Sabtu, 03 September 2011

> Ma’rifat: Pengetahuan Sejati

Salam Rahayu

KETIKA kita menyebut ma’rifat sebagai pengetahuan sejati ini tidak berarti bahwa jenis pengetahuan lain yang biasa kita sebut ‘ilm, ilmu pengetahuan tidak benar. Kita menyebutnya pengetahuan sejati, karena ma’rifat merupakan jenis pengetahuan yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya yang menghasilkan isi dan metode yang juga berbeda.

Ilmu pengetahuan (‘ilm) biasanya diperoleh melalui otoritas orang lain, baik itu melalui seorang guru atau buku, dan karena itu disebut sebagai ilmu perolehan (‘ilmu hushuli). Ini akan berarti bahwa ilmu-ilmu tersebut diperoleh secara tidak langsung dan diyakini kebenarannya berdasarkan otoritas para pendahulu dan tidak dialami oleh pencari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dikatakan tidak langsung, karena kalau ilmu itu diperoleh dari guru, maka barangkali yang punya pengalaman langsung dan orisinil terhadap objek itu adalah guru itu sendiri, atau barangkali gurunya guru itu dan seterusnya. Dan kalau ilmunya itu ia peroleh dari buku maka yang ia pelajari bukanlah objek itu sendiri tetapi simbol—yang tidak akan menyentuh—dari objek itu, bukan objek itu sendiri. Rumi bertanya, “Bisakah kita memetik mawar dari M.A.W.A.R? Anda baru menyebut nama, cari yang empunya nama.” Karena sifatnya tidak langsung, maka ilmu pada dasarnya tidak akan bisa memberikan kepastian intuitif kepada yang memilikinya. Seperti orang yang tidak pernah mencicipi benda-benda manis tidak akan pernah mengetahui dengan pasti bagaimana rasa manis itu dari puluhan buku, atau seratus orang yang menerangkannya kepadanya.

Berbeda dengan ilmu pengetahuan biasa, maka ma’rifat diraih secara langsung,  oleh sang ‘arif dan karena itu mendatangkan kepastian bagi yang mengalaminya dan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang yang diketahuinya itu, seperti yang dialami misalnya oleh al-Ghazali, yang sebelumnya telah dilanda rasa ragu yang radikal. Pengenalan langsung oleh seseorang terhadap objeknya telah biasa kita alami dalam pengalaman indrawi. Misalnya saya merasa yakin bahwa pulpen yang saya pakai menulis ini ada karena saya menyentuhnya lewat indra peraba yaitu jari-jari tangan saya. Tetapi yang disebut pengalaman langsung dalam tasawuf terjadi bukan pada tataran indrawi tetapi pada tataran intuitif, dan objek yang dialaminya bisa jadi—bahkan kebanyakan—bersifat non-fisik. Jadi yang dimaksud pengalaman mistik adalah pengalaman langsung hati manusia terhadap objek-objek non-fisik—seperti yang ia alami di alam misal (imaginal world).  Karena objek itu dialami secara langsung maka ia mendatangkan pemahaman yang mendalam dan karena itu juga memberikan kepastian, paling tidak bagi yang mengalaminya, suatu rasa kepastian yang tidak pernah bisa diperoleh dari buku atau berdasarkan otoritas. Seperti pemahaman seseorang yang pernah merasakan manisnya gula tentang apa manis itu dibanding dengan orang yang mempelajari manis itu dan berjilid-jilid buku. Yang terakhir bisa saja ia membual dengan teori-teorinya tentang manis, tetapi ia sendiri sebenarnya tidak pernah merasa yakin tentang apa itu manis. Bagi ia yang telah mencicipi manis, hakikat manis telah ia pahami, meskipun mungkin saja ia tidak bisa mendefinisikannya. Dengan kata lain ia tidak memerlukan definisi untuk mengerti manis itu.

Perbedaan lain antara ilmu dan ma’rifat bisa dilihat dari sudut metodologis. Kalau ilmu mengandalkan pengalaman indrawi dan akal, maka ma’rifat mengandalkan hati atau biasa juga disebut intuisi. Ilmu telah menghasilkan metode diskursif (bahtsi), sedangkan ma’rifat metode intuitif (dzwaqi). Dalam metode diskursif terdapat jurang yang lebar antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati. Dan ini terjadi, menurut Iqbal, karena akal cenderung meruang-ruangkan (spatialisasi) objek-objeknya, bukan hanya objek-objek fisik tetapi juga objek non-fisik seperti waktu. Dari sudut pandangan akal, waktu yang sebenarnya organik ketika dilihat dari sudut intuisi, dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga menyerupai ruang. Maka kita mengenal istilah melineum, abad, windu, dasa warsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, detik dan seterusnya. Padahal waktu yang kita alaminya sendiri berbeda sifatnya dengan waktu yang diukur seperti di atas. Karena, sementara waktu yang diukur adalah homogin (satu jam manapun adalah sama), waktu yang dialami oleh kita heterogin (satu jam yang menunggu dirasakan berbeda dengan waktu yang dialami oleh orang yang ditunggu). Karena sifatnya yang memilah-milah, maka metode diskursif tidak pernah mempunyai keintiman terhadap objek yang ditelitinya.

Berbeda dari metode diskursif, metode intuitif—karena sifatnya yang langsung—memiliki keintiman dengan objeknya. Maka banyaklah Sufi berbicara tentang kesatuan dari pengetahuan, yang mengetahui dan yang diketahui (‘alim, ‘ilm dan ma’lum). Bentuk penyatuan ini dapat dijelaskan dengan baik melalui konsep “ilmu hudhuri,” di mana objek-objek pengetahuan diketahui secara langsung setelah mereka dihadirkan dalam kesadaran atau jiwa seseorang. Karena ketika objek-objek itu hadir dalam kesadaran seseorang , mka ia dapat mengidentifikasikan objek-objek tersebut dengan dirinya. Ketika itu terjadi, maka objek-objek itu telah menjadi dirinya, sehingga pengetahuan tentang objek-objek itu kini mempunyai keintiman yang sama dengan keintiman terhadap diri sendiri, sedangkan pengetahuan tentang diri sendiri dapat diketahui secara langsung, tanpa pemilahan dan pembagian antara subjek dan objek. Dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk kepada entitas yang sama dan satu: diri kita sendiri.

Hal lain yang membedakan ilmu dan ma’rifat adalah bahwa yang pertama dapat diperoleh dengan upaya seseorang, sedangkan yang terakhir tidak dapat dihasilkan, menuurut Nicholson, melalui penalaran rasional, tetapi melalui “penyingkapan” (mukasyafah) dan visi apokaliptik,” yang kesemuanya tergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan, yang akan mengaruniakannya sebagai hadiah kepada mereka yang telah Ia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Ia seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotannya yang menyilaukan.