Minggu, 04 September 2011

> Menepis Aliansi Kembali ke Fitrah

Jika problem masyarakat Barat sekarang ini ialah alienasi, maka masalah mendasar yang muncul dikaitkan dengan masyarakat Islam ialah bagaimana agama mengatasi hal tersebut? Pertama-tama, dan ini mungkin terdengar sangat sederhana, kalau bukan sepele, bahwa orang harus percaya kepada yang gaib. Kalau orang percaya kepada yang gaib, termasuk juga kepada ruh, kepada dunia ruhani, maka seluruh yang ada dalam kehidupan sehari-hari harus ditafsirkan dalam kerangka ini, dalam kerangka kelanjutan dari kenyataan ruhani, dan bukan sebaliknya. Di mata para pengkritik zaman modern, problem orang-orang modern itu ialah membalik hierarki. Kalau dari segi agama, hal yang lahir ditafsirkan dan dipandang sebagai kelanjutan dari hal yang ruhani, maka orang-orang modern membalik, mencari bukti-bukti keruhanian dalam kenyataan-kenyataan lahiriah. Sebagai misal saja, bahwa di antara buku yang paling banyak mempengaruhi orang modern ialah buku Darwin tentang evolusi itu, yaitu, The Original Species and the Survival of Pittes by the Mean of Nature of Selection, juga buku Marx, Das Capital, kemudian buku Adam Smith, The Wall Sufnation, dan juga buku-bukunya Sigmund Freud. Itulah empat tokoh yang bukunya paling berpengaruh di zaman modern. Semuanya itu dipangkaltolaki oleh pengingkaran kepada kehidupan ruhani.

Penolakan orang Islam–terutama dari kalangan Islam posmodern–kepada teori Darwin, ialah, teori Darwin itu berdasarkan kepada asumsi bahwa semuanya adalah materiil, bahwa tidak ada kenyataan kecuali kenyataan yang ada. Apa yang disebut ruhani seperti pengalaman para agamawan menurut mereka adalah kelanjutan dari materi saja. Sekarang bagaimana kalau dibalik, bahwa yang materiil ini sebetulnya kelanjutan dari ruhani. Sebenarnya orang Islam bisa kembali kepada perintah al-Qur’an sendiri untuk memperhatikan seluruh jagad raya sejak dari kosmos dalam arti besar atau makrokosmos (yang di situ ada ilustrasi-ilustrasi bahwa penciptaan langit dan bumi, perbedaan siang dan malam, itu adalah tanda-tanda bagi orang yang berpikir), sampai kepada yang mikro, semikro-mikronya, sekecil-kecilnya. Misalnya al-Qur’an mengatakan bahwa Allah itu tidak malu mengambil nyamuk sebagai perumpamaan (Q. 2: 26). Mengapa? Sebab taruhlah nyamuk ini memang kecil sekali, tetapi nyamuk punya emosi, dia tahu kalau ada bahaya. Berbeda dengan komputer yang meskipun canggih, tidak akan menjadi suatu makhluk yang mempunyai emosi. Sehingga sebetulnya penglihatan kepada kenyataan lahiri sebagai hanya terbatas kepada materi itu tidak betul.

Al-Qur’an kemudian mengajarkan kepada manusia agar melihat tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lain-lain. Lihatlah pohon asam. Orang modern mungkin melihat pohon asam ini sebagai pohon dalam arti fisik belaka, tetapi yang dikehendaki oleh dunia spriritual atau ruhani ialah bahwa pohon ini tidak lain suatu kelanjutan dari suatu kehidupan yang secara potensial sudah ada dalam klungsu (biji asam). Jadi yang lebih penting adalah klungsu-nya–suatu kenyataan yang kecil sekali, tetapi justru ini yang lebih penting karena seluruh apa yang terjadi pada pohon yang sekian besarnya itu adalah kelanjutan dari klungsu. Ini yang menyebabkan mengapa seseorang yang menanam biji asam tidak takut akan tumbuh menjadi mangga. Bayangkan saja kalau para petani tidak yakin yang mereka tanam itu padi, jangan-jangan nanti yang tumbuh kacang; dan siapa yang mengatur itu?

Di sini ada life atau hayâh yang bersifat ruhani. Maka al-Qur’an menjanjikan bahwa suatu saat manusia akan paham semuanya, sehingga konklusinya nanti bahwa Tuhan itu benar. Jadi orang modern mengalami alienasi karena melihat pohon asam hanya pohonnya tetapi tidak pernah meneliti bijinya, sebab bagi mereka tidak relevan; apa artinya klungsu, apa artinya biji asam, kita hanya perlu pohonnya, biji asam kita lempar-lempar tidak ada harganya sama sekali. Tetapi dari segi ruhani, justru di sinilah harga yang sebenarnya. Justru di dalam biji asam itulah ada ruh. Begitu juga manusia. Seluruh kehidupan ini harus dilihat sebagai pohon asam yang berasal dari suatu biji. Biji inilah yang dalam bahasa-bahasa sekarang sedang dikembangkan sebagai “biji kemanusiaan primordial”, yang dalam istilah lebih khas disebut fithrah hanîfîyah. Sehingga usaha untuk menghindari alienasi itu ialah kembali kepada fitrah ini. Maka dari itu perkataan “kembali” banyak sekali digunakan dalam al-Qur’an.

Salah satu yang banyak digunakan al-Qur’an untuk itu ialah tobat (tawbah) yang pengertian aslinya ialah kembali (kepada kedirian kita). Analogi tobat dengan pohon asam ini seolah-olah pohon asam yang besar itu harus tahu, bahwa dia itu berasal dari sana, sesuatu yang tersimpan dalam biji asam yang kecil itu. Selain tobat, juga ada istilah rujû‘ seperti dalam pernyataan “Innâ li ‘l-Lâh-i wa innâ ilayh-i râji`ûn”. Kemudian yang juga banyak digunakan dalam al-Qur’an ialah perkataan inâbah, “Kembalilah kamu (wa anîb-û) kepada Tuhanmu, dan pasrahlah kepada-Nya,” (Q. 39: 54). Artinya, lebur total dalam Tuhan, sebab perkataan pasrah itu sama sekali tidak ada jarak antara kita dengan Tuhan, juga tidak ada curiga, sakwa sangka, dan sebagainya. Itulah yang disebut râdliyat-an mardlîyah”.

Kembali kepada konsep asli (yaitu taubat) berarti kembali kepada Tuhan, mencari hakikat primordial diri sendiri. Perkataan primordial ini memang telah mengalami polusi pengertian, seolah-olah yang primordial itu pasti negatif. Padahal dalam pasca-modernisme, primordial itu justru yang baik, sebab berarti kembali kepada yang asli. Inilah yang dicapai melalui zikir. Zikir berarti ingat kepada Allah, suatu proses pengembalian diri kepada keadaan primordial, yaitu primordial state yang bahagia. Melalui zikir, manusia berusaha menghayati kualitas-kualitas Tuhan untuk kemudian menirunya. Tetapi meniru akhlak Tuhan tidak berarti menjadi Tuhan, melainkan bahwa kedirian manusia ini merefleksikan kualitas ketuhanan. Di antara semua makhluk, hanya manusia yang bisa melakukannya, sebab dialah yang oleh al-Qur’an disebutkan sebagai ditiupkan ke dalamnya ruh dari Allah, “… dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya,” (Q. 32: 9).

Hanya manusia yang digambarkan seperti itu, sehingga manusia selain disebut sebagai ahsan-u taqwîm (sebagai puncak ciptaan Tuhan), juga manusia yang mempunyai potensi keilahian, artinya bisa menyerapi kualitas-kualitas keilahian dan memancarkannya. Karena itu ada istilah Lâhût (dari Ilah), selain juga Nasut (dari Insan). Nâsût dan Lâhût inilah yang–meminjam istilah yang sudah baku di bahasa-bahasa Barat–disebut Teomorfisme, artinya “Menyerupai Tuhan”, tetapi bukan berarti sama dengan Tuhan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang Teomorfis, karena hanya manusia yang bisa menghayati kualitas-kualitas Tuhan melalui zikir, dan dari situ kemudian memancarkan sifat-sifat keilahian. Karena itu ada hadis Nabi yang berbunyi, “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah.” Yang dimaksud akhlak Allah di situ ialah al-Asmâ’ al-Husnâ.

Di antara sifat Allah yang digambarkan sebagai diwajibkan atas diri-Nya ialah kasih atau rahmah. Sehingga kalau pun manusia tidak bisa meniru seluruh sifat Tuhan, maka sifat yang paling tengah itu adalah kasih atau rahmah. Akan tetapi, supaya tidak terperosok kepada kasihnya orang Nasrani, maka template kasihnya harus diukur dengan kepribadian Nabi Muhammad, yang meskipun orang suci tetapi tetap manusia, sehingga bisa ditiru. Berbeda dengan konsep sucinya Yesus, yang tidak bisa ditiru, karena orang harus menjadi seperti Tuhan, atau menjadi inkarnasi Tuhan.

Akhirnya, untuk bisa mengalami kesatuan diri tanpa alienasi harus dimulai dengan peleburan diri. Kita mulai dengan pengakuan bahwa kita ini bukanlah apa-apa, kita menjadi apa-apa adalah karena Allah, lalu kembali kepada-Nya. “Kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan pasrahlah kepada-Nya,” (Q. 39: 54). Pengertian pasrah di situ sama sekali tidak ada jarak antara kita dengan Tuhan, artinya lebur total dalam Tuhan.