Jumat, 02 September 2011

> Rasa dan Kesadaran

Tanpa mengajukan pertanyaan di mana tempatnya, kita mengakui bahwa di dalam diri ini memiliki rasa dan kesadaran, dua entitas yang terdapat di dalam struktur batin manusia. Dalam filsafat modern-kontemporer atau dalam aktivitas ilmiah yang melairkan teori melalui proses penelitian dalam psikologi maupun neurologi, tema kesadaran lebih memperoleh perhatian yang signifikan dibanding dengan “rasa”. Kesadaran (consciousness) merupakan tema utama dalam doktrin filsafat fenomenologi. Menurut doktrin filsafat ini, kesadaran itu terstruktur sedemikian rupa terdiri dari struktur dasar dan struktur lain yang muncul darinya. Struktur dasar adalah intensionalitas sedangkan struktur-struktur yang muncul darinya adalah persepsi, interpretasi, signifikansi (dimenasi kognisi-intelek), imajinasi, kehendak, kepentingan, emosi, motivasi (atau dimensi konatif-psikologis). Di samping sebagai struktur dasar, intensionalitas berperan menghubungan fenomena subyektif (diri seseorang) dengan fenomena obyektif (obyek luar diri). Jika seseorang masuk ke sebuah toko swalayan, intensionalitas inilah yang mengarahkan langkahnya ke obyak yang diarah apakah baju, sepatu, HP, teve, fulpen, kipas dll, baru kemudian muncul persepsi, interpretasi, imajinasi, kehendak.

Dalam teori ilmu pengetahuan, penjelasan tentang kesadaran manusia dihubungkan dengan akal pikiran yang dalam bentuk fisiknya adalah otak. Ilmu menjelaskan bahwa otak manusia itu setiap saat menghasilkan impuls-impuls listrik atau aliran listrik, atau lebih dikenal dengan gelombang otak. Kesadaran manusia itu berhubungan dengan gelombang otak, atau aktifitas osilasi saraf otak. Kesadaran dengan demikian memang dipengaruhi oleh gelombang otak yang memiliki aktivitas asilasai (getaran) sel saraf..

Kesadaran itu tidak ada, demikian dikatakan seorang ilmuwan, yang ada adalah sel-sel saraf. Kesadaran adalah fenomena yang muncul dari sel saraf. Sampai dengan munculnya penelitian ilmiah kontemporer disiplin ilmu saraf dan psikologi dan munculnya teori IQ, EQ dan SQ, atau kecedasan intelektual, kecedasan emosional da kecewrdasan spiritual. IQ dan EQ punya konotasi untuk garapan duniawiah, karier, pekerjaan, dan hubungan sesama, hubungan horizontal (habl minan-nas), Dlam mengelola urusan duniawi diperlukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan jenis keduaini berhubungan dengan jiwa. Seperti kekuatan menahan dan mengendalikan diri, mempertajam rasa simpati, empati kepada orang lain, lapang dada menerima kritik, atau jika menggunakan bahasa agama, memiliki akhlak yang mulia. Seseorang secara IQ memiliki kecedasaran intelektual di ats rata-rata, tetapi EQ nya rendah ditandai dengan bersikap sombong atau congkak, lalu acuh terhadap pendapat pihak lain dan hanya mendewakan pendapatnya sendiri atas nama kecerdasan intelektualnya di atas teman-temannya. Meski IQ cerdas tetapi Eqnya rendah bisa jadi jenjang karier pekerjaannya kalah lancanr dibandingkan dengan temannya yang IQnya hanya rata-rata sementara EQ nya amat tinggi sehingga dapat menciptakan kondisi bersaa yang sejuk dan rukuan. Tidak pernah ada temannya yang tersinggung bahkansebaliknya. Memenej sesama manusia lebih mementingkan EQ tinggi dari pada IQ tinggi tetapi EQ nya rendah ditengarai mudah marah, idak peduli dengan bawahan, mengambil jarak amat jauh dari bawahan, keras, tidak bisa memaafkan kesalahan dan sifat-sifat yang sejenisnya. Pandangan atau wawasan yang hanya bersifat duniawiah-kekinian dikonsepsikan sebagai pandangan jarak pendek, namun karena di dalam diri manusia terdapat SQ, maka manusia terbantu untuk menyempurnakan wawasan jangka pendek dengan jangka panjang. Kepemilikan wawasan jangka panjang dan tertanamnya wawasan ini ke dalam kedalaman batin manusia menjadi faktor yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri yang mencapai tingkat kualitatif sehingga hidupnya tidak dihabiskan hanya untuk kesibukan duniawiah sampai melalaikan Dzat Pencipta alam semesta dan Pencipta manusia. SQ adalah kecerdasan spiritual. SQ menunjuk kepada hubungan vertikal (habl-minal-lah) yang menghubungkan manusia dengan realitas transenden ekstra duniawi. Riset ilmiah dalam disiplin psikologi saraf mutakhir tahun 1990 oleh Michael Persinger dan riset ilmu saraf tahun 1997 oleh Ramachandran dan temannya menghasilkan temuan “God spot” (titik Tuhan) yang terdapat di antara jaringan otak dan syaraf dan itu dianggap sebagai pusat spiritual. Dalam tulisannya tentang IQ, EQ dan SQ, Danah Zohar dan Ian Marshall tidak lupa membahas kesadaran. Di sini penulis hanya akan menukil beberapa poin saja. Kesadaran merupakan sifat yang intrinsik (baca hakiki) dari otak manusia. Kesadaran yang demikian itu berkait dengan adanya kegiatan osilasi (getaran) otak. Di lain tempat dikatakan bahwa kesadaran itu merupakan fenomena yang muncul dari struktur dan fungsi sel saraf, bahwa sel-sel saraf itu memiliki sifat kesadaran.

Karena masalah rasa kurang atau tidak menjadi tema diskusi dalam filsafat maupun ilmu, maka renungan sekilas ini mencoba membicarakan masalah rasa dengan rujukan dari disiplin taswuf, meskipun kita ketahui bahwa disiplin ini jauh lebih dahulu muncul di atas permukaan sejarah di banding dari disiplin psikologi maupun neurologi (ilmu saraf) di atas.

Di dalam bahasa Arab ada dua kata yang dipadankan dengan rasa, yakni, dhauq dan sirr. Salah seorang sufi, Ma’ruf al-Karkhi mengatakan bahwa rasa (dhauq) itu menyebar ke semua entitas lahiriah jasmani maupun entitas batiniah. Ketika tangan kita menyentuh api, kita merasakan panas. Ketika kita menggenggam es, merasa dingin, ketika mendengar lagu-lagu merasa senang. Ketika kita dihina di depan publik, kita merasa terluka dan sakit. Ketika kita menyadari menjadi obyek penipuan kita merasakan bagaimana sakitnya tertipu. Harga diri atau martabat insaniah, kebebasan menentukan pilihan, tanggung jawab, hak-hak asasi, emosi, ambisi, motivasi, merupakan entitas batiniah yang tidak dapat diraba atau dilihat oleh mata kepala tetapi mereka ada di dalam diri mannusia. Sering kita mendengarkan bahwa entitas jasmani merupakan sarana dari keinginan atau kemauan seseorang. Dengan tangan, kaki, kepala, lidah, keinginan seseorang ingin mencari makanan khas Ponorogo dapat terwujud. Manakala kita terbakar api kita katakanbahwa kita punya pengalaman betapa sakitnya terbakar. Adalah rasa yang merasakan sakitnya terbakar. Tasawuf, demikian Sir Muhammad Iqbal berkata, memberi kita direct experiences,. Apa yang dimaksud engan pengalaman langsung adalah pengalaman yang beresentuhan dengan sesuatu, Seserang merasakan nikmatnya makanan setelah dia mengalami langsung makan sesuatu yang memang nikmat, misalnya, gudeg. Apa yang kita makan adalah wujud gudeg dan bukan nama “gudeg”. Gudeg sebagai nama merupakan obyek akal, artinya, akal kita dapat membuat deskripsi tentang gudeg sebagai salah satu jenis masakan.. Akal kita dapat membuat deskripsi tentang mobil jenis tertentu meski wujud mobil tidak ada di depan mata kita. Ketika kita sedang haus, bukan nama air yang kita butuhkan. Apa yang kita butuhkan adalah wujud air lalu kita meminumnya. Wujud airlah yang dapat kita minum dan bukan “nama” air. Suatu nama atau sifat, jika itu menunjuk kepada barang atau orang, mesti ada wujudnya. Nama “Hasanah”, misalnya, ia menunjuk kepada seseorang dan wujud seseorang itu ada. Jika kita berniat menikah dengannya, sudah tentu bukan sekedar namanya yang kita nikahi melainkan “orangnya” yakni orang yang punya nama Hasanah. Inilah kira-kira yang dikehendaki dengan “direct experience” oleh Iqbal.

Ada dua kata dalam bahasa Arab yang dirujuk untuk “rasa” yakni “dhauq” dan sirr. Sirr adalah sesuatu yang lembut dan tersembunyi. Di mana dia tersembunyi, Dalam struktur batin, rasa terbungkus dalam ruh. Ruh pun berlapis sampai tujuh lapis; ruh nabati, ruh hayawani, ruh jasmani, ruh insani, ruh malaki, ruh robbani, dan ruh idhafi. Ruh ini ada dalam hati (dalam bahasa Jawa sering kita mendengar ungkapan sbb, ati, roh, roso, sebuah ungkapan yang menggambarkan strukktur batin”). Dalam tasawuf ada teknik khas mengenai ru, yakni, inkisyaf ruh, terkadang disingkat dengan “inkisyaf” atau maqam mukaasyafah . Seseorang yang pernah mengalami inkisyaf menggmbarkan bahwa ruh itu berlapis-lapis dan ibarat lapisan gelas bening sampai tujuh lapis. Rasa itu ada di dalam ruh itu. Ruh yang berlapis-lapis ini berada dalam hati, dalam hal ini hati nurani. Di dalam kazanah tasawuf, hati dibedakan menjadi dua, hati nurani dan hati sanubari. Karakter dua hati ini bertolak belakang. Karakter hati sanubari ada tiga yakni, tidak mau mengenal Tuhan Allah, menolak apa yang datang dari Allah, dan mengajak kepada kejelekan; laa ya’riful-lah; yamna’ minal-lah dan yajurru ilas-suuk”. Ini sebaliknya dengan hati nurani; yakni senang mengenal Allah, tidak menolak segala ketentuan yang datang dari Allah, dan mengajak kepada kebaikan. Hati sanubari bernuansa negatif dan agresif. untuk menundukkan rasa dan hati nurani di bawah kekuasaannya. Jika dua entitas ini dapat ditundukkan, maka nafsu pun leluasa menyeret manusia menurut kemauannya. Gerak gerik manusia dalam sejumlah aktivitasnya mudah dikendalikan menuruti kemauannya. Kita sadar sepenuhnya bahwa manusia bukan ciptaan nafsu tetapi ciptaan Allah bahkan nafsu tidak terlibat apa-apa dalam penciptaan ini, namun ia sangat ambisius dan memiliki agresifitas yang tinggi. Runtuhnya martabat kemanusiaan disebabkan oleh hawa nafsu. Nabi Muhammad saw pernah berpesan bahwa perang yang besar adalah perang melawan hawa nafsunya sendiri. Melalui hawa nafsu inilah kehidupan manusia di dunia ini diuji. Adalah logis jika manusia mematuhi ketentuan Allah karena Dia adalah penciptanya. Markas hawa nafsu adalah hati sanubari, dari kata “sanbuur”; dalam bahasa Arab ditulis dengan hhuruf “shad” danbukan huruf “sin”. Kata al-Ghazali dalam Ihya Uluumuddiin”, shanbuur adalah tanaman sejenis rumput yang rasanya sangat pahit, daunnya selebar dua jari. Letak hati sanubari itu ada di bawah susu kiri dalam jarak kira-kira dua jari.

Kembali Tentang Rasa

Kita mulai dari firman Allah dalam surat al-A’raf, sbb,

Wa idz akhadza rabbuka min bani Adam min dhuhurihim dzurriyyatahum, wa asyhadahum ‘ala anfusihim, alastu birabbikum, qaaluu balaa syahidnaa, an taquuluu yamal-qiyaamati innaa kunnaa ‘an haadzaa ghaafiliin. (S. al-A’raf: 172)”. Dan ingatlah (kepada kejadian) sebelum anak keturunan Adam dilahirkan, Tuhanmu mengambil kesaksian atas diri mereka; bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab, Benar, Kami bersaksi bahwa Engkau Tuhan kami..”

Mungkin pertanyaan yang muncul demikian, kapan kesaksian itu terjadi? Ada mufassir yang berpendapat bahwa kejadian itu terjadi pada masa “alam dzar” Arti kata “dzar” adalah secercah cahaya. Ada yang lain berpendapat dalam alam arwah, ada yang berpendapat pada alam haqiqatul-insan. Jika demikian, alam tersebut terjadi jauh sebelum proses pembibitan sperma dan ovum bercampur dan setelah sekian bulan terbentuk janin di dalam kandungan ibu. Persisnya seperti apa, wallahu a’lam.

Alam dzar. Dzar artinya secercah cahaya, yang di dalalam bahasa Jawa dimanifestasikan dalam ungkapan, “Nur cahyo putih wujud ungsun”, nur-cahaya putih wujud saya”. Jika dikaitkan dengan pendapat “haqiqatul-insan, maka sebenarnya, hakikat manusia adalah setitik cahaya putih yang amat lembut dan berada jauh di dalam kedalaman batin manusia. Inikah Rasa? Pada saat itu rasa telah menyaksikan Zat Allah, (dalam arti ini yang disaksikan bukan nama, sebab nama tidak dapat disaksikan. Nama dapat disebutkan atau diungkapkan tetapi tidak dapat disaksikan. Karena itu, yang disaksikan pada saat itu bukanlah nama Allah tetapi ZatNya yang Esa. Para ulama membuat definisi demikian, “Allah ismun lidzaatin al-waajibul wujuud”; Allah adalah nama bagi satu Dzat yang wajib wujud”. Seperti telah disinggung di atas bahwa rasa memberi direct experience. Rasa bersentuhan langsung dengan wujud sesuatu.

Jika rasa dikaitkan dengan konsep haqiqatul-insan, berarti hakikat manusia itu. rasa. Karena di hakikat manusia, maka etika manusia mati, rasa tidak ikut mati. Rasa ikut masuk ke alam mati, yakni alam akhirat. Karena tidak mati dia merasakan langsung pengalaman yang dialami dalam kehidupan akirat persis sebagaimana rasa yang merasakan pengaman di dunia ini. Rasa yang digunakan di kehidupan akhirat juga rasa yang digunakan di dalam kehidupan dunia saat ini. Misal, di dunia ini kita mengalami tertusuk besi yang tajam dan panas. Pengalaman ini hanya kita sendiri yang merasakannya. Kawan kita yang duduk di dekat kita tidak turut merasakan bagaimana sakitnya tertusuk besi tajam dan panas. Tetapi teman-teman kita ikut merasa sedih dan kasihan lalu memberi pertolongan di bawa ke dokter untuk diobati supaya segera sembuh. Pertanyaan yang muncul apakah di dalam kehidupan nanti ada dokter dan ada teman-teman yang siap menolong kita yang sedang merasakan siksaan? Jika terrnyata tidak, ada, lalu berapa lama kita harus merasakan hidup dalam siksaan? Inilah bagian dari diskusi tentang rasa.

Ma’rifat bil-llah adalah salah satu istilah teknis yang diproduk tasawuf. Apa yang dikehendaki dengan istilah ini adalah ma’rifat biDzatil-lah, mengenal Dat Allah dan sudah tentu yang mengenal adalah rasa bukan rasio. Apa yang diperankan rasio adalah membuat deskripsi, memberi penjelasan atau uraian tentang sifat-sifatNya, af’alNya dan nama-namaNya dengan acuan dari teks atau ayat al-Quran, tetapi tidak memberi direct experience.Di antara penjelasan itu kita temukan dalam definisi para ulama tentang “Allah”. Definisi itu menyatakan demikian, “Allah huwa ismun lidzatin al wajibul-wujud. Pada masa kejayaan ilmu kalam, kaum mutakallimin juga membicarakan Dzat dan sifat. Tentu di sini bukantempatnta untuk membicarakan itu, namun penulis ingin mengambil satu pendapat dari tok0h aliran Asy’ariah yang menyatakan, “laa hiya huwa walaa hiya ghairuh”; artinya, “sifat itu bukan dzat, tetapi sifat itu tidak lepas dari dzat”. Lebih ringkas lagi Muzaffarudin _nadfi merumuskan pandangan Imam al-Asy’ari demikian, “laa ‘aina walaa ghaira”. Allah adalah nama dari satu Zat yang wajib wujudnya. Dia adalah rabbud-dunya dan wal akhirah, Zat yang menjadi Penguasa dunia dan akhirat. Hidup kita ini akan kembali kepada Zat yang hidup yang tidak mati, dzat hidup yang abadi, wa tawakkal ‘alal-hayy al-ladzii laa yamuut“. Bertawakallah kepada Zat yang Hidup yang tidak mati. Karena Allah adalah dzat yang wajib wujudnya, adalah masuk akal jika kaum taswuf mengartikan ma’rifat bill-lah dengan ma’rifat bidzatil-llaah, mengenal dzat Allah. Ketika memasukkan sifat nafsiah sebagai salah satu sifat dua puluh rumusan Imam as-Sanusi, beliau menegaskanbahwa sifa“nafsi” sebenarnya bukanlah sifat karena nafsi adalah menunjuk kepada dzat. Sifat nafsi saya masukkan ke dalam sifat dua puluh tak lainselain untuk mempermudah pemahaman. Ma’rifat sebagai makna tasawuf itu mungkin terjadi sepanjang seseorang menggunakan metode untuk itu. Metode atau thariqah yang digunakan pasti berbeda dari metode ulaa ilmu kalam yang menggunakan rasio guna mencapai pamahaman rasional yang tujuan akhirnya untuk memperkuat keimanan dan keyakinan seseorang akan adanya Tuhan pencipta alam.

Salah satu metode, mungkin ini masih merupakan asumsi sementara, adalah apa yang ditulis oleh Ibn Rusy dalam karyanya, al-Kasyf ‘an manaahij al-adillah fii ‘aqaa-id al-millah, dengan ta’lil dan syarh oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Dalam kitab tersebut dia menyebut kelompok bernama hasywiyah. Dalam teks Ibn Rusy tertulis demikian,

Al-Hasywiah; hum qaaluu inna thariiqa ma’rifati wujuudi-llah huwa al-sam’u laa al-‘aql….” Al-Hasywiah berpendapat bahwa jalan menuju ma’rifat wujud Allah Ta’alaa dengan cara “mendengar” bukan rasio”.

Apa yang didengar adalah bisikan dari Guru Mursyid. Bisikan itu disampaikan lewat telinga untuk ditangkap oleh rasa. Lalu rasa (sirr) dianjurkan untuk terus-menerus ingat kepada bisikan itu. Inilah dhikir rasa atau dzikir sirr, dzikir yang tidak diucapkan lisan melainkan dzikir sirr yang tidak mengeluarkan suara. Jika rasa mampu terus menerus berdzikir dan sekaligus mampu mengusir-bisikan-bisikan hawa nafsu yang tiada henti mendorong manusia kepada kejelekan, insya Allah rasa yang merupakan hakikat manusia, sebuah titik lembut yang tersembunyi di tempat yang amat dalam ini dapat bersinar karena memperoleh sinar Ilahi dan dapat menangkal masuknya bisikan hawa nafsu.

Posisi Guru.

Dalam tasawuf, Guru menempati posisi sentaral dan bahkan merupakan figur sentral. merupakan sentral, tetapi demikian ini tidak hanya ada dalam dunia tasawuf. Dalam dunia pendidikan pun sesungguhnya guru merpakan figur sentral. Guru adalah orang yang ahli di dalam satu bidang tertentu. Seorang mahasiswa fisika jika ingin memperdalam pemahamannya tentang kyuantum, tentu harus berguru kepada dosen yang benar-benar ahli dalam masalah kuantum. Sebenarnya tidak hanya seorang mahasisw, bahkanketika masih dalam pendidikan dasar klas, satu seorang murid membutuhkanbimbingan guru ahli yang membimbing keteramplan baca dan tulis huruf. Jika yang diajarkan bahasa Indonesia, diajarkan huru-huruf latin melalui ketrampilan baca dan tulis. Jika murid ingin belajar bahasa Cina, bahasa Jepang atau bahasa Arab, dia juga membutuhkan Guru yang ahli dalam bahasa Cina atau bahasa Arab. Guru tidak mungkin mmbiarkan anak muridnya belajar sendiri atas nama sudah ada buku cetakan dan murid tinggal menurun saja apa yang tercetak dalam buku, lalu murid juga tinggal mengucapkan huruf-huruf tersebut menurut kemampuannya. Cara seperti ini smat mungkin membuat murid tersesat, artinya, tidak akan mencapai tujuan. Jadi, tidak hanya untuk memahami teori kuantum, teori Enstein, teori-teori lain yang membu tuhkan Guru, ketika masih di awal pendidikan pun seseorang membutuhkan Guru yang ahli untuk mengajari supaya tidak tersesat. Dalam bahsa taswuf, Orang yang tidak memiliki guru, maka guurunya syetan, artinya karena tidak berguru kepada Guru ahli, seseorang akan tersesat dan tidak mencapai tujuan.

Inilah sekilas renungan dan .akhirnya saya ingin kirim salam kepada para ilmuwan dalam disiplin psikologi, neurologi dan displin yang terkait disertai permintaan maaf jika paparan saya tentang kesadaran dalam sekilas renungan ini terdapat kesalahan. Nuwun.