Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 19]

Andika tidak akan bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya.

“Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya. Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak.

“Lalu suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala. “Bukankah yang berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging? Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..”

“Syekh, ketika saya sudah berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar. “Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.”

“Ya, itulah ma’rifat.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding berada pada tahapan thariqat.”

“Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah. Dunia ini terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….”

“Ma’rifat itu berada dalam alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.”

“Jadi ma’rifat yang saya alami belum utuh, Syekh?”

“Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala. “Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang saya maksud.”

“Jadi saya baru mengenal diri?”

“Setelah itu kenalilah Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil, dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling kaula wujud.”

“Manunggaling kawula wujud?”

“Maunggaling kawula wujud, ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.”

“Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum, matanya seakan-akan tidak bisa berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam batang pohon. “Betapa hebatnnya ilmu yang Syekh miliki.”

“Ilmu itu milik Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa, inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.”

Bersambung………