Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [bag 55]

 ”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan.

“Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat.

“Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita.  Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat  jelata  melawan Pejabat.”

“Ternyata  kisanak  telah  dilenakan  dengan  pakaian  kebesaran, Pangeran.”  sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakah antara si  miskin  dan  si  kaya,  pejabat atau pun rakyat semuanya  sama  di  depan  hukum?”

“Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain  penghianat Agama  dan Negara juga berani mencela setiap ucapan  saya.  Tidak  sadarkah  derajat  andika dan saya berbeda. Andika  hanya  rakyat  jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap  andika?”

“Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian  kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar,  ”Kisanak  telah  lupa  tentang asal muasal  sendiri,  apalagi  hakikat  hidup.  Lantas  tidakah ingat bahwa Allah menilai  manusia  bukan karena  parasnya  yang  cantik, bukan  karena  jabatannya,  bukan  karena  miskinnya,  tetapi orang yang paling  mulia  dihadapanNya hanyalah  nilai  ketakwaannya? Dunia, jabatan,  kekuasaan,  serta segala  yang  kisanak miliki tidak akan  pernah  menolong  dan membantu ketika kita ber…”

“Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya andika menggurui  saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar  marah. Kepalan tangannya menghantam lambung.

“Akhhh…” jerit lirih Syek Siti Jenar, merunduk.

“Rupanya andika harus mendapat pelajaran!” ketusnya.

Bersambung…….