Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 36]

“Untuk apa, Kanjeng?” tanya Sunan Giri.

“Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.” jawab Sunan Kalijaga.

“Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”

“Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.” Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng. Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup menilai sesat atau tidaknya ajaran syekh Siti Jenar.”

“Baiklah, Raden. Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”

“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?” tanya Pangeran Bayat.

“Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah Sunan Giri.

“Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.

“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya.

“Hamba kira hukuman mati sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat.

“Hukuman apa pun layak diberikan pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta pembuktian.”

“Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke Desa Khendarsawa.

***

Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat.

“Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas.

“Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo.

“Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Tidak,”

“Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…”


Bersambung……