Minggu, 04 September 2011

> Mutiara di Dasar Laut

JALAL AL-DIN RUMI pernah mengumpamakan ma’rifat dengan mutiara yang masih berada dalam kerang, sedangkan kerang itu masih berada di dasar laut. “Karena mutiara selalu memikat hati orang, maka banyaklah orang yang datang ke laut untuk mendapatkannya. Setelah melihat-lihat dengan teliti, seseorang di antara pengunjung bertanya, “Mana mutiara itu, aku tidak melihatnya, padahal orang-orang mengatakan bahwa mutiara itu ada di laut?” Tentu saja mutiara tidak dapat dilihat apalagi dimiliki hanya dengan memandang laut, karena mutiara itu ada di dasarnya. Ini berarti bahwa ma’rifat tidak bisa diperoleh dengan mengandalkan “indera lahiriah” karena ia berada jauh di lubuk diri seseorang sehingga tersembunyi kepadanya.

Lalu datanglah seseorang seraya mengatakan “Karena mutiara itu ada di dasar laut, maka kita harus menimba laut agar kering dan kita akan dengan mudah mendapatkan mutiara-mutiara itu.”          Tetapi kata Rumi laut yang begitu besar tidak mungkin akan kering dengan ditimba oleh manusia karena untuk itu ia harus, selain menimba, juga menggali tanah seluas laut agar air laut tidak kembali ke asalnya. Ini berarti bahwa ma’rifat tidak bisa digali dan ditimba dengan akal atau penalaran diskursif-rasional. Ma’rifat akan terlalu dalam bersembunyi di dasar laut diri seseorang untuk dapat diungkap dan ditangkap oleh akal maupun indera, dan metode-metode lainnya yang serupa dengan itu.

Rumi kemudian memberi tahu kita bahwa untuk mendapatkan mutiara itu kita perlu seorang penyelam, kecuali kalau kita sendiri adalah seorang penyelam. Ini berarti bahwa cara memperoleh ma’rifat berbeda dengan cara memperoleh ilmu, karena dibutuhkan cara tersendiri untuk menyelemi lubuk atau dasar lautan hati kita yang dalam. Karena itu, kecuali kita menguasai cara penyelaman itu, maka kita membutuhkan penyelam, dalam hal ini guru, atau mursyid untuk mendapatkan atau mengetahui cara mendapatkan ma’rifat. Tetapi karena laut adalah dalam dan tidak seperti kolam biasa, maka di sini diperlukan penyelam yang mahir yang betul-betul menguasai tehnik dan punya kemampuan untuk mengajarkannya kepada yang dibimbingnya. Jadi kita membutuhkan mursyid yang ulung dan telah terbukti mampu menyelami lubuk jiwa manusia. Mungkin banyak mursyid yang menawarkan diri, tetapi kata Rumi tidak banyak mursyid yang sejati. Oleh karena itu dituntut kecermatan untuk memilih mursyid agar tercapai apa yang dituju: mendapatkan mutiara. Cara menyelam inilah yang kita sebut sebagai metode intuitif, yang memang, seperti telah disebutkan di atas, berbeda dengan metode empiris dan diuskursif.

Selain penyelam yang ulung, “kita juga,” kata Rumi, “memerlukan keberuntungan, karena sebagaimana kita ketahui, tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Memerlukan keberuntungan untuk mendapatkan kerang yang berisi mutiara di antara kerang-kerang yang ada di dasar laut dan yang mungkin diraih oleh seorang penyelam yang ulung. Ini berarti bahwa, seperti telah disinggung sebelumnya, untuk memperoleh ma’rifat tidak tergantung pada usaha keras dan cara tertentu yang dikembangkan oleh manusia semata, tetapi juga pada kehendak dan kemurahan (barakah) dari Tuhan.

Indera dan akal akan bisa mengantar kita ke gerbang istana, tetapi tidak bisa memaksakan dirinya untuk bisa masuk dan diterima sang raja. Bisa atau tidaknya kita masuk ke istana, kata Rumi, itu tergantung semata-mata pada kemurahan Tuhan, sang Raja di-Raja. Ia juga pernah mengatakan: “Jangan berhenti apa lagi tidur di jalan. Kau harus berjalan atau berlari untuk sampai pada pohon raksasa yang sarat dengan buah yang segar dan menyehatkan, untuk bernaung di bawahnya dan menanti angin untuk bertiup sehingga bolehlah kiranya angin itu menjatuhkan buah-buah yang ranum sebagai bekal perjalanan anda.” Ini berarti bahwa kita wajib berusaha, sebagai syarat awal bagi tercapainya ma’rifat, tetapi setelah itu kita hanya bisa menunggu sambil berharap perkenan Tuhan untuk menganugerahkan “buah” mutiara itu ke tangan kita. Indera dan akal adalah tangga utama untuk mencapai atap rumah, dan hanya kepada mereka yang telah mencapai atap rumah itu, maka “buah” itu akan diberikan Tuhan, sebagai hadiah, kalau Ia memang berkenan.