Kamis, 22 September 2011

> Ibrahim itu Seorang Atheis

Apakah anda mengira Nabi Ibrahim itu seorang yang beriman secara tiba-tiba? Turun ploh dari langit begitu saja, lalu kemudian dia langsung mengakui, menyambah dan taat pada Tuhan? Anda keliru. Ibrahim itu seorang Atheis.

Ada banyak model paham Atheis lho bro, sebagaimana juga banyak aliran dalam Islam. Termasuk juga pada Kristen. Tapi saya tidak hafal. (Karena metode menghafal itu tidak bagus, bisa merusak ingatan. Makin rajin menghafal makin tumpul pemahaman)

Ada Atheisme filosofis. Yaitu tidak meyakini Tuhan berdasarkan proses penalaran atau dengan menggunakan metode filsafat, seperti yang terjadi pada Fuerbach, Nietzsche, Sartre, Betrand Russel dan lain-lain.

Kemudian ada Atheisme Psikologis, yaitu tidak meyakini adanya Tuhan melalui penghayatan ilmu jiwa atau psikologi. Tuhan diyakini hanya semacam proyeksi dari rasa sakit psikologis, sehingga manusia membutuhkan sosok yang adi kodrati sebagai tempat berlindung kegelisahan psikisnya. Persis seorang anak yang merintih meminta perlindungan pada ayahnya. Inilah yang dilakukan Sigmud Freud dan kritiknya pada agama Kristen tentang konsep Tuhan Bapa.

Dan ada Atheisme Naturalistik, yaitu Atheis yang berangkat dari fenomena alam. Berbagai objek dan gejala alam diteliti dan dicermati. Tapi ternyata tidak ditemukan dimensi Ketuhanan pada berbagai gejala alam selain hanya mekanisme hukum alam yang natural. Alami dan sudah berjalan sendirnya. Dan tidak ditemukan suatu “X “yang memicu segala proses terjadinya fenomena alam. Inilah yang terjadi pada para Ilmuwan alam, seperti pada Darwin.

Oya sebelum melangkah, perlu saya tegaskan bahwa penggunaan kata Ibrahim berbeda dengan Nabi Ibrahim. Kata Ibrahim mengacu pada zaman sebelum dia menerima wahyu dari Tuhan. Sedangakan kata Nabi Ibrahim berarti pada pasca Kenabiannya.


Baik, sekarang mari kita cermati beberapa ayat Alquran di bawah ini:



“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar(hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

(QS: surat al-An’am, ayat 76-79)


Nah, dari keeempat ayat tersebut, secara simbolis tampak proses perjalanan Ibrahim dalam mencari Tuhan. Dia berangkat dari mencermati gejala alam. Dia mencari satu sosok yang mengatasi keagungan alam atau jagat raya. Pertama dia melihat bintang yang jauh dan berkedip-kedip indah. Sehingga terbetik dalam pikirannya itulah Tuhan. Tapi begitu cahaya bintang itu hilang, dia mulai ragu. Kenapa Tuhan bisa hilang? Sementara objek-objek alam lainnya masih ada. Tidak mungkin. Tuhan tidak mungkin lebih kecil, tidak mungkin Tuhan kalah permanen dan bisa tenggelam diantara objek-objek alam.

Di lain waktu kemudian dia melihat bulan. Indah dan terlihat lebih besar dari bintang. Ibrahim terkesima. Dan keraguannya pada bintang bergeser dan terjawab pada sosok Bulan. “Inilah Tuhan. Jauh lebih besar dari bintang. Maka pantas dia jadi Tuhan.” Tapi bulan pun akhirnya juga tenggelam ke peraduannya. Maka Ibrahim kembali lagi menjadi ragu. Mana mungkin Tuhan tenggelam. Namanya juga Tuhan. Masak kalau sama obek-objek alam lainnya.

Akhirnya Ibrahim melihat Matahari. Lagi-lagi Ibrahim terkesima. Cahayanya lebih terang dan tajam. Menerangi langit dan bumi. “Tidak salah lagi ini pasti Tuhan. Ini yang terbesar dari bintang dan bulan. Lebih perkasa dan berpengaruh kehadirannya. Terbukti dari ukuran, ketajaman dan penyebaran cahayanya.” Tapi giliran matahari tenggelam di ufuk senja, lagi-lagi Ibrahim kecewa. “Tuhan tidak mungkin tenggelam. Ah….”

Nah, apa yang terjadi pada Ibrahim?

Lebih kurang sama dengan apa yang dialami para ilmuwan ketika meneliti gejala alam. Hanya saja Ibrahim tidak menggunakan mikroskop. Tidak menggunakan teropong bintang. Tidak berada dalam labor kimia dan fisika. Tapi hanya dengan menggunakan mata telanjang.

Tapi pada intinya prosesnya sama. Pintu masuk Ibrahim mencari Tuhan melalui fenomena alam. Dan setiap fase itu ditolaknya. Bermula dari yakin pada satu model keyakinan (Bintang) kemudian dia tolak. Dia bunuh keyakinannya pada Bintang. Kemudian bergeser dan berpindah meyakini Bulan. Tapi akhirnya juga dia tolak. Sampai kemudian berakhir pada Matahari. Maka lengkap sudah Ibrahim membunuh tuhan-tuhan palsu disetiap fase keyakinannya.

Ini mengintakan saya pada konsep pembunuhan tuhan-tuhan palsu pada Nietzsche. Mengingatkan saya pada konsep Dekonstruksi Derida. Dimana manusia pada awal pencariannya meruntuhkan segala model keyakinannya. Meruntuhkan konstruk-konstruk pikiran. Dan diujung segala dekonstruksisasi itu adalah nihil. Kosong. Tak ada lagi yang diyakini.

Lebih kurang itulah model Atheisme Naturalistik. Tidak ditemukan Tuhan pada gejala alam. Tidak ditemukan Tuhan dengan metode empirisme, seperti yang sangat kental pada Hume.

Sesaat ketika itu Ibrahim mengalami masa transisi dalam pencariannya.
Fase Atheisme Naturalistiknya.

Tapi Ibrahim tidak berhenti. Dia meloncat secara metafisis dan meyakini pasti ada sesuatu dibalik segala yang ada. Pati ada sesuatu dibalik segala objek-objek alam. Dibalik segala gejala alam. Ibaratnya Ibrahim hijrah dari seorang empirisis menuju seorang spiritualis. Dari metode empiris ke metode spekulasi metafisis.

Ini mengingatkan saya pada Pascal, seorang ilmuwan dan pemikir Prancis Abad-17. Dia menyatakan bahwa ketika pengalaman demi pengalaman macet. Ketika penalaran demi penalaran macet. Ketika pertanyaan-pertanyaan terakhir macet dan terus menerus gagal, maka disaat itulah manusia harus meloncat ke iman. Dan loncatan itu bersifat irrasiaonal (sebagian menyebutnya supra rasional). Dan proses ini tidak lagi dengan mengunakan rasio akal pikiran. Tapi adalah dengan logika hati.

Lebih kurang itulah yang terjadi pada Ibrahim dalam pencariannya akan Tuhan.

Hmm …oke,
Cuma ada satu pertanyaan buat anda. Kenapa untuk menjelaskan Ibrahim saja anda harus mengutip sekian pengalamn dan pemikiran dari tokoh-tokoh di luar agama Islam?

Ya bagi saya itulah suatu bukti bahwa Roh Tuhan, spirit Universal itu tidak memihak. Tidak peduli siapapun manusianya. Mulai dari Sidarta (Buddha), Musa, Daud, Ibrahim, Yesus, Muhammad, Plato, Augustinus, Pascal, Nietzsche dan anda semua, adalah medan penubuhan jejak Tuhan yang tersebar di muka bumi. Sepanjang waktu dan sepanjang masa. Asal semua manusia mau membuka diri pada panggilan Sang Ada. Pada sapaan Tuhan. Melalui jalan apa saja. Dan setiap jalan adalah pintu, tarekat, cara, metode untuk mencari dan mengenal Tuhan. Meminjam istilah Filsafat Perennial, pada hakikatnya pada diri manusia itu sudah inklud semacam chip di hati dan pikirannya. Sebagai radar pemancar sinyal spiritual dari Tuhan. Dan hanya manusia-manusia yang mau membuka dirilah yang akan mendapatkannya.

Itulah sebabnya bagi saya saling cross referensi dari berbagai pengalaman spiritual para Nabi dan pemikir menjadi mungkin. Karena kenyataannya Tuhan tidak menumpuk hidayah dan petunjukNya hanya pada satu zaman, pada suatu masa apalagi hanya pada seorang Ibrahim atau Muhammad saja misalnya. Karena Tuhan itu bukanlah milik satu golongan. Apalagi milik satu orang. Tapi Tuhan adalah milik kita semua. Milik semua manusia.

Nah, lebih kurang begitulah penafsiran saya.
Bagaimana menurut anda