Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 50]

“Baiklah,” Sunan Kudus menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.”

“Hehhhhmmmm…” Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh, lahirkanlah pembicaraan andika berdua!”

Keduanya masih belum melahirkan setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup angin pegunungan.

“Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya tertuju pada Sunan Kalijaga.

“Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu? Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’

“Mengapa mereka masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan.

“Baiklah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap pemikiran saya?”

“Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak, “…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam.

“Andika berkata demikian, Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”

“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami. Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan dan menyudutkan semisal saya dan para murid.”

“Apa yang andika bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”

“Perlukah saya bicara panjang lebar dengan andika, Pangeran?”

“Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya, kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar terlepas dari hal yang dituduhkan.”

“Baiklah, saya terima tantangan itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju. Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!”

“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.

“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Bayat.

Bersambung……