Rabu, 07 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 63]

Tubuh telentang dibaringkan di pelataran Padepokan. Berlari menemui rombongan Demak yang berada di atas bukit. Menghampiri Sunan Kudus dengan tasbih di tangan kiri serban serta jubahnya berkelebatan ditiup angin. Pandangannya tertuju ke dinding batu padas.

“Kanjeng,”

“Pangeran?”

“Ketiwasan.”

“Ketiwasan? Bukankah pertarungan masih berlangsung? Hanya sayang mata batin saya tidak sanggup menembus batu padas.”

 ”Maksud saya bukan mereka.”

“Lalu?”

“Dimas Modang, Kanjeng.”

 ”Kenapa dengan dia? Bukankah dari tadi telah menuruni bukit mengikat sambil memukuli gedebog pisang?”

“Dia kini pingsan. Selain berperilaku aneh…” Pangeran Bayat menjelaskan.

“Celaka! Mari kita hampiri!” langkah Sunan Kudus mendahului Pangeran Bayat menuruni bukit.

“Itulah Kanjeng! Dia belum sadarkan diri.” memegang pergelangan tangannya.

“Aneh, Pangeran?” berjongkok.

“Harus segera disadarkan,”

“Ya, tentu.” telapak tangan Sunan Kudus mengusap muka sang pangeran bibirnya komat-kamit.

“Aaaa…apa!” tersentak, sorot matanya beringas beradu dengan sang wali. “Andika Syekh Siti Jenar? Mau membunuh saya?”

“Kanjeng?”

“Pangeran saya juga kurang paham,”

“Andika muridnya Syekh Siti Jenar, mau mengeroyok saya?” bangkit, mundur beberapa langkah, tangan kanannya menggenggam kepala keris yang masih tersarung.

“Kanjeng, tampaknya dia masih belum mengenali kita.”

“Benar,”

“Apa yang harus kita lakukan jika tiba-tiba menyerang?”

“Mundur kalian! Jika tidak akan saya habisi!” keris terhunus dalam genggaman kuat kedua tangannya, diacungkan di depan muka.

“Dugaan saya benar. Dia menyerang,” mundur beberapa langkah, “Haruskah melawanya?”

“Jangan! Dia tidak menyadari akan perbuatannya.”

“Tapi, hait…” berusaha loncat menghindari sabetan keris. “Bagaimana, Kanjeng?”

“Temui Kanjeng Sunan Bonang!”

Bersambung…..