Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 37]

Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….”

“Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?”

“Bukankah beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?”

“Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?”

“Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.”

“Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?”

“Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.”

“Mengapa, Syekh?”

“Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….”

“….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…”

“Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya.

“Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.”

“Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya.

“Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?”

“Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.”

“Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?”

“Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?”

“Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas menjinakan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?”

“Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki Chantulo.

“Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan mukjijat.”

“Tentu saja,”


Bersambung……