Selasa, 20 September 2011

> Islam Jawa dalam Lingkup Keraton

ISLAM JAWA yang memang dilahirkan oleh tradisi besar KERATON Jawa, walau bagaimanapun tetap menganggap salat sebagai hal yang penting dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Paku Buwana III, yang memberikan perhatian terhadap kehidupan bergama dan budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Salat tetap dipandang sebagai rukun agama, yang dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, bahkan salat dijadikan sebagai salah satu ngelmu dan laku bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan Islam Kejawen. Ngelmu dan laku bagi masyarakat Islam kejawen merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang menjadi pedoman hidup manusia (Hariwijaya, 2004:204).

Ngelmu dan laku merupakan spiritualitas masyarakat Jawa, karena ngelmu (ilmu) lebih memiliki nilai mistik, menekankan pada nilai-nilai batin, bukan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada rasionalitas atau empirisme. Spiritualitas masyarakat Jawa dengan corak sufisme berkembang berkat kreatifitas sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir, puasa, dan juga salat, dapat dijumpai dalam berbagai karya sastra pujangga Jawa. Demikian juga apa yang disampaikan oleh Sastrawijaya, yang menjadikan salat sebagai salah satu laku spiritual bagi masyarakat Islam Jawa. Hal yang senada juga diajarkan oleh Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama, sebagaimana tersebut di bawah ini :

“Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara”

Artinya:

“Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan”.

Ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Oleh sebab itu, berdasarkan bait tersebut dapat dipahami bahwa, ilmu batini perlu disertai dengan “laku spiritual” (ngelmu iku kalakone kanthi laku). Keberhasilan pencapaian ilmu batin perlu diawali dengan mengalahkan nafsu jahat (dur angkara) untuk mencapai derajat budi pekerti luhur (akhlak al karimah). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang merupakan salah satu bentuk puasa orang Jawa. Demikian juga halnya dengan salat, menurut Sastrawijaya, bukan hanya sebatas melaksanakan perintah agama tetapi memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada itu, yaitu sebagai ngelmu dan laku dalam membersihkan diri untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti).

Islam sebagai agama resmi kerajaan, pada masa pemerintahan Paku Buwana III, sebagaimana tercermin dalam berbagai karya para pujangga istananya (khususnya Sastrawijaya) telah menjadi dasar beragama yang kuat, dan juga telah menjadi dasar dari ngelmu dan laku masyarakat Jawa pada umumnya. Ngelmu dan laku masyarakat Jawa yang didasarkan pada ajaran agama dan berpedoman pada ajaran kerohanian telah melahirkan sikap hidup Teo-sentris, Tuhan berada dimana-mana dan bersifat Tunggal (Esa). Jika Tuhan Yang Esa ada dimanapun manusia itu berada, maka manusia berusaha untuk mencari hakekat ketunggalan (ke-esaan) Tuhan itu dengan ngelmu dan laku yang dapat menghantarkan pada penyatuannya dengan Tuhan. Salah satu ajaran Islam yang mengajarkan cara-cara mengabdi atau menyembah kepada Tuhan adalah salat. Salat bukan hanya sebatas identitas orang beragama bagi orang-orang Islam Jawa, tetapi dapat menjadi ngelmu dan laku dalam mencapai penyatuan dengan Tuhan. Dengan pencapaian penghayatan terhadap ngelmu dan laku salat, maka seseorang akan dapat hidup selaras dengan alam (kosmos), baik itu mikro (sesama manusia) maupun makro (alam semesta).

1. Ngelmu dan Laku Usalli

Salat sebagai ngelmu dan laku adalah sebagai bentuk pembinaan hubungan yang harmonis antara seseorang dengan makhluk hidup di sekitarnya. Juga hubungan keluarga dengan masyarakat, hubungan dengan bangsa-bangsa lain, dan bahkan hubungan manusia dengan alam sekelilingnya. Dengan menjadikan salat sebagai Ngelmu dan laku, maka dapat membentuk watak manusia menjadi lebih baik dan mulia menuju kebahagiaan yang sejati. Selain itu, juga dapat membimbing manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan, sehingga dapat menghantarkan rohnya bersatu dengan Yang Maha Kuasa (Tuhan). Kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat diraih jika roh seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, kebahagiaan yang diliputi perasaan tenang dan tentram.

Sebagaimana dalam tradisi kapujanggan Jawa, bahwa untuk menjadi pujangga istana haruslah memiliki ilmu dan pengetahuan lahir dan batin (Simuh, 1998; Margana, 2004; Suhandjati, 2004). Demikian juga halnya dengan Sastrawijaya sebagai seorang pujangga Kraton, yang berbekal dengan berbagai ilmu, baik itu ilmu agama sastra, kanuragan dan olah batin. Penghayatan dan pemahaman keagamaan Sastrawijaya jika dilihat dari karya-karyanya dapat digolongkan sebagai seorang sunni, hal ini dapat kita mafhum bahwa Islam yang mampu menerobos dinding kepercayaan istana-istana Jawa adalah Islam yang dibawa oleh kaum sufi sunni. Demikian juga dalam karya-karyanya, menunjukkan adanya ajaran fikih dan tasawuf sunni sunni yang begitu kental. Hal ini dapat kita lihat ketika dia mengajarkan tentang hakekat salat, bahwa salat yang benar itu harus dimulai dengan niat, dan dalam tradisi sunni seseorang yang hendak melaksanakan salat disunnahkan untuk membaca niat salat, usalli (aku niat melaksanakan salat). Berbeda dengan Wahabiah yang mengajarkan bahwa ketika seseorang hendak salat, maka niat cukup hanya didalam hati, tidak perlu mengucapkan usalli.

Dengan menunjukkan adanya niat salat tersebut, berarti Sastrawijaya juga memahami ilmu fikih, dia paham bahwa niat merupakan sarat sahnya salat, dan bahkan menempatkan niat tersebut sesuai dengan porsinya, sesuai ajaran Nabi Muhamad SAW. Sebagaimana sabda Nabi bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya (Innama al a’malu bi an niyat). Niat merupakan jantung segala amal ibadah dan tindakan seseorang dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Niat menjadi rukun salat yang pertama karena melandasi tujuan ibadah itu sendiri, niat adalah ruh amal ibadah, sehingga jika tidak benar niatnya maka akan sia-sia amal ibadah seseoranga. Untuk itulah Sastrawijaya menekankan arti pentingnya niat salat, niat (usalli) yang bermula dari kaidah fikih ditafsirkan secara falsafi untuk memperoleh makna terdalam (hakekat) dari kata-kata (lafal) niat sendiri.

Untuk mencapai pemahaman yang benar tentang salat, seseorang harus betul-betul mengetahui ilmu dan cara mengamalkan salat yang benar, sehingga tujuan dari salat itu dapat diraih. Sastrawijaya yang menekankan arti pentingnya niat dalam salat, karena dia mengetahui bahwa inti dari salat itu tergantung dari niatnya. Oleh sebab itu niat dalam salat harus menjadi ngelmu dan laku, sesuatu yang harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan (yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin), dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual).

Arti pentingnya niat dalam salat yang sangat ditekankan oleh Sastrawijaya dapat dicermati dari uraian Suluk Sajatining Salat bait 1 dan 2 sebagai berikut :

(1) “Kawruhana sira kang sayekti, Rarasane sira dipun-awas, Ngarep wruha wiwitane, Usali kurupipun, Pan sakawan kathahe nenggih, Alip dadi wiwitan, Iya wekasipun, Kekalih dadi wasitah, Esat elam kumpule kawan prakawis”; (2) “Insan kamil jenengira iki, pan kinaryan gentining dattolah, Miwah sipatollah mangke, lan kinarya sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rasa sira, lan rasa Hyang Ngagung, puniku murading ngiya, Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran”.

Artinya :

(1) “Ketahuilah olehmu dengan sungguh-sungguh, berhati-hatilah dalam pembicaraanmu, pertama ketahuilah permulaannya, usali hurufnya, ada empat jumlahnya, Alif yang menjadi permulaannya, dan juga yang terakhir, Keduanya menjadi wasitah, sat lam menjadi tempat berkumpulnya empat perkara”; (2) “Insan Kamil namanya, yang dijadikan sebagai gantinya datollah, dan kemudian sifatollah, dan dijadikan dirimu itu, sebagai kenyataan sifatnya Tuhan yang menjadi satu dengan hakekatmu, dan hakekat Tuhan Yang Maha Agung, itu maksudnya penjabaran dari ‘iya, sedangkan huruf sad itu menjadi wujud atau jasmanimu, dan demikian juga wujud Tuhan”.

Untuk mencapai persatuan dengan Tuhan harus memiliki ilmu, memahami segala apa yang akan diamalkan. Ilmu bukan hanya dalam pembicaraan, tetapi harus dipahami makna dan niat yang yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana niat dalam salat yang dimulai dengan kata Usalli, niat itu bukan hanya sekedar ucapan belaka atau bacaan niat yang tidak memiliki arti apa-apa. Lebih dari itu, niat merupakan langkah awal dan hal yang sangat fundamen untuk mencapai tujuan salat itu sendiri.

Kata Usalli sebagai lafal niyat salat, terdiri dari empat huruf (alif, sad, lam, dan ya atau alif layinah), oleh Sastrawijaya diartikan bahwa huruf Alif yang pertama merupakan perumpamaan manusia, dan huruf alif kedua merupakan perumpamaan Tuhan, yang menghimpit sifat dan dat Tuhan (huruf Sad dan Lam). Sifat dan Dat Tuhan sebenarnya telah ada dan meyatu dalam diri manusia, sebagai sosok insan kamil.

Insan kamil merupakan refleksi sifat-sifat ketuhanan, pengejawantahan Tuhan dalam diri manusia (Insan kamil jenengira iki, pan kinaryan gentining dattolah, Miwah sipatollah mangke). Oleh sebab itu, bagi orang yang betul-betul menghayati salatnya maka dia akan merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, bahkan ruhnya bersatu dengan Dia. Persatuan hamba dengan Tuhan bukan hanya dalam ruh saja, tetapi juga dalam perilaku atau perbuatan dan dalam sifat-sifatnya (lan kinarya sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rasa sira, lan rasa Hyang Ngagung). Demikian makna dari huruf ya dari lafal niyat salat (usalli). Adapaun makna dari huruf sad dari lafal niyat salat (usalli), adalah persatuan hamba dengan Tuhan dalam wajah (Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran), artinya bahwa wujud manusia itu pada hakekatnya adalah wujud Tuhan itu sendiri.

Konsep ini seperti proses penciptaan Nabi Adam A.S (‘ala suratihi), yang dijabarkan oleh Al Jilli menjadi konsep Insan Kamil, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dari gambaran-Nya. Kemudian berkembang pula pemikiran Jabir Ibn Hayyan (seorang pakar kimia pada abad ke-28), yang menyatakan bahwa al Kawn al Shagir (alam kecil; micro cosmos) merupakan pancaran atau refleksi dari al Kawn al Kabir (alam besar; makro kosmos). Dengan demikian, penggunaan kata Insan Kamil ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab, bahkan dari pemikiran-pemikiran sufi jauh sebelum Sastrawijaya.

Pada bait ketiga dijelaskan, bahwa makna huruf lam itu menunjukkan adanya hamba (manusia) yang bersama Allah, maka segala tingkah laku dan gerak-geriknya adalah dalam kuasa atau kendali-Nya, karena sukma (ruh) Allah telah masuk ke dalam sukma hamba-Nya.

“Murade lam puniku pan singgih, pan binareng ananing kawula, lawan anane gustine, miwah ing osikipun, lawan nenge kawula iki, agenti lawan sukma, Ing sapolahipun, pangucap parlan den-awas, kurupipun den kena sira nampani, anane dhewekira”

Artinya :

Maksud lam itu sebenarnya, bersamaan dengan adanya kawula, dan adanya Gusti, serta segala gerak-geriknya, dan diamnya kawula ini, berganti dengan jiwa, dalam segala tingkah lakunya, ucapan parlan dihati-hati, hurufnya boleh kamu terima, adanya dirinya.

Kata parlan (Arab: fardhan) dalam niyat salat harus kita cermati, diyakini sebagai bentuk pernyataan seorang hamba yang menerima taklif (beban hukum), karena salat itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Salat merupakan sarana seseorang untuk memperbaiki diri, membaguskan budi pekerti sesuai dengan akhlak Allah (takhalaqu bikhalqilllah). Hal ini hanya dapat terjadi ketika manusia sebagai mikro kosmos menyadari asal-usul kejadiannya yang diciptakan dalam rupa Tuhan (‘ala suratihi). Dengan demikian, salat merupakan media atau laku dalam mencapai persatuan hamba dengan Tuhan, tetap merupakan kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim.

Makna huruf lam juga berarti bahwa manusia yang telah mencapai persatuan dengan Tuhan melalui salatnya, maka akan memiliki kehendak dan keinginan yang sama dengan kehendak Tuhan. Kehendak manusia yang terlahir melalui segala aktifitas kehidupannya merupakan kehendak Tuhan, karena kehendak Tuhan telah bersatu dengan kehendak hamba, tidak kurang tidak lebih. Pendapat demikian dapat kita lihat pada Suluk Sajatining Salat bait keempat berikut :

“Murade lam puniku augi, pan pinadha karsaning kawula, lawan karsane gusti, pan padha karsanipun, dennya lahir kawula iki, tan genti lawan sukma Ing, sakarsanipun tan ana karsa kaliyan, dahad sugih kawula kalawan gusti, tan wuwuh nora kurang”.

Artinya :

“Maksud lam itu juga, laksana keinginan hamba dan kehendak Tuhannya yang menyatu, meskipun sama keinginannya, wujud lahirnya seorang hamba, tidak berubah menjadi wujud Tuhan, meskipun dalam segala kehendak tidak ada kehendak lain, maka seorang hamba merasa kaya dengan Tuhannya, tidak lebih dan tidak kurang”.

Dengan menjadikan usalli sebagai ngelmu dan laku, memahami hakekat niat bukan membaca niat, dan menjadikannya sebagai laku spritual dalam setiap amal perbuatan maka seseorang akan benar-benar merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Jika Allah telah hadir dalam hidupnya, ruhnya telah dikuasai oleh ruh Ilahi, maka tidak ada kehendak dan perbuatannya, melainkan kehendak dan perbuatan Tuhan itu sendiri. Karena pada hakekatnya, seorang hamba yang telah mencapai kesucian ruhani akan dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti) dalam sisi sifat, zat dan af’alnya.

2. Ngelmu dan Laku Muhamad

Lafal niat salat (Usalli) yang terdiri dari empat huruf tersebut (alif, sad, lam dan ya) menyebabkan adanya Muhamad. Artinya, jika seseorang telah mampu melakukan salat dengan benar, sesuai dengan hakekat salat tersebut (berdasarkan makna usalli) maka dia akan menjadi “Muhammad”. Makna Muhammad disini bukan berarti Nabi Muhammad Saw, tetapi Muhammad dalam arti hakekat (ruhani), yaitu sifat, zat dan af’alnya yang telah manunggal dengan Allah Swt. Hakekat ke-Muhamad-an dapat dicapai oleh siapa saja yang mampu menembus hakekat salat, karena pada dasarnya setiap muslim itu adalah “nabi-nabi” kecil (meminjam istilahnya Ulil Abshar Abdala dalam Sukardi, 2001) yang membawa kabar dari langit via Nabi Muhamad untuk disampaikan kepada orang lain. Muhammad adalah nama yang disandang oleh Nabi, terdiri dari empat huruf (mim, ha, mim, dan dal). Hal ini bukan hanya kebetulan, tetapi lebih jauh dari itu, Allah telah memberikan makna yang sangat dalam yang harus dipahami oleh seorang muslim (ngelmu). Kedua lafal tersebut (usalli dan muahamad) mempunyai makna yang linear, tentang adanya kesatuan seorang hamba dengan Sang Khalik. Sebagaimana disebutkan dalam Suluk Sajatining Salat bait kelima berikut:

“Ingkang sami kurupe den-yekti, awasena sakawan punika, metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya.

Artinya :

Yang hurufnya sama perhatikanlah dengan sungguh-sungguh, perhatikanlah keempat hal tersebut, asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakekat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia.

Berdasarkan lafal Muhkamad dalam Suluk Sajatining Salat (yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW), menurut Sastrawijaya, maka Muhamad itu hanya sosok manusia biasa yang membawa ajaran Islam. Dia hanya sanepan (I’tibar) bagi umat manusia dalam mengamalkan ajaran Islam. Muhammad yang diyakini bukan hanya sebatas sosoknya secara lahiriah sebagai nabi dan rasul, tetapi lebih menekankan pada simbol-simbol inheren yang dibawa oleh Muhammad itu sendiri. Nama Muhammad (terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal), nama tersebut bukan sekedar nama biasa atau nama yang secara kebetulan dan tidak mengandung arti apa-apa, tapi memiliki makna hakikat dari diri nabi sebagai seorang utusan Allah yang telah membawa Islam untuk semua umat manusia. Muhamad sebagai seorang nabi dan rasul utusan Allah, tentu telah mengenal hakekat Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Berangkat dari keyakinan seperti inilah yang dicoba untuk dipahami oleh Sastrawijaya, bahwa Muhamad itu adalah simbol-simbol rahasia Ilahi yang mengejawantah kedunia. Oleh sebab itu untuk memahami hakekat Ilahi kita harus memahami hakekat Muhammad itu sendiri.

Cara memahami hakekat Muhammad adalah dengan menginterpretasikan segala atribut yang disandangnya, salah satunya adalah lafal atau nama Muhamad itu sendiri. Lafal Muhamad yang terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal, berpusat maknanya pada huruf mim itu sendiri. Jadi huruf mim itu merupakan intisari dari lafal Muhamad, yang berarti hakekat ilmu. Huruf mim ini keluar dari bersatunya antara hamba dan Tuhan, dalam usalli, karena ketika seseorang telah memahami ngelmu dan laku usalli, maka dia telah bersatu sifat dan zatnya dengan Allah. Hakekat ilmu itu ada di dalam hati, yaitu hati yang mulia yang tidak pernah mati, tidak terpisah dari Tuhan oleh kematian, hati inilah yang dinamakan dengan hati nurani. Hati nurani ini adalah hati yang mulia, pada hakekaktnya merupakan pancaran dari ruh Ilahi. Oleh sebab itu tidak pernah mati, tidak pernah berpisah dengan Allah.

Dengan demikian, nama Muhammad itu menunjukkan adanya ilmu (batin/hakekat) yang yang harus dipahami dan diamalkan oleh manusia. Sebagaimana disebutkan pada bait berikut : “awasena sakawan punika, metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya”. Muhamad bukan sekedar sosok manusia yang terlahir di Makah dan mencapai kejayaan kenabiannya di Madinah, tetapi dia merupakan warana (media) ilmu dari Allah SWT. “iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”, di dalam diri Muhamad mengalir lautan ilmu yang tidak bertepi, ilmu yang bersumber dari Sang Pencipta dengan segala rahasianya. Ilmu tersebut hanya dapat dipahami dan diakses oleh orang-orang yang mendalami olah rasa (batin). Rasa yang bersumber pada hati merupakan tempat keluarnya ilmu hakekat, ilmu yang diakses langsung dari Allah SWT. Hati merupakan tempat bersemayamnya ruh, ruh merupakan pancaraan Dzat Ilahi yang menyebabkan manusia hidup. Karena hati merupakan pancaran Dzat Ilahi, maka ia bersifat langgeng, tidak pernah mati, dan jika sudah meninggalkan badan wadag manusia maka akan kembali kepada sumber asalnya, yaitu Allah Azza Wajalla. Oleh sebab itu hanya dengan hati saja manusia dapat mengakses ilmu hakekat dari Ilahi tersebut.

Ajaran tentang Muhammad ini sama seperti apa yang diwejangkan oleh Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya V ketika masuk Islam. Prabu Brawijaya bertanya kepada Sunan Kalijaga, “coba ajarkan kepadaku bagaimana syahadat itu yang sesungguhnya !”. Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan lafal : “Asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Manusia yang mnyembah dengan angan-angan saja, tidak tahu sajatining (hakikat) yang disembah maka ia tetap kafir, dan orang yang meyembah sesuatu yang tampak oleh mata berarti dia menyembah berhala, oleh sebab itu orang tersebut harus mengetahui benar secara lahir dan batin (Hariwijaya, 2004:156).

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, dikaruniai akal pikiran dan hati, sudah seharusnya jika berkata harus paham apa yang dikatakannya. Adapun yang dimaksud dengan Muhammad Rasulullah itu adalah kuburan atau makam yang ada di tanah Arab sana. Oleh sebab itu badan wadag manusia itu tempat berkumpulnya segala rasa yang memuji kepada badan sendiri, bukan menuji kepada Muhamad yang berada di Arab. Badan manusia merupakan cerminan Zat Tuhan, tempatnya rasa. Sehingga yang dimaksud dengan “Rasul” itu adalah rasa kang nusul (rasa yang menyusul), dan lullah itu artinya luluh menjadi lembut. Disebut “Rasulullah” itu rasa ala ganda salah, dan lesan itu termasuk rasa yang dapat membimbing seseorang naik ke surga. Pengertian tersebut diringkas dengan Muhammad Rasulullah, yang berarti pengetahuan tentang “badan dan makanan”, maka menjadi kewajiban bagi manusia untuk menghayati tentang rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan untuk “Muhammad Rasulullah”, maka ketika salat mengucapkan usalli, yang artinya memahami asalnya. Adapun raga manusia itu berasal dari ruh idhafi, ruh Muhammad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa urip (hidup), keluar dari badan yang terbuka, akrena asyhadu an laa, jika tidak mengetahui artinya syahadat, maka tidak tahu rukun Islam, maka tidak akan mengerti asal kejadian urip” (Hariwijaya, 2004:156)

Bagi manusia Jawa (kalangan Islam Kejawen), memahami Muhammad sebagai nabi utusan Allah bukan hanya sebatas syariat, yang hanya mengajarkan hukum-hukum agama saja (normatif). Jika ingin menjadikan nabi Muhamad sebagai suri teladan dari segi fisik, tingkah laku dan budi pekertinya maka sangat sulit, karena hidupnya jauh dari masa kita. Nabi Muhammad yang hidup pada abab ke 6 M harus diproyeksikan ke abad 18, yang tentu saja memiliki banyak perbedaan ruang dan waktu. Bagaimana kita bisa mencontoh seluruh perilaku dan budi pekerti orang yang masa hidupnya berabad-abad jauh dari kita ? sementara ada orang luhur pada masa kita yang dapat kita jadikan panutan. Demikian cara pandang orang Jawa dalam mencari panutan budi pekerti, sebagaimana digambarkan oleh Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama bait 10, sebagai berikut :

“Lamun sira paksa nulad

Tuladaning kanjeng nabi

O, ngger kadohan panjangkah

Wateke tan betah kaki

Rehne ta sira Jawi

Setitik bae wus cukup

Aywa guru aleman

Nelad kas ngeblegi pekih

Lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat”.

Artinya :

“Jika engkau paksakan untuk mengikuti

Teladan Kanjeng Nabi

O, anakku terlalu jauh jangkauanmu

Apakah akan betah (kuat) anakku

Karena engkau hanya orang Jawa

Sedikit saja sudah cukup

Ada guru yang alim (aleman = aliman)

Orang yang pandai dalam bidang fikih

Jika engkau teguh menjalaninya maka akan mendapatkan rahmat”.



Bait tersebut memberikan gambaran bahwa, orang Jawa jika hnedak meneladani Nabi Muhammad akan mengalami kesulitan, karena Islam di Jawa begitu jauh jarak, ruang, dan waktunya dari negeri asalnya, selain itu juga sifat kejawaan yang jauh berbeda dengan sifat kearaban. Jika demikian bukan mustahil bagi orang Jawa akan menemui kesulitan dalam meneladani seluruh perilaku Nabi, oleh sebab itu sedikit saja sudah cukup. Cukuplah barang sedikit dalam meneladani Nabi yaitu dengan menjalankan tugas inti kerasulannya, sebagai pembawa risalah. Inti tugas risalah Nabi menurut Mahmud Syaltut adalah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perilaku hidupnya yang dikenal dengan as Sunnah (Ardani, 1995:155). Syaltut membedakan sunnah Nabi menjadi dua, yaitu : (1) sunnah yang wajib diteladani, yaitu sunnah yang bertalian dengan tugas kerasulan (risalah)-nya yang berkenaan dengan pokok-pokok akidah, ibadah, akhlak, dan penentuan halal haram; (2) sunnah yang tidak wajib diteladani, yaitu yang berkaitan dengan perilaku hidup manusia biasa dalam hidup sehari-hari, pengalaman hidup, dan cara-cara mengatasi berbagai persoalan yang menimpanya. Jadi yang wajib ditaati adalah sunnah jenis pertama, sedangkan jenis kedua tidak.

Oleh sebab itu, Muhammad hendaknya dipahami secara ruhaniah, karena fisiknya sama seperti manusia pada umumnya. Secara ruhaniah, Muhammad adalah manusia pembawa risalah yang telah mampu menembus alam inderawi menuju alam maknawi, mencapai pencerahan, manunggal dengan Tuhan Pencipta alam semesta. Sehingga nama “Muhammad” baginya adalah karunia Allah SWT, bukan hanya sebatas sebutan atau panggilan yang tidak ada maknanya. Huruf-huruf yang merangkai namanya mengandung makna yang harus dijadikan i’tibar bagi mereka yang berpikir. Untuk mengetahui makna atau hakekat dari nama Muhammad itu dibutuhkan ngelmu dan laku, maka salah satu cara memahami dan mencapai penghayatan tersebut seseorang harus masuk dalam dunia mistik salat.

Landasan berpikir Sastrawijaya terlihat dari pemahamannya terhadap kaidah-kaidah Islam yang tertuang dalam fikih dan juga ajaran tasawuf. Sebagai seorang muslim, diajarkan untuk salat seperti layaknya Nabi Muhammad melaksanakan salat. Adapun Nabi sendiri tidak pernah memberikan penjelasan yang detail tentang bagaimana salat yang benar, seperti yang dikerjakan oleh nabi. Pembahasan tentang salat kebanyakan hanya terbatas pada syarat sah dan rukunnya saja, dipahami dari sisi fikih semata (fikih oriented). Oleh sebab itu, seringkali seseorang melakukan salat tetapi tidak pernah merasakan nikmatnya, bahkan jauh dari tujuan salat yang sebenarnya. Maka dengan memahami “Muhammad” dalam salat akan mampu menembus dinding inderawi (aspek normatif) salat dan masuk dalam alam maknawi salat, pada ujungnya kita merasakan perjumpaan dengan Tuhan yang sebenarnya.

Salat merupakan salah satu laku yang harus diamalkan oleh seorang muslim dalam mensucikan batin. Salat yang dikerjakan secara normatif, terbatas hanya pada definisi fikih (ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam) tidak akan mampu mencapai hakekat salat. Meskipun demikian kita tidak boleh menafikan kaidah gerakan-gerakan dohir salat itu sendiri, karena gerakan-gerakan salat merupakan suatu cara yang telah ditentukan oleh Nabi Muhammad Saw. Maka untuk memahami hakekat salat, mencapai pencerahan batin, merasakan kemanunggalan dengan Allah SWT harus seperti salatnya Nabi Muhamad SAW. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Salatlah kamu seperti kamu melihat aku salat”. Namun untuk mengetahui bagaimana salat nabi tersebut adalah hal yang musykil, apalagi dalam rentang waktu yang sudah berabad-abad. Jangankan kita yang hidup jauh dari masa Rasulullah Saw, para sahabat yang sering ikut salat berjamaah dibelakang Rasul pun melakukan cara salat yang berbeda-beda (Muhamad Al Bagir dalam Sukardi, 2001:78).

Oleh sebab itu untuk memahami bagaimana salatnya Nabi Muhamad, Sastrawijaya mengambil dari sisi hakekat Muhamad sebagai pembawa pesan-pesan Ilahi. Perintah salat yang didapat Nabi Muhamad melalui peristiwa Mi’raj, merupakan pijakan untuk memahami hakekat salat tersebut. Mi’raj berasal dari kata uruj, yang berarti naik atau berada diatas dan “melampaui” sesuatu yang berada di bawah. Mi’raj merupakan peristiwa yang dialami oleh nabi Muhamad ketika mampu menembus dunia material melampaui segala alam materi, kemudian naik ke alam yang tinggi, alam ruhaniah, untuk manunggal dengan Sang Khaliq. Mi’raj menandai keadaan nabi ketika mampu melewati keadaan basyariah (manusia sebagai jasad dan badan) menjadi “insan” atau manusia dengan “roh” yang sadar yang sadar bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik (Ulil Abhsar dalam Sukardi, 2001:198). Keadaan nabi dalam level “insan” yang sepenuhnya itulah yang kemudian menghantarkannya dengan perjumpaan dengan Sang Kebenaran (Al Haq), yaitu Allah SWT.

Keadaan Nabi Muhammad seperti inilah yang dieksplorasikan oleh Sastrawijaya untuk membeberkan rahasia salat. Setiap apa yang pernah dikerjakan oleh Nabi pada dasarnya merupakan suatu perintah untuk ditiru oleh umatnya, sehingga peristiwa mi’raj itupun seharusnya dapat kita duplikasi dalam kita melaksanakan salat. Karena, kedudukan Muhamad sebagai nabi pembawa pesan-pesan Ilahi pada dasarnya juga merupakan kedudukan orang-orang yang beriman dalam mengemban misi Islam. Dengan demikain, bagi orang-orang beriman seharusnya mampu melakukan mi’raj sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Mi’raj lebih merupakan peristiwa ruhaniah, bukan fisik, yaitu suatu keadaan atau maqam kejiwaan nabi ketika merasakan kemanunggalan dengan Allah Swt, begitu intim dengan-Nya. Sebagaimana Nabi pernah bersabda : ‘As salatu mi’rajul mukmin” (salat itu mi’rajnya orang-rang yang beriman).

Muhammad seperti inilah yang dimaksudkan oleh Sastrawijaya, yaitu Muhamad dalam keadaan (maqam) ruhaniah tertinggi yang berhasil mencapai puncak perjalanan spiritual bertemu dengan Pencipta alam semesta. Dengan ngelmu dan laku “Muhamad” tersebut, seseorang akan mencapai pencerahan ruhani, jiwanya kembali fitrah, lepas dari kungkungan duniawi (alam kebendaan), maka ketika itulah dia akan mendapati ruhnya berada pada titik terdalamnya, yang disebut dengan “hati nurani”. Hati nurani inilah yang menjadi warana (media) bagi Allah untuk mengajarkan segala ilmu, segala rahasia kepada hamba-Nya, maka ilmu itulah yang dinamakan dengan ilmu hakekat atau “ilmu sejati”. Ilmu yang diperoleh langsung dari Allah di dalam hati sanubari, dan ‘hati sanubari” inilah yang biasa disebut oleh orang Jawa dengan “guru sejati”. Perolehan ilmu sejati langsung dari sisi Allah Swt, sebagaimana yang pernah dialami oleh Rasulullah Saw ketika mengalami Mi’raj dijelaskan oleh Sastrawijaya dalam Suluk Sajatining Salat bait kelima sebagai berikut :

“metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”.

Artinya :

“Asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakekat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia” Rahayu > Kp Karyonagoro