Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 54]

“O…”  hela  Syekh Siti Jenar, “…teramat  mudah  menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilak ukan demi menghilangkan nyawa orang?”

 ”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum  penggal dilakukan  bukan untuk menghilangkan nyawa orang!  Ingatlah,  pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”

“Bukankah  pada akhirnya tetap untuk menghilangkan  nyawa  orang?  Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?”

“…tidak…”

“Mengapa  tidak?  Bukankah setelah orang dipenggal  dan  lehernya  putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki  rasa  kemanusian  sama  sekali. Apa bedanya kisanak  dengan  menghargai  binatang ternak yang disembelih?”

 ”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembel ihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari  binatang  sembelihan?”

“Kisanakah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat  manusia?”

“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang  mengerutkan  keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang  mulai  meleleh dari dahinya. “…hingga derjat andika dianggap setingkat  dengan   binatang   sembelihan.   Maka   hukum   penggal    sugah  semestinya…”

“Pangeran,”  desis  Sunan  Geseng.  ”Tidakah  perkataan  Pangeran  terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan  menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?”

 ”Ah,  tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah  sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud  saya  supaya  tersadar  akan  kesalahan  dan  dosa-dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…”

“Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan  kisanak berlebihan…”

“Diam,  Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul  pundak  Syekh Siti Jenar hingga terhuyung.

Bersambung……