Sabtu, 03 September 2011

> Tauhid Sufi

TAUHID atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli. Karena itu maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif teologis, seperti yang tercermin dalam konsep “tanzih al-shifat” Mu’tazilah; tauhid dalam perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan, esensi dan eksistensi adalah identik. Demikian juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik. Yang terakhir inilah yang akan menjadi perhatian utama pada bagian ini.

Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat “la ilaha illa Allah” sebagai “tidak ada tuhan selain Allah,” para sufi mengartikan kata “ilah” sebagai realitas, sehingga kalimat syahadat itu bermakna “tidak ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah.” Dari sini mereka memahami hanya Allah-lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya adalah semu dan nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada; Dia-lah realitas terakhir, yang berarti wujud yang sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang Hak, yaitu Tuhan dan Wujud. Dia adalah satu-satunya wujud yang Hakiki, dan yang Hak adalah satu-satunya yang Wujud. Dalam konteks inilah para Sufi berbicara tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud), di mana dinyatakan bahwa tiada lain yang wujud kecuali Dia.

Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia bukanlah sekedar permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi akan kehilangan kesadaran dirinya. Ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhanlah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang mereka sebut baqa’, di mana seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Dalam keadaan seperti inilah, al-Hallaj (w. 922) menyatakan: “Ana al-Haqq,”

Yang berarti “aku adalah Tuhan.” Inilah inti tauhid sufistik.

Tanpa mengetahui maksud dan latar-belakang munculnya pernyataan al-Hallaj di atas, salah faham terhadapnya sudah bisa dibayangkan. Dalam kenyataan sejarah, al-Hallaj telah membayar pernyataannya itu dengan nyawanya. Orang menuduhnya telah menjadi kafir karena pernyataan itu, sedangkan ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan yang tak terampunkan, karena ia telah mengadakan klaim ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Tetapi orang yang mengerti apa arti yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, justru akan melihat di dalamnya, sebuah ungkapan kerendahan hati (tawdhdhu’). Jalal al-Din Rumi (w. 1273) menafsirkan pernyataan al-Hallaj tersebut dengan mengatakan: “Pernyataan aku Tuhan, adalah pernyataan yang merendah, karena dalam hal ini al-Hallaj telah menafikan wujud dirinya yang nisbi di hadapan wujud Tuhan yang hakiki. Dalam pandangannya, hanya Dia yang wujudnya hakiki, yang betul-betul ada, sedangkan wujud alam yang nisbi tidak lain kecuali bayang-bayang-Nya. Sebaliknya, pernyataan “aku hamba dan Engkau Tuhan” dipandang Rumi sebagai ungkapan yang justru menyombongkan, karena dalam hal ini seorang sufi telah mengafirmasi wujudnya yang nisbi sebagai yang berhadap-hadapan dengan Wujud yang Mutlak, padahal keberadaannya tidak berarti apa-apa dihadapan Wujud yang Mutlak tersebut.

Pandangan tauhid orang-orang sufi yang seperti itu telah melahirkan konsep-konsep wujud yang berbeda-beda, sekalipun jauh di lubuknya yang terdalam terdapat kesatuan pengertian, kalau saja kita bisa melepaskan diri kita dari perbedaan-perbedaan formalistik doktrin-doktrin tersebut. Dengan demikian maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai “ittihad” (kesatuan mistik), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanannya yang pandang bersatu dengan Tuhannya, atau doktrin “hulul,” di mana Tuhan digambarkan mengambil tempat dalam diri manusia, ataupun “wahdat al-wujud,” di mana diyakini adanya identitas ontologis antara manusia dan Tuhan, pada dasarnya adalah sama.