Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 70]

“Pembeda derajat manusia kedudukan, kekayaan, baju yang dikenakannya…..”

“Itu pembeda pada pandangan kasat mata manusia,”

“Itulah kenyataan, Ki Donoboyo. Hingga kita pun menjadi takluk pada penguasa untuk tidak berani mengatakan bahwa yang benar itu benar,  salah itu salah. Bukan begitu Ki Ageng?”

“Benarlah Ki Ageng yang dikatakan Ki Chantulo? Kita hanya segan,  takluk dan berlutut pada mereka yang mengenakan baju kebesaran.  Sementara ketidakberanian itu tidak akan pernah bisa mengungkapkan kebenaran yang kita yakini…..”

“Kebenaran itu milik yang Maha Benar.” Kebo Kenongo seakan enggan berbicara.

“Bukankah kebenaran itu terletak pada aturan?”

“Jika kebenaran terletak pada aturan yang dibuat manusia bukanlah mutlak tetapi yang senantiasa berubah-ubah. Penundukan pada sesama manusia karena lemah dan tertindas. Seperti halnya kita bukan, Ki Ageng?”

“Mungkin saja,”

“Mengapa Ki Ageng ragu pada ilmu yang andika miliki?”

“Sama sekali bukan karena meragukan ilmu. Hanya apakah harus persoalan ini saya ungkapkan, sementara urusan batin manusia tidaklah sama?”

“Meskipun tidak sama sampaikanlah, Ki Ageng. Setidaknya kami bisa memaknai.”

“Baiklah. Benarlah di dunia ini masih berlaku hukum yang terkadang tiada dalam tulisan, manusia miskin harus menghormati yang kaya, kepangkatan, jabatan, baju kebesaran, gagahnya kuda yang ditunggangi dan lain sebagainya. Terpaksa atau pun tidak. Sedangkan kasta-kasta itu hanyalah diciptakan manusia juga. Bukankah Tuhan tiada membedakan manusia berdasarkan hal tadi, apalagi warna kulit, rupawan atau tidak rupawan?”

Bersambung…