumaos bodhoning manah kula, wangsul wewijanganipun kalepataning lampah, tuwin patraping pratingkah kula (179) kisanak, mugi karsa amratelakaken.”

Juru Patanya :

“Menggah ing adangu-dangunipun anggen sampeyan cariyos wau, ing sajatosipun kula wawas tur kalayan titi wekasan pikantuk terang ing pangreti, sapunika kula saged amestani tetelanipun kang sayekti tekad sampeyan punika wus katon jroning carita tan nganggo waton kanyata, liripun makaten kadosta traping ngagesang punika bebakunipun ingkang prelu rumiyin kedah amarsudi dhateng patitis tetesing kawruh, manawi sampun sampurna ing pangawruh ing riku lajeng bontosaken dhateng ihtikad, sampun daya-daya linakpahan manawi dereng sampurna ing pangawruhipun, dene anggen kula saged amestani yen sampeyan punika dereng jajag ing pangawruh awit taksih kadunungan manah elu-elu, (280) titikanipun duk nalika sampeyan nyariyosaken makaten.

Rumiyin ing lampah bucal sarengat dipun tegesi sami ugi kaliyan bucal raga, sampeyan alam sae. Kaping kalih, anetepi ing lampah sarengat, ing tembe pepiahan raga kaliyan nyawanipun dipun cacad awon, menggah cariyos kalib bab wau punapa prabedanipun suraosipun : 1. Bucal raga, 2. Raganing pisah, suwawi kisanak kagalih rak inggih sami kemawon kok sampeyan alem utawi kacacad punika kados pundi? Ingkang kaping tiga anyariyosaken lelampahanipun Seh Siti Jenar, muksa raganipun kabekta, dipun alam sae inggih punika pratandhanipun manawi sampeyan dereng gadhah pathokan ingkang leres.

(181) Sang Murwenggita :

“E…., e….< kisanak, gumuning manah kula anggenipun ceples tembung ing paribasan : wong bodho brengkelo, wong cubluk tang mangan wuru, prayoginipun kisanak, sampeyan punika bok inggih blaka kemawon yen sejatosipun cubluk utawi bodho, dados gampil anggen kula ngraosaken, ewa dene menggah ing sasampunipun kawedal wicanten kula ingkang makaten wau inggih sedyaning manah kula amung anetepi dene wonten tembung pralambang, suraosipun makaten : sanajan manungsa ginanjara ing birahi utawa kasusahan dening Gusti Allah iku murih becike, wondene menggah kekiyasanipun tembung ingkang makaten wau, kadosta sesaminipun anak dipun srengeni ing bapa punika rak inggih mung kapurih saenipun, (282) samanten ugi panyendhuning sumitra, kados dene kula kaliyan sampeyan punika saestunipun inggih boten aprabeda, suwawi kisanak kagaliha ing saleresipun, sadanguning nalar kadosta sagedipun mulur galuring cariyos kula sadaya wau rak inggih jalaran saking wilet lan patitising panjawab sampeyan sadaya wau saestunipun rak inggih mendhet saking suraosing cariyos kula dados ing sejatosipun ingkang cariyos kaliyan jawab punika sami kemawon.”

Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, kula badhe pitanglet rumiyin, kula sawang-sawang warninipun sampeyang kados sampun sumerep, krentheg salebeting (283) batos ingkang dereng kula lairaken sajatosipun kala wau nalika sampeyan ungeli kathah-kathah manah kula kasereng nepsu, meh kemawon kasupen kridha angadeg suraning driya, wasana sampeyan lajeng angucap ngangge tetembungan manis, bebasan amung sakecap teka saged damel trenyuhing manah swuh sirna serening driya, kula kadi keleban ing tirta marta, sumrambah dadosaken girang tuwin segering angga, menggah anggen kula pitanglet wau sagedipun uninga nepsu kula ingkang dereng kalair punika sabab saking punapa, ingkang kaping kalih dipun wastani tembung punapa?, ingkang saged nyirnakaken ing kanepson kula wau?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula basakakeb aneh sarta mokal wicanten sampeyan wau, liripun makaten sinten tiyangipun ingkang saged uninga dhateng kanepson (284) salebeting batos ingkang dereng kalair, ewa dene yen manungsa ingkang wicaksana ing budi inggih boten kekilapan, kacariyos nitik saking tri taya wijanipun kasebut ing ngandhap punika :

Ulat, inggih punika kedhap liringing netya.
Ilat, inggih punika kedaling pamicara.
Ulah, inggih punika ebah solahing raga.
Wondening bilih sampeyan pitanglet tembung ingkang asring saged amberat kanepsoning liyan, punika dipun wastani tembung pangalem, panembah pangluluh, punika pangasih-asih sarta akauti panujuning prana lan empan mapaning tata krami, yen ta menggah patrap ingkang makaten wau tumrap dhateng sujana priya utawi janma wanita sami wanita dipun wastani tembung panembrana, yen ta menggah kaange sujanma priya katrapaken (285) dhateng wanodya utawi katrapaken dhateng priya tembung wau kawastanan pangungrum utawi tembung manuhara, pramila ingkang kasebut ing Pustakaraja Weda jamanipun Maha Prabu Aji Pamasa ing Nagari Witaradya, pamacaking tembung mawi sinawung ing kidung sekar Kinanthi suraosipun makaten :

Jagra angkara winangun, sarjana marjayeng westhi, puwara kasup kawasa, marina ing jro weda muni, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.

Wondene tembung ingkang makaten wau teges utawi suraosipun bok manawi makaten, atasing manungsa punika menggah panjaginipun dhateng hawa napsu punika kados tiyang sedya ambengkas dhateng ing pakewed, wekasan ingkang sampun misiwur kawasa Serat Weda sampun anyebutaken makaten, kasuran kawanterang, kasekten utawi kadigdayan ingkang sampun linangkung ing jagad punika (286) adat risakipun kaliyan panembah.

Wangsul wicanten sampeyan ingkang kathah-kathah wau, sedyaning panggalih badhe amelehaken dhateng kula, ananging sejatosipun sampeyan dereng tampi sarta dereng mangretos dhateng suraosing cariyos kula sedaya wau, dados kalebet ing tembung salah surup utawi lepat panampi, duk waunipun, kula anyariyosaken lelampahanipun para wali utawi lelampahanipun para auliya sami ambucal sarengat boten angagem sacara lampahing raga.

Lajeng anyariyosaken malih lelampahanipun Seh Siti Jenar ugi ambucal sarengat, wasana sareng dumugining delahan muksa dalah saraganipun, dados menggahing suraosing cariyos ingkang makaten wau genahipun sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya (287) ambucal sarengat boten ngangge dhateng sacaraning raga, wekasan sareng dumugi ing delahan kumpul raga kaliyan nyawanipun, mila kula ngalam, kacariyos lelampahanipun ingkang makaten wau sae.

Wondene menggah kosok wangsulipun, sinten manungsa nalika gesangipun ing alam donya ing tekad mantep anetepi ing lampah sarengat samu ugi angumpul ing raga, bok manawi ingt tembe dumugining delahan apepisahan raga kaliyan nyawanipun, prmaila kula anacad, kacariyos lampahan ingkang sampun kasebut ing inggil.

Wondene wontenipun cariyos ingkang makaten wau bok manawi mendhet kekiyasan saking pangandikanipun para alim ingkang ahli ing (288) kitab, suraosing tembungipun kados ing ngandhap punika :

Sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya mangka salebeting tekad, anetepi ngegungaken dhateng pandamel sarengat inggih punika bab lampahing badan kacariyos pejahipun ing tembe nami makam parek, tegesipun dunung pepisahan, ingkang binasakaken pepisahan wau raga kaliyan nyawanipun.

Kaping kalih, sinten manungsa duk gesangipun wonten alam donya ing tekad anetepi aneguhaken dhateng pandamel tarekat, inggih punika lampahing manah, kacariyos ing tembe nami makam jamek, tegesipun dunung kakumpulan, ingkang binsakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.

Kaping tiga, sinten manungsa duk gesangipun wonten ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken (289) dhateng pandamel kakekat inggih punika lampahing nyawa, kacariyos ing tembe nami makam jamek mukamek, tegesipun kumpuling kumpul ingkang binasakaken kumpul punika inggih raga kaliyan nyawanipun.

Kaping sakawan, sinten manungsa duk gesangipun ing alam donya ing tekad anetepi angengungaken ing pandamel makrifat, inggih punika lampahing rahsa, kacariyos ing tembe nami makam baka, tegesipun dumunung ing langgeng, ingkang binasakaken langgeng punika inggih nyawa kaliyan raganipun.

Ing mangke kula angulur malih cariyos supados kaanggea minangka saksi tuwin tetimbangan kaliyan cariyos ing ngajeng wau, duk nalika ing jaman purwa lelampahaning Bambang nama Raden Narasoma putera narendra (290) ing Nagari Mandraka, kacariyos adarbe aji candhabirawa wasiyat saking marasepuh anama Begawan Bagaspati, kacariyos sareng katempuh ing karya nuju prang adu prabawa lelawanan kaliyan Bambang anama Raden Pandu Dewanata putra narendra ing Nagari astina. Raden Narasoma prangira kalindih lajeng amatek mantra wikrama aji Candhabirawa sami sakala medal saking guwa garba, awarni lare bajang tur kera ing riku Bambang Narasoma lajeng ngandika makaten ”eh Candhabirawa ingsun jaluk pitulunganira sirnakna mungsuh ingsun si Pandu Dewabrata”, Candhabirawa amangsuli makaten : “dhuh Bapa Narasoma wawasen raganing sarira yayah wus tan darbe daya wruhan ta salawase kita dumunung ing guwa garbanira datan antuk bukti lawan nendra, apa margane bisa nyirnakaken mungsuhira”, Raden Narasoma ngandika (291) malih makaten : “yen saka pamikirku Cabdhabirawa wus ora kekurangan dene sadina-dina gonku jibar-jibur, amemangan lawan nendra dadya segering angga supaya sumambrah tetumusane marang sira, ananging sarehning wektu sira sun tampani saking Bapa Bagawan Bagaspati tekan ing saiki isih ana ing tanah pegunungan mesthine ya aka kekurangane sawatara, ing dalem sadina-dinane lagi bisa nganakaken rerampadan kehe telung puluh piring, dene ing emben yen ingsun wus tumeka ing praja sanadya jaluka kareman rerampadan satus piring sadina klawan pepanganan kang enak-enak ingsun bisa anutugi, balik ing samengko ora luwih ingsun mung jaluk pangapura ing sira”. Candhabirawa mangsuli makaten : “Bapa Narasoma (292) wruhanta mungguh patrap lan pratingkahira kang mangkana wau sejatine kuwalik, lire mangkene : kalamun sira sadina-dina tansah bruwah bukti lawan nendra lan juruni nepsi angkara murka iku kuwalik mungguh tumrape marang ingsun, yen sira tuwuk pambuktinira dadi ingsun tan entuk mangan sarta luwe, yen sira tansah karem nendra ingsun melek salawase, yen sira anjurungi nepsu angkara murka tumrape raganingsun kadi binasmi ing salawase, mulane aprabeda duk ingsun isih melu marang Bagawan Bagaspati raganingsun saben-saben lemu-lemu thipluk=thipluk awit si Bapa Bagawan Bagaspati muhung karem marang panggawe tapa brata arang bukti lawan nendra lan ambeg santa para marta narima legawa ing driya ing sasampunipun kapratelakaken pabenipun Raden (293) Narasoma kaliyan Ji Candhabirawa wau, menggah gagathukanipun lampah sekawan golongan : 1. Sarengat, 2. Tarekat, 3. Kakekat, 4. Makrifat kasebut ing ngajeng wau kula sumonga ing sampeyan.”

Juru Patanya :

“Kisanak, sapunika kula sampun terang sanget, tetela kala wau kula ingkang lepat sarta salah ing panampi, wangsul suraosipun cariyos sampeyan wau punapa boten badhe dadosaken gumujeng ing para ingkang sami mirengaken, suwawi ta kagaliha upami wonten sujanma ingkang ngegungaken lampah tarekat utawi kakekat cariyos bilih pejah raga kumpul kaliyan nyawanipun, ingkang makaten wau punapa inggih, saupami wonten tiyang pejah jisim lajeng katenga ing tiytang kathah mangka lajeng saged ebah, mlajeng sedya (294) ngupadosi nyawanipun ingkang sampun saiba gegeripun para tiyang ingkang sami nengga wau, sandhunganipun wonten ingkang gila sanget, lajeng kekelen boten saged ebah kaliyan malih ing salami-laminipun kula dereng nate nyipato, sarta mireng wonten bathang oyak-oyakan sarta miber kekalangan ngipadosi nyawanipun, inggih saweg mireng cariyos sampeyan punika.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, sampun dangu anggen kula gagas amung saking kinten-kinten kawawas saking warni, yuswa sampeyan punika bok manawi langkunga inggih sakedhik, punapa sampun wonten sawidak taun? Gumuning manah kula dene anggenipun saged angemperi tembung paribasan : ana bocah akeh umure, tegesipun liripun makaten ingkang binasakaken bocah punika (295) manahipun, dene boten gadhah pangreti kados manahing lare, yen ningali ing warni tuwin kapetang umuripun makaten kisanak, kula ngaturi priksa ing sampeyan wonten cariyos kasebut ing Serat She Tekawredi sinawung ing kidung sekar Dhandhanggendhis, namung kula pendet ingkang prelu dhateng ing atasing cariyos punika kemawon makaten suraosipun :

Amurwani wit anom kariyin, lire anom iku isih tuna, durung akeh luwangane, beda lawan kang sepuh, lire sepuh iku nyepuhi, nyepuhi tegesira, nyawabi sadarum, marmane sinebut tuwa, lire awenang tuwi-tuwi, mring siwi wekanira.

Lamun ora mangkono kaki, tan jumeneng arane wong tuwa, tuwa mung tuwane bae, (296) basa tuwa puniku, angandelaken tuwane sami, yeku wong tuwa ampas, kapapas ing kawruh, lire ampas iku raga, raganira wus cape luwasing kardi, mangka ing jro suwunga.

Aja iku wong cupet ing budi, duk anome tan purun tatannya, ngandelaken kuwat rosane, tan mikir olah ngelmu, kabangkitan datan praduli, mung eca amemangan, esuk nyamuk-nyamuk, tan etang wekasing gesang, kan den etang mung nikmat pucuking preji, lan nikmat pucuk ilat.

“Kados pundi kisanak, menggah suraosipun serat She Tekawardi wau, punapa inggih kraos, cocogipun kaliyan salira, tumrapipun ing dalem raos ?”

Juru Patanya :

“Leres kisanak, lakar cocog sanget kaliyan lelempahanipun badan kula, nalika taksih anem wiwit duk (297) mila gegolongan royal (blunthah) karem nyemataken dhateng sahwat tuwin tetedhan malah dumugi sapunika sanajan suda inggih namung sawetawis, wangsul kalajenganipun cubluking, kethuling pambudi kula pangasahipun kamurih landep utawi lantiping pangrahita, boten langkung kula amung nyumanggakaken ing sampeyan, ing mangke kula andumugekaken kuwur, kuwur, kodhung tuwin bingunging manah kula, sabab angraosaken suraosing cariyos sampeyan wau, dene wonten tiyang pejah nyawa kumpul kaliyan jasadipun, punika menggah patrap lan pratingkahipun kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Kala wau kula sampun matur, cariyos tetempilan saking nulat aneniru, yen kula piyambak prakawis ingkang makaten wau dereng pisan-pisan (298) mangertos, suwawi kisanak sami karaosaken ing ngriki wonten cariyos dhapur dedonengan, menggah pikajengipun kula inggih dereng mangertos, namung katimbang kendel athenguk-thenguk minangka cagaking lelengahan, dene gathukanipun kaliyan cariyos ing ngajeng wau kula sumangga ing sampeyan piyambak menggah purwanipun ing cariyos kadhos ing ngandhap punika.@@@

Wonten pralambang dinapur kadi rerembananging peksi tetiga ingkang 1. Awarni peksi gemak, ingkang kaping; 2. Awarni peksi platuk bawang, ingkang kaping; 3. Awarni peksi prekutut, kacariyos menggah lelampahanipun nuju satunggaling wektu peksi gemak wau, saba wonten pepangul hardi satepining samodra sarta kekipu wedhining gisik, boten antawis dangu ing riku kedhatengan peksi (299) platuk bawang, ing sasampunipun pranata mudar tata krami bage binage, peksi platuk bawang wicantenan makaten :

bersambung Pupuh XXVIII-XXXII

Senin, 24 Juni 2013

SERAT NITIMANI PUPUH VII - XVII



Juru Patanya :

Kisanak, sampun kagalih ngalem sarta ngumpak, tur kula saweg amirengaken (90) cariyos sampeyan punika bab asmaragama wau, bok manawi jalaran saking terang anggen sampeyan damel nalar nulur-ulur patrap lan pratingkahipun andadosaken cethaning panampi kula, yen nitik warni wujuding pawestri anggenipun kapanduk marlupa ing sarira wau, sanadyan adarbeya aji suksmanyana inggih kawewahan malih, darbe aji pancasona yen mengsah priya ingkang waskita, tatela boten kuwawi angembarana kekuwatanipun, mangka punika saweg sami ijen kemawon teka ketawis boten tumading, dados saking pangadikanipun Maha Prabu Widayaka tuwin Wara Drupadi wau genah manawi pasemon, ingkang makaten wau lajeng sampeyan tampeni tembung pangandikanipun para sujana, pralambang kapurih angudaneni aji asmara kangge lelantaran anggenipun nyumerepi asal wijining manungsa punika nalar-nalaripun (91) nyebal sanget gagagasan  sampeyan wau wewatonipun medal saking punapa?, liripun makaten : kala wau wewatonipun ingkang karembag utawi suraosipun pangandika ingkang kaangge pralambang, prakawis nalar-nalaring salulut amoring jalu lan wanita teka sampeyan lajeng gadhah panampi sumimpang dhateng nalar wijining manungsa, punapa sampeyan sampun nate sumerep wujuding wijing manungsa, punapa sampeyan sampun nate sumerep wijing manungsa punika warni punapa?, asalipun saking pundi?

Sang Murwenggita :

Mugi-mugi sampun kagalih, badheya angungkul-ngungkuli sarta nyenyemoni dhateng sampeyan punika boten pisan-pisan, kula namung anglairaken cariyos ing sayektosipun, ing kitab Musakak, inggih punika Kur’an ing jus sapisan salebeting Serat Bakarah bilih wonten lepat ing pametang kula, Ayat ingkang kaping seket punika mratelakaken, tembungipun cara Arab, (92) sarehning kula tiyang bangsa Jawi tulen ngungelaken tembung Arab wau kirang ceples yen boten geseh anggenipun maknani kula jarwakaken kados ing ngandhap punika :

Sakatahing para sujanma, ingkang sami dumunung wonten kampung Bani Srail punika sami nyembah reca, yen ing agami Islam nyembah reca wau binasakaken nyembah brahala, inggih awit punika dipun namekaken tiyang kapir duk nalika samanten, awit sakingpangandikanipun Kangjeng Nabi Musa kalamullah kasantun agami kadhawuh sami nyembah Allahuthangala, saking atur wangsulanipun para sujanma kapi wau makaten : e Nabi Musa, kula boten badhe pisan-pisan ngandel lan mituruta dawuh sampeyan wau, ewa dene bilih sampeyan saged ngetingalaken kawujudaning Allahuthangala ing sakedhap kemawon kula inggih badhe miturut, (93) sasampunipun mangsuli wicantenan makaten wau boten dangu wonten swaraning Allahuthangala, dhatengi tumraping janma kapir wau kapireng sami pejah. “Kisanak menggah suraos ingkang makaten wau mugi andadosaken kauningan ing sampeyan.”

Juru Patanya :

“Kisanak, leres sampeyan punika amung pepenget dhateng kula, ananging kula kula wau boten rumaos ngetingalaken kawujudaning Allahuthangala, ingkang kula tangletaken bab asal wijining manungsa punika saking pundi awujud punapa, kaliyan malih kisanak, sareng kala wau sampeyan nyariosaken suraosing kita Musakab, kula lajeng kengetan ugi kasebut ing Kur’an kados boten tebih, ugi wonten salebeting (84) Surat Bakarah yen botenb lepat pametang kula ayat ingkang kaping satus seket kalih, jus kaping kalih, sarehning dhateng tembung Arab kula punika inggih kirang kulina, amurih patitis kedaling lati, yen boten lepat anggenipun maknani kula jarwekaken kados ing ngandhap punika :

Sing sapane manungsa anyingetake samubarang kang tetela, lan angumpet samubarang pangawruh surasaning kitab-kitab sapepadane, mangka wong iku nuli antuk sesiku, iya iku bebenduning Allahthangala.

Ing riki wonten seksi malih pepetikan saking kitab Ahyatul Ngulumudin, yen boten lepat anggenipun maknani tembung Arab makaten wau kajarwekaken kados ing ngandhap punika :

Sing sapa wonge anyinitake ilmu Allah nuli anggendaleni kelawan kendeli geni. (95) Menggah suraosipun pepethika saking kalih bab wau kula amung nyaosi nyuwun priksa mugi andadosna kauningan sampeyan.

Sang Murwenggita :

“Kula boten pisan-pisan yen badhe angumpet sarta anyingetaken ing ngelmi, amung jalaran saking dereng sumerep. Ing mangke kula anglasahaken para mangretos utawi para winasis suwawi sami ginaliha punapa rembag pitanglet ingkang makaten wau, sinten tiyangipun ingkang saged uninga wujud wijining manungsa, saupami kula wangsuli ingkang kasat mata tegesipun ingkang kenging katingalan dening netra kadosta : jagung, punika asaling inggih wiji saking jagung, pari punika asaling inggih wiji saking pari, ing mangke manungsa asalipun punapa beda, rak inggih wiji saking manungsa, nanging ingkang makaten wau binasakaken gerbang (96) inggih nalar reringkesan, adatipun kisanak sok boten kersa dhateng nalar gerbang, kedah mundhut ngoncer gancaring cariyos, wekasan saking wangsulan kula anenular utawi aneniru tembunging bangsa santri, ananging inggih santri ingkang saweg ajar turutan sarta taksih lare tur sereng kathah umuripun, menggah nalar ingkang makaten wau binasakaken bab mutasobiyat tegesipun : iku bab kang ora kena pisan-pisan disumurupi lan kang ora kena pisan-pisan diarani, utawa kang ora kena pisan-pisan diupama, inggih punika kang binasakaken taksih gaib tegesipun taksih edi, alus, samar, utawi pepengitan, sarehning anggenipun badhe nyumerepi nalar ingkang makaten wau sakelangkung angel sarta (97) ewet pakewet, kajawi saking karsa sampeyan kisanak, mbok inggih sampun kalajeng-lajengaken anggenipun nedya badhe nyumerepi asal wijining manungsa wau.

Juru Patanya :

Kisanak, mugi-mugi sampun dadosaken ing panggalih, anggen kula purun pitanglet ingkang makaten wau jalaran dereng sumerep, saking panginten kula prekawis gampil : sareng punika kula sampun mirengaken saking cariyos sampeyan wau sampun tetela sujanma boten saged pisan-pisan yen sedya badhe nyumerepi asal wijinipun manungsa inggih sampun narimah, boten sedya badhe nyumerepi sarehning cara pepantesing jejagonganipun, katimbang kendel binasakaken cecagaking lelenggahan murih jenak prayoginipun inggih mawi gegineman, ananging sampun prakawis ingkang aneh-aneh, saupami kisanak kersa (98) nglajengaken malih cariyos bab asmara wau, sababipun teka patrap ingkang makaten saged dados jalaranipun tiyang estri lajeng meteng punika kados pundi?”.

Sang Murwenggita :

“Leres kisanak, punika prayogi, sampun sok galih nalar ingkang elok-elok mindahak angribedi manah, sapunika kula dumugekaken cariyos ananging inggih medal saking gagasan anenulat utawi aneniru saking cariyos sujalma liyan, tur tanpa wewaton bebasan ing sawedal-wedalipun tembung ngayawara tegesipun cariyos ingkang boten gadhah misil, tuwin asil, bilih sampeyan kersa mirengaken kados ing ngandhap punika :

Duk apulang asmara, kados pratingkah ingkang sampun kula pratelakaken ing (99) ngajeng, yen pinareng dening Pangeran ingkang Maha Suci, kinen dados lantaran nitahaken manungsa, kacariyos menggahing raos eca lan sakecanipun sanget ing prabeda kaliyan ing adatipun,  dene menggahing solah lan pratingkah dedel sendal sarping pawestri utawi priya, yen prasaning rahsa sampun kawudar dening jiwa pramana, kawistara dumunung wonten ing lelet puletipun ing riku sapucuking pasta purusa sayekti karaos, ingkang rumiyin kadi kasendol ing mina, inggih punika wenganing dwara kekatanganing Hyang Kamajaya wau amudar rahsa rekta, sarta saking rah mreta (asrep) ing adat sengoring napas sedhatengan (100) sarta ganda ambeting hawa nalika duk makaten wau harum amrik anambar, saemper kadi gandaning sekar melati, ingkang saweg nedeng binuka ing sari, menah sadaya wau bok manawi punika satuhu gara-gara pangaribawa tumuruning cahya adi mulya tumedak lelantaran saking priya, dumarojog lajeng katampen dumunung guwa garbaning sang wanita, ing riku wanodya lajeng angarbini utawa binasakaken meteng.”

Juru Patanya :

“E…, e…., kisanak, saweg sapisan punika kula mireng cariyos ingkang makaten, ananging eram gumuning manah kula ingkang nami cahya adi mulya punika warni punapa utawa wujud punapa, nalika taksih wonten guwa garbaning priya dumunung wonten pundi dene teka boten katingal mrongkol utawi grenjel.”

PUPUH VIII

Sang Murwenggita :

“Saweg sepisan punika kula (101) nyumerepi anggenipun ceples kaliyan tembunging paribasan yen tumrap tiyang gadhah damel kadosta : metu ing sasaminipun, binasakaken sinsing-sinsing wekasane teles utawi malih tembung ngirit-irit wekasane dadi ngorot-orot, yen tembung paribasan wau tumrap penganten estri makaten lengkak-lengkok wekasane ngumbah katok, ing sayektosipun kisanak, kula punika dereng sumerep sarta dereng terang dhateng nalar ingkang makaten wau, dene sampeyan karsa cariyos tetempilan, liripun cariyos saking aneniru kados ing ngandhap punika :

Kasebut wonten wewijangan ngelmi, ingkang kaping nem dipunwastani kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran (102) kang Maha Suci sejati, anggenipun kersa jumenengan maligening Dad, minangka Betullah katata wanoten konthpling manungsa, punika sejatosipun inggih dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-satunggal anandakaken kalarating Dad kang Maha Mulya, lajeng boten kenging ewah gingsir saking ing kahanan jati, kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping nem nukilan amendet saking kitab Insan Kamil mratelakaken wewangsiting Pangeran kana Maha Suci sejati, dhateng Kangjeng Nabi Mukammad Rasulullah ayat ingkang kaping tiga, kajarwakaken makaten : sejatine ingsun nata malige ana ing sajroning Betalmukadas iku omah enggoning pasucian ingsun, jumeneng ana kontholing Adam, kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ana sajroning pringsilan iku nutpah, iya iku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku manikem, sajroning manikem (103) iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran iya ingsun, Dad kang anglimputi ing kahanan jati jumeneng ana ing sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal ing kono wahananing Alam Akadiyat, Alam Wahdat, Alam Wahkidiyat, Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam, Alam Insan Kamil.

Juru Patanya :

“Kisanak, menggah cariyos sampeyan wau saking pamanggih kula sanadya ingkang mirengaken sampun kawilang sujanma winasis, utawi lantip ing budi, mbok manawi inggih boten saged mangertos, saupami kisanak karsa nggenahaken suraos ing kitab ingkang kajarwakaken makaten wau, (104) saiba badhe lega lan bingah ing manah kula.”

Sang Murwenggita :

“Yen kula piyambak sayektosipun dereng sumerep, amung nyariyosaken menggah dalil pangandikaning Pangeran Kang Maha Suci ingkang makaten wau, sampun dipun werdeni dening para sujanma ing tanah Jawi, inngih punika satunggaling priyantun nama Raden Ngabehi Ronggowarsita pangkat Kaliwon, minangka pujangga amardi basa ing Nagri Surakarta Hadiningrat, kasebut wonten ing Serat Wirid Hidayat Jati ingkang mawi tinengeran ing tau Jawi ranta warna sinuta salebetin alip : 1779, kacariyos dunungipun makaten :

Konthol punika woyosipun kahananing Betulmukadas, tegesipun griya ingkang sinucekaken.
Pringsilan punika kahananing purba (105) katumusan saking kahananing birahi, dados bebukaning asmara nala, inggih punika sengseming manah.
Mani, punika kahananing kantha, katumusan saking wahananing hawa, dados bebukaning asmara tura, inggih punika sengsem ing pandulon.
Madi punika kahananing warna, katumusan saking wahananing karsa, dados bebukaning asmara turida, inggih punika sengseming pamireng.
Wadi punika kahananing ripa, katumusan saking wahananing cipta, dados bebukaning asmara nada, inggih punika sengseming sapocapan.
Manikem, punika kahananing suksma, katumusan saking wahananing pangrasa, dados bebukaning asmara tantra, inggih punika sengseming pangrasan.
(106) Rahsa, punika kahananing atma, katumusan saking wahananing ises, dados bebukaning asmaragama, inggih punika sengseming salulut.
Dene menawi sampeyan kisanak, mundhut cetanipun sarta genahipun babar pisan makaten : yen konthol tuwin pringsilan rak inggih kesagetan upami mundhut genahipun malih :

Mani punika sajatosipun kama, ingkang taksih dados toya, warninipun surat biru.
Madi, punika sarining mani, warnanipun surat dadu.
Wadi, punika sarining madi, warninipun surat jenar.
Manikem, punika sarining wadi, warninipun seta (107) maya-maya kadi retna.
Nukat gaib, tegesipun wiji pepinisan, inggih punika sarining rahsa sejati.
Johar awal, tegesipun sesotya ingkang wiwitan, inggih punika manik, dados embaning rahsa sejati.
“Kados pundi kisanak, manawi sampun terang ing suraos wujut tuwin warni ingkang makaten wau salebeting guwa garba ketingal marongkol punapa manyutu?.”

Juru Patanya :

“Kisanak sapunika sampun terang sanget ing pinampi kula, duk kala wau kacetakna bilih ingkang kaprtelakaken punika bab kama kula sampun mangretos leres boten katingal manyutu, jalaran warni toya kados bangsanin seni sasaminipun, sareng kama wau (108) sampun korut kaluntur saking priya anjog dumunung guwa garbaning wanita, punika salajengipun kados pundi ?.”

Sang Murwenggita :

“Kala wau ingkang pungkasan nyebutaken johar awal tegesipun sesotya ingkang wiwitan, inggih punika manik dados embaning rahsa sejati sampun dumunung wonten guwa garbaning sang wanita, ing riku lajeng wahananing alam pepitu binasakaken martabat kasebut ing ngandhap punika :

Alam Akadiyat wahananing kendel utawi ngadeg, inggih punika wanita meteng yen saweg sewulan, ing tembung Arab binasakaken Lhatakyun, tegesipun dereng sanyata ing kahananipun.
Alam Wahdat, wahananing meteng sawg (109) kalih wulan, yen tembung Arab Takyun Awal, tegesipun wiwit sanyata ing kahananipun.
Alam Wahkidiyat, wahananing meteng saweg tigang wulan, ing tembung Arab binasakaken Takyun Sani, tegesipun dene sampun sanyata ing kahananipun.
Alam Arwah, wahananing meteng saweg kawan wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Sabitah, tegesipun sanyata tetep ing kahananipun.
Alam Misal, wahananing meteng gangsal wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Karijiyah tegesipun sanyata tetep ing kahananipun, sampun andarbe sipat ananging taksih upami kemawon.
Alam ajsam, wahananipunmeteng saweg (110) nem wulan ing tembung Arab binasakaken Ajyan Mukawiyah, tegesipun sanyata gesang ing kahananipun sampun darbe asma bebayi lajeng karkat saged ebah.
Alam Insal Kamil, wahananing meteng sawg pitung wulan ngantos ing dalem wolung wulan dumugi sangang wulan ing tembung Arab binasakaken Akyan Maknawiyah, tegesipun sanyata kawedar ing kahananipun jumeneng sampurnaning manungsa, sampun darbe pakarti, sedya badhe lahir wonten ing alam donya.
Wonten malih pralambang, mbok manawi inggih yasanipun para sujana ing kina-kina TanahJawi, inggih pasemon pangudining pangawruh, tumrap dhateng tiyang makaten wau, bilih sampeyan kersa mirengaken (111) suraosipun kados ing ngandhap punika :

Yen priya lan wanita anggenipun sami sahresmi pamudharin prasa sesarengan, woring kama mangka pinareng dening Pangeran Kang Maha Mulya badhe nitahaken manungsa, punika woring kama wau lajeng kendel dumunung wonten guwa garbaning wanita, binsakaken garbini inggih punika meteng.

Yen sewulan dipun upamekaken kadi kusuma hanjrabing tawang tegesipun kados sekar sumebar wonten ing ngawang-awang. Yen saweg kalih wulan dipun upamekaken kadi bremara angajab ing tawang tegesipun kados kembang nelon ing tawang. (112) Yen saweg tigang wulan dipun upamekaken kadi isining bumbung wuluh wung-wang tegesipun kados isining bumbung wuluh ingkang tanpa ros. Yen saweg sakawan wulan dipun upamekaken kadi tapaking kontul nglayang ing tawang  tegesipun kadis tapaking peksi kontul kang mabur wonten ing awang-awang. Yen nem wulan ulan kaupamekaken kadi cantuka kinemulan ing wismane tegesipun kados kodok kinemulan ing elengipun. Yen pitung wulan ngantos ing dalem wolung wulan dumugi sangan wulan (113) kaupamekaken kadi sujalma lumpuh angideri jagad, tegesipun kados tiyang sukunipun lumpuh nanging saged angideri jagad.”

Juru Patanya :

“Kisanak, mangke rumiyin, kula dereng mangretos cariyos sampeyan wau bab kama, sareng korut saking priya katampen baganing wanita, ingriku wanita lajeng meteng ngantos saged wujud warni jabang bayi, punika kisanak ingkang dadosaken kodhenging manah kula, inggih jabang bayi wau asalipun saking pundi?, teka lumebet guwa garbaning wanita, mugi-mugi sampeyan danganangan karsa paring jarwa sanyata iba bedhe leganing manah kula.”

Sang Murwenggita :

“saking kinten-kintenan manah kula bebasan ngawur, kilap leres kilap boten ingkang lajeng dados jabang bayi bok manawi inggih kama ingkang saking (114) priya wau.”

Juru Patanya :

“E…., e….., kala wau kawujudaning kama sampun kapratelakaken ing ngajeng terang toya balaka, mokal sanget yen sageda dados jabang bayi, kaliyan malih kisanank, suwawi sami kagalih, yen kama wau ingkang dados jabang bayi, punapa sebabipun duk maksih wonten guwa garbaning priya salaminipun teka boten saged dados jabang bayi.”

Sang Murwenggita :

“Sareng kiosanak wicantenan ingkang makaten dangu-dangu kula gumujeng tetukulaning panggagas saiba saenipun saupami wonten priya garbini. Ing mangke kula nyariosaken Serat Widyakirana, pangarangipun Raden Mas Ngabehi Wiryokusuma mantri langgen praja ing Mangkuneran Surakarta Hadiningrat kados ing ngandhap punika :

(115) Ing bab kaping gangsal nyariosaken salebeting jaman Dwaparayoga, tegesipun jamaning kamokalan ing riku para manungsa wiwit suda ing kasektenipun, sami ngangge badan karsa awit anedha wowohan, tutuwuhan ing siti wekasan ing salami-lami karsa saya tumangkar sami nuwuhaken akal, dados sacumbananipun lan wanita sami alampah raga, sang wanita inggih mawi sarana anggarbini, menggah tumurunipun wiji wau kacariyos bilih  manungsa namakaken enenging cipta dangunipun boten kirang sapandurat (sagadag kendeling tiyang gegineman kanthi memanah). Punika daya panggendenipun daweg kuwawa nirik wiji, sumusuping wiji punika lajeng kuwawa mor sarahsa kalawan pramana, kuwawa rumesep mring utek lajeng rembes dhateng panon, ingkang dipun wastani panon punika toya sari sesarining uteg ingkang dumunung wonten (116) satelenging manik, kataman panusuping wiji, panon boten kawawa temahan kawedalaken ingkang temtu lajeng wuwuh karsa dhateng sajumbana, yen cinegah punika mimbuhi dhateng urubing pramana tuwin mimbuhi muncaring pangeksi, yen kalajengaken sacumbana saestu lajeng dados putra.”

Juru Patanya :

“Kisanak, menggah gumuning kula inggih bab kama wau, punapa tunggilipun toya seni punapa tunggilipun toya idu, punapa tunggilipun erah, teka lajeng dados jabang bayi.”

Sang Murwenggita :

“Duga sampeyan kisanak, kula dareng ngertos, yen ngraosaken suraosing serat wirit, ingkang sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau yen kawalik makaten :

Ingkang rumiyin Johar Awal, tegesipun sesotya ingkang wiwitan. (117) Kalih Nukat gaib, tegesipun wiji pingitan. Tiga Manikem, punika saking kinten-kintening manah kula ampasing Nukat Gaib. Sekawan Wadi, punika kinten kul ampasing Manikem. Gangsal Madi, punika kinten kula ampasing Wadi. Nenem Mani, punika kinten kula ampasing Madi. Boten langkung kula sumangga anggen sampeyan mestani, punapa tunggilipun idu, punapa tunggilipun seni.

Juru Patanya :

“Kula dereng saged amstani, awit dereng sumerep asaling toya seni wau saking punapa ?,”

Sang Murwenggita :

“Bilih kersa medal saking kinten-kintening manah kula, bok manawi makaten : sujanma punika yen nedha, samubarang ingkang katedha kinten kula lajeng kinukut (118) dening rahsaning pramana, ingkang dumunung wonten antaraning telak lajeng tinarik dumunung ing uteg, ing riku lajeng kuwasa sumebar sumrambah ing jasad sedaya, dene kasaring tetedan wau lajeng katampen dening waduk lajeng kapingta-pinta, ingkang warni amapsa dados sesuker, ingkang warni toya dados seni punika.”

Juru Patanya :

“Sapunika kula sampun mangretos, dados kama punika pancen terang sanes kaliyan bangsanipun seni, ananging ta sarehning bab kama wau warni toya blaka teka lajeng saged warni jabang bayi, punika kados pundi pratingkahipun?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula anyariyosaken Serat Widyakirana wau, ing bab kaping sekawan anyariyosaken ing Alam Tirtayoga, amiraos tetesing kasidanjati (119), miturut suraosing Serat Ciptapsara wewarahipun Dewi Rukmawati, inkang lajeng kinarang dening Begawan Parasara ing Nretawu kala ing jaman Buda, suraosing karingkes kados ing ngandhap punika :

Wiyosipun, ingkang rumiyin Sanhyang Pramana punika bilih kataman ing daya asrep taksih pengkuh ing kahananipun, yen kataman ing daya pepanas temah kumringet, menggah kringet wau inggih punika ingkang dipun wastani mani, ing mangke mani ing saben kenging daya asrep lajeng pupul, manawi kenging dayaning pepanas kuwawa amer, menggah aner tuwin pupuling mani wau lajeng mahanani kumulut, kumuluting mani punika dipun wastani jantung, sareng jantung kenging dayaning pepanas darbeni kringet, kringetipun jantung wau kuwawas mahanani amperu kalih dumunung sakiwa tengening jantung, makaten ugi sedaya kahananing (120) jerowan, awitipun inggih saking jantung, ing salami-lami jantung kuwawa ambabaraken bayu oto, sungsum sapanunggilanipun praboting anga sakojur wanda, sampurnanipun warni gumana, bok manawi inggih punika ingkang kacariyosaken warnining jabang bayi wau, ewa dene menggahing panampi suraos ingkang makaten wau kula sumangga ing sampeyan piyambak.”

Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, kula kirang terang, kula wau wiwitan ingkang rumiyin piyambak Sanghyang Pramana, ingkang binasakaken Sanghyang Pramana punika punapa?”

Sang Murwenggita :

“Yen sampeyan pitanglet inggih kasebut ing Serat Widyakirana wau, ingkang nama Sanghyang Pramana punika, panuksmaning Sanghyang Tripurusa, ingkang nama Sanghyang Tripurusa punika tegesipun santosaning campuran tetiga, (121) ingkang binasakaken campuran tetiga wau yen tembung jawi kawastanan Trimurti, tegesipun alus tetelu, yen ing tembung Sangskrit kawastanan : a, u, ma, tegesipun a = latu, u = toya, ma = angin. Suwawi kisanak, badhe tanglet punapa malih, sampun galih pakewet saha sampun galih kuwatos, sarehning punika jaman kreta boten-botenipun yen kula badhe nepsu utawi ngamuk.”

Juru Patanya :

“Duk kisanak, mugi-mugi sampun kalintu ing panampi, anggen kula matur pitangklet sadaya wau boten saking nyengklong utawa jual wetak prasajanipun manah kula, pancen dereng paring pangapunten ingkang kathah-kathah, suwawi ta (122) kisanak kagalih, kados pundi anggenipun boten pakewet ing manah, anggen kula mirengaken cariyos sampeyan wau kadosta : kala wau mratelakaken cariyosipun martabat pepitu, sareng dumugi nem wulan jabang bayi wonten ing wetangan ing tembung Arab binasakaken Akyan Mukawiyah, tegesipun sanyata gesang ing kahananipun sampun darbe asma nama bebayi, lajeng karkat saget ebah, mangga kisanak, sinten tiyangipun ingkang boten kodeng nampeni suraos ingkang makaten wau, liripun kadosta : jabang bayi sareng dumugi nem wulan wonten wetangan dumugi gangsal wulan upami pejah boten saged ebah punapa sebabipun saged mindak ageng / ngantos dumugi nem wulan.”

(123) Sang Murwenggita :

“E…., e….. saweg punika kula nyumerepi manungsa watak lingsang, boten ketang brindil wuluning buntutipun angger saged kenging wujuding yuyu ingkang wonten salebeting eron, makaten upamenipun menggahing patrap punika, samangke kula cariyos minangka wonten salebeting isining uwoh, dene uwoh wau kawastanan nama klungsu duk nalika wiji taksih wonten salebeting klungsu punapa kenging dipun wastani gesang ing uwit asem utawi uwit asem gesang, dene wiji ingkang wonten salebeting klungsu boten kenging dipun wastani pejah, pratandhanipun manawi kadeder lajeng tukhul. Dados yen makaten menggahing tetelanipun saking kinten-kintening manah kula, duk nalika wiji taksih (124) wonten salebeting klungsu inggih sampun kadunungan gesang, ananging kasebut gesanging wiji utawi wiji gesang, dene bilih sampun thukul tegesipun menthongal saking cangkoking klungsu, punika saweg kenging dipun wastani gesanging uwit asem utawi asem gesang, bok manawi wijining manungsa wau kula boten badhe mestani memper, inggih namung pepiridaning nalar kemawon kados inggih boten prabeda.”

PUPUH IX

Juru Patanya :

“Menggah ing nalar-nalaripun kisanak, kados inggih leres, ananging duk nalika dados wiji punika gesang saking punapa utawi salajengipun dados jabang bayi punapa gesang saking pundi?.

Sang Murwenggita :

Kisanak, mugi sampun kalajengaken angrembag prakawis punika, semunipun saya rempit piniteta samanten kemawon, (125) sinten manungsa ingkang saged sumerep sarta mangretos dhateng pitangletan ingkang kados makaten wau, ananging kula inggih boten pisan-pisan bebasan ngepak utawi ngilani dhateng sakathah-kathah ing para sujana, bok manawi inggih wonten ingkang pinareng saged kabuka ing kawicaksananipun, sarehning kula lan sampeyan sami sujanma nom, tegesipun manungsa ingkang apes, tiwas kaplengkang tur baoten saged dumugi, paribasanipun makaten :  peksi cocak sedya ngunthal elo saking pundi marginipun saged kalampahan, pramila bilih kula kisanak, bab ing nalar elok lan langka  wau boten susah kagalih mindak andamel ribeting tur tanpa damel, boten angsal paedah punapa-punapa, cekakipun, bab rembag aluran ing ngajeng prayogi kasigeg sampun kadugek-dugekaken kacariyos boten sae rumaos bab ngelmi wau prayogi rembag gegujengan binasakaken cariyos ngayawara, katimbang anginem awoning liyan.”

Kula gadhah cariyos tembung pepiridan saking tembung Arab, kados prayogi yen kamirengaken kados ing ngandhap punika :

Dlil punika anedhahaken pangandikaning Pangeran Kang Maha Sukci Sejati dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah. Kados punika mratelakaken wewulang pangandikanipun Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah dhateng para Sekabat.

(127) Ijmak punika ngumpulaken wewijangan pangandikanipun para waliyullah. Kiyas punika mencaraken wewarah pangandikaning para pandhita sadaya punika sami dados pambukaning kekeran, ingkang medaraken rasaning gaib sajatosipun ngagesang supados waskita ing gesangipun, wekasan saged sampurna ing sangkan paran. Menggah bebukaning cariyos ingkang rumiyin mendet saking kekiyasan murad lan maksuding suraosipun nukilan, serahing Kitab Dakaikul Akaik kacariyos tegesipun alus sejati utawi sejating alus.

Wonten malih mendet saking kekiyasan murad maksuding suraosipun alusing carita utawi caritaning kahalusan. (126) Kitab kekalih wau condong ing suraosipun Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah ingkang kawejangaken dhateng Sayidina Ngali, kinen angestokaken ananing dat ingkang kasbut ing dalil sepisan, wangsiding Pangeran Kang Maha Suci Sejati, kajarwakaken kados ing ngandhap punika :

Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku ingsun ora ana Pangeran liya nanging ingsun, amartani ing asmaningsun, amratandhani ing afngalingsun sejatine Dat Kang Maha Suci anglimputi ing sipat ingsun mratandhani ing afngal ingsun.

Juru Patanya :

“Kisanak, kula kuwatos manawi lepat anggenipun anjarwakaken tembung Arab wau, margi kula titik suraosipun kados kirang sarta taksih (129) kacaruban tembung Arab sakedhik, kadosta kala wau nyebutaken sadurunge ana apa-apa, kang ana dhisik iku ingsun, lo, punika tembungipun wau rak taksih wonten kajengipun, ingsun sinten, utawi malih ingkang nama Dat, sipat, afngal punika warni punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Yen saking pamanggih kula anggenipun anjarwakaken wau boten lepat, nanging kula titik kados sampun limrah, bab serat-serat tembung Jawi utawi kitab-kitab tembung Arab, punika suraosipun kathah ingkang pasemon, menggah jangkepipun ing pangretos kedah nyumerepi sekawan prakawis lafil, makna, murad, maksud yen sampeyan bedhe nyumerepi terangipun kasebut ing Serat Wirid yasanipun Kyai Ageng (130) Mukhammad Sirullah ing Kedungkol kados ing ngandhap punika :

Ingkang binsakaken ngandika ora ana Pangeran nanging ingsun menggah ing sajatosipun Dat Kang Maha Suci punika inggih gesang kita pribadi, sayekti katitipan rahsaning Dat Kang Maha Agung anglimputi ing sipat punika inggih rupa kita pribadi sayekti kawimbuhan warananing Dat kang elok. Hanartani asma, punika inggih nama kita pribadi, sayekti kaaken, pasebutaning Dat kang wisesa.

Amratandhani afngal, punika inggih solah bawa kita pribadi, sayekti nelakaken pakartining Dat kang sampurna. Mila ing bebasanipun, wahananing Dat punika anyamadi sipat, sipat punika hanartani asma, asma punika mratandhani afngal, (131) afngal punika dados wahananing Dat.

Dene Dat anggenipun nyamadi sipat, punika upami madu lawan manisipun, sayekti boten kenging kapisahaken. Dene sipat angonipun hanartani asma, punika kadi surya lawan sorotipun, sayekti boten kenging yen kabedakna. Dene asma, anggenipun mratandhani afngal punika upami kadi paesan kang ngilo lawan wayanganipun, sayekti sasolah bawanipun kang ngilo wewayangan anut kemawon.

Dene afngal, anggenipun dados wahananing Dat punika kadi samodra lawan ombakipun, sayekti wahananing ombak anut saking rehing samodra.

Dene ing sejatosipun ingkang nama Dat punika tajalining Mukhammad. Sejatosipun ingkang nama Mukhammad punika (132) wahananing cahya kang nglimputi ing jasad dumunung wonten ing gesang kita, inggih punika gesang piyambak boten wonten ingkang gesangi, mila kawasa ningali, miyarsa, gonda, angandika, angraosaken saliring rahsa, punika saking kodrating Dat kita sadaya, tegesipun makaten : Dating Pangeran Kang Maha Suci punika anggenipun ningali tanpa netra, ananging mokal manawi wuta, inggih punika muhung saking angageming netra kita. Anggenipun miyarsa tanpa karsa, ananging mokal manawi tuli, inggih punika muhung saking angageming grana kita. Anggenipun ngandika tanpa lesan, ananging mokal manawi bisu inggih punika muhung saking angagemi lesan kita. Anggenipun ngraosaken saliring rahsa tanpa dunungan, ananging mokal manawi sunya, inggih punika muhung dumunung wonten ing (133) pangraos kita.”

Juru Patanya :

“Leres kisanak, suraosipun Serat Wirit wau terang sanget, menggah pangawruh ingkang makaten punika naminipun kawastanan ngelmi punapa?, sarta kalawan kathah nyebutaken tembung kita, punika tegesipun kados pundi?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah pangawruh makaten wau kacariyos kawastanan wisikan ananing Dat, dene yen sampeyan pitanglet tembung kita saking kinten-kinten kula tetimbanganing tembung ingsun tegesipun sami amestani Aku, dene wijangipun makaten : tembung ingsun tegesipun aku nanging Gusti, yen tembung kita tegesipun aku nanging kawula.”

Juru Patanya :

“Kisanak, kadosta wonten tembung ingkang rumiyin ingkang sapisan siji, utawi satungal punika rak tembung cacah anelakaken badhe wonten tunggilipun, kalih, (134) tiga saurutip[un, duk kala wau sampun nyebutaken dalil ingkang ….. kaping kalih punika kados punapa ?.”

PUPUH X

Sang Murwenggita :

Leres kisanak, wonten ugi mendet nukilan saking sorahing kitab Dakaikkul Akaik utawi kitab Dakaikul Ikbar, tunggilipun kasebut ing ngajeng wau, dalil ingkang kaping kalih condong suraosipun sami mratelakaken wewangsiting Pangeran Kang Maha Suci Sejati dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken dados ing ngandhap punika :

Sejatine Ingsun Dat kang murba amisesa, kang kuwasa nitahake sawiji-wiji, dadi pada sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, kang minangka bebukaning Iradat Ingsun, (135) kang dhingin Ingsun anitahaken kayu, aran, sjaratul yakin tumuwuh ana ing sajroning Alam Ngadam Makdum ajali abadi. Nula cahya aran Nur Mukhammad. Nuli kaca, aran Miratul Kayai. Nuli nyawa aran Roh Ilapi. Nuli damar aran Kandil. Nuli sesotya aran Darah. Nuli dinding jalal aran Kijab, iku minangka warnaning kalaratingsun.

Menggah dalil ingkang makaten wau dipun werdeni dening Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kadungkol kasebut ing Serat Wirit kados ing ngandhap punika :

Kayu aran Sajaratul Yakin, tumuwuh wonten salebeting alam Ngadam Makdum ajali abadi, tegesipun sajati, tumuwuhipun jagad sunyaruri, taksih awang-uwung salaminipun, ing kahanan kita punika kakekatipun Dat multlak kang kadim, tegesipun (136) sajatining Dat kang mesti rumuhun piyambak, inggih punika Dating Atma dados wahananing Alam Akadiyat.
Nur Mukhammad, tegesipun cahya kang pinuji, kacariyos ing kadis waninipun kados peksi Merak, wonten ing dalem sesotya kang petak dumunung arah-arahing Sajaratul Yakin, punika kakekating cahya kang ingaken tajalining Dat, wonten salebeting Nukat Gaib, minangka sipating Atma, dados wahananing Alam Wahdat.
Miratu Kayai, tegesipun kaca wirangi, kacariyos ing kadis dumunung sangajenging Nur Mukhammad, punika kakekating Pramana, kang ingaken rahsaning Dat minangka asmaning Atma, dados wahananing Alam Wakidiyat.
Roh Ilapi, tegesipun sasandhanging nyawa, inggih punika nyawa ingkang wening, kacariyos ing kadis asal saking Nur Mukhammad, (137) punika kakekating suksma, kang ingaken wahananing Dat, minangka Afngaling Atma, dados wahananing Alam Arwah.
Kandil, tegesipun dilah, inggih punika dilah tanpa latu, kacariyos ing kadis awarni sesotya kang mancur mancorong gumantung tanpa cantelan ing riku enggen kahananing Mukhammad sarta engen pakumpulaning roh sadaya, minangka kakekating aneng-aneng, kang ingaken wahananing Dat, minangka embananing Atma, dados wahananing Alam Misal.
Darah, tegesipun sesotya, kacariyos ing kadis darbe sorot amanca warni, sami kanggenan Malaekat, punika kakekating budi, kang ingaken papaesaning Dat, minangka wiwaraning Atma dados wahananing Alam Ajsam.
(138) Kijab, winastanan dinding jalal, tegesipun warana kang agung, kacariyos ing kadis medal saking sorot amanca warni, ing nalika mosik nganakaken tigang pramana : 1. Uruh, 2. Kukus, 3. Toya, punika kakekating jasad, kang ingaken warananing Dat, minangka sesandaning Atma, dados wahananing Alam Insan Kamil.”
Juru Patanya :

“Mangke ta kisanak, kula dereng mangretos, ingkang binasakaken kakekating jasad punika : 1. Uruh, 2. Kukus, 3. Toya, mangka yen saking pamireng kula sarta ingkang sampun limrah sakathah ing tiyang ingkang mastani ingkang binasakaken jasad punika : kulit, daging, erah, otot, bayu, balung sungsum, menggah sulayaning tembung ingkang makaten wau mugi-mugi kisanak kersaa nerangaken, saiba bingahipun ing manah kula.”

(139) Sang Murwenggita :

“Yen kula piyambak boten sumerep, inggih amung nyariosaken, ugi kasebut ing Serat Wirit wau, menggah pratelanipun saking Ijmak, Kiyas, pepangkating dinding jalal ingkang awarni : uruh, kukus, toya, wau sami dados tigang warana malih kasebut ing ngandhap punika :

Ingkang rumiyin, uruh amedalaken tigang pangkat :

Kijab Kisma, dados wahyaning jasad ing jawi, kadosta kulit, daging sapanunggalipun.
Kijab Rukmi, dados wahyaning jasad kang nglebet, kadosta uteg, manik, manah, sapanunggalipun.
Kijab Retna, dados wahyaning jasad kang lembat, kadosta mani, rah, sungsum sapanunggalipun.
Ingkang kaping kalih kukus amedalaken tigang pangkat :

Kijab Pepeteng, dados wahananing napas sapanunggalipun.
Kijab Guntur, dados wahananing pancadriya.
(140) Kijab Latu, dados wahananing napsu.
Ingkang kaping tiga, toyaamedalaken tigang pangkat :

Kijab Toya Gesang, dados wahananing suksma.
Kijab Nurasa, dados wahananing rahsa.
Kijab Nurcahya, ingkang sakalangkung padhang, dados kahananing Atma, sadaya punika warananing Dat, sami dumunung Insan Kamil, tegesipun kasampurnaning manungsa.
Juru Patanya :

“Lakalangkung eraming manah kula kisanak, anggen kula mirengaken cariyos sampeyan ing Serat Wirit wau, anggenipun wijang sarta terang sanget ing suraosipun. Menggah dalil ingkang kaping kalih ing kitab Dakaikul Akbar, kados ingkang sampun sampeyan cariyosaken wau, diupun wastani pangawruh punapa, kaliyan malih punapa boten wonten malih kitab sanesipun ingkang nyebataken makaten wau?.”

Sang Murwenggita :

 “Kacariyos menggah pangawruh (141) ingkang kasebut ing dalil kaping kalih makaten wau dipun wastani wedaran wahananing Dat dene yen sampeyan pitanglet kitab sanes-sanesipun ingkang mratelakaken makaten wau kula dereng nate mireng sarta dereng nate maos, namung inggih ingkang kasebut ing Serat Wirid wau kacariyos mendhet kekiyasan saking murad maksuding kitab Bayan Alip ananging suraosipun boten ceples, kenging binasakaken amor misah kemawon kados ing ngandhap punika.”

PUPUH XI

Prelunipun kapratelakaken supados kangge minangka tetimbanganipun ing ngajeng wau.

Alif, punika lahiring sipatullah, sayektosipun woten ing wujud kita pribadi, sumandha ing Alam Khabir, dodos kahaning nukat tegesipun musthika, (142) ingkang binasakaken musthika punika budi.
Nukat, punika lahiring budi, punika lahiring budi, sumanda ing Alam Sahir, dados kahananing darah, tegesipun retna, ingkang binasakaken retna punika jinem, winastanan aneng-aneng, amratandhani gesanging budi.
Darah, punika lahiring jinem, sumomda ing budi, dados kahananing roh, tegesipun suksma ingkang binasakaken suksma punika nyawa amratandhani gesanging angan-angan.
Eroh, punika lahiring suksma, sumonda ing aneng-aneng, dados kahananing sir, tegesipun rahsa, ingkang binasakaken rahsa punika pangraosing babahan hawa sanga, amratandhani gesanging nyawa, kantun karkating pramana sajati kantun karkating atma sajati.
(143) Sir punika lahiring rahsa, sumonda ing suksma dados kahananing Iman, tegesipun santosa inggih punika pramana ingkang binasakaken pramana punika jangkeping ponca driya, amratandhani gesanging rahsa.
Iman, punika lahiring pramana, sumondha ing rahsa, dados kahananing Nur, tegesipun cahya, ingkang binsakaken cahya punika sulaking netya, amratandhani gesanging pramana, dene pramana punika amisesa ing salira, tunggil sasana kaliyan rahsa, sami dumunung salebeting jiwa, ngibaratipun kados simbar tuwuh wonten ing wreksa, ananging boten tumut nyandhang saniskara, luwe sapanunggilanipun boten tumut kaleson, trekadangan ginggang saking sasana, manawi ngantos kangsiran pramana salira lungkrah temahan (144) ngalumpruk boten darbe karkat, saupami sirna karkating salira, kantun karkating suksma, saupami sirna karkating rahsa kantun karkating pramana sajati, saupami sirna karkating pramana sajati kantun karkating atma sajati.
Nur, punika lahiring cahya winastanan pramana sajati sumanda ing pramana sajati, kados kahananing dwiyat, tegesipun padaning cahya, ingkang binasakaken padhanging cahya punika purbaning atma sajati.
Duryat, punika lahiring atma sajati, sumanda ing cahya, dados kahananing Dat tegesipun  kanta, ingkang binasakaken kanta punika jengerening sipat sajati.
Dat, punika lahiring sipat sajati, dados kahananing nukat gaib, tegesipun (145) musthika kang samar, ingkang binasakaken musthika kang samar punika kanyatahaning rupa sajati, sinengker wonten salebeting Alam Sahir, gesang piyambak boten wonten ingkang gesangi, ibaratipun tanpa antawis kaliyan gesangipun suksma sajati, tuhu tunggil sasana, boten pisah ing salaminipun.
Nukat Gaib, punika lahiring rupa sajati, sumonda ing Dat sajati, dados kahananing cahya gumilang tanpa wewayangan inggih punika tajalining Pangeran kang sipat : ta, tegesipun asipat satunggil ingkang binasakaken sipat satunggil punika dede jaler dede estri, dumunung wonten kodrat irodat kita pribadi, tegesipun saking kuwasaning karsa kita piyambak.
Juru Patanya :

 “Leres kisanak, Kitab Bayan (146) Alip punika kenging binasakaken amung mor misah kemawon kaliyan cariyos sampeyan ing ngajeng wau, ing mangke mugi karsa dumugekaken malih, ingkang kasebut ing kitab Dakaikul Akaik kaliyan kitab Dakaikul Akbar wau, kados pundi suraosing dalilipun ingkang kaping tiga?.”

PUPUH XII

Sang Murwenggita :

 “Menawi sampeyan kepingin mirengaken suraosipun kitab kekalih wau, dalil ingkang kaping tiga, utawi suraosipun Serat Wirit Hidayatjati sarta cunduk kaliyan nukilan, sorahing kitab Bayanumirat, Bayan Alip, Mandinil Asrar, utawi kitab Mandingil Maklum inggih punika bangsaning kitab tassawuf sadaya, sami mratelakaken wewangsiting Pangeran Kang Maha (147) Suci sajati, dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken kados ing ngandhap punika :”

Sajatine manungsa iku rasaningsun, lan ingsun iki rahsaning manungsa, karana ingsun anitahake Adam asal saka ing anasir patang prakara : 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku dadi kawujudaning sipat ingsun, ing kono ingsun panjingi Mudakih liman prakara : 1. Enur, 2. Geni, 3. Eroh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku minangka warananing wajah ingsun Kang Maha Suci sajati.

Kacariyos ing kadis,panjinging Mudah gangsal prakawis wau wiwit saking embun-embunan, kendel wonten ing uteg, lajeng tumurun netra, lajeng tumurun dhateng lesan, lajeng tumurun dhateng dada (148) lajeng sumrambah dhateng jasad sadaya, jangkepipun jumeneng insan kamil asipat rupa sajati.

Dene yen isbatipun kados ingkang kasebut wonten salebeting Kitab Bayanu mir’at amarah saking pangandikanipun Sultan Sungeb ing Majan kajawekaken makaten : rupa sejatining rupa punika inggih sipating Pangeran kang Maha Suci sejati.

Wonten malih kitab, naminipun boten kasebut warah saking pangandikanipun Sultan Abuyajid ing Bustam, kajarwakaken makaten : sajatining Dat punika dados tuladaning Suksma sejati, dene suksma sajati punika dados tuladaning sipat sajati, dene sipat sajati punika dados tukadaning rupa kita pribadi, (149) dados reringkesaning suraos ingkang makaten wau, kahananing manungsa punika saking duryat, dene wahananing duryat punika saking cahyaning Dat, dene sajatining Dat punika dumunung ing gesang kita pribadi.”

Juru Patanya :

 “Kisanak, kaange tetimbangan murih terang ing suraos, kala wau dalil ingkang kaping kalih kadekekan cariyos minangka kangge saksi, inggih punika suraosing kitab Bayan Alip, sareng sapunika dalil ingkang kaping tiga, punapa wonten kitab malih ingkiang nyebutaken makaten, margi saya prayosi bilih kathah seksi-seksinipun, manawi wonten mugi kersaa gancaraken cariyos malih, supados kangge tetimbanganipun suraos, utawi malih dalil ingkang kaping tiga wau kawastanan pangawruh punapa?.”

Sang Murwenggita :

 “Menggah dalil ingkang kaping (150) tiga wau, kacariyos dipun wastani gelaran kahananing Dat, dene manawi sampeyan pitanglet kitab-kitab malih ingkang nunggil euraos kula dereng nate sumerep, sarta dereng nate maos, enget-engetan manawi boten lepat inggih serat Wirit Hidayat Jati wau anyebutaken mendetsaking kekiyatan murad maksuding suraos kitab Insan Kamil, bebasanipun ing suraos inggih nunggil misah kemawon kaliyan cariyos ing ngajeng wau, pratelanipun kados ing ngandhap punika :

Kulit, punika embanganing daging dados kahananing wujud.
Daging, punika embanganing erah dados wahananing sipat.
Erah, punika embaganing eroh, dados leksananing keketeg.
Eroh, punika embanganing rahsa, dados (151) wahananing napas.
Rahsa, punika embanganing pramana sajati dados tangaping raos pangraos.
Pramana sajati, punika embanganing cahya dados sankeping panca driya.
Cahya, punika embanganing atma sajati, dados wimbaning ulat.
Atma sajati, punika embanganing Dat sajati dados purbaning gesang sejati.
Dat sajati, punika embanganing Pangeran kang sipat sa, dados sampurnaning gesang sejati.
Sapunika kisanak, murih tambah terang malih grebanipun makaten :

Badan, punika wayanganipun budi.
Budi, punika wayanganipun napsu.
Napsu, punika wayanganipun eroh ingkang (152) winastanan pramana sejati.
Eroh punika, wayanganipun rahsa ingkang winastanan pramana sejati.
Rahsa, punika wayanganipun Nur Mukhammad ingkang winastanan atma sajati.
Nur Mukhammad punika wayanganipun akyan sabitah ingkang winastanan atma sajati.
Akyan Sabitah, punika wayanganipun Da tullah ingkang winastanan sipat sejati.
Ing mangke kisanak, suraosipun ing dalil sapisan ngantos dumugi dalil ingkang kaping tiga, sarta pinten-pinten ketrangan sadaya ingkang sampun kasebut ing inggil wau, menggah panjing suruping tumrap kahananing jabang bayi, kula sumangga ing sampeyan piyambak.

Juru Patanya :

 “Inggih kisanak, kula (153) piyambak badhe ngagas lan gatuk-gatukaken ing suraos wau, ananging menggah gumuning manah kula, wiwit mirengaken dalil ingkang sapisan Dating Pangeran kang Maha Suci punika yen karsa angganda muhung ngagem ing grana kita, manawi karsa amicara muhung ngagem ing rahsa kita, punika ingkang dangu anggen kula ngagas saestu dereng saged pinanggih menggah ing nalar-nalaripun, punapa inggih Dating cumlorot ndesul dhateng ing lesan kita, manawi karsa badhe aningali lajeng mancolot gumandul ing idep (154) kita, bilih karsa amiyarsa lajeng miber malih dhateng  lening karna kita, bilih badhe karsa angraosaken lajeng lumebet ing raos kita, ingkang saupami makatena pratingkahipun, sinten manungsa ingkang nate uninga dhateng pancoloting Pangeran kang Maha Suci, sutanipun kados punapa kaliyan sinten manungsa ingkang nate uninga abur ing Pangeran kang Maha Suci, elaring swiwinipun kados punapa, utawi malih yen malebet ing raos kita, punika dumunung wonten ing pundi?.”

PUPUH XIII

Sang Murwenggita :

 “Sampun kepanjang-panjang kisanak, kacuthela samanten kemawon wicantenan sampeyan sadaya wau, bok manawi kamirengaken para santri ingkang cubluk ing budi, kakinten sampeyan maiben dhateng suraosing kitab, (155) kawastanan tiyang kufur temah dados garejeg wewinihing pasulayan punika kirang prayogi. Menggah ing prasananipun yen sampeyan gegujengan sarta rerembangan lelawanan kaliyan manungsa ingkang alus marsudi ing budi, tembung sampeyan sadaya wau bebasan nayuh alingan sada, pangonan welut diedholi udhet, ampingana rambut pinara pitu, kados boten kekilapan, sedyaning manah sampeyan badhe pitanglet, saderengipun kalahir wicanten sampeyan sadaya wau kula sampun nyediani wangsulan kados ing ngandhap punika :

Ingkang rumiyin wonten tetembungan makaten, sadaya obah-osiking manungsa punika atas saking karsa kawasaning Pangeran kang Maha Suci Mulya, menggah patrap (156) pratingkaahing pamolah pitedahanipun ugi dumunung ing Serat Wirit yasanipun Ki Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol wau, wewejangan ingkang kaping sekawan, dipun wastani kayektening kahanan kang maha luhur, awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran kang Maha Suci, anggenipun anjumenengaken maligening Dat minangka Bettulah, katata wonten ing sirahing manungsa punika sajatosipun minangka pitedahan, kayektening kahanan satunggal-satunggal, anandakaken kalarat ing Dat kang maha mulya langgeng boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati, kasebut wonten ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan (157), nukilan saking sorahing kitab Insal Kamil mratelakaken wangsiting Pangeran kang Maha Suci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, ayat ingkang kapisan karaos ing dalem rahsa kajarwakaken kados ing ngandhap punika :

Sajatine Ingsun nata malige ana sajroning Betal Makmur, iki omah engoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam kang ana sajroning sirah iku dimak iya iku uteg, kang ana antaraning uteg iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran, nanging ingsun kang anglimputi ing kahanan Jati.

Juru Patanya :

 “Kisanak, sampun ketanggelan (158) anggen sampeyan nuntun dhateng binguning manah kula, mugi-mugi kersaa anggenahaken suraosing dalil ingkang makaten punika, menggah ceplesipun kaliyan pangagas kula wau kados pundi?, liripun makaten : Dating Pangeran kang Maha Suci punika yen kersaa ngandika utawi yen kersaa miyarsa patrap pratingkahipun kados pundi ?.”

Sang Murwenggita :

 “Kisanak, yen sampeyan kapengin badhe uninga terangipun kula dumugekaken gancaripun cariyos wau kados ing ngandhap       punika :”

Menggah suraosipun ing dalil kala wau makaten :

Sirahing Adam inggih sirahing manungsa punika kawiyosipun kahananing Betakmakmur, tegesipun griya kang rame, utawi panggenan kang rame.
Uteg punika kahananing kantha (159), narik wahananing cahya, dados pambukaning netya.
Manik, punika kahananing pramana, narik wahananing warna, dados pambukaning karsa, dados pambukaning pamicara.
Budi, punika kahananing pranawa, tegesipun padhaning manah narik wahananing karsa, dados pambukaning pamicara.
Napsu, punika kahananing hawa, narik wahananing swara, dados pambukaning pamiyarsa.
Suksma, punika kahananing nyawa, narik wahananing cipta, dados pambukaning panganda.
Rahsa, punika kahananing atma, narik wahananing wisesa, dados pambukaning pangraos.
Juru Patanya :

 “Kisanak, kula amung nirokaken kemawon, tembunging cariyos ing (160) ngajeng wau makaten : kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan. Nukilan saking sorahing ing kitab Insan Kamil, mratelakaken wangsiting Pangeran kang Maha Suci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, ayat ingkang kapisan, lo, punika lajeng nenuntun dhateng pangraitaning manah kula, suraos ingkang makaten wau punapa taksih wonten panunggilanipun daliling ngelmi ingkang kaping gangsal, pendetan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih, yen lakar pancen taksih wonten gancaripun, mugi-mugi karsa-karsaa dumugekaken cariyos malih sesambetaning pangawruh ing ngajeng wau.”

PUPUH XIV

Sang Murwenggita :

“Leres kisanak, wonten kula dumugegaken cariyos malih (161) suraosipun ing Serat Wirit wau, kasebut ing daliling ngelmi ingkang kaping gangsal nukilan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih punika dipun wastani kayektening kahanan kang maha agung inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukaram. Awit dene pamejangipun ambuka kodrat iradating Pangeran kang maha suci, anggenipun karsa anjumenengaken maligening Dat, minangka betullah katata wonten ing dadaning manungsa, punika sajatosipun inggih dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-tunggal anandakaken kalarating Dat kang maha mulya, langgeng boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati, menggah daliling Pangeran kang Maha Sukci dhateng Kangjeng Nabi Mukhammad Rasulullah, kajarwakaken kados (162) ing ngandhap punika :

Sajatine ingsun anata malige ana ing dalem Betal Maharam iku omah engoning lelaranganingsun, jumeneng  ana ing dadaning Adam, kang ana ing dada iku ati, kang ana ing sajroning ati iku jantung, kang ana sajroning jantung iku budi, kang ana sajroning budi iku jinem iya iku angen-angen, kang ana sajroning angen-angen iku suksma, kang ana sajroning suksma iku rahsa, kang ana sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran nanging ingsun, Dat kang anglimputi ing kahanan jati.

Juru Patanya :

“Kisanak, yen amirengaken suraosing cariyos ingkang makaten wau lajeng pepet kodhang boten saged mangretos, awit kulinanipun kula nate angeguru dhateng para pandhita dusun, (163) yen amejang ngelmi punika bebasan namung gletek-petelipun kemawon boten mawi tetembungan pralambang kathah-kathah, trekadangan asring wonten dapur cecangkriman kadosta : kyai guru anutupi cangkir kothong, lajeng wicanten dhateng muridipun kapurih methek suwung punapa isi, wonten ingkang methek kothong wonten methek ingkang isi, kyai guru lajeng anjarwani makaten : iya iku upama badaning manungsa sajatine isi, mulane padha upayaken sagaduging pamikirmu apa isen-isene sajroning badanmu dewe-dewe amung makaten kemawon kemawon lajeng sampun bok manawi cecangkrimaning kyai guru kapurih madosi isisining badan wau supados nyumerepana cariyos sampeyan punika. Pramila kula sanget kumedah uninga, dalil (164) pangandikaning Pangeran kang Maha Suci makaten wau, menggah sejatosipun yen kakeplokaken tumraping badan kita kados pundi wewejanganipun?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah cariyos sampeyan sadaya wau inggih leres, kula piyambak sampun nate amrangguli guru ingkang gedhah gelar ingkang kados cariyos sampeyan punika, menggah tiyang angeguru ingkang makaten wau kenging binasakaken wong golek-golek ketanggor wong luru-luru, liripun makaten sareng guru cecangkriman kapurih methek punapa isen-isening raga, ing riku para murid lajeng ambatang salah satunggilipun, bilih wonten kalantipaning para murid pratitising pambatanganipun lajeng dipun temu dening guru, ingkang makaten wau lajeng dados dapur kuwalik, leresipun guru punika amulang (165) dhateng murid, sareng wonten gelar pratikeling guru julig durjananing ngelmi, ing wekasan wonten lelampahaning murid mulang guru, pramila ing sayektosipun para Pandhitaning praja, awit sampun kaiden ing Sri Narendra, kacariyos Pandhitaning praja punika kedah saged angange pangawikan wolung prakawis :

Parama Sastra, tegesipun limpad ing sastra.
Parama Kawi, tegesipun putus ing kawi.
Mardi Basa, tegesipun saged mentes ing tembung.
Mardawen Lagu, tegesipun saged damel lemesing lelagon.
Mawi Carita, tegesipun sugih (166) lan saged carita.
Mandra Guna, tegesipun sugih kasagedan.
Nawung Krida, tegesipun lantip ing panglepasan.
Sambegana, tegesipun engetan.
Dene ugeripun Pandhita praja wau inggih wolung prakawis :

Asih inmg murid, den antepa putra wayah.
Tlaten ing pamulangipun, boten mawi wigah wigih.
Lumuh ing pamrih, boten darbe pangangkah.
Tanggap ing sasmita, saged nakpeni pasemoning murid.
Sepen ing panggrajangan, boten dados kinten-kintening murid.
(167) Boten ambalakaken pitakenan.
Boten purun ngendhak ing kagunan.
Boten guru aleman angungkulaken kasagedan.
Dene utaminipun Pandhita praja wau inggih wolung prakawis :

Mulus ing sarira, boten darbe cacad.
Alus ing wicara, boten asring amimisuh tuwin supaos.
Jatmika ing solah.
Antepan budinipun.
Para marta lelabuhanipun.
Patitis nalaripun.
Sae labetipun.
Boten darbe pakareman.
Wangsul nyambungi cariyos ing ngajeng, (168) daliling ngelmi ingkang kaping gangsal ing kitab Insan Kamil ayat ingkang kaping kalih kasebut ing ngajeng wau, ugi sampun kawerdenan dening pandhita ing praja ingkang sesilih nama Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol dunungipun kados ing ngandhap punika :

Dada, punika wiyosipun Betal Muharam tegesipun griya lelarangan.
Ati, punika kahananing panca driya, anarik wahananing nepsu, dados wahyaning napas.
Jantung, punika panca maya, anarik wahananing brirai, dados wahyaning keketeg.
Budi, punika kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dados wahyaning pamicara.
(169) Jinem, inggih punika angen-angen kahananing pangraita, anarik wahananing swara, dados cahyaning pamiyarsa.
Suksma, punika kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dados wahyaning pangganda.
Rahsa, punika kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dados wahyaning pangrasa.
Wondene bilih sampeyan pitanglet daliling ngelmi ingkang kaping nenem nukilan saking sorahing kitab Insan Kamil ayat kaping tiga, dipun wastani tata malige ing dalem betal mukadas, katata wonten ing kontoling Adam sampun kapratelakaken kasebut ing ngajeng wau kaleres angka 8 kaca 74.

PUPUH XV

(170) Juru Patanya :

“Ing sadangu-dangunipun kula amirengaken cariyos sampeyan wau sadaya kados pepetikan kitab-kitab pangawruh wedalan saking tanah Arab, anggen kula mastani makaten wau, dene tetembunganing cariyos taksih kathah cecaruban kaliyan tembung Arab, menggah ingkang makaten wau kisanak sumangga sami kagalih menggah sumebar tumraping ing tanah Jawi, pangawruh ing tanah Arab wau nalika jaman punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Menggah patitisipun ing titi mangsa kula dereng sumerep, sayektosipun anggen kula maos serat-serat punika dereng patos kathah kwimbuhan radi lalen kinten-kinten kemawon, bok manawi kenging kadamel tetimbangan inggih bebukaning (171) Serat Wirid Hidayat yasanipun Kyai Ageng Mukhammad Sirullah ing Kedungkol wau, anyebutaken makaten wewejanganipun para waliyulah ing tanah Jawi sasedanipun Kangjeng Susuhunan ing Ampeldenta, sami karsa buka pepingidan ingkang kados wijining wewejanganipun suraosing ngelmi kasampurnan piyambak-piyambak.”

Ingkang rumiyin kala jaman awalipun nagari Demak, para wali ulah ingkang karsa amejang kathahipun amung wolu :

Kengjeng Susuhunan ing Girikadaton wewejanganipun wewisikan ananing Dat.
Kangjeng Susuhunan ing Tandes wewejanganipun wedaran kahananing Dat.
Kangjeng Susuhunan ing Maja Agung (172) wewejanganipun gelaran kahananing Dat.
Kangjeng Susuhunan ing Bonang, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Makmur.
Kangjeng Susuhunan ing Muryapada, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Muharam.
Kangjeng Susuhunan ing Kalinyamat, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas, wewejanganipun nem bab punika sadaya sampun kula cariyosaken ing ngajeng wau.
Kangjeng Susuhan ing Gunung Jati, wewejanganipun panetep santosaning iman.
Kangjeng Susuhunan ing Kajenar, wewejanganipun sasahidan.
Ingkang kaping kalih, ing saangkatan kala jaman akhiripun ing nagari Demak dumugi jaman ing nagari Pajang, para wali ingkang sami karsa (173) amejang inggih namung walu :

Kangjeng Susuhunan ing Giri Parapen, wewejanganipun wewisikan ananing Dat.
Kangjeng Susuhunan ing Derajat, wewejanganipun wewedaran wahananing Dat.
Kangjeng Susuhunan ing Atas Angin, wewejanganipun gelaran kahananing Dat.
Kangjeng Susuhunan Kalijaga, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem betal makmur lajeng ambabar ingkang dados prabotipun amatrapake panjenenganing Dat sadaya ananging dareng turut patrap panganggenipun satunggal-satunggal.
Kangjeng Susuhunan ing Tembayat, kalilan dening guru Kangjeng Susuhunan Kalijaga amiritaken wewejanganipun (174) pambukaning tata malige ing dalem Betal Muharam.
Kangjeng Susuhunan ing Padusan, wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betal Mukadas.
Kangjeng Susuhunan ing Kudus, wewejanganipun panetep santosaning iman.
Kangjeng Susuhunan ing Geseng, wewejanganipun sasahidan.
Dene wewejangan kasebut ing inggil punika, suraosipun inggih nunggil kemawon, margi saking wiwitan pamejanganipun Kangjeng Susuhunan ing Ngampeldenta sadaya, sareng dumuginipun Kangjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, wewejanganipun wolung pangkat wau karsa kahimpun malih dalah saprabotipun pisan supados muhtamad ing suraosipun (175) sadaya, punika lajeng kababaraken dados wewejangan sapisan kemawon dados satunggal, sasampunipun cunduk kaliyan kawruhing para ahli ngelmi, saking karsa dalem Kangjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, ingkang kalilan miridaken wewejangan makaten wau inggih namung walu :

Panembahan Purubaya.
Panembahan Juminah.
Panembahan Ratu utawi Batu Pekik.
Panembahan Juru Kiting.
Pangeran ing Kadilangu.
Pangeran ing Tembayat.
Pangeran ing Kejoran.
Pangeran ing Wongga.
“Saweg punika kisanak, serat ingkang kula sumerepi, kilap manawi wonten malih serat-serat ingkang mratelakaken jaman sangingilipun punika kula dereng (176) nete maos.”

Juru Patanya :

“Bokmanawi inggih punika kawruh ing Tanah Arab, wiwitipun sumebar ing Tanah Jawi,sarehning dunungipun wejangan ingkang kasebut ing serat wirit leresipun wolung pangkat kala wau ingkang sampun kasebut ing nginggil saweg nem pangkat, dados wewejangan ingkang kalih pangkat :

Panetep santosaning iman.
Sasahidan, punika dereng kapratelakaken, saking panyuwun kula ki sanak, manawi sampeyan saged wewejangan ingkang dereng kapratelakaken kalih pangkat wau, sanajan boten tumrap dhateng abon-abon bumbu lelajering cariyos ing ngajeng wau, saking sanget kepengin kula kumedah amirengaken bebasan sumela ing cariyos namung sakedhap, suwawi kisanak, kula aturi (177) lajeng murwani kados punapa suraosipun?.
PUPUH XVI

Sang Murwenggita :

“Punika prayogikisanak, boten wonten awonipun mirengaken piwulang sae, tembung ing paribasan makaten, mungguh sakehing pangawruh yen ginembol tan marongkol yen ginuwak tan kemrosok ing samangke kula murwani cariyos ingkang kasebut ing serat wirit, enget-engetan yen boten supe kados ing ngandhap punika. Wewejangan ingkang kaping pitu dipun wastani  panetep santosaning iman ambuka sahadat jati, awit dene pamejangipun amangsit ingkang dados pikekah pangandel kita anggenipun angestokaken dhateng kayektening gesang kita pribadi, manawi sampun tetep minangka tajalining Pangeran kang amaha (178) suci sejati, kasebut ing dalem ijmak, wirayating para wali ulah nukilan saking kadis makdus, salebeting takit ingkang terus dhateng Nabi Mukhamad Rasulullah, ingkang kawangsitaken dhatent Sayidina Ali, jarwanipun makaten :

“Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran nanging Ingsun, lan anekseni Ingsun, satuhune Mukhammad iku utusan Ingsun.”

Juru Patanya :

“Punika kisanak, kula amestani tembung wau luwes, kewes, wilet, batos, tur patitis, ingkang makaten wau amung sol sampuna kula ngalem rumiyin, dene suraosipun kula dereng mangretos pisan-pisan (179) ingkang binasakaken, ingsun punika sinten, ingkang binasakaken Mukhammad punika sinten?.”

Sang Murwenggita :

“Kula saweg amanoni sapisan sampeyan punika, dene wonten tiyang saged ngalem saening barang ingkang dipun sumerepi, punika pepiridanipun ingkang kangge nimbang saking punapa, ing mangke kula mangsuli, sampeyan pitanglet patitising tembung, ingsun lan ingkang binasakaken tembung Mukhammad punika kula dereng sumerep, kacariyos ingkang kasebut ing Wirit Hidayatjati, tembung makaten wau, menggah dunungipun kados ing ngandhap punika :

Ingkang dipun wastani Pangeran punika inggih Dating gesang kita pribadi, sabab sajatosipun sagunging asiya punika sami kukum (180) napi sadaya, tegesipun asiya punika, sawiji-wiji tegesipun napi, sepen boten wonten mila kasebut boten wonten Pangeran isbatipun, tetep dados tetepipun ingkang anyebut kaliyan ingkang sinebut, punika boten wonten sanesipun ing suraos tunggal tanpa wewangenan kaotipun amung lahir kaliyan batos kemawon.

Dene ingkang dipun wastani Mukhammad punika sipating cahya kita pribadi, pramila dipun basakaken utusan, margi kawistara wonten ing netya kados ingkang kasebut ing dalil salebeting Kur’an jarwanipun makaten : sayektine temen-temen ing sira kabeh utusaning (181) Dat metu saka ing awaking kang maha mulya, mungguh ing utusan iku anembadani ing saciptanira, yen angandel sayehti antuk sih pangapuraning Pangeran.

Manawi sampun anekseni daliling Kur’an pangandikaning Pangeran kang amaha suci ingkang makaten wau, dipun waskita ing galih, inggih punika gesang kita pribadi, punika wahananing nugraha, kahananing kanugrahan : dene nugraha punika ddating gusti, kanugrahan punika spating kawula, tunggal tanpa wewangenan, dumunung wonten ing gesang kita, sabab ingkang kasebut ing kitab Insal Kamil, amarah manawi namaning Allah punika, inggih namanig Mukhamad, saupami kados dene sabet lan warangkanipun, (182) ing mangke Allah minangka arangka, Mukhammad minangka sabet, ing tembe wewangsulan.

Juru Patanya :

“Suwawi kisanak, punapa lepat anggen kula angalem tembung wau, dene wewejangan ingkang pangkat wolu, luwesing tembung, patitising suraos punika kula dereng saged amestani, amargi dereng nate mirengaken, cobi kisanak kados punapa suraosipun badhe kula mirengaken rumiyin.”

PUPUH XVII

Sang Murwenggita :

“Yen leresipun serat satunggal, damelanipun tiyang satunggal, punapa beda-beda tembungipun rak inggih tamtu sami kemawon, suwawi yen kirang pitados kisanak, amirengna suraosipun kados ing ngandhap punika.”

Wewejangan ingkang kaping wolu dipun wastani sasahidan, awit pemejangipun kinen dhateng wahananing sanak kita, (183) inggih punika kahananing dumadi kang gumelar wonten ing alam donya, bumi, langit, surya, wulan, lintang, latu, angin, toya, sapanunggilanipun sadaya, sami aneksenana, yen kita mangke sampun purun angakeni jumeneng dating Gusti kang maha suci, dados sipating Allah sajati, kasebut ing dalem kiyas wewarahing para pandhita, anggenipun amencaraken nukilan saking kadis makdus salebeting bab Muklumatul Uluhiyah, wiyosipun amartani ing panetep santosaning iman, dados panuntuning tokit ingkang ambatos dhateng ikhtikad, inggih punika wewiridan saking cipta sasmitaning Kangjeng Nabi Mukhamad Rasulullah, ingkang kawangsitaken dhateng Sayida Ali jarwanipun makaten :

Ingsun anekseni marang ing datingsun (184) dewe, satuhune ora ana Pangeran nanging Ingsun lan anekseni ingsun satuhune Mukhammad iku utusan Ingsun, iya satuhune kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul ing rahsa Ingsun Mukhammad iku cahya Ingsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya ingsun kang waskita ora kasamaran, ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa kang kawasa, wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padhang trawangan ora krasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.”

Juru Patanya :

“Kisanak, kula lajeng (185) gumun sanget menggah lepasing pangretining manungsa, ingkang lajeng gadhah pangangep angaken jumeneng Dating Gusti kang maha suci utawi kang ingaran Allah punika, bedanipun kang ingaran rasul punika rahsanipun, kang ingaran Mukhammad punika cahyanipun, menggah pangrengkuh ingkang makaten wau sirnaning ringa-ringa, wekasan tumimbuling tekad, akandel kumandel punika mendet wewaton saking punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, kula cariyos ing Serat Wedatama, yasanipun Kangjeng Gusti Pangeran adipati Mangkunaga ingkang kaping sekawan ing Nagari Surakarta Hadiningrat, amratelakaken sembah kalbu mawi sinawung ing kidung sekar gambuh kados ing ngandhap punika.”

//Samengko sembah kalbu / yen lumintu yekti dadi laku (186) / laku agung kangungane adipati / patitis tetesing kawruh / meruhi marang kang momong//

//Sucine tanpa banyu, mun nyenyuda mring hardaning kalbu / pambukane tata titi ati-ati / den teteg talaten atul / tulada marang waspaos//

//Mring jatining pandulu / panduking don dedalan satuhu / lamun lugu leger tanira maligi / lagehane tumlawung / wenganing alam kinaot//

Juru Patanya :

“Kisanak inggih leres, menggah wewaton pupuntoning tekad, awit saking anitik patitis tetesing kawruh, wekasan saged waspaos pamawasing uwas, wansul tumanduking mring endon dunung panduking pandulu, rumambatipun lelantaran saking punapa?.”

Sang Murwenggita :

“Kisanak, bokmanawi (187) rumambatipun inggih lelantaran saking kalantipaning pangreti, awit suraosipun wewayangan ingkang kaping wolu kasebut ing ngajeng wau, kacariyos menggah dunungipun makaten : ingkang dipun wastani Pangeran punika inggih dating gesang kita pribadi, ingkang dipun wastani Mukhammad punika inggih sipating cahya pribadi. Manawi ingkang kasebut ing dalem dikir, la illa ha ilallah, Mukhammad Rasulullah, tegesipun boten wonten Pangeran nanging Allah, Nabu Mukhammad punika utusaning Allah. Ananging manawi kakekatipun ingkang dipun wastani Allah punika afngaling rasul, dumunung ing kahanan kita, Mukhammad punika sipating cahya (188) dumunung ing gesang kita, sejatining gesang kita punika dating Pangeran kang maha suci sejati, kayektosipun kasebut ing dalem daliling Kur’an, manawi Pangeran kang maha suci punika kawasa mijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inggih gesang kita pribadi punika sayekti awit saking pejah, ing wekasan boten kenging pejah dipun basakaken kayun sidaraeni, tegesipun gesanging kahananing kalih, wonten ing alam sahir gesang, wonten ing alam khabir kita inggih gesang, sarta boten kasupen dat kita kang maha agung, boten kenging gingsir, saking sipat kita kang elok, boten kasamaran asma kita wisesa, boten kekirangan afngal kita kang sampurna. Dados pepuntoning ing tokit (189) ingkang bontos dhateng bab tekad, sampurnaning gesang kita punika boten wonten kraos utawi boten wonten ketingal punapa-punapa, amung waluya sajati langeng, anglimputi ing alam sadaya, pramila lajeng boten uwas sumelang panggalih.”