Minggu, 04 September 2011

> Tarekat

SEPERTI syari’at, tarekat (thariqah) berarti jalan, hanya saja kalau yang pertama jalan raya (road), maka yang terakhir adalah jalan kecil (path). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga digunakan kata “suluk” yang artinya jula perjalanan spiritual, dan orangnya disebut “salik.” Tetapi kata tarekat juga dipakai untuk merujuk sebuah kelompok persaudaraan atau ordo spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar seperti ‘Abd al-Qadir Jilani, Sadzili, Jalal al-Din Rumi, dll., dan nama tarekat tersebut biasanya dinisbatkan dengan nama-nama pendirinya, atau julukan yang diberikan oleh para pengikutnya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriyah, Sadzailiyah atau Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan julukan “Mawlana” (Guru Kami) yang diberikan murid-murid Rumi kepadanya.

Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi atau Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju atau mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majazi ataupun hakiki, dalam apa yang disebut sebagai kesatuan mistik (ittihad). Meskipun begitu para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam stasion-stasion (maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal). Perbedaan antara keduanya adalah, sementara maqamat dicapai melalui usaha yang sadar dan sistematis, ahwal adalah keadaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan, sebagai hadiah dari Tuhan, dan umumnya berlangsung relatif cepat dan tidak bertahan lama.

Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang Sufi dalam tarikatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi, misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung falkon (rajawali) yang bisa dengan cepat tiba di tangan sang Raja, sedangkan perjalanan spiritual Farid al-Din ‘Aththar, digambarkan merayap seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan, “Seorang Sufi bermi’raj ke ‘Arsy dalam sekejap; sang zahid perlukan sebulan untuk sehari perjalanan.”

Selanjutnya, walaupun jalan spiritual itu sendiri objektif, dalam arti betul-betul dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan tersebut bersifat subjektif. Dan karena sifat pengalaman mereka subjektif, maka tidak mungkin kita harapkan adanya keseragaman ungkapan atau nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari semua Sufi yang mengalaminya. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda, misalnya, dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya, menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: “Taubat, zuhuz, sabar, faqr, tawadhdhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat,” sementara menurut al-Ghazali maqam-maqam itu adalah sebagai berikut: “Taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah, dan ridha’. Adapun al-Qusyairi memberikan daftar yang berbeda juga urutan-urutannya, sebegai berikut: “Taubat, wara’, zuhud,tawakkal, sabar, dan ridha’.

Selain perlajanan itu digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga beberapa Sufi yang melukiskan perjalanan spiritual mereka secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang yang melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja mereka “Simurgh.” Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah, yaitu lembah pencarian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, kefakiran dan kehancuran (fana’). Ibn ‘Arabi, di tempat lain, melukiskan perjalanan atau pengalaman spiritualnya secara rinci tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya, tetapi menceriterakan dengan gambalang perjalanan manusia dari tingkat inderawi, menuju tingkat imajinal, dan dari dunia imajinasi ke dunia spiritual yang murni. Sekurangnya ada 19 tahap perjalanan yang digambarkan Ibn ‘Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah Shahib al-kKhalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali ke dunia inderawi.

Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat adalah tarekat dalam pengertian sebuah perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari terekat, yakni sebagai persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih dikenal di kalangan luas, seperti tarekat Naqshbandi, Sanusiyah, Qadiriyah dsb. Tentu bukan tempatnya dalam pendahuluan ini untuk membahas satu per satu tarekat tersebut. Namun satu hal dari tarekat dalam pengertian ini perlu dikemukakan, yaitu tentang metode spiritual dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakikatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajar murid-muridnya tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang mursyid akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalan spiritual bersama melalui dzikir menuju Tuhan, dengan cara (metode) seperti yang dialami dan dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Dengan begitu, sang mursyid berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama, juga akan dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang mursyid. Ini terjadi karena ia yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang direncanakan.

Dalam proses pembimbingan ini, sang murid tidak boleh protes atau membangkang, bahkan dikatakan sang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat di tangan orang-orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang mursyid tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang tadi  dalam perjalanan spiritualnya, dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kiranya peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala hal ihwal metode dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan sebaik-baiknya, seorang murid bisa berharap sukses dalam usahanya itu.