Sabtu, 03 September 2011

> Menggugat Dongeng Al Quran

Apakah anda belum tahu banyak dongeng dalam Alquran? Atau jangan-jangan semua dongeng itulah yang justru telah membius perhatian anda? Telah meninabobokan nalar anda? Tidur dalam sakralitas yang tidak mencerahkan!

Sudah lama saya begulat dengan ayat-ayat yang berisi kisa-kisah dalam Alquran. Pada mulanya saya begitu terpesona dengan kisah-kisah tersebut, mulai dari kisah diciptakannya Nabi Adam, Nabi Musa membelah laut, mukjizat para Nabi dan masih banyak lagi kisah-kisah lainnya. Kisah-kisah itu membuat saya begitu yakin bahwa Alquran begitu luar biasa. Dan Islam adalah agama yang asli datang dari Tuhan.

Setiap saya mendengar ceramah di mesjid, diskusi dalam keseharian dengan orang-orang yang taat, maka semakin tenggelamlah saya dalam kekaguman akan semua kisah-kisah tersebut. Sehingga kadang-kadang terbetik di hati juga ingin memiliki keistimewaan seperti para Nabi, terutama menyangkut mukjizatnya. Saya membayangkan alangkah asyiknya jika saya sebagai manusia biasa juga memiliki keutamaan seperti itu. Atau seperti karamah-karamah yang dimiliki oleh para aulia Allah, para sufi dan orang-orang suci disepanjang sejarah Islam.

Waktu terus berjalan dan musim pun berganti.
Sampailah suatu fase keagamaan saya mulai bernalar. Maka sehubunngan dengan kisah-kisah tadi mulai mengusik pikiran saya. Setiap mendengar ceramah dan membaca buku-buku agama tentang kisah-kisah tersebut, saya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Rasanya kisah demi kisah itu terkesan seperti dongeng. Seperti dunia kayangan, dunia para Dewa Dewi, dunia andai-andai.

Setiap hal itu saya tanyakan pada ustad dan guru-guru agama, jawabannya nyaris sama, bahwa itulah kehebatan Alquran. Kehebatan Islam. Kehebatan para Nabi dengan segala mukjizat yang diberikan Tuhan pada mereka. Dan setiap saya baca buku-buku agama tentang hal tersebut, malah lebih melambung lagi dengan berbagai tambahan penafsirannya, sehingga detil dari peristiwa atau kisah-kisah tersebut semakin jelas, seperti membaca sebuah novel. Tapi anehnya saya bukannya semakin puas, tapi justru semakin geli. “Kok tambah seperti dongeng yah. Dari mana mereka tau?”

Karena rasa ingin tahu yang tak terpadamkan, saya pun tetap berusaha mencari jawabannya. Sehingga akhirnya bertemulah saya dengan buku-buku yang berpandangan berbeda. Buku-buku yang berhaluan Islam moderat. Apa yang saya temukan? Saya terpesona. Disitulah saya tahu bahwa ada ayat-ayat Alquran yang bisa ditelan mentah-mentah (mukhamat) dan ada ayat-ayat yang harus ditafsirkan maknanya (mutasyabihat). Dan untuk kisah-kisah dalam Alquran umumnya harus dipahami secara tersirat.

Sebagai contoh. Kisah Nabi Adam tidak bermakna bahwa ada sosok vigur yang bernama Adam secara harfiah. Termasuk dengan kisah kejatuhannya ke bumi dari sorga. Tapi kisah itu adalah metafora dari awal kebangkitan manusia. Awal kesadaran manusia dari yang primitif-hewani menuju kesadaran manusia yang sudah berperadaban. Termasuk dengan buah terlarang yang diceritakan dalam Alquran, yang dimakan oleh Adam dan Hawa di sorga, juga bukan buah secara harfiah. Tapi itu adalah kiasan dari larangan terhadap perbuatan dosa yang dilakukuan manusia dalam hidupnya. Manusia pada fitrahnya adalah suci. Dan kesucian itu adalah konotasi dari surga. Tapi bila manusia lengah, dan terjebak untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya dirinya sudah terlempar ke dunia yang hina.

Lama saya tercenung menghayati pemaknaan yang demikian. “Luar biasa ini penafsiran” Pikir saya waktu itu. Akhirnya saya semakin kecanduan membaca buku-buku sejenis untuk berbagai tafsir atas kisah-kisah lainnya dalam Alquran.

Tapi benarkah segalanya kemudian semakin menjadi terang bagi saya? Diluar dugaan saya sebelumnya, muncul lagi pertnyaan baru dalam benak saya. Semakin banyak saya baca buku yang menafsirkan ayat-ayat tentang kisah-kisah dalam Alquran, akhinya saya mulai mual. Karena semakin beragam pula pandangan yang saya temukan terhadap sebuah kisah yang sama oleh penulis (buku) yang berbeda. Akhirnya saya berpikir, jika demikian halnya, berarti tidak ada yang mutlak. Semuanya bebas menafsirkan, bebas menarik-narik ayat itu kemana saja, tergantung metode penafsiran yang digunakan, tergantung ketajaman berikir dan imajinasi yang menafsirkannya. Ah…!

Tapi kisah-kisah itu tetap mengusik saya. Andai kisah itu saya tolak, maka itu sama artinya saya tidak mempercayai Alquran murni sebagai satu paket wahyu yang datang dari Tuhan. Dan itu artinya pamor Alquran di mata saya sudah kehilangan sakralitasnya. Tapi untuk meyakini kisah demi kisah itu begitu saja, sama sekali bagi saya tidak menarik lagi. Okelah banyak nasehat yang saya dengar bahwa ayat Alquran tidak bisa dicerna dengan akal.  Katanya harus diimani dengan hati. Tapi bukankah itu artinya sama dengan tidak mencernanya sama sekali?

Sementara dalam berbagai ceramah dan kotbah dimana-mana, termasuk dalam bincang keseharian umat Islam, juga akan mengatakan hal yang sama. Saya benar-benar sudah enek. Menanyakan pada mereka sama saja dengan tidak mendapatkan jawaban. Tapi penafsiran dari para pemikir Islam, Islam moderat (modernisme), saya pun juga tidak puas. Keragaman tafsir itu membuat saya bingung.

Karena dahaga rasa ingin tahu yang tak pernah henti juga, saya pun terus mencari. Maka kesasarlah saya pada buku-buku Islam Kontemporer (Islam Posmodernisme). Dan tepat sehubungan dengan kisah-kisah dalam Alquran saya menemukan buku Muhammad Kalafullah, Alquran Bukan Kitab Sejarah. Dalam buku itu dia menyatakan tesisnya bahwa kisah-kisah dalam Alquran sama sekali bukanlah sejarah otentik. Bukan sebuah kejadian fakta sejarah. Tapi adalah kisah sastra, seperti layaknya sebuah cerita yang ditulis para sastrawan. Artinya kisah demi kisah itu hanya menyuguhkan makna. Bukan kisah nyata secara harfiah.

Apabila manusia sudah tergugah oleh kisah demi kisah tersebut, mungkin rasa kagum, rasa tidak berdaya, rasa haru, rasa hanyut secara religius, maka sampailah misi Alquran dibalik kisah-kisah tersebut. Itulah bedanya Alquran dengan buku-buku sejarah (Ilmu Pengetahuan). Membaca buku sejarah membuat wawasan kelimuan seseorang bertambah. Data demi datanya lengkap. Tingkat akurasinya sangat tinggi. Tapi hanya sampai di situ. Hanya sisi knowledge. Bukan sisi emosi, apalagi spiritual. Tapi membaca kisah-kisah Alquran, justru bisa mengugah rasa iman. Kesadaran bathin bahwa manusia seakan terserap pada suatu rasa yang menyelimuti keberadaannya. Dalam rasa ketergugahan yang dalam. Dengan kata lain, ada daya tarik magisnya.

Dan jika manusia sudah sadar, tergiring pada nilai-nilai moral, pada nilai-nilai religius, apakah masih penting lagi kebenaran fakta sejarah? Seperti ketika seorang ibu yang melarang anaknya: “Jangan duduk di pintu nak, nanti pintu rezeki kita tertutup!” Dengan ketakutan si anak langsung beranjak dari pintu. Meskipun bila dinalar, ucapan si ibu hanya sebuah dongeng yang tidak ada hubungannya, tidak logis, tapi efeknya pada prilaku anaknya sudah luar biasa. Nah, lebih kurang, demikianlah misi Alquran dibalik ayat-ayat yang berisi kisah-kisah tersebut, yaitu untuk menggugah kesadaran manusia. Untuk menyentuh sisi bathinnya. Dalam satu kata, Alquran bukanlah sebuah kitab sejarah. Tapi adalah kitab moral!

Bagaimana reaksi saya setelah membaca buku itu?

Luar biasa! Saya benar-benar merasa tercerahkan. Tamat sudah segala pertanyaan saya sejak mulai berpikir kritis terhadap Alquran. Suatu pemahaman yang melampaui apa yang pernah dilakukan para mufasir sepanjang sejarah tafsir Alquran. Dan sejak saat itu, maka tamatlah keagungan tulisan-tulisan dan berita-berita yang kalimatnya dengan nuansa seperti di bawah ini bagi saya:


Adam, Kisah Manusia Pertama

Bukti keajaiban Alquran

Kebenaran kisah Nabi Ibrahim terbukti dalam Injil

Segitiga Bermuda Membuktikan kebenaran Alquran

Dan sebagainya.

Singkat kata, segala cerita, berita, pembicaraan, buku-buku, yang mengabarkan hal-hal yang terkait dengan puja puji dan keajaiban yang aneh-aneh terhadap Alquran tidak bearti lagi bagi saya. Reaksi saya hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Saya tidak ingin menjadi buronan lagi oleh segala tulisan dan ceramah seperti itu. Meloncat-loncat dari satu keghaiban ke keghaiban lainnya. Dari satu satu lampu aladin ke lampu aladin lainnya. Bukan dalam arti saya meremehkan Alquran. Tapi adalah saya tidak respek lagi dengan hal-hal yang bersifat promo dan sikap apologi terhadap Alquran. Bagi saya, sikap seperti itu tidak ada gunanya selain hanya sebagai morfin. Sebagai narkotika psikologis. Tapi sayanganya, itulah berita dan nasehat agama yang paling laris seputar Alquran. Saya membutuhkan kesabaran luar biasa melihat fenomena seperti itu.

Perhatian:
Sampai di sini saya berharap anda jangan  terpengaruh lagi oleh judul dan paragraf pertama tulisan ini. Dan hati-hati, ini hanya sebuah pengalaman saya pribadi