Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 66]

Kebo Kenongo bangkit, mulutnya terkatup rapat. Tangan kanannya menengadah ke langit, menangkap helai daun kering yang jatuh tertiup angin.

“Lihatlah ini, saudaraku?”

Keduanya menatap gerak-gerik Kebo Kenongo, keningnya berkerut-kerut. Seakan penuh tanya.

“Daun kering,”

“Maksud, Ki Ageng?”

“Apa bedanya dengan keberadaan kita. Pada suatu ketika akan mengalami hal yang sama, tentunya hanya soal waktu. Kapan dan dimana, hanya hembusan angin yang menggiringnya. Tapi lihatlah di atas sana?”

“Daun hijau dan yang telah kering menunggu jatuh tertiup angin….”

“Bukankah tidak selalu yang telah kering yang bisa tanggal dari ranting. Lihat pula daun yang masih hijau dan terkadang terlihat kokoh bisa lepas juga dan terjatuh. Semuanya tergantung kekuatan angin yang sangat keras datang dari arah mana dan sanggup menanggalkannya, selain ulah binatang, atau manusia penebang kayu. Mereka bisa roboh bersaaman tanpa kecuali.”

“Seperti bencana, Ki Ageng. Dia datang tidak memilah dan memilih bukan?” Ki Donoboyo mencoba mengikuti ucapan kaka seperguruannya.

“Begitulah kiranya. Adakah kita kekuatan untuk menghindar?”

“Bukankah kita berbeda dengan helai daun? Kita manusia yang memiliki daya dan upaya.”

“Tidak salah yang andika katakan. Sejauh mana kekuatan manusia andai kita memiliki kesaktian, bahkan kekuasaan. Bukankah mereka yang sedang berada dalam kekuasaan pun sedang resah?”

“Resah?”

Bersambung……