Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 43]

“Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!”

“Bukankah saya sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang sebuah perintah terkait syariat…”

“Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam ini agama yang berdasarkan dalil dalam alquran, bukan berdasarkan pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”

“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah selesai…”

“Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika tidak bisa menghindar dari hukum…”

“Hukum?”

“Ya, hukum negara Demak Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan manunggaling kawula gusti.”

“Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti, Kanjeng?”

“Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah SWT….”

“O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…”

“Apa?”

“Kanjeng, tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya. Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya berdiri. “Menghilanglah kalian….”

“E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang, “Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?”

“Tangkap dan bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi berhamburan.

“Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak, “E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala, dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup angin.”

“Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan Kudus?”

“Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan tubuh.

“Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.

“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di sini.”

“Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran Bayat.

“Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.”

“Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya.

Sunan Kudus, Pangeran Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka.

“Mereka kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak kemana-mana…”

“Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

Bersambung……