Jumat, 31 Agustus 2012

> MASIH RELEVANKAH ISLAM DISEBUT AGAMA DAMAI ?


Pertikaian Syiah Sunni di dunia tadinya tidak mampir di benak saya. Namun pembunuhan jemaah Syiah di Sampang benar-benar menjadikan pertikaian Syiah Sunni menjadi perhatian saya. 2 orang tewas, dan rumah-rumah dibakar.

Ini adalah kali ke-2 umat Islam Indonesia mencoba membumi hanguskan umat lain. Sebelumnya jemaah Ahmadiyah.

Mengapa menjadi berbeda adalah problem?

Dasarnya adalah memusuhi kesesatan. Fatwakan saja bahwa sebuah aliran adalah sesat. Maka umat Islam akan memusuhi kesesatan. Melakukan berbagai tindakan, dan secara maksimal adalah menghilangkan nyawa, merusak properti dan menjarah hartanya.

Itu baru Syiah.

Lihatlah keanekaragaman bangsa ini. Pada dasarnya ada begitu banyak aliran Islam di sini. Mengapa MUI tidak memfatwa sesatkan Islam Kejawen? Karena ulama-ulama ini banyak orang Jawa. Banyak memiliki kerabat orang Jawa. Kalau difatwa sesatkan, maka saudara saudara sendiri bisa saling bunuh.

Sesuai ajaran Islamkah perempuan melamar pria? Tidak. Lantas aliran Islam macam apa yang dianut orang orang Padang? Maukah MUI memfatwa sesatkan orang Padang? Sehingga orang-orang Padang ini diperlakukan sebagai orang orang Syiah di Sampang?

Semua persoalan ini, jika kita tarik mundur, bersumber pada perintah memusuhi kesesatan. Yang diartikan secara harfiah. Anda jangan katakan bahwa mengartikan kesesatan secara harfiah itu adalah kesalahan orang orang yang menyalah artikan. Karena soal salah arti ini sudah berdampak luas menjadi peperangan Syiah Sunni, menjadi pembunuhan jemaah Ahmadiyah. Artinya, semua orang telah salah pengertian. Jika semua orang salah pengertian, maka kita harus merujuk SUMBER salah pengertian itu.

Belakangan ini, dalam bermasyarakat di Indonesia, kita melihat bahwa:
Umat Islam bertikai melawan Syiah, sejumlah nyawa hilang, property dibakar.
Umat Islam bertikai melawan Ahmadiyah, sejumlah nyawa hilang, property dibakar.
Umat Islam melawan pembangunan gereja, baik di Bogor maupun di Aceh
Umat Islam menolak pemimpin non muslim
Umat Islam meributkan rumah makan yang buka di bulan puasa, dengan alasan, kami mewajibkan anda untuk menghormati kami, karena kami sedang beribadah.

Dengan fakta-fakta di atas, masihkah anda memaksakan diri menyebut Islam sebagai agama damai? Rahmatan lil alamin? Paling benar?

Tidak usahlah membandingkan dengan agama lain, mereka tidak pernah mengklaim sebagai agama damai, agama rahmat, agama paling benar. Jadi kalau mereka tidak damai, tidak rahmat, tidak paling benar, wajar saja.

> SITI JENAR MENGEBRAK MUKTAMAR PARA WALI

Muktamar para wali yang membahas tentang , tokoh Seh Siti Jenar seperti dalam kutiban Serat Suluk Wali Sanga.17)

Teks Sinom 18)

… mojar Seh Siti Jenar/, apa perlune pra wali/, dadak ngun-dang iya marang jenengingwang/, [30];

Artinya :

… berkatalah Seh Siti Jenar, “Tak ada gunanya para wali masih memanggil saya [30];

Sun dudu krerehanira/, mung pada tinitah mati/, aneng donya nora lama/, nuli bari urip maning/, nadyan sri Narapati/, kang nimbali marang ingsun/, ingsun tan arsa seba/, wit ingsun urip pribadi/, tan rumasa den-uripi Sultan Demak/[31];

Artinya :

Saya kan bukan hamba mereka. Kita sama-sama akan mati, tetapi pemukiman kita di dunia ini tidak lama, segera kita akan hidup kembali. Sekalipun sang raja sendiri yang memanggil saya, saya tidak sudi menghadap, karena saya hidup dari diriku sendiri (atau, sayalah hidup itu sendiri); saya tidak merasa menerima hidup dari Sultan Demak [31];

Tan kabawah tan kaprentah/, ingsun jumeneng pribadi/, bumi langit darbekingwang/, sanadyan kang surya sasi ya darbek-sun pribadi/, mengko tekana kang ngaku/, kumawa kuma-wasa/, arsa masesa mring mami/, sun tan arsa eh Pangran Bayat wruhanta/[32];

Artinya :

Saya tidak berada di bawahnya dan tidak menerima perintah-perintahnya. Saya berada karena saya sendiri, langit dan bumi milikku, bahkan matahari dan rembulan itu milik saya pribadi. Lalu ada seseorang yang katanya berkuasa dan meraja, yang ingin mengemudikan saya. Bukan Pangeran Bayat, saya tidak sudi, ketahuilah itu baik-baik [32];

Jatine wali narendra/, pada bae lawan mami/, neng donya asipat sawa/, besuk bosok awor siti/, mulane sun tan apri/, rineh sama ning tumuwuh/, lan maning kawuruhana/, kang aran kaula gusti/, sajatine dudu sama ning maungsa/ [33];

Artinya :

Sebetulnya para wali dan raja sama saja dengan saya. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan tercampur tanah. Oleh karena itu akan saya tidak sudi diperintah oleh sesama makhluk. Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-gusti tidak berkaitan dengan sese-orang manusia biasa seperti yang lain-lain [33];

Yeku wus aneng manira/, nora pisah rina wengi/, namung ing mengko kewala/, ana aran kwula gusti/, suwene ingsung mati/, benjing yen ingsun wus idup/, sirna gusti kaula/, mung kari urip pribadi/, langgeng meneng aneng anane priyangga/ [34];

Artinya :

Kawula dan gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri [34];

Eh sira Pangeran Bayat/, lamun sira tan udani/, jatine wuwus manira/, pantes lamun sira maksih/, kerem neng jaman pati/, ing kene keh kang tinemu/, lalangen warna-warna/, maneka amilangeni/ tan wruh lamun pakartine pancadriya/ [35];

Artinya :

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera [36];

Mung kadyangga ning supena/, tan ana nyatane kedik/, sekedap kewala sirna/, bonggane ingkang ngrakerti/, tan kadya She Siti Brit/, nora sotah kang dadyeku/ gegetun sun kalintang/, kasasar neng jaman pati/ mengko ingsun mung ngesti waluyeng gesang/ [37];

Artinya :

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenar-an dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Seh Siti Jenar. Saya tidak merasa ter-tarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan [37].

Pupuh Sinom yang terdapat di setiap baitnya, tampak terlihat [30 dan 31], selain sikap perlawanan terhadap ajaran para wali, tokoh Seh Siti Jenar menunjukkan sikap pembangkangan terhadap kemapanan dalam konteks penyebaran ajaran Islam. Bahkan Seh Siti Jenar pun mengklaim kedudukan dirinya sama dengan raja dan para wali. Ia pun mengingatkan pengertian kawula-gusti tidak terkait dengan manusia biasa [32].

Selain bait-bait yang terdapat dalam suluk Sinom, Seh Siti Jenar megadakanpembelaan terhadap tuduhan para wali melalui Pupuh Asmarandana 19) seperti berikut ini.

Sesampunya Ki. ageng Pengging/, tampi sasmiteng oliya/, Pangeran Lemahbang namanya/, setyambek tyas martatama/, Kawruh muksa- ning angga/, bangkit njereng bangkit ngejum/, temah sirna marang iya [1].

Artinya :

Setelah Ki Ageng Pengging/, mendapatkan sasmita dari wali/, yang bernama pangeran Lemahbang/, yang hatinya penuh pengetahuan keutamaan/, pengetahuan tentang musnah-nya badan jasmani/, bangkit dan memikir-mikirkan/, dan akhir-nya membenarkan [1].

Iya janma kang kakiki/, wujud kak kiyanmil kodrat/, jumeneng anane dhewe/, Suksma manuksmeng kawula/, kawula nuks-meng Suksma/, napas sirna marang suwung/, badan lebur wor bantala/, [2].

Artinya :

Manusia yang hakiki/, berwujud hak yang memiliki kekuasaan/ ada dengan sendirinya/, Suksma masuk ke dalam hamba/, hamba masuk ke dalam Suksma/, napas hilang masuk ke dalam kekosongan/, badan hancur bercampur tanah/, [2].

Ananing Allah wit dikir/, dikir pana ing dat sipat/, asma apnga-ling Hyang Manon/, gumulung dadya antaya/, rahsa ing dhe-wekira/, iya sira iya ingsung/, mosik jumeneng dat mulya/, [3].

Artinya :

Adanya Allah itu karena dzikir/, dzikir menjelaskan dzat dan sifat, asma dan afalnya Tuhan/, digulung menjadi antaya/, dan rasa di dalam dirinya sendiri/, ya kamu ya saya/, bergerak menjadi dzat yang mulia/, [3].

Jroning ngalam kabir sahir/, kene kana nora beda/, amung manungsa anane/, Kyageng Pengging Dayaningrat/, waning-lahirken tekad/, Allah majaz wujud palsu/, kaki kene saking asma/, [4].

Artinya :

Dalam alam kabir sahir/, di sini dan di sana tidak berbeda/, yang ada hanya manusia saja/, Kyahi Ageng Pengging Daya-ningrat/, berani mengemukakan keyakinannya/, Allah itu hanya majaz atau kiasan/, wujudnya tidak ada atau palsu/, hakikatnya tidak ada yang ada hanya nama/, [4].

Dalam pupuh Asmarandhana tersebut tampak bahwa terdapat ajaran yang mengikari keberadaan Pengada yang Ada. Dalam hal ini Tuhan itu hanya nama yang diberikan oleh manusia. Hakekatnya tidak ada samasekali. Di mana-mana yang ada hanyalah manusia, tidak lain tidak bukan. Selain itu, dalam ajaran yang disebarkan melalui pupuh Asmarandhana tersebut juga dapat ditangkap mengenai kesan seolah-olah Islam dan Budha diyakini sama. Budha dan Islam itu hakekatnya hanya satu, walaupun namanya d

Salat limang wektu puji dikir/, prastaweng tyas karsanya pribadya/, bener luput tanpa dhewe/, sadarpa gung tertamtu/, badan alus kang munah karti/, ngendi ana Hyang Suksma/, kajaba mung ingsun/, mider donya cakrawala/, luhur langit sapta bumi/, durung manggih/, Wudjudnya dat kang mulya.

Artinya :

Shalat lima waktu, puji-pujian dan dzikir/, kemauan hati maunya sendiri/, salah benar tidak sendirian/, serombongan besar tertentu/, yang memerintahkan adalah badan halus/, mana ada yang bernama tuhan/, yang ada hanyalah saya/, walaupun telah mengelilingi bumi/, belum pernah menjumpai yang bernama Tuhan

Wangsul ingsul dat kang nuksmeng wadi/, pangeranku sifat jalal kamal/, nora karsa salat dhewe/, nora karsa dhandhawuh/, dewong salat pakoning budi/, budi laknat musibat/, tan kena ginugu/, salin-salin perentahnya/, mencla mencle tak temeni nora dadi/, tansah ngajak durjana.

Artinya :

Kembali kepada masalah saya, Tuhan adalah dzat yang masuk ke dalam sesuatu yang misteri/, Tuhanku mempunyai sifat jalal kamal/, tidak mau shalat sendiri/, juga tidak mau memerintah/, orang shalat bukan atas suruhan budi/, budi yang terlaknat dan celaka/, tidak dapat dipercaya/, berubah-ubah perintahnya/, ,juga berganti-ganti pendirian/, kalau dipercaya tidak jadi/, selalu saja mengajak ke kedurhakaan.

Kaserat Dening Paangeran Karyonagoro

Kamis, 30 Agustus 2012

> PUJINE DINA, BADAN, NAPAS, NAPSU, ATI, WIJI LAN ANASIRING MANUNGSA

PUJINE DINA, BADAN, NAPAS, NAPSU, ATI, WIJI LAN ANASIRING MANUNGSA

Kaserat Dening Pangeran Karyonagoro

PUJINE DINA PITU

1. Dina Ahad ; ya kayu ya kayumu, nabi Adam kang ndarbemni, lakunya tidak boleh nginang sehari semalam, ahad lakune ing surya, kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat limang leksa.

Kuwasane : lungguhe ing wulu, teguh ora kena winekang, lan ora katon.

2.Dina Senen ; ya rahmanu ya rahima, nabi’ullah kang ndarbeni, lakune nyegah iwak sadina sadalu, senen uripe ning wulan kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat kawan leksa.

Kuwasane : lungguhe ing kulit, teguh kang kena binenggang.

3. Dina Selasa ; ya maliku ya kudusu, nabi Isa kang ndarbeni, lakune apasa sadina sadalu selasa uriping lintang kang rumeksa sadino lawan sawengi, malekat tigang leksa.

Kuwasane : lungguhe ing bebayu, angumpulake cahya kabeh.

4. Dina Rebo ; ya kabiru ya muntaha, pepitu uripipun nabi Ibrahim kang ndarbeni, lakune nyegah toya sadina sadalu, rebo bumi uripira kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat pitung leksa.

Kuwasane : lungguhe ing daging, teguh tan kena winangenan.

5. Dina Kemis ; ya ngalim ya ngalimu, wewolu uripipun, nabi Idris kang ndarbeni, lakune nyegah uyah sadina sedalu, kemis dahana uripnya, kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat wolung leksa.

Kuwasane : lungguhe ing otot, teguh sajege urip.

6. Dina Jumungah ; ya kafi ya muqni, ya enem uripipun, nabi Rasul kang ndarbeni, lakune nyegah pangan sadina sadalu, jumungah lakune barat, kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat leksa.

Kuwasane : lungguhe ing bebalung, sekti mandraguna.

7. Dina Saptu ; ya fatah ya rajah, sesanga uripipun, nabi Iskhak kang ndarbeni, lakune datan mendra, sadina sadalu, saptu uripe ing toya kang rumeksa sadina lawan sawengi, malekat sangang leksa.

Kuwasane : lungguhe ing sumsum, angumpulaken sakehing rasa kabeh.

8. Dina pitu lakon solan salin, mung sadina sawengi salinnya, pan akatah supangate, sarta anganggo laku lakunira solan salin, puji lan nabirira, myang cecegahipun apa kajate tinekan, lan malati ora kena den langkahi wayangane kang maca.

PUJINE BADAN

Pujine Utek : ” Rasulun Rabbil’alamiin “.

Kuwasane luput tujuh teluh dadi tawar.

Pujine Kuping tengen : ” Alliyatan ilahu rabbi ‘umum “.

Kuwasane ngilangake bilahi kabeh.

Pujine Kuping kiwa : ” Samikna wa ‘atakna guprana karabbasa wa’llekal massiir “.

Kuwasane ngilangake pakewuh kabeh.

Pujine Sirah : ” Padaraktum “.

Kuwasane nglerebaken kang sarwa galak kabeh.

Pujine netra : ” Kudusun rabbana wa rabbul malaikatu wa ruh “.

Kuwasane kinaweden dening wong lanang wadon .

Pujine napas : ” Haplil palubuti ngalla yasin “.

Kuwasane kinasihan wong sajagad kabeh.

Pujine Gigir : ” Nawaitu minal kibari pibigalikad hapika karja “.

Kuwasane teguh timbul.

Pujine Otot : ” Parekun parekanun wa’ljannatun nangimum cipta katon cipta ora katon “

Kuwasane amurba ora katon.

Pujine Awak kabeh : ” Inna fatokna iakafakan mubinin ” lamun arep malebu ing omah

Kuwasane slamet rahayu.

Pujine Ati : ” Nasrun minallahi wa patekun karibun wa kasiril mukminin “

Kuwasane awake katon gede.

Pujine Amperu : ” Layastakli panahum “

Kuwasane kinawedan dening wong tur bagus rupane kang muji

Pujine Sikil : ” Sari mal maruna “

Kuwasane ora katon.

Pujine Pepusuh : ” Fasayakfikahumullahu, wahuwassami’ul ‘aliim “

Kuwasane luput senjata tawa.

Pujine Dalamake : ” Sangan sangun yuhyi wayumitu wahuwa allah lakuli sekkin katdir “

Kuwasane betah lumaku lan lumayu.

PUJINE NAFAS PATANG PRAKARA

1. Napas, iku tetalining urip, iya tetalining ruh, rupane ireng, plawangane Af’alullah, dununge ing lesan, pujine ; ” Laa ilaha ilallaah “, iku sampurnaning kulit daging.

2. Tanapas, iku pamiyarsaning ruh, rupane kuning, plawangane Asma’ullah, dununge ing kuping, pujine ; ” Allahu… Allahu “, iku sampurnaning balung lan otot.

3. Anpas, iku panggonaning ruh, rupane ijo, plawangane Sifatullah, dununge ing gigir, pujine ; ” Allah…Allah “, iya iku sampurnaning geting lan sumsum.

4. Nupus, iku paningaling ruh, rupane putih, plawangane Dzatullah, dununge ing netra, pujine ; ” Ya Hu…Ya Hu “, iku sampurnaning pangawasa lan napsu.

PUJINE NAPSU PATANG PRAKARA

1. Lawwammah, iku af’aling urip, rupane ireng, plawangane cangkem, dununge ing waduk, pujine ; ” Ya Hu…Ya Hu “, iku sapurnaning cipta lan ripta.

2. Amarah, iku asmaning urip rupane kuning, plawangane ing kuping, dununge ing jantung, pujine ; ” Ilah…Ilah “, iku sampurnaning sir lan angen-angen.

3. Supiyah, iku sifating urip rupane ijo, plawangane ing irung, dununge ing amperu, pujine ; ” Imanahu …Imanahu “, iku sampurnaning osik lan meneng.

4. Muthmainah, iku Dzating urip, rupane putih, plawangane ing mata, dununge ing pepusuh, pujine ; ” Hu…Hu…Hu “, iku sampurnaning budi lan rasa.

PUJINE ATI PATANG PRAKARA

1. Ati Sanubari, iku wisesaning rasa, rupane ireng, plawangane kaharullah, dununge alam sulpil, pujine ; ” Allahu…Allahu “, iku sampurnaning pangucap.

2. Ati Maknawi, iku purbaning rasa, rupane kuning, plawangane kamahullah, dununge alam sulbi, pujine ; ” Allah…Allah “, iku sampurnaning pamiyarsa.

3.Ati Siri, iku sampurnaning rasa, rupane ijo, plawangane jalahullah, dununge alam topek, pujine ; ” Hu…Hu…Hu “, iku sampurnaning pangambu.

4. Ati Pu-at, iku sirnaning rasa, rupane putih, plawangane jamalullah, dununge alam sabit, pujine ; ” Annalkaka … annalkaka “, iku sampurnaning paningal.

PUJI WIJINING MANUNGSA

1. Wadi iku rupane abang, kadadiyane getih-kita, pujine ” Layakrifu ilallaah “

2.Madi iku rupane kuning, kadadiyane banyu-kita, pujine ” Lamakbuda ilallaah “

3. Mani iku rupane ijo, kadadiyane penguwasa-kita, pujine ” Lamujuda ilallaah “

4. Manikem iku rupane putih, kadadiyane cahya-kita, pujine ” Layatkuru ilallaah “

PUJINE ANASIRING MANUNGSA

1. Asal Bumi, rupane ireng, kadadiyane wujud- kita hakikate Dzatira, iku dadining kulit daging, pujine…” Waashadu anna Muhammadarasulullaah “

2. Asal Geni, rupane kuning, kadadiyane nur-kitasifatira iku, dadine otot, balung, pujine…” Ashadualla ilaha illallaah “

3. Asal Angin, rupane ijo, kadadiyane ilmu-kita af’al iku, dadining panguwasa, pujine…” Lasariikalaahu lailaha illallaah ”

4. Asal Banyu, rupane putih, kadadiyane suhud-kita, hakekate asmanira, iku dadining geting lan sumsum, pujine…” Sahitna ‘ala anpusina wa sbit ‘indana innahu lailahaillahuwa ”

> MITOLOGI KANGJENG RATU KIDUL

Kacihna majune teknologi komunikasi lan informasi nuwuhake budaya anyar lan nggawe ”rusake” kabudayan Jawa, ananging wong Jawa tetep ngugemi landhesan urip kang gegayutan kalawan anane titah ora kasat mata.

Landhesan urip kang isih ngugemi anane titah ora kasat mata iki raket gandheng cenenge kalawan kepriye sejatine wong Jawa urip ing donya. Lire, kapercayane wong Jawa ing babagan urip lang panguripan ora bisa uwal saka perangan jagad cilik (mikrokosmos) lan jagad gedhe (makrokosmos), keplase uga gegayutan kalawan alam kasat mata lan alam datan kasat mata. Salah sijine kapercayan kang dikarepake yaiku wong Jawa, mligine kang urip ing tlatah Yogyakarta lan Solo, nganggep lan yakin yen samodra kidul iku awujud karaton kang dikuwasani dening Kangjeng Ratu Kidul. Tumrap wong Jawa kaprah, lire ora duwe pangerten jero babagan filosofi kebatinan Jawa lan uga adoh saka karaton, Kangjeng Ratu Kidul dianggep sawijining titah badan alus kang wujude kayadene manungsa lan nglenggahi dampar keprabon, nyekel pengauwasa ing segara kidul. Lan isih ana panganggep liya kang wusanane mbabar dadi mitos Kangjeng Ratu Kidul.

Ing buku Mitologi Kanjeng Ratu Kidul, anggitane Y Argo Twikromo, weton Nidia Pustaka, 2006, dijlentrehake filosofi-filosofi kang gegayutan kalawan mitos Kangjeng Ratu Kidul. Miturut andharan ing buku iki, mitologi Kangjeng Ratu Kidul pranyata digunakake kanggo pancadan tumrap panguwasa Karaton Kasultanan Ngayogyakarta (lan uga Karaton Surakarta-red) nalika nglakokake paprentahan. Wong Jawa nganggep manawa donya iku isine ana kang asipat wadag, pisik, bisa didulu mata lan donya kang asipat datan kasat mata, alus, ora bisa didulu mata wantah. Ananging ing donyane wong Jawa, kalorone kang asipat kasat mata lan datan kasat mata iku nyawiji dadi siji. Ing nyawijine ngalam kalorone iku kabeh sesambungan kang asipat antarane siji lan sijine padha-padha mbutuhake lan dibutuhake. Wusanane kabeh nggawe alam dadi tumata. Sesambungane manungsa ing alam kodrati (alam nyata, alam kasat mata) ora dibedakake kalawan titah ing alam adikodrati (alam supranatural, alam datan kasat mata).

Yen dipindeng kanthi srana kaca mata antropologis, mitos Kangjeng Ratu Kidul bisa dianggep minangka cultural universal kang disengkuyung dening sawetara laku budaya utawa cultural activities, kayata labuhan, crita rakyat utawa crita Panembahan Senopati, kegiyatan sosial lan kegiatan lelandhesan keyakinan agama lan maneka laku utawa ritual tradhisi liyane. Babagan iku nuduhake lan aweh tuntunan yen yektine kepriye wong Jawa mindeng mitologi Kangjeng Ratu Kidul ora bisa dipisahake saka laku ritual kang ndhasari utawa dadi panjurunge. Laku-laku kang lelandhesan keyakinan ajaran agama kang gegayutan kalawan Kangjeng Ratu Kidul, mujudake gegambaran alam pikiran lan kapercayane wong Jawa. Adhedhasar apa kang diugemi wong Jawa, mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang urip ing ngalam pikiran lan kapercayan Jawa, digunakake kanggo sesambungan kalawan alam supranatural. Pangajabe supaya donya iki tetep harmonis, imbang lan tansah kalinton kaslametan lan karahayon. Ing bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ora mung asipat legenda. Tumrap kapercayane saperangan gedhe warga bebrayan Jawa, Kangjeng Ratu Kidul iku ana tenan. Ananging karana anane alam supranatural tumrap wong Jawa ora bisa dijlentrehake, kaprah sinebut suwung awang-awung, ndadekake anane laku-laku kang lelandhesan keyakinan agama kang ancase ngurmati panguwasa alam supranatural, kayadene Kangjeng Ratu Kidul. Ana candhake.

Keyakinan supranatural sarana ngupadi salarase donya saisine

Mitologi Kangjeng Ratu Kidul nuwuhake kapercayan tumrap wong Jawa yen ing segara utawa samodra kidul ana panguwasa kang asipat supranatural, datan kasat mata.

Kapercayan iku bisa didulu saka laku-laku kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni dening Karaton Ngayogyakarta (apadene Karaton Surakarta) kang ditujokake marang Kangjeng Ratu Kidul. Kanthi laku ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama kang biyasane mapan ing Parangkusuma iku, sacara mistis Karaton bisa mujudake imbang lan tentreme donya. Yektine, tumrap Karaton Ngayogyakarta (lan Karaton Surakarta) ora bakal bisa netepi kuwajibane yen durung bisa mujudake rasa tentrem ing batin tumrap kabeh rakyat. Rasa tentrem ing batin iku bisa kawujud kanthi laku nyedhak marang Gusti Kang Murbeng Dumadi. Kanthi mangkono, maneka rupa laku utawa ritual kang asipat lelandhesan keyakinan agama iku wusanane minangka srana kanggo nggayuh katentreman lan keslametan praja sakrakyate. Ing telenging pikir wong Jawa, raja utawa ratu duwe jejibahan ngayomi rakyate. Karana iku, raja ing Karaton Ngayogyakarta lan Surakarta tansah ngugemi laku kang asipat nyedhak kalawan daya kekuwatan supranatural. Ing bebrayan Jawa, raja iku nyangga godhan yang tanpa wates, mligine kang gegayutan kalawan panguwasane. Sanggan godhan kang asipat tanpa wates iku uga ngandhut tanggung jawab tunggal kang amba kanggo njaga murih donya tetep tumata.

Karana iku, raja kudu pinunjul. Lan tumrap wong Jawa, raja iku dianggep dadi siji-sijine paraga kang bisa mbangun lan njaga sesambungan antarane alam kodrati (kasat mata) lan alam adikodrati (datan kasat mata). Iki kang dadi pawadan ing budaya Jawa raja utawa ratu iku dianggep duwe panguwasa kang tanpa wates lan panguwasane iku ora bisa diatur kanthi cara-cara kang kaprah ing ngalam donya iki. Rakyat dhewe uga duwe pangarep-arep raja utawa ratu bisa ngrampungi sakabehing rubeda kang tuwuh saka alam kanthi srana kekuwatan gaib kang diduweni. Upaya ngugemi mitologi Kangjeng Ratu Kidul iki pranyata ora mung dilakoni dening raja utawa sentana dalem ing Karaton. Para warga bebrayan ing tlatah Yogyakarta (lan Solo) uga duwe cara dhewe kanggo ngugemi keyakinan babagan Kangjeng Ratu Kidul iki. Mitologi Kangjeng Ratu Kidul dadi sarana kanggo tumindak lan nyawiji marang alam. Iku amarga saperangan gedhe warga bebrayan duwe keyakinan religius kang padha, magepokan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul. Laku lelandhesan keyakinan agama gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul kang dilakoni warga bebrayan racake ora padha kalawan kang dilakoni pehak Karaton. Ananging kalorone bisa lumaku bareng lan nyawiji kanggo mujudake katentreman ing donya.

Lan ing kabudayane wong Jawa (ing dhudhahan buku iki ateges tlatah Yogyakarta lan Solo-red) Karaton menjila dadi punjere kosmis kang asipat keramat. Sacara mistis dununge Karaton duwe gandheng ceneng rapet kalawan karaton-karaton asipat supranatural kang ana ing sakupenge. Karaton-karaton asipat supranatural iku kayadene Karaton Segara Kidul, Karaton Merapi, Kayangan nDlepih lan Karaton Lawu. Karaton-karaton iku mujudake lima karaton kang asipat keramat lan tansah sesambungan antarane siji lan sijine. Kalimane bisa nyawiji lan mbangun tatanan donya kang tumata. Sesambungan antarane karaton-karaton iku asipat kayadene kulawarga lan sakabat. Wangunan kapercayan bebrayan Jawa kang bisa uga ditegesi agama Jawa, sejatine luwih ngeboti babagan katentreman batin, jumbuhe ngalam kodrati lan adikodrati lan imbang antarane kabeh isining ngalam. Pawadan iki, laku-laku ritual lelandhesan keyakinan agama kang dilakoni gegayutan kalawan mitologi Kangjeng Ratu Kidul digunakake kanggo ngupadi rasa tentrem, jumbuh lan salarase kabeh isining ngalam lan imbange donya saisine.

> TAN SAMAR PAMORING SUKMA

Tan samar pamoring sukma, sinuksma ya winahya ing ngasepi, sinimpen tetelenging kalbu, pembukane warana, tarlen saking liyep layaping ngaluyut, pindha pesating supena, sumusuping rasa jati.

01

Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya,karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.

02

Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata. Semoga kamu memimpikan orang seperti itu.

03

Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

04

Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati,cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli hadiah-hadiah.

05

Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acapkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

06

Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.

07

Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita milik sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.

08

Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang itu pula.

09

Kata-kata yang diucapkan sembarangan dapat menyulut perselisihan. Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan. Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan. Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkahi.

10

Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.

11

Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

1 2

Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.

13

Hanya diperlukan waktu semenit untuk menaksir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang, tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

14

Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.

15

Cinta adalah jika kamu kehilangan rasa, gairah, romantika dan masih tetap peduli padanya.

16

Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu dan mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya.

17

Cinta dimulai dengan sebuah senyuman, bertumbuh dengan sebuah ciuman dan berakhir dengan tetesan air mata.

18

Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah dikhianati,kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti hatinya.

19

Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakan cintamu kepadanya.

20

Masa depan yang cerah selalu tergantung kepada masa lalu yang dilupakan,kamu tidak dapat hidup terus dengan baik jika kamu tidak melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu.

21

Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba,jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

22

Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu! Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh dihatimu.

23

Ada hal-hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang kamu harapkan untuk mengatakannya. Namun demikian janganlah menulikan telinga untuk mendengar dari orang yang mengatakannya dengan sepenuh hati.

24

Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang disekelilingmu tersenyum jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang disekelilingmu menangis.

Rabu, 29 Agustus 2012

> VIDEO LADY GAGA SAAT HUBUNGAN BADAN

Wkwkwkwkwk...apausi waeee...ben kapok...rahayu Sagung dumadi

Selasa, 28 Agustus 2012

> SULUK MARTABAT WAHDAT WAKIDIYAT

SULUK MARTABAT WAHDAT WAKIDIYAT

ANGGITAN-DALEM INGKANG SINUHUN KANGJENG SUSUHUNAN PAKUBUWANA KAPING III
.
A S M A R A D A N A
۝۝ PADA 01 ۝۝
MARTABAT PITU KINAWI,
PRA SAMYA ANGAWRUHANA,
AKADIYAT WIWITANE,
PING KALIH MARTABAT WAHDAT,
PING TIGA WA/KIDIYAT,
WAHDANIYAT KAPATIPUN,
KAPING LIMA NGALAM MISAL.
۝۝ PADA 02 ۝۝
PING NEM ALAM JESAM SINGGIH,
INSAN KAMIL PING PITUNYA,
MARTABAT IYA TEGESE,
AKARYA ING KENYATAHAN,
TEGESE AKADIYAT,
NYATAKAKEN ING DATIPUN,
TUHUNE ING DHIRINIRA.
۝۝ PADA 03 ۝۝
T[E]GESE WAHDAT PUNIKI,
NYATAKAKEN SIPATIRA,
PAN WIS NYATA ING DHEWEKE,
T[E]GESE KANG WAKIDIYAT,
PUNIKA KAYA PARAN,
NYATAKAKEN WISMANIPUN,
WUS NYATA ING ARANIRA.
۝۝ PADA 04 ۝۝
WAHDANIYAT INGKANG WAHIT,
PUNIKU DEN KAWRUHANA,
GONE NYATA DAT SIPATE,
ASMA KALAWAN APENGAL,
PUNDI NYATANING NGEDAT,
ROH ILAPI JATINIPUN,
NYATANE AMUNG TITIGA.
۝۝ PADA 05 ۝۝
NYATANE KANG ROH ILAPI,
WUS NYATA ING NGASALIRA,
NYATAKAKEN ING RUPANE,
PING KALIH ALAM AJESAM,
TEGESE ALAM JESAM,
NYATAKAKEN ABNGALIPUN,
INSAN KAMIL KAPING TIGA.
۝۝ PADA 06 ۝۝
INGKANG NGARAN ASMA JATI,
NENGGIH ASMANE ROH ALLAH,
EDAT ILAHA SIPATE,
ILALAH ING-NGA/RAN ASMA,
MUHKAMMAD RASULLULLAH,
GIH PUNIKU APNGALIPUN,
NORA JASAD LAN MUHKAMMAD.
۝۝ PADA 07 ۝۝
WUS NYATA ASAL NGAWRUHI,
PUNDI INGKANG NGARAN EDAT,
LAN SIPAT APNGAL ASMANE,
WUS NYATA ING JENENGIRA,
NYATANE POLAHIRA,
PUNIKU ROH JATENIPUN,
APNGAL NYATA GAWENIRA.
۝۝ PADA 08 ۝۝
NYATANE ASMA KANG YEKTI,
PANGUCAP ING ROH PUNIKA,
NAMANING NGEROH JATINE,
JABA JERO PAN WUS NYATA,
TERUS KALAWAN PADHANG,
DATAN ANA LIYANIPUN,
TEKA WULUNE SALEMBAR.
۝۝ PADA 09 ۝۝
PUNDI KANG NGARAN ROH JATI,
IYA KANG ANYATA IMAN,
TOKIT LAWAN MAKRIPATE,
KANG PUNDI TEGESE IMAN,
PANGISTUNE ROH ALLAH,
KANG NGARAN TOKIT PUNIKU,
TUNGGAL JENENG LAWAN SIRA.
۝۝ PADA 10 ۝۝
TEGESE MAKRIPAT IKI,
PANINGALIRA PUNIKA,
ARAN MAKRIPAT TEGESE,
PUNAPA KANG TININGALAN,
KALAWAN TINARIMA,
JENENGE ROH KANG RUMUHUN,
NARIMA ING JISIMIRA.
۝۝ PADA 11 ۝۝
NENGGIH TATKALANE URIP,
KINARYA PAESAN TUNGGAL,
NARIMA ING WAYANGANE,
KAYA ROH ING NGURIPIRA,
NANGING NGA/LAH KANG MULYA,
ANENGGIH KANG MAHA LUHUR,
LANGGENG DATAN KENA OWAH.
۝۝ PADA 12 ۝۝
APA KANG TUNGGAL PAMANGGIH,
TUNGGAL WUJUD LAWAN SIRA,
PAMANGGIH ING ROH TEGESE,
JANGJINE URIP SATUNGGAL,
KAYA PARAN TUNGGALNYA,
TEGESE TOKIT PUNIKU,
DATAN RORO JENENGIRA.
۝۝ PADA 13 ۝۝
PANINGALE ROH KANG ENING,
DATAN MULAT MARING LIYAN,
NENGGIH AMUNG PANGERANAE,
DADI AWAS MRING PANGERAN,
SAPA WONGE KANG NGAWAS,
INGKANG NGAWAS MRING ROHIPUN,
IKU AWAS MARANG SUKSMA.
۝۝ PADA 14 ۝۝
PANGUCAP ING ROH KANG YEKTI,
IKU WONG NGAMACA KUR’AN,
ING SIYANG LAWAN DALUNE,
TAN LALI ING NGADHEPIRA,
KANG MADHEP MARANG SUKSMA,
NGENDI LAKUNE ROH IKU,
NENGGIH NGLAMPAHAKEN SALAT.
KAPETHIK SAKING  SERAT SULUK JAMAN KARATON DALEM ING SURAKARTA.

> SULUK DEWARUCI

SULUK DEWARUCI

Anggitanipun abdi-dalem Kyahi Ngabhi Yasadipura.

Kaserat Dening Pangeran Karyonagoro

Suluk Dewaruci, sekar Dhangdhanggula : 15 pada ; nyandhak sekar Pangkur : 42 pada; nyandhak sekar Sinom : 17 pada; nyandhak sekar Durma : 31 pada; nyandhak sekar Dhangdhang-gendhis : 62 pada.

Awignam astu namas siddhi

Pupuh I
DHANDHANGGULA

Nihan doning ulun manulat sri, ring sarkara mamrih mamardawa, tyas wigena panjutane, juwet silarjeng tuwuh, wahananing kahanan jati, sujana paramarta witaning tumuwuh, winangun ingkang sasmita, ginupita ing kawi reh Bima Suci, winangun lawan jarwa.
Werkodara duk puruhita ring, Dhangnyang Druna kinen ngupayaa, toya ingkang nucekake, marang sariranipun, Werkodara mantuk wawarti, maring nagri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudhisthira, / kang para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.
Harya Sena matur ring rakaji, lamun arsa kesah mamrih toya, dening guru pituduhe, sri Darmaputra ngungun, amiharsa aturing ari, cinipta prapteng baya, narendra mangun kung, dyang satriya Dananjaya, matur nembah ing raka Sri Narapati, punika tan sakeca.
Inggih sampun paduka lilani, rayi-dalem kesahe punika, boten sakeca raose, Harya kalih wot santun, inggih sampun tuwan lilani, watak raka paduka, Ngastina pukulun, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih ngapusi, kasirnaning Pandhawa.
Werkodara miarsa nauri, ingsun mongsa kenaa den-ampah, matiya umurku dhewe, wong nedya mrih pinutus, panunggale Hyang Maha Suci, Harya Sena saksana, kalepat sumemprung, Sri Narendra Yudhisthira, miwah ari katiga ngungun tan sipi, lir tinebak mong tuna.
Tan winarna kang kari priha/tin, kawuwusa lampahireng Sena, tanpa wadya amung dhewe, mung bajra sindhung riwud, ambebener murang ing margi, prahara munggeng ngarsa, gora reh gumuruh, kagyat miris padedesan, kang kaambah kapranggul dharodhog ajrih, andhepes nembah-nembah.
Kathah pasegah datan tinolih, langkung adreng prapteng Kuru-setra, marga geng kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngunguwung,  lwir kumembaring baskara, kuneng wau kang maksih wonten ing margi, wuwusen ing Ngastina.
Prabu Suyudana animbali, Dhangnyang Druna praptaning jro pura, nateng Mandraka sarenge, Prabu Ngawongga tumut, pra santana andeling westhi, pra sami ingandikan, marang jro kadhatun, wong agung ing Sindusena, Jayadrata miwah Ki Harya Sangkuni, Bisma myang Drusasana.
Raden Kuwirya Kurawa-sekti, miwah Rahaden jayasusena, Raden Rekadurjayane, prapteng ngarsa Sang Prabu, /kang ginusthi mrih jayeng jurit, sor si[r]naning Pandhawa, ingkang dadya wuwus, aywa kongsi Bratayuda, yen kenaa ingapus sangkaning aris, sirnaning kang Pandhawa.
Golong mangkona turira sami, Raden Sudarma Surongakara, anut rempeg samya ture, sira ta sang ngaprabu, Suyudana menggah ing galih, datan pati ngarsakna, ing cidranireku, ragi kagagasing kadang, lagya eca gunem Warkodara prapti, dumrojog manjing pura.
Obah kagyat kang samya alinggih, Sri Narendra Ngastina ngandika, yayi den kapareng kene, Werkodara anjujug, Dhangnyang Druna sigra ngabekti, rinangkul jangganira, babo suteng ngulun, sira sida ngulatana, ingkang tirta pacitra sucining ngurip, yen iku kapanggiya.
Nirmala panggah wiseseng ngurip, wus kawengku aji kang sampurna, pinunjuling jagat kabeh, kauban bapa biyung, mulya saking sira nak mami, linuwuh ing tri loka, langgeng ananipun, Harya Sena matur nembah, nenggih pundi / prenahe kang tirta suci, nunten paduka tedah.
Prenahipun kang her kadi geni, sang resi Druna mojar mring Sena, adhuh sutaningsun angger, enggone kang toya nu[ng], pan ing Tibrasareki, turuten tuduh ing wang, sanget parikudu, nucekaken badanira, ulatana loring Gadamedaneki, ing wukir Condramuka.
Dhungkarana ingkang wukir-wukir, jroning guwa jro panggonanira, tuhu her ning pacitrane, ing nguni-uni durung, ana kang wruh goning toya-di, trustha sang Werkodara, pamit awotsantun, mring Druna mring Suyudana, angandika sira Prabu Kurupati, yayi mas den-prayidna.
Bok kasasar denira ngulati, iya panggonane tan tetela, Werkodara lon saure, nora pepeka ingsun, anglakoni tuduh sang yogi, umesat saking pura, sigra reh sumengkut, kang maksih aneng jro pura, samya mesem nateng Mandraka lingnya-ris, paran polahe ika.
Gunung Condramuka / guwaneki, dene kanggonan reksasa krura, kagiri-giri gedhene, sayekti lebur tumpur, ditya kalih pangawak wukir, tan ana wani ngambah, sadaya gumuyu, ngrasantuk upayanira, sukan-sukan bogandrawida menuhi, kuneng ingkang kawuntat.
Pupuh II
PANGKUR

Lampahe Sang Werkodara, lajeng ngambah praptanireng wanadri, ririh ing reh gandrung-gandrung, sukanireng wardaya, tirta hening pamungkas wekasing guru, tan nyipta bayaning marga, kacaryan kang den-ulati.
Ngambah wukir sengkan-sengkan, anut tembing kapering lemah miring, geger menggeng agra gugur, jurang rejeng kaparang, angragancang keri sarta lata lumung, myang enggar katiban warsa, sela ngapit marga supit.
3. Keksi kang pala kasimpar, pan kawarsan ing mongsa catur asri, panjrah nikang ngarum-arum, abra kang patra wijah, ambelasah bogem banas cepakandul, angsana myang kanigara, wilasa lan gondasuli.
Aglar ingkang ang/grek wulan, jongga mure araras wora-wari, argulo mekar lan menur, anjrah gambir gambira, naga puspa angsoka melathi tanjung, prabu setmata sridenta, kanang kenonga kemuning.
Tumiling-tiling nut awan, kadya manembrama ingkang lumaris, bramara reh nguswa lumung, anglir karunanira, ing kaswasih sangsaya margeng malat kung, risang Gonda-wastratmaja, leng-leng ngulati toya ning.
Surya mangrangsang lampahnya, kumyus ingkang riwe saengga warih, gumergut sangsaya sengkut, enggar ing kabaskaran, nerang nunjang kasandhung sukuning gunung, wreksa ruk rebah belasah, sora dhedhet herawati.
Geger saisining wana, tekang poncawora prahara tarik, sato kabarasat mawur, gumyur sumyur wurahan, saking geng ning ngampuhan sato kabentus, kidang kidang matyeng jurang, tibeng parang angemasi.
Andaka keh tibeng jurang, bujongga geng amrih wuleding kulit, rungkating wreksa / karangkut, lumajeng marang jurang, wau ingkang tapa-tapa aneng gunung, ajar-ajar kapalajar, prabawa prahara gumrit.
Kethu kathok kapalesat, kuthetheran pathake pothar-pathir, rarangkangan keh markungkung, sanget katisen samya, tutup tangan cantrik manguyu kaplayu, delancang wawasi singsal, ngungsi pradesan gumriwis.
Munya genthane kang puja, gugup dennya nawurken wangi-wangi, sari sugonda sumawur, wau ta lampahira, prapteng wukir Condramuka guwanipun, binubak wukir dhunungkar, sela siningsal atebih.
Wreksa geng-ageng kageman, kaideran belasah bosah-basih, prenahing toya tinuruh, dengu datan kapanggya, kawuwusa ditya kang wonten ing ngriku, Sang Rukmuka Rukmakala, kagyat denira miarsi.
Gebruging wukir kang dhungkar, lan prahara gora reh girisi, lawan kongasira mambu, gandaning kang sujanma, gadgada sang Rukmuka arsa ametu, ngerik angrik lir / bathara, Berawa anggempur bumi.
Gora sabda lir bubula, mahikala lir Kala Rodramurti, girindra kontrag gumuntur, katon Sang Werkodara, binandhem ing wukir panggah asru muwus, eh kodhik ditya babaya, dursila grama mrih pati.
Rukmuka lan Rukmakala, asru muwus manusa mengko mati, dursila budi mumuput, dhustha ngursak goning wang, sigra nempuh sang Werkodara tinubruk, kinerek tan obah panggah, sinebrak-sebrak tan osik.
Sela tan tumameng ngangga, curna siyung punggel ing-ukel aglis, kadya anaut sumebut, ing-aben lawan wreksa, sang Rukmuka angganira anggalepung, utek wutah sumamburat, Rukmuka sampun ngemasi.
Rukmakala ngrik manrajang, wus cinandhak winayangken binanting, ing sela ditya maleduk, sumyur rahnya sumebar, sareng pejah Rukmuka Rukmakaleku, sirna bangkene tan ana, jer samya jawata lewih.
Kena ing papa cintraka, Endra Bayu dinukan Hyang Pramesthi, dadya ditya kalihipun, neng / guwa Condramuka, yata wau Sang Bayu-tenaya wuru, kabeh wukir binalengkrah, toya tan ana pinanggih.
Sadangunira ngupaya, gunung-gunung kawur den obrak-abrik, sayah kasaputing dalu, ngadek soring madira, giyuhing tyas denira ngupaya banyu, pacitra dangu tan ana, miyarsa swara dumeling.
Tan katon kang duwe swara, adhuh putuningsun liwat kaswasih, ngupaya nora kapangguh, tan antuk tuduh nyata, ring prenahe kang sira ulati iku, sangsayeku polahira, Werkodara duk miarsi.
Nauri sinten kang swara, dening boten kaeksi dening kami, punapa yun ngambil tuwuh, kawula sih sumongga, leheng pejah angulati tan katemu, kang swara gumuyu suka, yen sira tanbuh ing mami.
Sira duk mateni ditya, iya tengsun karo jawata sami, kena ing papa sireku, kang nampurnaken ing wang, Endra Bayu aran ingsun kang satuhu, duk ditya si Rukmakala, lawan Rukmuka ra/n mami.
Sira angulati toya, pituduhe Dhanyang Druna ing nguni, nyatakna banyurip iku, tuture resi Druna, nanging ngora ing kene panggonanipun, sira baliya atasna, enggone ingkang sayekti.
Duk miyarsa Werkodara, kendel sarwi wagugen tyasireki, saksana wau sumebrung, mantuk marang Ngastina, tan winarna ing marga Ngastina rawuh, pendhak ing dina semana, kang wonten ngarsa jro puri.
Kadya duk angkate Sena, Resi Druna Bisma miwah para ji, lan pra santana gung-agung, nateng Wongga Mandraka, Sengkuni lan Sindu kalang nganeng ngayun, Sudarma Surongakara, Suwirya Kurwana-sekti.
Rahaden Reka-durjaya, Raden Jayasusena munggwing ngarsi, kagyat wau praptanipun, ki Harya Werkodara, samya kaget bageken kabeh wong agung, babo ariningsun prapta, antuk karya sun watawis.
Yayi Mas ngempek kewala, praptanira sayekti antuk kar/di, Sang Resi Druna sumambung, paran mas lakunira, Werkudara pukulun datan kapangguh, gene wukir Condramuka, mung ditya kalih kapanggih.
Rukmuka lan Rukmakala, sampun sirna kalih kawula banting, dene ditya amrih lampus, sikara ing kawula, wukir kabeh kabalengkrah tan katemu, paduka tuduh kang nyata, sampun amindho karyani.
Sang Druna angrangkul sigra, babo babo lagi ingsun ayoni, katemenane ing guru, mengko wus kalampahan, nora mengeng mantep pituduh ing guru, mengko iki sun wawarah, enggone ingkang sayekti.
Iya telenging samudra, yen sirestu guguru pun bapa kaki, ngesuk tereng samudra gung, werkodara turira, sampun menggah telenging kang samudra gung, wonten nginggiling swarga, dasaring kangsapta bumi.
Mongsa ajriha palastra, anglakoni tuduh sang maha yekti, iya babo suteng ngulun, yen i/ku pinanggiya, bapa kakinira kang wus padha lampus, besuk urine neng sira, lan sira punjuling bumi.
Tan ana aji utoma, sirna kasor kawengku ing sireki, Prabu Ngastina sumambung, dhuh adhuh arining wang, kaya paran pratikelireng delanggung, dene kaliwat agawat, prenah ingkang tirta hening.
Aja sira kaya bocah, den-prayitna Werkodara, eh Kurupati wakingsun, srahena ing jawata, aywa malang tumolih lilakna tuhu, aja garatesing manah, pira bara yen basuki.
Ya yayi muga antuka,  lakunira pitulung ing dewadi, pamit Harya Sena sampun, mring Druna mring sang nata, ing Ngastina sigra mesat lampahipun, saking pura pan wus medal, nedya umantuk rumiyin.
Matur ring raka Ngamarta, kuneng Werkudara lampanireki, wau ta ingkang winus/wus, ing nagari Ngamarta, saangkate Werkodara kesahipun, dene tan kena ing-ampah, kalangkung samya prihatin.
Sang ngaprabu Darmaputra, miah Dananjaya lan ari kalih, saputra sagarwanipun, prihatin watiring tyas, dadya rembag utusan ngaturi weruh, saking sru ningkang sungkawa, marang Prabu Dwarawati.
Mesat caraka Ngamarta, mawi surat ing marga tan winarni, ing Dwarawati wus rawuh, katuring Sri Narendra, serat saking Ngamarta sinuksmeng kalbu, kagyat garjiteng wardaya, sang ngaprabu Harimurti.
Datan sakeca tyasira, angundhangi wadya bala sang aji, sawadya kuswa kasusu, ing marga tan winarna, ing Ngamarta lampahnya sang nata rawuh, geger amethuk busekan, Yudhisthira lan parari.
Samya ngabekti sadaya, wusnya tata lenggah aneng jro puri, Prabu Darmaputra matur, myang [H]arya Dananjaya, saha waspa / ing madya wasananipun, katur ring raka sadaya, risang Prabu Harimurti.
Ngandika Narendra Kresna, yayi prabu aywa sungkaweng galih, polahe arinireku, ki Harya Werkodara, nadyan silih wruha yektining pangapus, ing tingkah Kurawa cidra, den-pasrah ing batharadi.
Wong nganedya puruhita, ujar becik upama den-alani, santosa ing bathara gung, ingkang nedya bencana, mongsa wurung nemu wawalesing pungkur, punagi ing aturira, marang Prabu Harimurti.
Yen prapta ari paduka, mila angling datan wande ngulati, kawula bujana nayup, kaistokna jeng nata, yen sampuna kakang prabu nunten rawuh, yekti barubah barusah, rayi-dalem sadayeki.
Lagyeca imbal wacana, praptanira wong agung Jodhipati, gumuruh samya angrubung, atur trusthaning driya, Dananjaya lawan Nangkula rinipun, myang Po/ncawala Sumbadra, Drupadi miwah Srikandhi.
Sami rerep sungkawanya, angandika sang prabu Harimurti, mara payo yayi prabu, nutugna abujana, sigra Werkodara sru pamuwusipun, aywa susah abujana, pan ingsun nora nganteni.
Marang ing pambojanira, karyaningsun amung atur upeksi, pan iya nuli awangsul, miwah mring sira Kresna, pan kapareng ingsun iki aweh weruh, arsa mring teleng samudra, ngupaya sinom ing warih.
Pupuh III
S I N O M

Ing tuduhe Dhangnyang Druna, ngulati toya urip, gone telenging samudra, iku arsa sun lakoni, matur kan para ari, adhuh kakang sampun-sampun,  punika datan lomba, tan pantes dipun-lampahi, duk miarsa jetung Prabu Yudhisthira.
Umatur dhateng kang raka, ing narendra Harimurti, paran ing karsa paduka, rayi sampe/yan puniki, tan kenging den-palangi, Kresna kendel tanpa muwus, langkung pangungunira, bingung tan nauri nenggih, ing ature sang Sri Batanakawarsa.
Sigra Prabu Yudhisthira, amengku datheng kang rayi, Harja Nangkula Sadewa, ing suku samya nangisi, Poncawala Drupadi, Sumbadra Srikandhi ngayun, gubel samya karuna, miwah nata Harimurti, anderwili mituturi Bayuputra.
Samya nangis ngampah-ampah, tan keguh ginubel tangis, Dananjaya nyekel asta, Raden kalih suku kalih, sarwi lara anangis, kresna munggeng ngarsanipun, Srikandhi lan Sumbadra, samya mangrubung nangisi, kinipatken sadaya sami kaplesat.
Amberot sang Werkodara, tan kena den-gugujengi, nginthar lampahe wus tebah, kadya tinilar ngemasi, sagunge ingkang kari, apan ta arsa sinusul, ajrih pangampahira, sira prabu Harimurti, dadya kendel sadaya wayang-wuyungan.
6. Sa/enggen-enggen karuna, sagung ingkang sentanestri, kakunge ngadhep sadaya, ing narendra Harimurti, tan pegat amituturi, kang rayi samya andheku, dadya wau kang raka, makuwon sajroning puri, kawuwusa wau kang adreng ing lampah.
Sahira saking jro kitha, tulya sru manjing wanadri, tan kesthi durgameng ngawan, tan ana baya kaeksi, sagung wong tepis iring, gawok ing pandulunipun, lampahe Harya Sena, lir naga krura ngajrihi, anrang baya amrih tuhuning ngagesang.
Kayon katub ing maruta, sumyak ing swaranira tri, kadya ngatag sekar mekar, samirana mawor riris, panjrah ning sarwa sari, karirisan marbuk arum, jongga kumuning sumyar, angsana pudhak kasilir, tinon kadya kang wentis kesisan sinjang.
Soreti bakaning driya (?), sahira saking nagari, cung gereret mawuraha/n, kadya napa ring sang brangti, mrak munya aneng wuri, barungan lan peksi cucur, lir aken awangsula, kidang wangsul saking ngarsi, kadya napa sruning sangsayeng wardaya.
Res-res munya asauran, yayah kadya mituturi, bebeluk deres lan dukan, anamber nambir wiyati, anglir ngudhang nging margi, wangsula sang amalat kung, kongkang neng rong lir rentang, mawarah upaya sandi, endrajala tanduking karti-sampeka.
Diwasaning diwangkara, titi sonya tengah wengi, kadhasih munya timbangan, musthikeng ganeya muni, mangun oneng salwir ning, kadya mawarah mrih lampus, upaya Dhangnyang Druna, tan tuhu amrih basuki, mawa kamandaka durgamaning ngawan.
Suweda sarkareng ngasta, ring ana Sang Hyang Bayeki, anut ujunging ngaldaka, denira lumaris aris, purwa ngimarateki,  sirat-sirat wus kadulu, wismane Hyang / Baruna, manitihi jalaniddhi, keksi praba sang maharsi dipaningrat.
Anari kang paksi mijah, anyengak cangak munya sri, sasmita ken awangsula, ri sang kasangsayeng ragi, sata wana munya njrit, marah risang moneng ngun kung, mangambah wana pringga, kongas tepining ngudadi, alun dres agumulung manempuh parang.
Sumyak lir suraking ngaprang, mrepek sangsaya kaeksi, karang munggul kawistara, danu wun-awun nawengi, ana kang kadya esthi, karang mengo liman anjrum, prapta sang Werkodara, umadeg tepining tasik.
Ombak angemba gelagah, panduking karang mangsuli, kadya nambrama kang prapta, wangsula sang ngamong ragi, gora reh anekani, gora rug guntur gumuntur, manulak mawalikan, sang moneng munadikaning, sangsayeng tyas emut warah ingkang raka.
Tuhu darma kamandaka, tuduhira sang maharsi, yen waangsula arda merang, kangen ujarireng nguni, suka matiyeng tasik, mangkana wau kadulu, palwa wawarna-warna, kumerab ing jalaniddhi, ting karethap kadya wancak sumamburat.
Leng-leng mulat ing ngudaya, rencakaning tyas kalingling, nglangut datanpa watesan, sang moneng lir tugu manik, lun ageng gigilani, lun geng agolong gumulung, toya muncar analang, kikising gisik kaeksi, wedhi lir isining kang sekar mekar.
Sangsanging kalembak-lembak, lir semara uwal saking, ukeling dyah sinjang lukar, tan wun ucapen ing gendhing, isining kang jeladri, pira-pira langenipun, raras ruming jro pura, panjang winarna ing tulis, Werkodara tan kondur eraming driya.
Pupuh IV
D U R M A

Musthi ing tyasira Harya Werkodara, ing baya tan kaeksi, yen tan amanggiya, toya reh tata marta, /tan wrin parastra ing tasik, mangsah bek pejah, cangcut gumergut manjing.
Ing samudra wiraganira legawa, banyu sumaput wentis, melek angganira, alun pan sumamburat, sumembur muka nampeki, megeg ring ngongga, wates jongga kang warih.
Emuting tyas ana ji jayasengara, lun ageng anangkebi, gadgada manengah, sira sang Werkodara, sayan genjot ingkang wentis, datan kaetang, kuneng wonten kawarni.
Kang naga geng kyating rat anmbur nawa, wisanira duk prapti, krura mangikikan, katon kambang kumambang, gengnya saprabata siwi, galak kumelab, sumembur angajrihi.
Lir kinebur samodra kolah prakempa, kagyad duk aningali, Harya Werkodara, iki babaya prapta, eram umuyat geng neki, datan antara, prot buta anekani.
Kadya guntur kumebur ingkang samudra, prabawanira atri, mangab kadya guha, siyung mingis kumilap, / sumawur wisa lir riris, manaut krura, mulet kadya ambanting.
Nengah pan kasangsang kapulet ing naga, angres sang Bayusiwi, wisane sang naga, tumampek mukanira, kewraning tyas cipta mati, saya pinolah, ing naga mobat-mabit.
Sariranya kemput ginubed sadaya, pujongga ingkang maksih, sangsaya manengah, sagung kang palwa giwar, nyana ponca-ruba prapti, prahara salah, gusis palwa wus tebih.
Lir sinapon palwa tan ana katingal, wau kang ngamrih jurit, sayah Harya Bima, emut sang amikara, cinubles kenaka aglis, kang munggeng ngongga, pasah rahnya dres mijil.
Poncanaka manjing ngawake sang naga, tatas pating saluwir, rah mijil lir udan, abang toyeng samudra, sapandeleng kanan kering, toya dadya rah, naga geng wus ngemasi.
Sirna dening Sena sadaya pan suka, saisining jeladri, wau kawuwusa, risang murweng parasdya, wruh lakuning sang kaswasih, sang amurweng rat, praptane sang ngamamrih.
Dinuta tan uniga jatining lampah, tirta marta mahening, mapan tanpa a/rah, tirta kang wruh ing tirta, suksma sinuksma mawingit, tangeh manggiya, yen tan nugraha yekti.
Kuneng sanalika wuwusen Pandhawa, dahad dennya mrihatin, sangsaya kagagas, marang ing kadangira, arsa nusula pra sami, aja salaya, yen nemahana pati.
Samya gubel nunuhun kang pangandika, sang prabu Harimurti, samya tinangisan, sira narendra Kresna, wus aywana kang prihantin, pan kadangira, nora tumekeng pati.
Malah antuk kanugrahaning jawata, besuk praptane suci, iya pan siniyan, de sang Suksma-kawekas, winenang aliru dhiri, raga bathara, putus ing tingal hening.
Uwis padha mariya aja sungkawa, enggar tyasira sami, sirna susahira, dene wau miarsa, pangandika kang sayekti, saking kang raka, nata ing Darawati.
Yata malih wuwusen sang Werkodara, neng telenging ing jeladri, sampun pinaggiyan, awarni dewa jabang, paparabe Dewaruci, lir lare dolan, ngandika tatanya-ris.
Eh ta Werkodara apa karyanira, teka ing kene iki, apa sedyanira, iya sepi kewala, tan ana kang sarwa bukti, myang sarwa boga, miwah busana sepi.
Amung godhong ngaking yen ana kumleyang, tiba ing ngarsa mami, iku kang sun pangan, yen nora nora nana, garjita tyasnya miarsi, sang Werkodara, ngungun dennya ningali.
Dene bajang neng samodra tanpa rowang, cilik amenik-menik, iki ta wong ngapa, gedhe jajenthik ing wang, pangucape pan kumaki, ladag kumethak, dene ta apribadi.
Lan maninge Werkodara ingkang prapta, iya ing kene iki, akeh poncabaya, yen nora etoh pejah, sayekti tan prapta ugi, ing kene mapan,  sakalir sarwa mamring.
Nora urup lan cipta-mu paripeksa, nora angeman pati, sabda kaluhuran, kene mongsa anaa, kewran sang Werkodareki, sasaurira, dene tan wruh ing gati.
Dadya alon Werkodara saurira, / mongsa borong sang yogi, sang wiku lingira, iya pan sira uga, bebete Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, turasa pan sayekti.
Saking Brama uwite kang para nata, iya bapanireki, turun saking Brama, mencarken para raja, dening ibunira Kunti, kang duwe tedhak, iya sang Wisnumurti.
Mung patutan telu lawan bapakira, Yudhisthira pangarsi, panenggake sira, panengah Dananjaya, kang roro patutan Madrin, jangkep Pandhawa, praptane kene iki.
Iya Dhangnyang Druna akon ngulatana, banyurip tirta hening, iku gurunira, pituduh marang sira, yeku kang sira lakoni, mulane tapa, angel pratingkah ngurip.
Aja lunga yen tan wruh ingkang pinaran, lan aja mangan ugi, lamun tan weruha, rasane kang pinangan, aywa nganggo-anggo ugi, yen durung wruha, arane busaneki.
Weruhe lan tatakon bisane iya, lawan titiron nenggih, dadi lan tumandang, /mengkono ing agesang, ana jugul saking wukir, arsa tuku mas, mring kemasan den-wehi.
Lancung kuning den-anggep kencana mulya, mengkon[o] ing ngabekti, yen dereng waskitha, prenahe kang sinedya, Werkodara duk miyarsi, dheku nor raga, dene sang wiku sidik.
Sarwi sila sentika andikanira, sang Werkodara met sih, anuwun jinatyan, sinten ta aran tuwan, dene neng ngriki pribadi, sang mabudeng rat, ya ingsun Dewaruci.
Matur alon pukulun yen makatena, pun patik anuwun sih, ulun inggih datan, wruh puruhiteng badan, saksat sato wana inggih, tan montra-montra, waspadeng badan suci.
Langkung mudha punggung cinacat ing jagat, kesi-esi ing bumi, angganing curiga, ulun tanpa warangkan, wacana kang tanpa siring, yata ngandika, manis sang Dewaruci.
Pupuh V
DHANDHANGGULA

Lah ta mara Werkodara aglis, lumebuwa gu/wa garbaning wang, kagyat miyarsa wuwuse, Werkodara gumuyu, sarwi guguk turira aris, dene paduka bajang, kawula geng luhur, inggih pangawak parbata, saking pundi margine kawula manjing, jenthik mongsa sedhenga.
Angandika malih Dewaruci, gedhe endi sira lawan jagad, kabeh iki saisine, kalawan gunungipun, samodrane alase sami, tan sesak lumebuwa, guwa garbaning sun, Werkodara duk miyarsa, esmu ajrih kumel sandika tur neki, mengleng sang Rucidewa.
Iki dalan talingan ngong keri, Werkodara manjing sigra-sigra, wus prapta sajro garbane, andulu samodra gung, tanpa tepi nglangut lumaris, Dewaruci nguwuh, eh apa katon ing sira, dyan sumaur sang Sena inggih atebih, tan wonten katingalan.
Awang-awang kang kula lampahi, uwung-u[wung] tebih tan kantenan, ulun saparan-parane, tan mulat ing lor kidul, wetan kilen datan udani, ngandhap ing nginggil ngarsa, kalawan ing punkur, kawula boten uninga, langkung bingung ngandika sang Dewaruci, aja maras tyasira.
Byar katingal ngadhep Dewaruci, Werkodara sang wiku kawangwang, umancur katon cahyane, nolih wruh ing lor kidul, wetan kulon sampun kaeksi, nginggil miwah ing ngandhap, pan sampun kadulu, lawan andulu baskara, eca tyase miwah sang wiku kaeksi, aneng jagat walikan.
Dewaruci suksma angling malih, aywa lumaku anduduluwa, apa katon ing dhweke, Werkodara umatur, wonten warni kawan prakawis, katingal ing kawula, sadaya kang wau, sampun datan katingalan, amung kawan prakawis ingkang kaeksi, ireng bang kuning pethak.
Dewaruci suksma ngandika-ris, ingkang dhi/ngin sira anon cahya, gumawang tan wruh arane, poncamaya puniku, sajatine ing tyas sayekti, para reping sarira, tegese tyas iku, ing-aranan muka sipat, kang anuntun marang sipat kang linewih, kang sajatining sipat.
Mongka tinula aywa lumaris, awasena rupa aja samar, kawasaning tyas empane, tingaling tyas puniku, anengeri maring sajati, enak sang Werkodara, amiyarsa wuwus, lagya mesem tyas sumringah, dene ingkang ngabang ngireng kuning putih, iku durgamaning tyas.
Pan isining jagad amepeki, iya ati kang telung prakara, pamurung ing laku dene, kang bisa pisah iku, pesthi bisa amor ing gaib, iku mungsuh ing tapa, ati kang tetelu, ireng abang kuning samya, ingkang nyegah cipta karsa kang lestari, pamoring suksma mulya.
Lamun nora kawilet ingkang tri, yekti sida pamoring kawula, lestari ing panunggale, poma den awas emut, durgama / kang munggeng nging ngati, pangwasane weruha, wiji-wijinipun, kang ireng luwih prakoswa, panggawene asrengen sabarang runtik, andadra ngombra-ombra.
Iya iku ati kang ngadhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng ngiku gawene, dene kang abang ngiku, iya tuduh nepsu tan becik, sakeh ing pepenginan, metu saking ngiku, panastenan panasbaran, ambuntoni marang ati ingkang ngeling, marang ing kawaspadan.
Dene iya ingkang rupa kuning, kuwasane nanggulang sabarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih tulus, ati kuning ingkang ngandhegi, mung panggawe pangrusak, binanjur jinurung, mung kang putih iku nyata, ati anteng mung suci tan ika iki, prawira ing kaharjan.
Amung ngiku kang bisa nampani, ing sasmita sajatining rupa, nampani nugraha tumanduk, kalestaren pamoring kapti, iku mung/suh titiga, tur samya gung-agung, balane ingkang titiga, kang aputih tanpa rowang amung siji, mila anggung kasoran.
Lamun bisa iya nembadani, marang susuker telung prakara, sida ing kono pamore, tanpa tuduhan iku, ing pamoring kawula gusti, Werkodara miyarsa, sengkut pamrihipun, sangsaya birahinira, saya marang kauwusaning ngaurip, sampurnaning panunggal.
Sirna patang prakara na malih, urub siji wowolu warnanya, sang Werkodara ature, punapa wastanipun, urib siji wolu kang warni, pundi ingkang sanyata, rupa kang satuhu, wonten kadi retna muncar, wonten kadi maya-maya angebati, wonten abra markata.
Mabudeng rad Dewaruci angling, iya iku sajatining tunggal, saliring warta tegese, ya ana ing sireku, tuwin ana isining bumi, gi/nambar angganira, lawan jagad agung, jagat cilik nora beda, purwa ana lor kulon kidul puniki, wetan luhur myang ngandhap.
Miwah abang putih ireng kuning, iya pangurip ingkang buwana, jagat cilik jagat gedhe, pan padha isinipun, tinimbangken ing sira iki, yen ilang warna ningkang, jagad sadayeku, saliring reka tan ana, kinumpulken ana rupa kang sajati, tan kakung tan wanudya.
Kadya tawon gumana puniki, kang ngasawang putran-putran denta, lah payo dulunen kuwe, Werkodara andulu, ingkang dadya puputra gadhing, cahya mancur kumilat, tumeja ngunguwung, punapa inggih punika, wernining dat kang pinrih dipun-ulati, kang sayektining rupa.
Anauri aris Dewaruci, iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambeg kabeh, tan kena sira dulu, tanpa rupa datanpa warni, tan gatra tan satmata, iya tanpa du/nung, mung dumunung ingkang ngawas, mung sasmita aneng jagat angebeki, dinumuk datan ana.
Dene iku kang sira tingali, kang ngasawang puputran mutyara, ingkang kumilap cahyane, kang kara-kara murub, pan premana arane nenggih, uripe kang sarira, pramana puniku, tunggal aneng ing sarira, nanging datan milu sungkawa prihatin, enggone aneng raga.
Datan milu mangan turu nenggih, iya nora milu lara lapa, yen iku pisah enggone, raga kari ngalumpruk, yekti lungkrah badan puniki, ya iku kang kuwasa, nyandhang rahsanipun, ing-uripan dening Suksma, iya iku sinung sih sinandhang ngurip, ing-aken rahsaning dat.
Iku sinandhangken ing sireki, nanging kadya simbar neng kakaywan, ananira raga gone, uriping pramaneku, ing-uripan ing Suksma nenggih, misesa ing sarira, pramana puniku, yen mati milu kaleswan, lamun ilang suksmaning sarira nuli, uriping Suksma ana.
Sirna iku iya kang pinanggih, urip ing Suksma ingkang sanyata, kaliwat tan upamane, lir rasaning kemumu, kang pramana amra tandhani, tuhu tunggal pinongka, jinis tyas puniku, umatur sang Werkodara, inggih pundi warneninpun kang sayekti, Dewaruci ngandika.
Nora kena iku kang sira prih, lawan kaanan samata-mata, gampang angel pirantine, Werkodara umatur, kula nuhun pamejang malih, inggih kedah uninga, babar pisanipun, pun patik ngaturken pejah, ambencana anggen-anggen ingkang pasthi, sampun tuwas kangilan.
Yen mangkaten kula boten mijil, sampun eca neng ngriki kewala, boten wonten sangsayane, tan niyat mangan turu, boten arip boten angelih, boten ngraos kangilan, boten ngeres linu, amung nikmat lan manpangat, Dewaruci lingira iku tan keni, yen nora lan antara.
Sangsaya sihira/Dewaruci, marang sang kaswasih ing panedha, lah iya den-awas bae, mring pamurung ing laku, aywa ana karemireki, den-bener den waspada, ing anggepireku, yen wus kasikeping sira, aywa umung den ngonggo parah yen angling, yeku reh pipingitan.
Nora kena yen sira rasani, lan sasama samaning manusa, yen nora lan nugrahane, yen ana sedya padu, angrasani rarasan iki, ya teka kalahana, aywa kongsi banjur, aywa ngadeken sarira, aywa kraket mring wisayaning ngaurip, balik sikepen uga.
Kawisayan kang maring ing pati, den ka-asta pamantheng ing cipta, rupa ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip nora nana nguripi, datan antara mongsa, iya ananipun, pan wus ana ing sarira, tuhu tunggal sasana lawan sireki, tan kena pisahena.
Datan wande praptanira uni, tunggal sang ngaker/tining bawana, pandulu pamiyarsane, wus aneng ing sireku, pamirsaning Suksma kang yekti, iya tan lawan karna, ing pandulunipun, iya tan kalawan netra, netranira karnanira kang kinardi, anane aneng sira.
Lahir ing Suksma aneng sireki, batining Suksma kang ana sira, iya mengkono tatrape, kadya wraksa tinunu, ananing kang kukus ing geni, sarta kalawan wraksa, lir toya lan alun, kadya menyak aneng puwan, raganira ing reh obah lawan mosik, iya sarta nugraha.
Yen wruh pamoring kawula gusti, sarta suksma kang sinedya ana, de warnaneng sira gone, lir wayang sarireku, saking dhalang solah ing ringgit, kang mongka panggung jagat, kelir badan iku, apolah lamun pinolah, sasolahe kumedhep myarsa ningali, tumindak lawan ngucap.
Kawi/sesa amisesa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa warnane, wus aneng ing sireku, upamane paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku,kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging kawula iki, rupa sajroning kaca.
Lewih gengnya kalepasan iki, lawan jagad gedhe kalepasan, kalawan luwih lembute, salembutan ing banyu, apan lembut kamuksan ugi, lewih alit kamuksan, saha liting tengu, pan maksih alit kamuksan, lire luwih amisesa ing sakalir, lire ageng alitnya.
Bisa nuksma ing lembut lan alit, kalimputan kabeh kang rumangkang, gumermet iya tan pae, kaluwiyan satuhu, luwih dennya ingkang nampani, tan kena ngandelena, ing warah lan wuruk, den sanget panguswanira, badanira wasuhen pragnyana ngukih, wruha rungsiting tingkah.
Wuruk iku pan minongka wiji, kang winuruk pan minongka papan, pama kacang lan kadhele, sinebarna / ing watu, yen watune datanpa siti, kodanan kapanasan, pesthine tan cukul, lamun sira wicaksana, tingalira sirnakna ananireki, dadi tingaling Suksma.
Rupanira swaranira nuli, ulihena mring kang duwe swara, jer iku ing aken bae, sisilih kang satuhu, nanging aja duwe sireki, pakareman kang liya, maring Sang Hyang Luhur, dadi sarira Pangeran, obah mosikira iku dadi siji, ja roro anggepira.
Yen dadiya anggepira yekti, yen ana ngrasa roro misih was-was, kena ing rengu yektine,yen wus siji sawujud, sakarenteg ing tyas sayekti, apa cinipta ana, kang sinedya rawuh, wus kawengku aneng sira, jagad kabeh jer sira ing-aken yekti, gagenti den-asagah.
Yen wus mudheng pratingkah kang iki, den-awingit sarta den-asasat, sasat pamor panganggone, nanging ing batinipun, ing sakedhep tan kena lali, lahire sasabana, kawruh patang dhapur, padha anggepen sadaya, / kalimane kang siji iki pramati, kanggo ing kene kana.
Liring mati sajroning ngaurip, iya urip ing sajroning pejah, urip bae salawase, kang mati iku nepsu, badah lahir ingkang nglakoni, kataman badan nyata, pamoring sawujud, pagene ngrasa matiya, Werkodara tyasira padhang nampani, wahyu prapta nugraha.
Lir sasongka tawengi mariris, praptaning wahyu ngima nirmala, sumilak ilang regede, angling malih tulya rum, Dewaruci manis aririh, tan ana aji paran, kabeh wus kawengku, tan ana ing-ulatana, kadigdayan kaprawiran wus kawingking, kabeh reh ing ayuda.
Telas wulangira Dewaruci, Werkodara ing tyas wus tan kewran, wruh namane ing dheweke, ardaning swara muluk, tanpa elar anjajah bangkit, sawengkon jagattraya, uga wus kawengku, pantes pamatining basa, saenggane sekar maksih kudhup lami, mangkya mekar ambabar.
Wuwuh warnane lan gondaneki, wus kena kang / ponca retna medal, saking ing guwa garbane, wus salin alamipun, angulihi alame lami, Dewaruci wus sirna, mangkana winuwus, tyasira sang Werkodara, lulus saking gandaning kasturi jati, papaning tyas wus sirna.
Wus leksana salekering bumi, ujar bae wruh patakanira, niring wardaya mungguh, kadyanggane ngangge sutra di, maya-maya kang srira, rehnya kang sarwa lus, sinukma mas ing-emasan, arja sotya-sinotya manik-minanik, wruh paekaning tingkah.
Mila sumping bra puspa kirnadi, winarnendah kintaki sumekar, kasturi jati namane, pratondha datan korop, ing pangwikan kenaka lungit, angungkabi kabisan, kawruh tan kaliru, poleng bang bintulu lima, pan winarna guraga wilet tulya sri, lancingan kampuhira.
Mongka pangemut katoning nguni, tiga katon sajroning kang garba, Dewaruci pamengete, bang kuning ireng iku, pamurung ing laku ngadhangi, kang aputih ing tengah, sidaning pangangkuh, kalimeku kang ginambar, wus kaasta / sanalika aywa lali, ulun tuhu ambegnya.
Saking sanget ing karya ling-aling, pambungkasing sumungah jubriya, kaesthi siyang dalune, pan kathah dennya ngrungu, pratingkahe kang para resi, kang sami kaluputan, ing panganggepipun, pangancaping kawruhira, wus abener wekasan mati tan adi, kawileting tatrapan.
Ana ingkang mati dadya peksi, amung milih pencokan kewala, kayu kang becik warnane, angsana naga-santun, tanjung ana ingkang waringin, kang nganeng pinggir pasar, ekuk mangkruk-mangkruk, angungkuli ing sapasar, pindha-pindha kamukten angsale pinrih, kasasar kabelasar.
Ana ingkang anitis pra ji, sugih raja brana miwah garwa, ana kang milih putrane, putra kang ngarsa mengku, karemane kaluwiyan, ing panitisipun, yen mungguh sang Werkodara, dereng ngarsa amung ngamrihi pribadi, sadayeku ing-aran.
Tibaning kang pana kang tan pasthi, durung jumeneng janma utama, ingkang mengkono anggepe, pangrasane a/nemu, suka sugih tan wruh ing yekti, yen nuli nemu duka, kabanjur kalantur, sanggone nitis kewala, tanpa wekas kangilan tan nemu kasil, tan bisa babar pisan.
Yen luputa anyakra-bawani, iya pakareman duk ing kuna, ing pati maring tibane, ing kono tibanipun, nora kuwat sarenging pati, keron pan kasamaran, mangsah wowor sambu, abote olah kamuksan, nora kena tolih bapa anak rabi, sajroning mrih wekasan.
Yen luputa patakaning bumi, leneng  biyen aywa dadi janma, sato gampang pratingkahe, sirnane tanpa tutur, yen wus aris bener ing kapti, langgeng tanpa karana, nongga buwaneku, umeneng tan kadya sela, anengira yen ta nora kadya warih, wrata tanpa tuduhan.
Len ing pandhita ana nganggepi, ing kamuksan nenggih peksanira, anjungkung kasutapane, nyana kena den-angkuh, tanpa tuduh mung tapa neki, tanpa wit puruhita, suwung angaruwung, mung temen kaciptanira, durung ngantuk pratikel wuruk kang yekti, pratingkah lalawara.
Tapa/nira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan, datanya tutur sirnane, kamatengen tanpa wuk, de pratikel ingkang lestari, tapa iku minongka, raragi pan amung, ngilmu kang minongka ulam, tapa tanpa iya ngilmu nora dadi, yen ngilmu tanpa tapa.
Cemplang-cemplang nora wurung dadi, angsal nora kawilet tatrapan, kacagak sagung bekane, sayekti dadosipun, apan akeh pandhita sandi, wuruke sinatengah, marang sabatipun, sabate landhep priyongga, kang linempit winedhar raose nuli, ngaturken gurunira.
Pamedhare mung grahitaneki, nguni-uni durung mambu warah, saking tan eca manahe, aturing gurunipun, langkung ngungun manut ngugemi, sinemantaken marang, pandhita gung-agung, wus pasthi anggep kang nyata, iku wahyu nugraha tiba pribadi, sabat ing-aku anak.
Sinungga-sungga anggung tinari, marang guru yen arsa mamejang, tan tebih sinandhing gone, sabat kang temah guru, guru dadya sabat ing ba/tin, lepasing pangrahita, tanduk sarta wahyu, yeku utama kalihnya, kang satengah pandhita durung sayekti, kaselak pangakunya.
Kudu tinut saujare sami, dene akeh lumaku sinembah, neng pucaking gunung gone, swaranira anguwuh, angebeki patapaneki, yen ana wong kang marak, wekase abikut, lir gubar beri tinatap, kumerampyang binuka datanpa isi, tuna kang puruhita.
Aja kaya mengkono ngaurip, badan iki dipun-dadya wayang, kinudang neng panggung gone, harja tatali bayu, padhang ingkang panggungireki,  damar raditya wulan, kelir ngalam suwung, kang anongga-nongga cipta, debog bumi tetepe adeging ringgit, sinongga mring kang nanggap.
Kang ananggap aneng dalem puri, datan mosik pangulah sakarsa, myang pramana dhadhalange, wayang pangadegipun, ana ngidul angalor tuwin, mangkana kang sarira, ing sasolahipun, sinolahaken ing dhalang, lumaku yan linakoken lembeh neki, linembehken ing dhalang.
Pangucape / ing-ucapken nenggih, yen kumilat kinilatken iya, tinutur anuturake, sakarsa-karsanipun, kang anon lon pinolah sami, tinonaken ing dhalang, kang anganggap iku, sajagad mongsa na wruha, tanpa rupa kang ananggap neng jro puri, tanpa warna Hyang Suksma.
Sang Bramana denira angringgit, ngucapaken ing sariranira, tanpa wekas ing sanane, wibuh pan nora tumut, ing sarira upama neki, kang menyak munggweng puwan, geni munggeng kayu, anderpati tan katedah, kang pramana lir geseng ing kayu panggrit, landhesansama wreksa.
Panggritane molah dening angin, gesenge kayu kukuse medal, datan antara agnine, geni kalawan kukus, saking kayu wijile sami, wruha eling duk kala, mula-mulanipun, kabeh iki kang gumelar, pan saking eb manusa tinitah lewih, apan ing-aken rahsa.
Mulya dhewe sagung kang dumadi, aja mengeng ciptanira tunggal, tunggal sa/paribawane, isining buwaneku, anggep siji manuswa jati, mengku sagung kahanan, ing manusa iku, den wruh wisesaning tunggal, anuksmani salwiring jagad dumadi, tekat kang wus sampurna.
Wus mangkana Werkodara mulih, wus tan mengeng ing batin gumawang, nora pangling sarirane, panukmaning sawujud, nanging lahir sasat piningit, reh sareh kasatriyan, linakon winengku, pamurwaning jagat traya, kalahiran batine nora kasilih, satu munggeng rimbagan.

Senin, 27 Agustus 2012

> AJARAN RMP SOSRO KARTONO

” Ing donya mung kebak kangelan,
sing ora gelem kangelan aja ing donya. “

” Di dunia penuh dengan kesusahan, yang tidak mau susah jangan di dunia. “

Sekilas Biografi

Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Semenjak kecil beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai kemampuan membaca masa depan.

Kakak dari ibu kita Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.

Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan. Selama perang dunia ke I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada Koran New York Herald dan New York Herald Tribune. Kemudian, setelah perang usai, beliau menjadi penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi, bekerja sebagai ahli bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan akhirnya beliau hijrah ke Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26 bahasa, beliau bekerja sebagai penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.

Sampai suatu ketika terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun. Anak itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.

Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs. R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.

Beliau kecewa, karena di sana beliau hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya. Di tanah airnyalah beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di indonesia, beliau bertempat tinggal di Bandung, beliau menjadi sang penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani maupun rohani.

Di Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal yang cendekiawan di mana saja, bahkan beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah pisang.

Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.

Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.

Mandor Klungsu

“… para Pangeran ingkang sesami rawuh perlu manggihi pun Klungsu, …”

“… para pangeran yang berdatangan perlu menemui si Klungsu, …”

“Salam alaikum, Kula pun Mandor Klungsu.”

“Salam alaikum, Saya si Mandor Klungsu.”

“Taklimi pun Mandhor … Pak Klungsu.”

“Taklimnya Mandhor … Pak Klungsu.”

“Salam taklimipun lan padonganipun. Pak Klungsu.”

“Salam taklimnya dan do’anya. Pak Klungsu.”

Kutipan- kutipan di atas menunjukkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono menyebut dirinya sebagai “Mandor Klungsu”.

Klungsu artinya biji asam, bentuknya kecil tapi keras (kuat) yang ketika ditanam dan dirawat sebaik-baiknya, maka akan menjelma sebuah pohon yang besar-kekar, berdaun rimbun dan berbuah lebat.

Bukan sekedar biji buah asam, melainkan kepala/pimpinannya.

Pohon asam mulai dari pohon sampai bijinya, semua dapat dimanfaatkan. Selain itu, mempunyai sifat kokoh dan tegar.

Ketika melihat kiprahnya sehari-hari, maka beliau hanya seorang Mandor, Mandor Klungsu, yang harus menjalankan perintah Sang Pimpinan (Tuhan), serta mempertanggungjawabkan semua karyanya selama itu kepada Tuhannya.

“Kula dermi ngelampahi kemawon.”

Maksudnya, “Saya hanya menjalankan saja.”

“Namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti.”

Maksudnya, “Saya hanya mencari sesuatu yang baik, semuanya saya serahkan kepada Tuhan.”

“Kula saged nindhakaken ibadat inggih punika kuwajiban bakti lan suwita kula dhateng sesami.”

Maksudnya, “Saya bisa menjalankan ibadah, yaitu kewajiban berbakti dan pengabdian saya kepada sesama.”

Jaka Pring

“… Nyuwun pangestunipun para sedherek dhumateng pun Djoko Pring.”

“… mohon do’a restunya saudara-saudara untuk si Jaka Pring.”

“Saking Ulun, Djoko Pring.”

“Dari saya, Jaka Pring.”

Selain untuk dijadikan nama, Drs. R.M.P Sosrokartono juga pernah menuliskannya sebagai berikut:

“Pring padha pring

Weruh padha weruh

Eling tanpa nyanding.”

Artinya, “Bambu sama-sama bambu, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat.”

Versi lain berbunyi:

“Susah padha susah; seneng padha seneng; eling padha eling; pring padha pring.”

Artinya, “Susah sama-sama susah; senang sama-sama senang; ingat sama-sama ingat; bambu sama- sama bambu.”

Jaka adalah jejaka/laki-laki yang belum (tidak) menikah dan Pring adalah bambu.
Pohon bambu adalah pohon yang sekujur tubuhnya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkepentingan dengannya. Pohon Bambu dapat dimanfaatkan untuk membuat rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, pagar, sampai atap-atapnya. Bukankah orang-orang dahulu menjadikan daun bambu sebagai genteng rumah mereka? Ranting-rantingnya dapat dijadikan kayu bakar atau pagar. Bambu dapat digunakan untuk membuat balai-balai, sangkar, keranjang, tempayan, tembikar, kursi, dll. Cikal bakal dari pohon bambu dapat dimanfaatkan untuk sayur/dimakan. Yang jelas, semuanya dapat dimanfaatkan, semuanya dapat difungsikan atau dibutuhkan sesuai kehendak orang yang bersangkutan.

Satu hal lagi, jenis bambu itu bermacam-macam. Sesuai dengan hajat seseorang dalam memfungsikan bambu, maka ia mempunyai pilihan terhadap jenis bambu yang mana ia butuhkan. Apakah bambu pethung, bambu ori, bambu wuluh, bambu apus dan lain sebagainya.

Kutipan di atas juga mengutarakan bahwa, apapun jenis kita, bangsa kita, agama kita, ras, warna kulit, perbedaan bahasa dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama tahu, sama-sama manusia.
Apapun jenis, warna dan bentuknya bambu, tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama belaka. Manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah sama. Seperti ketika beliau melakukan perjalanan ke luar Jawa, kemudian beliau bertemu oleh sekian jenis manusia dengan status sosial yang berbeda. Bagi beliau, semua manusia disejajarkan. Sikap egalitarisme tetap dijaga dan dilestarikan.

Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun dan di manapun, ingat akan keterciptaan, teringat akan sesama, saling mengingatkan dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pemurah. Ketika manusia itu ingat kepada Tuhannya, maka Tuhanpun akan ingat kepadanya.

Guru Sejati

“Murid, gurune pribadi

Guru, muride pribadi

Pamulangane, sengsarane sesami

Ganjarane, ayu lan arume sesami.”

Artinya, “Murid gurunya diri pribadi. Guru, muridnya diri pribadi. Tempat belajarnya/pelajarannya, penderitaan sesama. Balasannya, kebaikan dan keharuman sesama.”

Untaian itu mengandung pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru dan diri seseorang itu sendiri menjadi murid, murid dari guru sejati.
Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.

“Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang.”

Artinya, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”

“Tansah anglampahi dados muriding agesang.”

Artinya, “Selalu menjalani jadi murid kehidupan/sesama hidup.”

Kehidupan itulah sang guru, karena kehidupan itu juga mengajarkan kepada kita.

Sang Alif

“… Ping kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang Alif punika inggih kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon, lajeng dipun tilar kados mepe rasukan).”

Artinya, “Yang keduanya perlu membuka dan mengatur tempat untuk memasang Alif. (Memasang Alif itu harus dengan sarana penghayatan. Tidak boleh hanya dicantolkan begitu saja, lalu ditinggal layaknya menjemur pakaian.)

“Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …”

Maksudnya adalah mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup.

Diungkapkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu :

Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih.
Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda.
Sand Alif warna putih, dengan dasar merah.
Ketika melayani dan mengobati orang-orang yang sakit, Drs. R.M.P. Sosrokartono selalu berdiri. Beilau kuat sekali berdiri berjam-jam atau berhari-hari. Setelah mengobati orang-orang sampai pukul 12 malam, Dar-Oes-Salam ditutup. Namun beliau tidak langsung tidur, beliau seringkali bermain catur sampai jam 3, 4 pagi, itupun beliau lakukan sambil berdiri.

Kanthong Bolong

“Nulung pepadhane, ora nganggo mikir

wayah, wadhuk, kanthong.

Yen ana isi lumuntur marang sesami.”

Artinya, “Menolong sesama, tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku) berisi mengalir kepada sesama.”

Dengan demikian, maksud dari “Ilmu Kanthong Bolong” adalah sebuah pengetahuan konkrit tentang sebentuk tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu tak pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada, karena tempat itu berlobang, maka apapun yang ditaruh di sana selalu mengalir, sehingga menjadi kosong dan sunyi dari apa saja.

“Nulung tiyang kula tindakaken ing pundi-pundi, sak mangsa-mangsa, sak wanci-wanci.”

Maksudnya, menolong orang itu dilaksanakan di mana-mana, sewaktu-waktu, kapan saja.

Sugih Tanpa Bandha

“Sugih tanpa bandha.

Digdaya tanpa hadji.

Ngalurug tanpa bala.

Menang tanpa ngasoraken.”

Artinya, “Kaya tanpa harta. Sakti tanpa azimat. Menyerang tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.”

Demikianlah kata-kata mutiara yang tertera pada salah satu batu nisan makam Drs. R.M.P. Sosrokartono di Sidhomukti Kudus.

Ajaran Drs. R.M.P. Sosrokartono ini tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka yang berharta. Tapi sesungguhnya, kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang yang kaya hatinya, yang kaya mentalnya.

“Puji kula mboten sanes namung sugih-sugeng-seneng-ipun sesami.”

Maksudnya, si miskin akan akan tetap jadi miskin atau makin miskin karena bermental miskin.

Bukankah orang kaya itu orang yang sudah tak lagi membutuhkan sesuatu, karena semuanya telah terpenuhi? Meskipun anda tak berharta, tapi anda sudah merasa cukup dengan apa yang anda dapatkan di dunia ini, maka andalah orang kaya itu. Sebaliknya, meskipun anda banyak berharta, tapi anda masih menginginkan dan membutuhkan sesuatu yang begini dan begitu, maka anda bukanlah orang kya, karena anda masih fakir (butuh) dan kebutuhan anda belum tercukupi.

Digdaya Tanpa Aji

“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”

Artinya, “Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya keadlan Tuhan.”

Perbuatan taat dan meninggalkan maksiat itulah sumber energi yang dapat membuat seseorang sakti mandraguna, disamping kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari perintah nafsu yang buruk.

Rumusan beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :

Tekad
Tekad adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya. Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih mengarah pada sikap tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang dicapaipun menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata psikis dalam menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu tekad dapat dijadikan ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji tekad” tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu kanuragan dahulu, tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam keberanian, kepasrahan, keadilan dan niat yang baik dalam diri.

Pasrah
Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.

Keadilan
Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.

Ketika keadilan-Nya telah berbicara, maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan telah menjadi ucapan seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran dan kebaikanlah yang diperolehnya.

“Tanpa aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula.”

Artinya, “Tanpa ajian, tanpa ilmu (kanuragan), saya tidak takut, sebab payung atau pelindung saya adalah Tuhan dan perisai saya juga hanya Tuhan.”

Bertempur Tanpa Pasukan

“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.

Sesungguhnya musuh manusia adalah setan, baik setan manusia maupun setan jin, maka kepada keduanyalah manusia harus melakukan perlawanan. Sekali lagi, setan-setan itulah yang harus dilawan, diperangi, dan kalau bisa, dimusnahkan saja. Dengan bekal teksd dan keberanian yang suci, maka tak ada yang tak dapat dihancurkan, karena semua mahluk akan binasa kecuali Dzat-Nya.

Kasih sayang dapat melunakkan musuh, dapat menolong, dapat dijadikan pelindung, dan dengan tekad asih, kita tidak akan merasa takut terhadap siapapun dan apapun.

“Ingkang kula dalaken dede tekad pamrih, ananging tekad asih.”

Artinya, “Yang saya pergunakan bukan tekad pamrih, tapi tekad asih.”

“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman; Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang.”

Maksudnnya, mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang tanpa pedang.Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan, pertarungan, atau kekerasan.

Yakinlah bahwa orang yang berjalan dengan membawa cinta kasih kepada sesama mahluk akan senantiasa mendapatkan pertolongan dan perlindungan Tuhan.

Meskipun manusia tidak mencari masalah atau musuh, permasalahan atau musuh itu datang dengan sendirinya dan akan meniupkan gangguan-gangguan. Akan tetapi, permasalahan dan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Tekanan batin, penderitaan mental, atau nafsu-nafsu kotor yang menghuni lembah diri kita itulah permasalahan dan musuh kita yang berat lagi membahayakan, karena tak tampak tetapi dapat kita rasakan.

Nafsu-nafsu jahat yang menghuni diri manusia bermacam-macam. Nafsu-nafsu itulah yang pada umumnya membuat manusia menjadi sombong, kikir, dengki, jahat dan segala bentuk sifat buruk sering bercokol dalam dirinya, sehingga kehinaan dan kenestapaanlah yang diperoleh, bukan kemuliaan dan keselamatan. Maka, sangat elegan jika Drs. R.M.P. Sosrokartono mencetuskan rumusan “Ngalurug tanpa Bala” yang mempunyai muatan ajaran spiritual dalam rangka menghalau segala bentuk keburukan yang ada didalam diri manusia, supaya manusia tidak menjadi hina, karena barang siapa yang dikalahkan dengan hawa nafsunya maka kehinaanlah yang akan bersanding mesra dengannya.

Trimah Mawi Pasrah

“Trimah mawi pasrah.
Suwung pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng mantheng sugeng jeneng.”

Artinya, “Menerima dengan pasrah. Tiada pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat, bahagia bertakhta.”

Konsep “trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa yang pernah beliau katakan di bawah ini :

“Ikhlas marang apa sing wes kelakon.

Trimah apa kang dilakoni.

Pasrah marang apa bakal ana.”

Artinya, “Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah terhadap apa yang akan ada.”

Jadi, selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah juga bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak karena ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah terjadi, biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat disukai oleh Tuhan.

“Trimah mawi Pasrah” juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.

Suwung Pamrih Tebih Ajrih

” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “

Artinya, ” … Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya serahkan kepada Tuhan … “

“Yen kula ajrih, kenging dipun wastani ngandut pamrih utawi ancas ingkang boten sae.”

Artinya, “Jika saya takut, boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih atau niat yang tidak baik.”

“Luh ingkang medal sangking manah punika, dede luh ipun tangis pamrih, nanging luh peresanipun manah suwung pamrih.”

Artinya, “Air mata yang keluar dari hati ini, bukanlah air matanya tangis pamrih, tetapi air mata perasan hati yang kosong pamrih.”

Ketika anda menangis, menangislah karena syukur dan ikhlas, bukan karena menginginkan imbalan yang tak kunjung tiba. Apalah artinya menantikan imbalan, jika semua yang ada tak mengizinkan. Apalah artinya tangisan hanya gara-gara ingin dipuji, dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh dari kita. Yang terpenting adalah kedamaian, ketentraman, aman, kebahagiaan dan kemuliaan.

Pamrih itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan, bahkan dapat membuat orang menjadi hina.

Apalah artinya berpegang kepada kesementaraan, jika di alam baka kita dicambuk derita ?!

Padhang Ing Petheng

” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “

Artinya, “Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan, ribuan juta contohnya.”

Apa saja yang ada di dunia ini relatif. Di bumi ini selalu ada dualisme, seperti padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya. Demikianlah yang namanya kehidupan. Peteng terus itu tidak ada. Padhang terus juga tidak ada. Seneng terus itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak ada. Oleh karena itu, yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini. Dengan adanya panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa merasakan sehat. Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk.

Hujan dan panas, keduanya dibutuhkan dalam kehidupan ini. Kalau orang tidak mau peteng dan selalu ingin yang padhang saja, apa jadinya dunia ini? Kapan kita istirahat, kapan kita tidur? Kalau peteng terus, apa saja yang semula tumbuh pasti mati. Sebab tidak terkena sinarnya matahari. Kalau panas terus, bumi ini akan kering kerontang, kematian akan tersebar di muka bumi. Kalau hujan terus, pasti terjadi banjir di mana-mana. Daratan akan tenggelam, kelaparan melanda dunia disertai kematian umat manusia. Dimana-mana yang ada cuma air! Apa jadinya bumi ini?

Senang dan sengsara harus diterima seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa manfaat dan didalamnya ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau terbelenggu oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah. Jika kesenangan datang, sambutlah. Mengapa? Supaya hidup ini dapat dijalani dengan tenang.

Di manapun anda temukan kegelapan, maka terangilah. Di manapun anda temukan kesengsaraan, maka berilah kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu, karena berjuta-juta yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.

Catur Murti

Catur itu empat, sedangkan Murti itu penjelmaan. Jadi yang dimaksudkan adalah empat yang dijelmakan menjadi satu. Menurut Aksan, Catur Murti adalah bersatunya empat faal, yaitu pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan.

Berawal dari keinginan atau kehendak (perasaan), itulah yang menyebabkan berpikir dan tindak lanjutnya adalah berkata, terakhir berbuat. Pikiranlah yang mendorong kita untuk berkata maupun berbuat. Sekarang tergantung kepada pikirannya. Kalau pikirannya baik/benar, maka akan mengeluarkan kata-kata yang baik/benar. Kalau pikirannya baik/benar, akan mendorong untuk berbuat baik/benar. Jika pikirannya jahat/tidak benar, akan mendorong orang untuk berkata yang jahat dan berbuat jahat.

Kebencian jangan diberi kesempatan untuk merajalela di alam pikiran kita. Kita harus menjinakkan kebencian yang ada di dalam pikiran kita, kemudian kita pudarkan atau kita kecilkan, agar pikiran jahat itu dapat kita hilangkan. Kalau sudah begitu, jangan diingat-ingat lagi orang yang pernah membuat anda jadi benci. KAta-katanya, perilakunya, jangan diingat lagi. Dengan berjalannya waktu, anda akan melupakan itu semuanya. Berterima kasihlah kepada Tuhan, karena anda dikaruniai sifat lupa, kalau anda tidak diberi lupa, maka anda akan ingat segala-galanya, apakah anda tidak bertambah pusing?

Ada kalanya kita menggunakan pikiran yang baik, namun masih dianggap kurang cukup. Menggunakan perasaan yang baik pun masih ada kekurangannya.

Sebagai contoh : Anda sedang berjalan dengan seorang teman. Kebetulan teman itu tidak punya uang sama sekali. Dan sama-sama lapar, tetapi uang anda hanya Rp 2000. Anda mampir di warung, nasi satu piring Rp 2000. jadi yang makan hanya anda sendiri. Sebab, uang itu adalah uang anda sendiri dan anda sangat lapar. Teman anda menunggu sambil berdiri, di luar warung. Sampai hatikah anda berbuat begitu?

Contoh lainnya : Uang Rp 2000 anda berikan kepada teman anda, teman anda yang makan. Anda hanya duduk saja di dalam warung, sambil mengamati teman anda yang sedang menikmati makanannya.

Pada contoh yang pertama, anda egoistis. Sekalipun berpikir benar. Pada contoh yang kedua, anda adalah orang gila yang baik hati. Sekalipun berperasaan benar. Nah, coba anda mencari makanan yang harganya Rp 1000 saja. Anda dan teman anda sama-sama dapat makan. Anda makan tidak kenyang, tetapi sudah makan. Teman anda tidak kelaparan. Jadi sebelum anda berbuat, pikiran yang benar harus diselaraskan dengan perasaan yang benar. Artinya, ada unsur penyelarasan. Dengan begitu, dalam konteks tersebut, perbuatan anda adalah “Perbuatan benar”.

Dengan demikian, Catur Murti itu merupakan kesatuan, tidak boleh dipisahkan, jangan ambil protholannya saja, ambillah kesatuannya, keseluruhannya. itu baru namanya Catur Murti. Selain itu, Catur Murti bukan hanya sekedar dihafalkan, tapi harus dihayati dan diamalkan. Berlatih Catur murti tanpa berhenti, baru ada manfaatnya. Sehingga menyatu dengan jiwa kita, sehingga kita terbiasakan untuk berpikir benar, berperasaan benar, berkata benar dan berbuat benar. Dalam situai dan kondisi apapun reaksi kita jadi cepat dan dalam mengambil keputusan bisa dengan tepat dan benar.

Tuhan telah memberi kita 2 buah mata, 2 buah telinga dan 1 mulut. 2 buah mata, artinya banyak-banyaklah melihat. 2 buah telinga, artinya banyak-banyaklah mendengar. 1 buah mulut, kalau tidak perlu sebaiknya ditutup. Sebab mulut adalah pintu gerbang yang mendatangkan bahaya.

Benci (kebencian)
Hidup ini jadi tegang dan gelisah. Kebencian dapat melahirkan dendam. Dendam dapat melahirkan ketidaktenangan. Gelisah dan gundah gulana itu juga akibat dari sebuah kebencian.

Serakah
Keserakahan menyebabkan hati kita tertutup. Hati yang tertutup tidak dapat melihat kepentingan orang lain, tidak dapat merasakan penderitaan orang lain. Yang dipikirkan hanya kepentingan, kesenangan dan keselamatan dirinya sendiri.

Iri Hati
Orang yang iri hati selalu merasa tidak senang, jika orang lain senang. Ia tidak merasa bahagia kalau orang lain bahagia. Ia merasa kecil hati melihat orang lain sukses. Orang yang iri hati itu hatinya kerdil, karena ia tidak mau menerima kenyataan dengan lapang dada atau mengakui kesuksesan orang lain, kegembiraan orang lain, kebahagiaan orang lain. Orang iri hati cepat sekali untuk memfitnah orang, menggunjing atau menjelekkan orang lain yang sukses.

Fitnah
Selama kita benar, jangan takut terhadap fitnah. Kalau kita tak berbuat yang neko-neko, kita merasa benar, tak perlu memikirkan fitnah itu. Biarkan saja, diamkan saja dan hadapi dengan kesabaran.

Bodoh (kebodohan)
Bilamana kita sedang marah, sedang membenci, sedang iri hati, sedang serakah, pada saat itu kita dalam keadaan bodoh, yang artinya tidak punya kemampuan untuk mengendalikan diri/lepas kontrol. Saat itu pikiran kita jadi gelap, tidak sadar, tidak bijaksana, kita jadi bodoh (tidak seperti biasanya, cerdas, bijaksana). Karena bodoh, ada kemungkinan kita memukul atau membunuh tanpa kesadaran. Melakukan hal-hal membahayakan untuk diri sendiri dan orang lain, dan kita pun menderita lahir batin. Kita baru sadar, setelah itu semua terjadi. Kesadaran yang datangnya terlambat.

Mutiara-mutiara

“… Kula badhe nyobi prabotanipun wong lanang, inggih punika: bares, mantep, wani. …”

“… Saya akan mencoba identitas seorang lelaki, yaitu: jujur, mantab, wani …”

“Boten kenging tiyang jaler ngunduri utawi nyingkiri bebaya utami, saha cidra dhateng pengajeng-ajeng lan kepercadosipun sesami.”

Intinya, seorang pemberani jangan takut menghadapi apapun..

“Yen kapergok aja mlayu.”

..dan jika bertemu suatu bahaya, jangan lari. (Bertanggungjawab)

“Ing donya mung kebak kangelan, seng ora gelem kangelan aja ing donya.”

“Di dunia penuh dengan kesusahan, yang tidak mau susah jangan di dunia.”

“Ajinipun inggih boten sanes naming aji tekad, ilmunipun ilmu pasrah, rapalipun adiling Gusti.”

Intinya, tak perlu mempelajari ajian-ajian, cukup dengan tekad yang baik, dengan kepasrahan yang benar dan selalu berlindung di bawah sifat adil tuhan.

“Kula bade ngukur dedeg kula, nimbang botin kamantepan, njajagi gayuhanipun budi.”

Intinya, di dalam sebuah pengembaraan, sebaiknya seseorang juga perlu mempertimbangkan keyakinan yang dimilikinya dan mendalami raihan budi. Sejauh mana keyakinan dan raihan budinya, dapat dilihat setelah seseorang menjalani pengembaraan, karena di sanalah kedua hal tersebut dapat teruji dan terbukti.

“Pakerti asor numusi anak putu lan mbekta kasengsarane tiyang katah.”

Intinya, harus tahu bahwa perbuatan atau akhlak yang buruk dapat terwarisi oleh sang anak dan dapat mendatangkan kesengsaraan orang lain.

“Aja dumeh, tepa slira, ngerti kuwalat.”

Intinya, janganlah merasa hebat. Terhadap siapapun harus tenggang rasa. Dan harus tahu kena tuah (semisal hukum karma).

“Wani mengku: anteping ati, kencenging pikir, boboting kekuatane.”

Intinya, kemantapan dan kekuatan hati, pikiran yang kuat atau teguh dan bobotnya kekuatan harus dimiliki.

“Nekad: Kekendelan, ngluwihi kekuatan.”

Intinya, bertekad bahwa kepastian (di dalam diri) itu melebihi kekuatan.

“Dede tekad pamrih, nanging tekad asih.”

Intinya, berdasarkan pada tekad asih, bukan tekad pamrih.

“Tiyang mlampah punika, sangunipun lan gembolanipun satunggal, inggih punika : “maksudipun”.”

Intinya, orang berjalan hanya mempunyai satu bekal, yaitu niat.

“Barang sanesipun saged dipun wastani ngriribedi lan ngrawati lampah, kenging dipun wastani ugi : Ngendoni niyat utawi “ngeker ancas lan tujuning lampah”.”

Intinya, barang lainnya selain niat yang baik, hanya akan menjadi penghalang dan memperberat langkah, dapat juga dinamakan sesuatu yang bisa mengendorkan niat, bisa memutar tujuan perjalanan. Gara-gara mencari sesuatu yang tak jelas, niat seseorang dapat berubah.