Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 38]

“Bersandarlah kita pada ke Maha Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar hal itu bisa terjadi.”

“Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”

“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang menyebutnya Kharamah?”

“Mengapa bisa muncul Kharamah?”

“Ya, karena kita telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.”

“Jika tidak sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?”

“Tentu, asalkan hati kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar, tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar.

“Maksudnya?” tanya Ki Donoboyo.

“Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika islam itu hanya tinggal namanya, alquran tinggal tulisannya……..”

“Keberkahannya yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang. Kadangkala alquran dan agama hanya dijadikan alat…”

“Ya, dijadikan alat untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para penguasa negeri Demak Bintoro…”

“Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.”

“O…” Ki Donoboyo mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan agama yang saya anut.”

“Menurunkan penilaian jelek pada orang lain, karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca, memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut banyak orang.”

“Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya, “Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?”

“Benar, sehingga hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya dibelakang, jadi bahan obrolan.”

“Itulah para pejabat negeri Demak Bintoro….”

“Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai ma’rifat?”

“Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan benci akan penyimpangan, terutama dari…..”

“Sudahlah, bukankah tadi saya telah mengurainya?”
“Jika andika berupaya, insya allah akan sampai pada tujuan.” terang Syekh Siti Jenar.

“Sampurasun…” terdengar suara dari kaki bukit, menggema.

“Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo.

Bersambung……