Jumat, 02 September 2011

> Shari’ah Berbasis HAM di Universitas Islam pada Level Master

Mengembangkan desain pendidikan HAM berbasis shari’ah di lingkungan pendidikan tinggi Islam kita barangkali masih terdengar luxurious, terutama ketika reputasi dan rekam jejak Negara kita dalam hal penegakan HAM masih dipandang sebelah mata oleh dunia internasional. Reputasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa Indonesia merupakan Negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Dalam konteks ini beraku sebuah logika linear; keberhasilan Indonesia bisa dipandang sebagai keberhasilan kaum Muslim (sekalipun tidak serta merta merujuk Islam), dan kegagalan Indonesia adalah juga kegagalan Muslim.

Catatan kurang menggembirakan tentang HAM kita bisa dilihat, misalnya, pada hasil riset tahunan yang dilakukan oleh World Value Survey yang menempatkan Indonesia pada kategori “partly free,” sebuah Negara yang belum sepenuhnya mengadopsi individual liberties sebagaimana diamanatkan oleh dokumen atau lembaga HAM internasional semacam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Potret penegakan HAM kita juga bisa dibaca dari laporan tentang intoleransi beragama dan kekerasan beragama yang masih cukup memprihatinkan beberapa tahun terakhir yang dirilis oleh sejumlah lembaga non pemerintah seperti Setara Institute, Wahid Institute, dan sebagainya.

Namun demikian, pilihan bagi Indonesia untuk memilih dan mengadopsi HAM bukanlah sebuah kebetulan. Ia merupakan sebuah harga mati; tidak bisa ditawar-tawar. Seperti diketahui, Indonesia adalah salah satu anggota tetap PBB yang turut meratifikasi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Indonesia juga memiliki struktur politik dalam pemerintahan yang memungkinkan pelaksanaan dan penegakan HAM dijalankan, yakni dengan keberadaan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, secara substantif kita juga banyak menjumpai kata-kata “hak” dalam Pembukaan maupun pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, sekali lagi, keberadaan pranata-pranata hukum dan HAM tersebut mengafirmasi komitmen Indonesia dalam penegakan HAM sekalipun dalam praktiknya penegakan HAM tidak sesederhana dalam formulasi tertulisnya.

Kesesuaian Shari’ah dan HAM

Pertanyaan pertama terkait dengan pengembangan desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM tentu saja adalah kesesuaian antara Shariah dan HAM. Penting dicatat, isu semacam ini sudah lama menjadi bagian penting dari perdebatan akademis di kalangan internal ummat Islam dan kalangan internasional. Tanpa hendak melarutkan diri dalam perdebatan tersebut, cukuplah dikatakan di sini bahwa Islam pada dasarnya memiliki doktrin normatif yang menempatkan “kemanusiaan” manusia pada episentrum kosmologi Shari’ah.[3] Hal ini dipertegas oleh rumusan al-daruriyat al-khamsah (Lima hal pokok yang dilindungi agama) versi mayoritas ulama fiqh yang sangat monumental; (1) perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs); (2) perlindungan terhadap keyakinan agama (hifz al-din); (3) perlindungan terhadap keluarga dan keturunannya (hifz al-nasl); (4) perlindungan terhadap harta benda dan kepemilikan (hifz al-mal), dan; (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifz al-‘aql).

Memperkuat eksistensi penagakan HAM dalam Islam juga sudah dilakukan melalui perumusan sebuah deklarasi Universal Islam tentang HAM pada tahun 1981 oleh sekelompok ilmuwan yang mewakili sejumlah entitas Islam di UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation).[4] Hal yang kurang lebih sama juga dilakukan di Kairo, Mesir, ketika Cairo Declaration of Human Rights in Islam dicetuskan pada acara Konferensi Islam Para Menteri Luar Negeri kesembilanbelas. Deklarasi tersebut dirancang untuk membangun kerangka kerja HAM yang selaras dengan budaya dan nilai-nilai Islam.[5] Deklarasi ini dibuka dengan pernyataan bahwa konferensi tersebut hendak menegaskan HAM yang sesuai dengan prinsip-prinsip Shari’ah. Ia juga menegaskan bahwa “fundamental rights and universal freedoms in Islam are an integral part of the Islamic religion and that no one as a matter of principle has the right to suspend them in whole or in part or violate or ignore them in as much as they are binding divine commandments.”[6]

Salah satu isu HAM yang cukup sensitive di kalangan ummat Islam adalah menyangkut relasi gender, lebih tepatnya kedudukan perempuan di hadapan laki-laki. Banyak kritik, baik di kalangan internal ummat Islam maupun eksternal, dilontarkan terkait isu semacam ini. Sebagai contoh adalah maraknya praktik poligami, hak kewarisan dan kesaksian perempuan yang belum menggambarkan kesetaraan derajat perempuan di hadapan laki-laki, serta hak wali nikah dan talak yang berada di tangan laki-laki. Kuatnya posisi laki-laki di atas posisi perempuan di dalam tradisi Islam bahkan dijustifikasi secara eksplisit oleh dua teks suci; al-Qur’an dan Hadith. Bukan itu saja; keberadaan kedua teks suci ini diafirmasi oleh khasanah teks fiqh klasik yang begitu kaya tentang relasi gender yang timpang –yang belakangan menyulut kritik kaum feminis terhadap lemahnya posisi tawar perempuan.

Hak waris dan nilai kesaksian perempuan seharga separuh dari laki-laki dianggap mendegradasi perempuan. Jika seorang laki-laki dianalogikan seharga seorang manusia utuh, maka perempuan bernilai separuhnya. Inilah yang oleh sejumlah kritikus—terutama dari kalangan feminis—dianggap sebagai titik terlemah ajaran Islam dalam penegakan HAM. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Islam dapat sejalan dengan HAM jika di dalam ajarannya posisi atau nilai perempuan dianggap separuh dari nilai laki-laki. Merekapun menuding ajaran Islam sebagai faktor utama bagi tidak kondusifnya penegakan HAM di dalam Islam.[7]

Citra paling merusak tetapi sebenarnya sudah lama pulih adalah adanya anggapan bahwa perbudakan masih menjadi bagian dari tradisi ummat Islam. Para pengeritik rupanya menggeneralisasi ummat Islam di seluruh dunia sebagai sebuah entitas tunggal yang memiliki keyakinan teologis dan kosmologis yang sama. Apa yang terjadi di belahan jazirah Arab dianggapnya sama dan sebangun dengan tradisi Islam di belahan dunia lainnya, terutama Indonesia. Padahal tradisi perbudakan sudah lama tidak menjadi bagian dari budaya ummat Islam pada umumnya. Apa yang terjadi di sejumlah kecil wilayah arab, dengan demikian, tidakah merepresentasikan kenyataan dunia Islam pada umumnya. Kasus-kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja wanita Indonesia di Arab Saudi, misalnya, murni mewakili segelintir ummat Islam di Negara tersebut; sama sekali bukanlah cerminan universal ummat Islam.

Pendek kata, kritik terhadap rendahnya apresiasi ummat Islam terhadap HAM harus menjadi cambuk jika kita hendak mengonstruk sebuah desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM. Idealnya, desain tersebut dilandaskan pada argumentasi teologis yang mengakar dalam khasanah tradisi Islam. Memang praktik-praktik tradisi ummat Islam yang dianggap bertentangan dengan HAM bisa menggerus upaya ini. Namun demikian, upaya pengonstruksian itu haruslah didasari oleh sebuah pembacaan dan pemaknaan ulang yang utuh-komprehensif tentang kompatibilitas antara Islam (Shari’ah) dan HAM. Tanpa perujukan itu, ada sense sakralitas yang hilang. Otentisitas teologis terkesan dikesampingkan, padahal di sinilah biang dari segala persoalan HAM –baik dalam konsep maupun praktik—yang membelit ummat Islam.

Dekonstruksi Shari’ah

Hal pertama yang harus disentuh sebelum mengonstruk desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM adalah melakukan dekonstruksi atas pendekatan ummat Islam terhadap istinbath hukum. Yang dimaksud dengan dekonstruksi di sini tentu saja adalah membongkar nalar ummat Islam tentang metode atau pendekatan istinbath hukum lama untuk digantikan dengan metode atau pendekatan yang baru yang lebih menempatkan dimensi kemanusiaan sebagai bagian integral di dalamnya. Proses dekonstruksi tersebut meniscayakan hadirnya semangat baru yang berpijak pada prinsip-prinsip berikut:

1. Dari teosentrisme ke antroposentrisme

Maksud dari ungkapan “dari teosentrisme ke antroposentrisme” adalah menarik pendulum Shari’ah dari orientasi “mengabdi kepada Tuhan” menjadi “memanusiakan manusia (Muslim)” demi meraih keridhoan Allah. Dalam kerangka pemahaman semacam ini, tidak ada satupun dimensi ritual yang diperuntukkan bagi pelakunya. Semua ibadah—baik ritual-mahdlah maupun mu’amalah-sosial—ditujukan bagi pengembangan dimensi kemanusiaan yang paling tinggi. Secara filosofis, Shari’ah diturunkan oleh Tuhan semata untuk mengangkat harkat dan martabat ummat manusia. Shalat, misalnya, memiliki dimensi aksiologis yang sangat kuat bagi pengembangan dimensi kemanusiaan yang ada pada diri pelakunya. Demikian pula dengan ritual-ritual lain yang sekilas tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan kekinian, seperti puasa, zakat haji dan seterusnya. Pada intinya, shari’ah harus ditempatkan pada kerangka pikir bagaimana si pelaku mampu mengkristalkan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya agar membawa manfaat sebesar-besarnya baik bagi si pelaku sendiri maupun masyarakat banyak.

Jika kita mau jujur, pendulum dan orientasi ibadah kebanyakan ummat Islam di Indonesia belum bergeser dari dimensi teosentrisme ke antroposentrisme. Akibatnya, yang diambil dari ritual bukan pemaknaan ritual tersebut demi pengayaan kedirian si pelaku, tetapi simbol-simbol sosial yang bersifat aksesoris belaka. Hal inilah yang menjelaskan mengapa banyak pelaku shalat atau haji, misalnya, tetapi kasus-kasus korupsi di negeri ini masih marak. Banyak pula masyarakat yang melek agama tetapi masih melanggar HAM, menindas perempuan, dan semacamnya. Ini, sekali lagi, akibat orientasi pengajaran Fiqh yang masih berkutat pada “agama untuk agama”, atau “beragama untuk Tuhan”, bukan “agama untuk manusia.”

2. Dari qawli ke manhaji

Dimensi Shari’ah berikutnya adalah menggeser pendulum Shari’ah yang masih berkutat pada dimensi qawli ke manhaji. Proses-proses istinbath hukum di kebanyakan Negara Muslim masih mengikuti metode qawli. Artinya, dalam mengatasi berbagai persoalan kontemporer, yang dirujuk atau diambil dari Fiqh bukanlah bagaimana cara-cara metodologis sebagaimana pernah dikembangkan para ulama mujtahid, tetapi produk pemikiran mereka yang jelas-jelas sudah kadaluwarsa. Mestinya ummat Islam pada masa sekarang ini memiliki sebuah cetak-biru metodologis tentang bagaimana berbagai persoalan kontemporer bisa didekati melalui sejumlah metode penyelesaian yang kreatif dan mutakhir. Kenyataannya, para ulama seringkali terkungkung dalam khasanah produk pemikiran keislaman yang dihasilkan oleh para ulama tempo dulu yang memiliki konteks berbeda dengan kondisi sekarang. Alasannya, sekarang ini pintu ijtihad sudah tertutup dan tidak ada seorang ulama pun yang memiliki kategori sebagai mujtahid mutlak yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad.

Akibat penyandaran yang begitu kuat terhadap dimensi qawli dalam bermadzhab, maka ummat Islam dewasa ini hampir-hampir tidak memiliki inisiatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara cepat, tepat dan kreatif berdasarkan pada cara-cara yang pernah dikembangkan oleh ulama tempo dulu. Yang terjadi adalah repetisi-repetisi—bahkan replikasi—terhadap produk pemikiran ulama tempo dulu. Mereka tidak melihat bagaimana ulama tempo dulu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi pada zamannya, tetapi bagaimana hasil akhir penyelesaiannya. Hal inilah yang menyebabkan lembaga fatwa atau ulama sering lambat merespon isu-isu kontemporer terkait dengan etika atau hukum keagamaan. Hal ini banyak terjadi pada masalah-masalah kedokteran seperti transplantasi organ tubuh manusia dengan organ tubuh hewan, masalah kloning pada manusia, dan penemuan obat-obatan yang terbuat dari ekstrak babi. Ummat Islam pada masa sekarang sering terjebak pada “apa kata ulama tempo dulu”, bukan “bagaimana cara ulama tempo dulu” menyelesaikannya.

3. Dari produk ke maqashid/‘illat
Akibat dari terlalu kuatnya penyandaran ummat Islam terhadap metode qawli dalam bermadzhab adalah mereka tidak terlalu mempertimbangkan maqashid atau maksud-maksud ditetapkannya sebuah pengambilan keputusan hukum. Mereka lebih melihat pada hasil akhir dari pengambilan hukum tersebut, bukan pada bagaimana latar belakang social-budaya terciptanya sebuah produk hukum. Padahal sebuah kaidah ushul fiqh menetapkan bahwa “produk hukum bisa berubah seriring dengan ada/tiadanya illat hukum.” Hal demikian sering terjadi pada masalah-masalah social-budaya yang terkait dengan etika pergaulan dan kemasyarakatan. Dulu, ulama pernah mengharamkan celana panjang atau berpakaian ala orang Barat karena hal demikian meniru kehidupan mereka (yang kebetulan menjadi penjajah). Dulu, ummat Islam pernah mengharamkan temuan-temuan teknologi seperti radio, TV, speaker dan seterusnya dengan pertimbangan mengubah keaslian pemberian Tuhan. Tetapi sekarang tidak ada seorang ulama pun yang mengaharamkan barang-barang tersebut.

Implementasi perubahan pendulum dari produk ke maqashid/illat hukum adalah “relativisasi hukum sesuai dengan konteks individu dan kondisi social-budaya yang mengitarinya.” Salah satu dimensi shari’ah yang seringkali dipakai sebagai contoh dalam istinbath hukum yang berdimensi maqashid/illat adalah hudud (penerapan sistem hukuman sebagaimana terumuskan dalam khasanah Fiqh klasik) seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman mati bagi pembunuh, hukum rajam bagi pezina, dan seterusnya. Sistem hukuman seperti ini tidak bisa diberlakukan begitu saja dalam kondisi masyarakat beragam seperti Indonesia. Jika dipaksakan diterapkan, pasti akan ada banyak keberatan dan protes dari mereka yang bukan Muslim, atau bahkan dari kalangan internal ummat Islam sendiri. Menciptakan kondisi masyarakat yang bebas pencuri dan pezina, dengan demikian, jauh lebih penting ketimbang memberi hukuman bagi para pelanggar ketentuan hukum.

4. Dari tekstualisasi konteks ke kontekstualisasi teks
Prinsip berikutnya adalah menitikberatkan pada upaya “kontekstualisasi teks” ketimbang “tekstualisasi konteks.” Maksudnya, teks-teks suci yang berisi dictum-diktum hukum harus ditundukkan pada realitas kehidupan yang terus berubah dan memiliki tantangan yang berbeda-beda. Jika selama ini teks menempati peran sentral dalam proses pembuatan hukum, maka ke depan konteks harus lebih dipertimbangkan ketimbang teks. Bukannya teks tidak penting, tetapi memperlakukan teks di atas segala-galanya jelas berimplikasi pada pemberhalaan produk pemikiran yang belum tentu relevan dengan tingkat kebutuhan manusia modern.

Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah kenyataan bahwa ummat Islam jauh mementingkan teks ketimbang konteks. Demi memenuhi idealitas semacam ini, ummat Islam bahkan rela mengorbankan dirinya dan orang lain. Padahal hukum diciptakan bukan untuk mempersulit manusia, tetapi untuk memudahkan urusan-urusan mereka. Hukum dirancang demi kemaslahatan dan kemakmuran manusia sendiri. Bukan malah sebaliknya; menciptakan masalah-masalah yang justru memberatkan mereka sendiri. Jika pemahaman semacam ini dimiliki oleh ummat Isam, harapan terciptanya sebuah komunitas sadar HAM bukanlah utopia belaka.

5. Dari individu ke publik
Persoalan paling menonjol dalam sistem ritual ummat Islam adalah belum tertransformasikannya dimensi individu ke publik. Aksiologi ibadah masih berkutat pada “kenikmatan personal/individual” dan belum merambah ke dimensi publik. Akibatnya, kumpulan orang-orang shalih yang memenuhi ruang publik belum bisa mengubah perilaku tidak tertib, disiplin dan kesemrawutan social menjadi lebih manusiawi, disiplin, tertib dan teratur. Pada kenyataannya, ruang-ruang publik ummat Islam masih menjadi ruang publik “tak bertuan”, di mana keselamatan dan kenyamanan masih menjadi barang langka karena diasumsikan menjadi urusan pribadi masing-masing. Nalar individual semacam ini harus ditransformasikan menjadi nalar publik. Kenyamanan di jalan adalah public good yang harus bisa diakses dan dinikmati oleh siapa saja pengguna jalan.

Sayangnya, nalar kebanyakan ummat Islam terbalik; kenyamanan di jalan menjadi urusan individu, tetapi persoalan iman dan keyakinan menjadi urusan publik. Akibatnya, sering terjadi kekerasan massa akibat perbedaan keyakinan keberagamaan. Inilah yang menjelaskan mengapa sekelompok ummat Islam dengan bangganya mengusung nama Islam untuk “menertibkan” keimanan masyarakat luas. Padahal yang terjadi adalah, mereka melakukan penyeragaman teologis sesuai dengan apa yang mereka yakini. Bagi mereka, tidak ada kebebasan beragama dan beribadah karena mereka merasa mendapatan mandat untuk menertibkannya. Jika nalar terbalik ini dibiarkan, lama-lama masyarakat kita menjadi anarkis dan tidak taat hukum.

6. Dari keterputusan ke ketersambungan
Islam, sejak awal kelahirannya, merupakan agama pembebas yang hendak mengangkat ummat Islam dari segala bentuk ketertindasan. Jika pada masa jahiliyah (sebelum kedatangan Islam) perempuan dan budak menempati strata terbawah dalam konfigurasi kehidupan social, maka Islam datang hendak membebaskan mereka. Jika perempuan tidak “dihargai” sama sekali oleh masyarakat jahiliyah dengan meniadakannya dari jaminan-jaminan hak asasi, maka Islam hendak “menghargai” mereka dengan cara, misalnya, memasukkannya ke dalam daftar penerima kewarisan atau hak menjadi saksi. Jika perempuan bisa dipoligami tanpa batas, maka Rasulullah hendak mengubahnya dengan cara mensyari’atkan poligami terbatas. Jika pada zaman jahiliyah setiap budak ditindas maka Islam hendak menghapus perbudakan. Dan seterusnya dan sebagainya.

Dalam konteks penempatan manusia sebagai humanum, hal-hal semacam inilah yang sekarang ini mengalami keterputusan epistemologis. Revolusi Islam sebagaimana dipelopori Muhammad dalam struktur budaya masyarakat Arab yang menindas dianggap selesai, final atau harga mati. Padahal senyataannya persoalan manusia senantiasa berkembang dan berevolusi sesuai dengan konteksnya. Dalam kaitan ini, terjadi missing link antara misi Islam sebagai pembebas dengan realitas sebenarnya. Ketika dimensi kemanusiaan terus berkembang, di dalam tubuh Islam terjadi fenomena sebaliknya, yakni gejala peragian sosial akibat pemaknaan yang mendeg. Semestinya, tonggak revolusi Nabi pada peradaban Arab harus diteruskan dan disambung oleh ummatnya dalam konteks kekinian. Yang terjadi sekarang ustru sebaliknya: membuncahnya semangat kembali kepada “kekunoan” masyarakat Arab abad ketujuh karena didorong oleh sikap ketaatan yang membabi-buta di kalangan ummat Islam.

Model-model Desain

Model I: Exclusive Model

Berdasarkan pembacaan saya atas struktur kurikulum yang ada pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, proses pengonstruksian desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM bisa dilakukan melalui sejumlah model. Pertama, “model terbatas” (Exclusive Model). Model ini dirancang ditujukan bagi kalangan tertentu saja yang masuk ke dalam program studi (prodi) atau konsentrasi Shari’ah. Konsekuensinya, tidak setiap mahasiswa bisa mengakses dan menikmati desain ini.

Dalam model semacam ini, seluruh materi atau mata kuliah yang diajarkan pada prodi atau konsentrasi Shari’ah harus dibedah dan direkonstruksi dengan menggunakan pendekatan HAM. Hal demikian lebih memungkinkan karena mahasiswa di bawah prodi atau konsentrasi Shari’ah memiliki kelengkapan material dan metodologis yang memungkinkan mereka mencerna dan memahami materi dengan lebih baik. Kelemahannya, barangkali, model semacam ini tidak bisa menjangkau seluruh mahasiswa Master.

Namun demikian, hampir setiap mata kuliah yang diajarkan di dalam prodi atau konsentrasi Shari’ah bisa diinkorporasikan ke dalam materi HAM, seperti Tafsir Hukum, Hadith Hukum, Filsafat Hukum, Ushul Fiqh, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Fiqh Perbandingan dan Fiqh Kontemporer, dan seterusnya. Apapun mata kuliahnya, prodi atau konsentrasi Shari’ah adalah perangkat kelembagaan yang paling siap untuk menerima desain pendidikan berbasis pada HAM.

Terpenting lagi, tugas-tugas dan penelitian (tesis) mahasiswa harus diarahkan pada isu-isu terkait HAM; bagaimana mendialogkan teks kaslik dengan isu-isu mutakhir tentang HAM. Mahasiswa juga berhak mendapatkan pembimbing yang benar-benar mampu mengarahkan penelitiannya pada tema yang dikehendaki. Seorang pembimbing harus merupakan seorang akademisi yang utuh; di satu sisi sadar akan pentingnya HAM dalam kehidupan ummat Islam, namun di sisi lain mampu mengonstruk kesadarannya itu dalam bingkai kajian normatif yang menempatkan teks (suci) sebagai episentrum dalam kajian Islam.

Model II: Inclusive Model

Model kedua adalah “model terbuka” (Inclusive Model). Model ini dirancang untuk mengakomodasi seluruh mahasiswa yang ada pada level Master, tanpa kecuali, tetapi materi HAM hanya bisa dimasukkan ke dalam (sejumlah) mata kuliah Mata Kuliah Dasar (MKD) seperti Studi Al-Qur’an, Studi Hadith, Sejarah Peradaban Islam dan Sejarah Pemikiran Islam.[8] Oleh karena itu, matakuliah ini hanya bisa ditawarkan pada awal semester karena semester-semester berikutnya sudah dipakai untuk mata kuliah lain. Jadi, apapun program studi, konsentrasi atau jurusan yang diambil, setiap mahasiswa diharuskan mengikuti sejumlah mata kuliah berbasis HAM ini.

Dalam matakuliah MKD tersebut bisa dibahas, misalnya, bagaimana teks yang terindikasi berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM bisa didialogkan dan didiskusikan secara kritis-akademis; Apakah betul bahwa teks-teks tersebut menghendaki pemaknaan dan atau pemahaman apa adanya (literalis), ataukah perlu dipelajari asbab al-nuzul atau asbab al-wurud yang melatarinya sehingga relevan dan kontekstual dengan semangat zamannya.

Contoh paling mudah adalah ketika kita membahas tentang ayat-ayat atau Hadith tentang perbudakan. Memang betul bahwa perbudakan merupakan praktik ummat Islam tempo dulu yang tercantum secara eksplisit dalam ayat-ayat atau Hadith Nabi. Tetapi praktik perbudakan merupakan sejarah kelam masa lalu yang sudah sejak lama ditinggalkan oleh ummat Islam. Hampir tidak ada seorang Muslim pun yang masih “waras” setuju dengan praktik perbudakan—sekalipun di sana-sini masih dijumpai praktik perbudakan bukan karena alasan perintah teks suci, tetapi lebih karena “kenyamanan” yang diakibatkan oleh praktik tersebut.

Isu lain yang bisa diangkat, selain tema perbudakan, adalah hal-hal yang dianggap masih mendegradasi kualitas kemanusiaan seorang Muslim, seperti hak kewarisan dan kesaksian perempuan dan semacamnya; betulkah “harga” seorang perempuan separuh dari harga laki-laki? Bukankah manusia diciptakan sama dan setara di hadapan Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang harus diajukan ketika materi Shari’ah atau kajian Islam dikritisi dari perspektif HAM.

Model III: Comprehensive (Cross-cutting) Model

Model terakhir, ketiga, adalah model komprehensif yang bersifat mencakup semua (all-encompassing). Maksudnya, seluruh materi atau mata kuliah yang diajarkan harus merefleksikan nilai-nilai HAM. Untuk desain seperti ini, tidak hanya materi-materi yang terkandung di dalam MKD saja, tetapi juga seluruh materi lain –MKI, MKPK, dan MKK yang memiliki relevansi baik langsung maupun tidak— harus berbasis pada HAM. Hal pertama yang dilakukan dalam mengonstruksi desain ini adalah mengintegrasikan materi HAM ke dalam seluruh materi yang ada, bukan dengan cara membabi buta, tetapi dengan tetap mempertimbangkan tingkat relevansinya.

Dalam model semacam ini, pendekatan interkoneksitas dan interdisipliner menjadi keniscayaan yang mengerngkai dan merangkai seluruh mata kuliah pada level Master dalam satu semangat yang mengapresiasi HAM. Artinya, tidak ada keterputusan epistemologis antara satu matakuliah yang satu dengan yang lainnya dalam hal penghargaan terhadap HAM, dan ketersambungan ini harus dibangun di atas logika dn argumentasi yang menyeluruh tentang betapa Islam menempatkan manusia beserta seluruh dimensi kemanusiaannya dalam posisinya yang sangat sakral. Dengan cara demikian, Shari’ah tidak akan kehilangan elan vitalitasnya dalam kehidupan ummat manusia sebagai ajaran yang senantiasa selaras dengan misi kemanusiaan pendidikan.

Ditilik dari perspektif aksiologis, desain terakhir ini barangkali merupakan format paling ideal dari pendidikan Shari’ah berbasis HAM. Pertama, seluruh mata kuliah yang ada dalam struktur kurikulum merefleksikan kesadaran HAM yang tinggi karena nilai-nilai menyelinap dalam setiap mata kuliah. Kedua, desain ini memiliki daya dorong yang sangat kuat dalam proses transformasi ummat Islam menuju peradaban yang antroposentris karena ditopang oleh argumentasi yang kuat-menyeluruh. Ketiga, kesadaran HAM yang tercipta akibat penggunaan desain ini akan bertahan jauh lebih lama ketimbang model-model lainnya karena kesadaran HAM lebih merasuk ke dalam relung sanubari peserta didik. Namun demikian, merumuskan sebuah cetak-biru pendidikan semacam ini sangatlah sulit, lama dan menguras segenap komitmen dan energi kita.

Barangkali yang perlu digarisbawahi adalah: desain-desain di atas sama sekali tidak menggambarkan model final yang paling ideal. Barangkali masih banyak model lain yang bisa dikembangkan di luar model-model di atas. Selain itu, perumusan desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM tidaklah sesederhana yang kita pikirkan. Ada banyak hal yang harus kita lakukan sebelum mewujudkan itu semua; menuntaskan perdebatan yang masih tersisa antara pihak-pihak yang menentang HAM dan mereka yang setuju. Juga, antara mereka yang menganggap Shari’ah yang pada dirinya anti-HAM dengan mereka yang meyakini bahwa pada maqashid-nya, Shari’ah diciptakan untuk menjunjung tinggi manusia dan HAM. Adalah kenyataan bahwa pemahaman yang awam dijumpai adalah bahwa HAM merupakan konsep asing yang diimpor dari Barat untuk merusak dan menghancurkan Islam. Hal ini mengindikasikan betapa mengerasnya lapisan “sedimentasi teologis” di kalangan ummat Islam yang menafikan manusia sebagai lokus utama dalam episentrum pengembangan pendidikan Shari’ah. Hal-hal semacam inilah yang harus di“beres”kan sebelum kita benar-benar mengonstruk desain pendidikan Shari’ah berbasis HAM.

[1] Kertas kerja Kp Karyonagoro,disampaikan pada simposium “Shari’ah and Human Rights” di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 17 juli 2011.

[2] Masdar Hilmy, MA., Ph.D., pengajar dan asisten direktur bidang kemahasiswaan dan kerjasama pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

[3] Lebih jauh tentang perdebatan HAM dalam Islam, lihat, misalnya, Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacGueen, “Framing the Debate on Islam and Human Rights,” dalam Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacGueen (Ed.), Islam and Human Rights in Practice: Perspectives across the Ummah (London and New York: Routledge, 2008), 1-11.

[4] Jaser Auda, Maqashid Al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), 23.

[5] Susan Muaddi Darraj, The Universal Declaration of Human Rights (New York: Infobase Publishing, 2010), 106. Deklarasi ini di kemudian hari dikritik oleh Abdulaziz Sachedina sebagai “An Islamic document that fails to articulate universal appeal that ought to go beyond the boundaries of the faith community to include all human beings regardless of their race, creed, or color, based on their inherent dignity, could hardly convince the international community of the universal intent of Islamic revelation, much less about the drafters’ commitment to protect the human rights of all humans as humans.” Untuk lebih lengkapnya, baca, Abdulaziz Sachedina, Islam and the Challenge of Human Rights (Oxford: Oxford University Press, 2009), 43.

[6] “The Cairo Declaration on Human Rights in Islam.” Religion and Law: International Document Database. http://www.religlaw.org/interdocs/docs/cairohrislam1990.htm.

[7] Lontaran-lontaran protes dan kritik semacam ini dapat dijumpai, misalnya, di Irshad Manji, What’s Trouble with Islam (Toronto: Random House, 2003). Lihat juga, Damian Malek, What’s wrong with Islam (London: Athena Press, 2007).