Sabtu, 10 September 2011

> Mana yang baik? Beriman atau Berbuat Baik?

Beberapa orang yang saya tanya, akan menjawab bahwa akan lebih baik untuk menjadi orang baik, daripada orang beriman namun tidak baik. Namun, jika itu merupakan sebuah jawaban akhir, saya akan kembali bertanya: lantas, siapa yang hendak menyelamatkan orang baik itu? Dia kan atheis, tidak percaya akan keberadaan Allah, yang pada hakekatnya kita percayai sebagai penyelamat umat manusia. Jika jawaban itu sudah disanggah dengan pernyataan semacam itu, maka kalimat yang hampir bisa dipastikam muncul adalah: yang penting kan, orang itu baik sehingga dia pun melaksanakan apa yang Allah ajarkan, meskipun ia tidak percaya Allah. Lalu, saya sanggah lagi: tetapi, dia kan hidup dengan ketidakpercayaan akan adanya penyelamatan. Mungkinkah ia akan diselamatkan? Selesai perkara.
Akhirnya, saya memutuskan untuk bertanya kepada seorang frater diosis Keuskupan Agung Jakarta. Pertanyaan yang sama, saya lontarkan dalam sebuah perbincangan yang mungkin memakan waktu cukup lama. Jawabannya berbeda dengan yang umumnya saya tanyai perihal hal ini. Menurutnya, akan lebih baik orang beriman namun tidak berbuat baik daripada orang atheis namun berbuat baik. Alasannya sederhana, orang beriman pasti akan percaya kepada Allah, yang nantinya akan menyelamatkan dia. Lagipula, orang beriman pasti memiliki keinginan untuk bertobat, kembali ke jalan yang benar.
Pertanyaan berikut yang saya ajukan kepadanya adalah: namun, kalau orang itu hanya bertobat, berbuat buruk, bertobat, berbuat buruk, apakah ia masih lebih baik daripada orang baik yang atheis tersebut? Jawabannya singkat bahwa: siapapun orang yang beriman dengan sungguh-sungguh, setidaknya masih ada keinginan untuk melakukan perbuatan baik menurut apa yang agamanya ajarkan kepadanya.
Kemudian, ia juga memberikan penjelasan bahwa setidaknya, orang beriman telah mengenal siapa yang hendak menyelamatkannya. Lain halmya jika orang atheis yang tidak mengenal siapa yang hendak menyelamatkannya. Jadi, orang beriman yang tidak berbuat baik itu bisa dibilang memegang tiket lima puluh persen untuk diselamatkan.
Pikiran saya spontan mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan. Jika percaya kepada Allah itu adalah lima puluh persen tiket untuk diselamatkan, maka lima puluh persennya lagi pastilah bagaimana hidup mereka di dunia. Jika hidup mereka baik, maka sudah sepatutnya mereka juga bisa mendapatkan lima puluh persen tiket tersebut. Jika keadaannya seperti ini, maka kedua macam manusia ini akan memperoleh kesempatan yang sama untuk diselamatkan. Yang satu, lima puluh persen dari iman dan yang satu lagi lima puluh persen dari perbuatan baiknya.
Jika saya melihat dari sudut pandang manusia, akan menjadi tidak adil jika kemudian pilihan yang diselamatkan hanya ditujukan kepada orang beriman. Hal ini disebabkan hitung-hitungan di atas kertas, menunjukkan hasil yang seimbang untuk kedua macam manusia ini.
Kemudian, saya menanyakan hal ini kepadanya. Dia menertawakan saya karena mulai menyangkutpautkan masalah keadilan dari sudut pandang manusia. Kemudian ia menjelaskan bahwa dari dulu, bangsa Israel dipilih untuk diselamatkan bukan karena mereka berbuat baik, namun karena masih ada sebagian orang yang percaya kepada Allah perihal keselamatan tersebut. Baginya, jika Allah hanya melihat keselamatan tidak berdasarkan iman, maka pastilah bangsa Israel tidak menjadi bangsa terpilih. Ia juga menambahkan bahwa yang penting dari segalanya adalah iman bahwa adanya Allah sebagai penyelamat manusia.
Perbincangan saya dengan frater diosis itu kemudian harus berakhir dengan masih meninggalkan sejuta tanya di benak saya. Sebagai penutup, frater tersebut menambahkan:

Yang paling utama dan terutama adalah bahwa kamu memiliki iman dan kepercayaan bahwa Allah itu ada. Berbeda dengan orang atheis yang tidak percaya kepada Allah, kita percaya bahwa akan ada yang menyelamatkan kita. Jika kemudian saya harus memilih di antara kedua orang ini, saya lebih menghendaki orang beriman namun tidak berbuat baik. Hal ini disebabkan karena orang beriman (mengenal Allah) tentunya akan memiliki kehendak untuk juga berbuat baik untuk menjalankan apa yang diajarkan oleh penyelamatnya.


Lalu, jika kemudian saya kembali menghitung jika orang beriman itu berbuat baik sedikit saja, maka persentase keselamatannya akan naik minimal satu persen. Dengan begitu, mungkin memang benar bahwa akan lebih baik orang beriman namun tidak berbuat baik, sebab pada waktunya dia masih akan mungkin disadarkan untuk berbuat kebaikan berdasarkan apa yang diajarkan oleh Allah meskipun hanya sedikit saja, daripada orang atheis yang tidak mepercayai akan adanya Allah, yang tentunya ia juga tidak akan mengenal siapa yang hendak menyelamatkannya.
Namun, perihal keselamatan, saya pun tidak berani memberikan justifikasi apapun, karena saya, pada akhirnya, disadarkan bahwa sudut pandang keselamatan jangan hanya dilihat dari sisi keadilan manusia saja. Masih ada faktor lain, yakni belas kasih dari Allah sendiri.