Senin, 19 September 2011

> Ajaran Manunggaling Kawula Gusti

Ajaran manunggaling kawula gusti tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung
pahala dalam setiap beribadat. Bagi saya, motifasi beribadat atau
melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga.
Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang manembah kepada Tuhan Yang
Maha Suci bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga.
manunggaling kawula gusti memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang
dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan
intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap
perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri
sendiri. Kebaikan kita pada sesama adalah KEBUTUHAN diri kita sendiri.
Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan
pada sesama akan kembali untuk diri kita sendiri, bahkan satu kebaikan
akan kembali pada diri kita secara berlipat. Demikian juga sebaliknya,
setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Kita suka mempersulit
orang lain, maka dalam urusan-urusan kita akan sering menemukan
kesulitan. Kita gemar menolong dan membantu sesama, maka hidup kita akan
selalu mendapatkan kemudahan.
Menurut pandangan saya, kebiasaan mengharap dan menghitung pahala
terhadap setiap perbuatan baik hanya akan membuat keikhlasan seseorang
menjadi tidak sempurna. Kebiasaan itu juga mencerminkan sikap yang
serakah, lancang, picik, dan tidak tahu diri. Karena menyembah Tuhan
adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Mengapa seseorang masih
juga mengharap-harap pahala dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri
? Dapat dibayangkan, jika kita menjadi mahasiswa maka butuh bimbingan
dalam menyusun skripsi dari dosen pembimbing, maka betapa lancang,
serakah, dan tak tahu diri jika kita masih berharap-harap supaya dosen
pembimbing tersebut bersedia memberikan uang kepada kita sebagai upah.
Dapat diumpamakan pula misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari
seseorang yang bersedia menolong kita..?
Ajaran manunggaling kawula gusti memandang bahwa seseorang yang menyembah Tuhan dengan
tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan bukan atas alasan
takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk KEMULIAAN HIDUP YANG
SEJATI. Sebaliknya, menyembah Tuhan, berangkat dari kesadaran bahwa
manusia hidup di dunia ini selalu berhutang kenikmatan dan anugrah dari
Tuhan. Dalam satu detik seseorang akan kesulitan mengucapkan satu
kalimat sukur, padahal dalam sedetik itu manusia adanya telah berhutang
puluhan atau bahkan ratusan kenikmatan dan anugerah Tuhan. Maka
seseorang menjadi tidak etis, lancang dan tak tahu diri jika dalam
bersembahyang pun manusia masih menjadikannya sebagai sarana memohon
sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat meminta, tetapi manusia lah yang tak
tahu diri tiada habisnya meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan
dan kebahagiaan hidup yang sejati akan sangat sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya
kepada Tuhan. Namun demikian ajaran mkg memandang bahwa rasa sukur
kepada Tuhan melalui sembahyang atau ucapan saja tidak lah cukup, tetapi
lebih utama harus diartikulasikan dan diimplementasikan ke dalam bentuk
tindakan atau perbuatan baik kepada sesama dalam kehidupan
sehari-harinya. Jika Tuhan memberikan kesehatan kepada seseorang, maka
sebagai wujud rasa sukurnya orang itu harus membantu dan menolong orang
lain yang sedang sakit atau menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar saya bahwa menyembah Tuhan.
berbuat baik pada sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari
Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang mewajibkan.